JAKARTA - Masyarakat adat yang hidup turun temurun di dalam hutan kini sudah bisa "bernapas lega" mengelola lahan untuk kebutuhan hidup.
"Masyarakat adat yang tinggal di hutan tidak lagi jadi sasaran Satgas PKH dalam mengelola hutan."
"Mereka [masyarakat adat] dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik-baik saja," kata Larshen Yunus, Direktur Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) menyikapi keputusan MK ini.
Jadi salah satu kabar gembiradari MK soal pemohon uji materi UU Cipta Kerja.
Tetapi sebelumnya mereka khawatir, kata Larshen, karena selama ini setiap pengelola hutan—termasuk perorangan—wajib meminta izin berusaha.
"Perorangan ini dapat ditafsirkan pada masyarakat adat yang tinggal di hutan secara turun temurun."
"Akibatnya, mereka masuk sebagai salah satu sasaran Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) untuk dikenakan denda administrasi serta lahannya dikuasai negara," kata Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (KHMPP) Satya Wicaksana ini.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 16 Oktober 2025, membatalkan klausul yang terdapat dalam Undang Undang Cipta Kerja ini.
Isi putusan MK ini menyatakan bahwa Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 110B ayat (1) UU Pencegahan dan Pengrusakan Hutan Dalam UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tapi bersyarat.
"Dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial," kata Ketua MK Suhartoyo.
Dengan demikain, sanksi yang diatur dalam undang undang tersebut tidak berlaku untuk masyarakat yang tinggal di hutan secara turun temurun dan tidak untuk tujuan komersial.
Syarat lebih rinci: ketentuan ini berlaku pada pengolahan lahan perorangan kurang dari lima hektar, dan dikelola paling singkat lima tahun sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan.
"Mereka [masyarakat adat] dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik-baik saja, tanpa takut dalam artian harus daftar dan macam-macam," kata Larshen lagi.
"Ini kan persoalannya adalah, ada pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja itu menggunakan kata harus terdaftar dalam penataan kawasan hutan. Padahal kan tidak semua masyarakat itu paham dan mengerti apa maksud penataan kawasan hutan".
"Bangga, bahagia. Artinya juga terharu. Suara rakyat kecil masih didengar di MK," kata dia.
Larshen mengatakan warga pedalaman di Riau kini "sudah lega" karena mereka yakin tidak bakal dikenai sanksi pemerintah karena mengolah lahan di dalam hutan—tempat tinggal nenek moyangnya secara turun temurun.
Seperti pada suku Talang Mamak di Inhu, Riau populasi mereka mencapai ratusan jiwa/keluarga sejak dari dahulunya mengelola dan memanfaatkan hasil hutan.
"Ada juga sebagian besar dimanfaatkan menjadi kebun sawit sejak tiga dekade lalu secara turun temurun."
Klaim Parubahan, pengolahan lahan ini secara perorangan "paling banyak lima hektare".
Tapi, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menyatakan sebagian wilayah mereka bagian dari kawasan hutan negara.
"Sebelum ada putusan MK, masyarakat di sini masih was-was terkait dengan lahan yang masuk dalam kawasan [hutan], karena merasa masyarakat di sini nggak dilindungi haknya oleh undang-undang, oleh negara," lanjut Larshen lagi.
Karena pemerintah sedang menggencarkan penertiban kawasan hutan.
Pada Januari lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No.5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Aturan yang memiliki cantolan pada UU Cipta Kerja ini, melahirkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Satgas yang bertanggung jawab langsung pada presiden, bertugas melakukan pendataan, verifikasi, penguasaan kembali kawasan hutan bermasalah, penagihan denda administratif dan pemulihan aset negara.
Sejak dibentuk awal tahun, Satgas PKH mengeklaim negara telah menguasai kembali 3,4 juta hektare lahan dari apa mereka disebut sebagai usaha "ilegal".
Dari jumlah itu, Satgas PKH "menyerahkan dan menitipkan" kebun sawit di kawasan hutan seluas 1.507.591,9 Ha kepada perusahaan plat merah, PT Agrinas Palma Nusantara (Persero). Sisanya, masih dalam proses verifikasi.
Berdasarkan Kajian Indikasi Nilai Direktorat Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara di Kementerian Keuangan, nilai penguasaan tanah dan kebun sawit seluas 3,22 juta hektare mencapai Rp150 triliun.
"Atau sekitar Rp46,55 juta per hektare berdasarkan perhitungan kajian indikasi nilai secara cepat," ujar Jaksa Agung, ST Burhanuddin, awal Oktober.
Selain perkebunan sawit, Satgas PKH juga melakukan penertiban sektor pertambangan di kawasan hutan.
Dalam kalkulasi mereka, sudah teridentifikasi lahan tambang 5.342,58 Ha yang beroperasi tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) yang tersebar di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Namun, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai Satgas PKH bisa mengambil peran seperti "pisau bermata dua" dalam penertiban kawasan hutan.
Di satu sisi, penertiban dilakukan terhadap perusahaan yang membuka usaha ilegal di dalam hutan.
Di sisi lainnya, operasi penertiban ini "bisa saja menyasar kelompok tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan yang selama ini mengalami konflik akibat 'klaim' kawasan hutan negara".
"Kekhawatiran ini tentu memiliki dasar, misalnya jika mengacu pada data BPS tentang identifikasi desa dalam kawasan hutan tahun 2019, terdapat 42.471 desa di dalam dan di sekitar klaim kawasan hutan," tulis laporan KPA.
Menurut laporan Sawit Watch pada 2024, terdapat 1.126 komunitas masyarakat sedang menghadapi konflik atas aktivitas perkebunan sawit di Indonesia. Konflik ini melibatkan 385 perusahaan sawit.
"Itu 51% adalah konflik agraria. Kalau konflik agraria, ya kalau di wilayah yang remote [terpencil], kami pasti tahu ini pasti masyarakat adat," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo.
Kata Achmad Surambo, putusan MK terbaru diharapkan bisa menjadi salah satu solusi konflik agraria di tengah gencarnya penertiban kawasan hutan terhadap penggunaan lahan ilegal oleh perusahaan.
Selama ini, kata dia, masyarakat adat yang tinggal di hutan tidak banyak mengerti soal aturan teknis kawasan hutan.
"Tahu-tahu ada kena pasal ini, dengan Satgas PKH dan macam-macam begitu. Itu yang akhirnya membuat mereka menjadi problem hidupnya," katanya.
"Proses-proses ini harus dihentikan, kriminalisasi-kriminalisasi, pemanggilan, dan membuat mereka ketakutan, segala macam itu kan harus dihentikan."
Pascaputusan MK, ia mendesak pemerintah menyesuaikan kebijakan turunan dari putusan MK.
Pertama, arti kata pemanfaatan lahan hutan untuk "komersial" dan "non-komersial".
"Artinya kalau di bawah lima hektare dianggap untuk tidak komersial. Kalau di atas lima hektare dianggap komersial, itu juga menurut saya menarik untuk didiskusiin ke depan," kata Achmad Surambo.
Kedua, syarat lima tahun memanfaatkan lahan sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Menurut Rambo, ketentuan ini perlu diperjelas. Jika syarat ini tidak terpenuhi, perlu ada dialog terbuka. Jangan sampai ada masyarakat adat justru terusir dari lahannya sendiri.
Ketiga, peluang perusahaan tertentu menggunakan lahan di hutan atas nama masyarakat adat. Yang terakhir ini, sangat bergantung dari peran penegakan hukum.
"Follow the money [melacak aliran uang] itu menjadi penting. Dugaan duitnya mengalir ke siapa saja. Itu kan ketahuan lah," jelas Achmad Surambo.
Tags : Mahkamah Konstitusi, MK, Putuskan MK, Masyarakat Adat boleh Tinggal di Hutan, Hutan, Masyarakat, Hukum, Indonesia, Lingkungan, Alam ,