JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang diajukan dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024, pada Senin (22/04).
MK menyatakan permohonan pemohon "tidak beralasan menurut hukum seluruhnya".
Dalil-dalil permohonan yang diajukan itu antara lain soal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP.
Kemudian dalil lainnya terkait tuduhan adanya abuse of power yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam menggunakan APBN dalam bentuk penyaluran dana bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk memengaruhi pemilu.
Termasuk dalil soal penyalahgunanan kekuasaan yang dilakukan pemerintah pusat, pemda, dan pemerintahan desa dalam bentuk dukungan dengan tujuan memenangkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
"Juga dalil pemohon yang menyebutkan nepotisme yang dilakukan Presiden untuk memenangkan paslon nomor urut 02 dalam satu putaran, tidak beralasan menurut hukum."
"Dalil nepotisme Presiden Jokowi dan melahirkan abuse of power yang terkoodinsai melalui Kemendagri, Polri, TNI, pemerintahan desa terhadap dalil itu tidak beralasan menurut hukum."
Kendati demikian, tiga hakim konstitusi, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Saldi Isra mengatakan pemilu yang jujur dan adil sebagai bagian asas atau prinsip fundamental pemilu diatur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945, mengatur asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan berkala setiap lima tahun sekali.
Namun, yang juga penting, menurut Saldi, pemilu perlu mencakup aspek kesetaraan hak antarwaga negara dan kontestasi yang bebas serta harus berada dalam level yang sama (same level of playing field).
Dengan demikian, sambungnya, persaingan yang bebas dan adil antarpeserta dimaknai sebagai suatu kontestasi yang harus dimulai dan berada pada titik awal dengan level yang sama.
"Tidak hanya itu, dalam kontestasi persaingan yang adil dan jujur dipahami pula sebagai upaya menempatkan hak pilih warga negara sebagai hak konstitusional yang harus dihormati secara setara tanpa adanya sikap dan tindakan curang di dalamnya."
Akan tetapi menurut Saldi Isra, asas jujur dan adil tidak bisa berhenti pada batas keadilan prosedural semata.
"Jujur dan adil dalam norma konstitusi tersebut menghendaki sebuah keadilan substantif.”
"Bilamana hanya sebatas keadilan prosedural, asas pemilu jujur dan adil dalam UUD 1945 tidak akan pernah hadir."
Dia berargumen, pemilu di masa Orde Baru berjalan memenuhi segala prosedural yang ada, namun secara empirik pemilu Orde Baru tetap dinilai curang karena secara substansial pelaksanaan pemilunya berjalan dengan tidak adil - baik karena faktor pemihakan pemerintah pada salah satu kontestan pemilu, maupun faktor praktik penyelenggaraan pemilu yang tidak memberi ruang kontestasi yang adil bagi semua kontestan pemilu.
Hakim Saldi Isra juga menyinggung bahwa sejak memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilu, MK tidak hanya sebatas pada angka-angka statistik semata.
Apabila MK "dipasung dan dibatasi" untuk menilai atau memeriksa angka semata, kata dia, maka derajat amanah konstitusi dalam menjaga nilai-nilai konstitusi direndahkan.
Jika hal itu yang dilakukan, maka upaya mewujudkan pemilu yang berintegritas tidak ubahnya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, katanya.
Dia kemudian mengatakan setidaknya ada 2 hal yang membuatnya mengambil dissenting opinion.
Pertama, terkait mengenai penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden.
Kedua, keterlibatan aparat negara, pejabat kepala daerah atau penyelenggara di sejumlah daerah.
Dalam permohonan Anies-Muhaimin, sambungnya, mengungkap fakta dan kejadian tertentu secara spesifik, yaitu dukungan yang diberikan Presiden terhadap pihak terkait, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2.
Dukungan itu dilakukan dengan cara mengalokasikan anggaran negara tertentu dan diwujudkan melalui pelaksanaan program pemerintah berupa penyaluran bansos.
Ditambah oleh pemohon, ujarnya, salah satu mekanisme penyaluran dana bansos dilakukan atau dikemas beriringan dengan kunjungan kerja Presiden ke beberapa daerah.
"Dalam hal ini orang yang memegang jabatan tertinggi dapat saja berdalih bahwa percepatan program yang dilakukannya adalah dalam rangka menyelesaikan program pemerintahan yang akan habis masa jabatannya."
"Namun, program dimaksud dapat digunakannya sebagai kamuflase."
"Sementara itu merujuk fakta dalam persidengan menteri yang terkait langsung dengan tugas tersebut, Menteri Sosial yang seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap pemberian bansos, menyampaikan bahwa tidak pernah terlibat atau dilibatkan dalam pemberian atau penyaluran bansos secara langsung di lapangan," kata Saldi.
Selain itu, diperoleh pula fakta dalam persidangan bahwa terdapat sejumlah menteri aktif yang membagikan bansis kepada masyarakat, terutama selama periode kampanye.
Kunjungan ke masyarakat itu, ungkap Saldi, hampir selalu menyampaikan "bersayap" yang dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan atau kampanye terselubung bagi paslon tertentu.
Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta itu, pemnagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali.
Adapun soal keterlibatan aparat negara, Saldi Isra merujuk pada pejabat kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang dinilai memihak kepada salah satu paslon.
Dia merujuk temuan Bawaslu terkait masalah netralitas pejabat kepala dearah dan pengerahan kepala desa yang terjadi antara lain di Sumatra Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Menurutnya, bentuk ketidaknetralan pejabat kepala daerah di antaranya berupa pengerahan ASN, pengalokasian sebagian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih pasangan calon yang punya komitmen jelas untuk kelanjutan IKN, dan pembagian bansos.
Itu semua, menurut Saldi, mengarah atau identik dengan identitas paslon tertentu.
Berbagai bentuk ketidaknetralan tersebut telah dilaporkan ke Bawaslu namun menurut bukti yang diajuka dianggap Bawaslu tidak memenuhi syarat.
Cara Bawaslu itu, ujar Saldi, bisa dipandang bahwa Bawaslu menghindar untuk memeriksa substansi laporan.
"Meskipun demikian saya berkeyakinan bahwa telah terjadi ketidaknetralan sebagian pejabat kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil. Semua ini bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas."
"Dengan demikian, dalil pemohon beralasan menurut hukum."
"Oleh karena itu demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," kata Saldi.
Sejalan dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra, Arief Hidayat juga memaparkan bahwa pemilu di Indonesia dilangsungkan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Era reformasi, katanya, ditandai dengan jatuhnya rezim non-demokratis pada 1998. Sejak saat itu, sudah enam pemilu dilaksanakan.
Bahkan pemilu 2024, sambung Arief, merupakan pemilu serentak yang cukup kompleks karena digelar pada hari yang sama.
Dari perjalanan enam kali pemilu tersebut, publik bisa mengukur kematangan demokrasi Indonesia. Karena pemilu yang adil, sebutnya acap kali dijadikan instrumen mengukur kadar demokrasi apakah semakin baik atau mengalami penurunan.
"Jangan-jangan demokrasi Indonesia saat ini mengarah pada defisit demokrasi yang mengkhawatirkan, karena tampak jelas adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat fundamental terhadap prinsip pemilu," ucap Hakim Arief Hidayat.
"Tidak boleh ada peluang sedikit pun bagi cabang kekuasan eksekutif tertentu untuk cawe-cawe dan memihak dalam proses pemilu 2024. Sebab dia dibatasi paham konstituliasme, moral, dan etika," tuturnya.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi, menurut Arief, adalah bertindak partisan dan memihak calon tertentu yang mencederai sistem pemilu di mana termuat dalam berbagai instrumen hukum, tapi juga termuat dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945.
Arief juga mengatakan bahwa mencermati pemilu 2024 dengan pemilu-pemilu sebelumnya, terletak perbedaan pada adanya dugaan intervensi kuat cabang eksekutif yang jelas dan kuat mendukung calon tertentu dengan segenap infrastruktur politiknya.
Anggapan bahwa Presiden boleh berkampanye, kata Arief, merupakan justifikasi yang tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka.
Memang, ujarnya, desain politik UU Pemilu yang membolehkan Presiden berkampanye memiliki cakupan ruang yang terbatas, yakni tatkala Presiden akan mencalonkan diri kembali dalam kontestasi pemilu untuk kedua kalinya.
"Artinya Presiden boleh berkampanye ketika posisinya adalah sebagai pasangan calon presiden dan bukan berkampanye untuk mempromosikan capres tertentu ataupun yang didukungnya."
"Oleh karena itu, apabila presiden/wakil presiden turut mengkampanyekan calon yang didukungnya maka tindakan itu telah mencederai prinsip moral dan etika berkehidupan berbangsa dan bernegara."
Hakim Arief pun turut menyinggung bagaimana pemilu 2024 terjadi hiruk-pikuk dan kegaduhan yang disebabkan oleh Presiden dan aparaturnya bersikap tidak netral bahkan mendukung calon tertentu.
"Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan," kata Arief.
Sederet penjelasan inilah yang membuat Arief yakin, MK sepatutnya tidak boleh mengadili dan memutus secara formal, melainkan harus progresif ketika melihat pelanggaran asas pemilu.
Baginya Mahkamah semestinya memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon sebagian dan memerintahkan dilakukan pemunguran suara ulang di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatra Utara.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih juga menyuarakan dissenting opinion dalam memutus perkara permohonan yang diajukan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Dia menilai MK sedianya memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum berikut.
Sebab menurut Enny, ada keterlibatan atau mobilisasi pejabat atau aparat negara termasuk adanya politisasi bansos dalam pemilu persiden/wakil presiden 2024.
Dia menjelaskan bahwa pemilu yang diatu dalam UU berlaku aksioma bahwa dalam sistem politik yang demokratis, demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law.
Namun rule of law, juga harus dilandasi oleh rules of ecthics.
"Karena itu aturan maun yang ditetapkan dalam UU pemilu tidak boleh bias terhadap individu maupun kelompok tertentu."
"Tujuannya agar dalam kontestasi dapat dicapai kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan dalam kontestasi pemilu sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil."
Karena itulah, kata Enny, KPU dan Bawaslu beserta jajarannya termasuk peserta pemilu harus bersikap jujur.
Dengan demikian setiap pemilih dan peserta pemilu mendapatkan jaminan perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun sesuai Pasal 22E ayat 1 UUD 1945.
Enny juga menekankan soal etika yang disebutnya terjadi krisis multidimensi.
Baginya MK dalam memutus perkara sengketa hasil pemilu tidak bisa parsial dan berdasarkan angka-angka semata.
Akan tetapi ke depan berfokus pada memeriksa berbagai persoalan yang dapat memengaruhi hasil pemilu apabila penyelenggara pemilu tidak menjalankan tugas fungsinya secara optimal, independen dalam mencegah dan meminimalisir terjadinya kesalahan dan pelanggaran seluruh tahapan pemilu.
Terkait dugaan ketidaknetralan pejabat kepala daerah dan mobilisasi pembagian bansos, Enny membeberkan kasusnya satu per satu di sejumlah wilayah.
Di antaranya Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara.
Hanya saja, Bawaslu disebut Enny tidak bersungguh-sungguh untuk menindaklanjuti laporan tersebut.
Bawaslu, sambungnya, kerap menyatakan laporan itu tidak memenuhi unsur syarat materil dan formil.
Khusus mengenai bansos, dia juga menyebut bahwa meskipun secara normatif presiden dan wakil presiden memilik hak untuk terlibat dalam kampanye dan tidak ada ketentuan larangan bagi presiden memberikan bansos.
Namun dengan adanya pemberian bansos menjelang pemilu dan di masa kampanye "hal tersebut tentu berdampak pada para peserta pemilu karena adanya ketidaksetaraan."
"Pada titik inilah etika memainkan peran penting, agar tidak memanfaatkan celah kekosongan aturan hukum. Sebab dampak dukungan yang ditampilkan oleh pemberi bansos yang berkaitan erat dengan salah satu peserta pemilihan akan menyebabkan ketidaksetaraan peserta dalam kontestasi perebutan suara rakyat."
"Padahal salah satu bentuk perwujudan prinsip adil dalam pemilu adalah adanya upaya agar para peserta pemilu berada pada posisi yang setara."
Oleh karenanya, sekalipun tidak ada larangan pemberian bansos dengan menggunakan dana operasional presiden (DOP) tetapi sejalan dengan etika kehidupan berbangsa, penting untuk dilaksanakan secara bijaksana, ucap Enny.
MK menolak dalil pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang menuding Bawaslu tidak menindaklanjuti dugaan kecurangan pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Hal ini disampaikan hakim MK, Enny Nurbainingsih, saat membacakan pertimbangan putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan Anies-Muhaimin, Senin (22/4).
"Dalil pemohon mengenai Bawaslu tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemilu yang dllakukan pasangan calon nomor urut 02 dengan alasan kurang bukti materil adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Enny.
"Mahkamah tidak menemukan bukti yang cukup meyakinkan bahwa Bawaslu tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan pasangan calon nomor urut 2," lanjut Enny.
MK menyatakan tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa Presiden Joko Widodo mengintervensi perubahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
Hal ini disampaikan hakim konstitusi, Arief Hidayat, dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4).
“Tidak ada bukti yang meyakinkan Mahkamah telah terjadi intervensi presiden karena perubahan syarat pasangan calon tahun 2024,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat.
Menurut Arief, Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) Nomor 2 Tahun 2023 memang menyatakan bahwa Ketua MK terdahulu, Anwar Usman, melakukan pelanggaran etik berat akibat Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023.
Namun, hal itu bukan berarti membuktikan bahwa ada cawe-cawe Kepala Negara dalam perubahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
“Tidak serta-merta dapat menjadi bukti yang cukup untuk meyakinkan Mahkamah bahwa telah terjadi tindakan nepotisme yang melahirkan abuse of power presiden dalam perubahan syarat pasangan calon tersebut,” kata Arief.
“Terlebih, kesimpulan Putusan MKMK Nomor 2 Tahun 2023 itu sendiri yang kemudian dikutip dalam Putusan Mahkamah Nomor 141 Tahun 2023 antara lain telah menegaskan MKMK tidak berwenang membatalkan keberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi,” lanjutnya.
MK menyatakan Presiden Jokowi tidak melakukan nepotisme karena menyetujui dan mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
MK menolak dalil kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang menuding Jokowi melanggar ketentuan mengenai nepotisme di Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, serta Undang-Undang Pemilu.
"Mahkamah berpendapat dalil pemohon mengenai pelanggaran atas Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, UU 28/1999, dan Pasal 282 UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum," kata hakim MK Daniel Yusmic Foekh dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
MK beralasan, kubu Anies-Muhaimin tidak menguraikan lebih lanjut dan tidak membuktikan dalilnya sehingga Mahkamah tidak yakin akan kebenaran dalil tersebut.
Apalagi, jabatan wakil presiden yang dipersoalkan adalah jabatan yang diisi melalui pemilihan, bukan jabatan yang ditunjuk atau diangkat secara langsung.
"Jabatan yang terkait dengan larangan nepotisme adalah jabatan yang pengisiamya dilakukan dengan cara ditunjuk/diangkat secara langsung. Artinya, jabatan yang diisi melalui pemilihan umum tidak dapat dikualifikasi sebagal bentuk nepotisme," kata Daniel.
Mahkamah Konstitusi menyebut dalil kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) terkait dengan adanya korelasi bantuan sosial (bansos) dengan perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden "tidak terbukti" sehingga tidak beralasan menurut hukum.
Salah satu hakim konstitusi, Arsul Sani, mengatakan untuk mencermati dalil yang disampaikan pemohon dari Tim AMIN, Mahkamah memanggil empat menteri pada 5 April 2024.
Di antaranya Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudyaan Muhadjir Effendi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkeu Sri Mulyani, dan Mensos Tri Rismaharini.
Namun dari penjelasan para menteri, Mahkamah menemukan bahwa program bansos yang merupakan bagian dari program perlindungan sosial (perlinsos) telah diatur dalam UU APBN tahun anggaran 2024, khusus pasal 8 ayat 2.
Dari total belanja Rp3.325 triliun yang direncanakan dalam APBN, sebanyak Rp496,8 triliun dianggarkan untuk program perlinsos.
Atas data-data yang disampaikan para menteri, Mahkamah menilai perencanaan dan distribusi bansos merupakan tindakan yang sah secara hukum karena memang terdapat peraturan perundang-undangan yang melandasinya.
Meskipun, dengan catatan bahwa sebagian dari peraturan perundang-undangan sebagai turunan undang-undang yang mendasari legalitas bansos notabene adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berposisi sebagai pelaksana undang-undang.
Kemudian merujuk pada notulasi rapat pembahasan dan keterangan menteri yang dipanggil, menunjukkan bahwa program yang dirancang presiden telah mendapatkan persetujuan DPR.
Adapun mengenai "kecurigaan bahwa terdapat intensi/niat lain di luar tujuan penyaluran dana perlinsos", Mahkamah disebutkan "tidak dapat mendapatkan bukti yang meyakinkan kebenaran dalil pemohon tersebut".
Dari sisi pembuktian, kata hakim Arsul Sani, pemohon Tim AMIN mengajukan alat bukti berupa hasil survei dan keterangan ahli.
Hanya saja, paparan hasil survei oleh ahli, tidak memunculkan keyakinan bagi Mahkamah akan korelasi positif antara bansos dengan pilihan pemilih secara faktual.
Berpijak dari hal demikian, "terhadap dalil pemohon menurut Mahkamah tidak terdapat alat bukti yang secara empiris menunjukkan bahwa bansos nyata-nyata telah mempengaruhi/mengarahkan secara paksa pemilih".
MK menolak dalil-dalil pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang menuding sejumlah menteri dan pejabat negara lain terlibat dalam upaya memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Hakim MK Arsul Sani menyatakan, dalil tersebut tidak beralasan karena tidak disertai oleh bukti yang mencukupi.
Arsul menuturkan, kubu Anies-Muhaimin hanya mengajukan bukti berupa berita dan video yang bersumber dari media online, tanpa diikuti oleh dukungan saksi maupun ahli yang menguatkan dalil tersebut.
MK pun menilai, substansi pemberitaan itu juga tidak menunjukkan secara spesifik, bagaimana, kapan, di mana, dan kepada siapakah ketidaknetralan yang dilakukan oleh para menteri dan pejabat negara.
Selain itu, MK juga memandang ketiadaan bukti berupa laporan dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu juga menunjukkan kubu Anies-Muhaimin telah melepaskan haknya untuk melaporkan dugaan pelanggaran pemilu sesuai dengan tahapan.
"Terlebih lagi, bukti yang diajukan pemohon berupa pemberitaan online merupakan bukti petunjuk yang mudah untuk diakses, sehingga seharusnya dapat sesegera mungkin untuk diajukan laporan dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu," ujar Arsul.
Terdapat 11 peristiwa yang dianggap kubu Anies-Muhaimin sebagai bentuk dukungan menteri dan pejabat negara kepada Prabowo-Gibran, antara lain, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mendampingi Gibran berkampanye.
Kemudian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan dukungan kepada Prabowo-Gibran melalui media sosial, serta Menteri Agama menyatakan siap memberikan tambahan suara sebanyak 4% untuk Prabowo-Gibran dengan mengerahkan penyuluh agama.
MK menyatakan tidak ada bukti Komisi Pemilihan Umum (KPU) berpihak terhadap calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, lantaran memproses pencalonan putra Presiden Joko Widodo itu walau tak segera mengubah syarat usia capres-cawapres pasca-Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Secara substansi, menurut Mahkamah, perubahan syarat yang diberlakukan KPU telah sesuai dengan putusan MK. Perubahan syarat ini pun diberlakukan kepada seluruh pasangan capres-cawapres.
"Sehingga tidak terbukti adanya dugaan keberpihakan termohon terhadap pihak terkait dalam proses penetapan pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024," kata hakim konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/04).
Sementara itu, ratusan demonstran memadati kawasan di sekitar Patung Arjuna Wijaya, beberapa ratus meter dari Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, menjelang sidang putusan sengketa Pilpres 2024 di MK, Senin (22/04).
Mereka membawa sejumlah atribut seperti spanduk yang menyerukan pembatalan hasil penghitungan suara Pilpres 2024.
Putusan MK yang menolak seluruhnya permohonan dari capres-cawapres nomor urut 01 Anies-Muhaimin diwarnai dengan orasi kekecewaan di luar gedung MK.
Seorang pendukung Anies-Muhaimin, Yulia Bhayangkari, menyatakan “sangat kecewa dan melukai hati kami” atas putusan MK.
“Sampai kapan pun, kami tidak akan terima pemilu hasil kecurangan,” kata perempuan dari Bandung, Jawa Barat yang ikut menjadi bagian massa aksi.
Pendemo lainnya, Didin Karyadi Galib dari Komunitas Pembela Negara, mengaku kecewa atas putusan MK. Menurutnya, putusan ini bisa menurunkan citra lembaga tersebut.
Salah satu pendemo, Nani, 45 tahun, awalnya berharap MK mendiskualifikasi pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
"Tuntutannya diskualifikasi [pasangan capres-cawapres nomor urut] 02 dan pemilu pilpres diulang," kata Nani.
Nani dan ratusan orang dari pendukung capres-cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, menuding Presiden Jokowi mengintervensi proses pilpres melalui bantuan sosial serta putusan MK yang meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wapres.
Dari pemantauan di luar gedung MK, ratusan massa masih bertahan setelah putusan MK. Sebagian besar menyimak seruan orasi yang disampaikan secara bergantian.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menilai putusan MK "seolah-olah menoleransi pelanggaran serius soal politisasi bansos dengan alasan tidak cukup bukti, dan tidak ada bukti yang mendalam."
"Untuk meyakini terjadi pelanggaran bansos itu, padahal memang kondisinya proses pemeriksaan di MK kan waktunya terbatas. Makanya unsur alat bukti petunjuk dan keyakinan hakim menjadi sangat penting sebetulnya," kata Fadli.
Politisasi bansos ini, kata Fadli, tergambarkan dari tiga hakim yang menyuarakan dissenting opinion atau berbeda pendapat yang di antaranya menyatakan politisasi bansos berpengaruh terhadap perolehan suara.
"Dan lagi pula MK tidak punya pakem juga sebetulnya pelanggaran pemilu yang berdampak pada perolehan hasil yang bisa dikabulkan itu semestinya seperti apa dalam putusan ini," ujarnya.
Selain itu, Fadli juga mengatakan MK telah mengabaikan soal pelanggaran asas saat KPU menentapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di tengah aturan yang belum diubah mengenai batas usia.
Di sisi lain, peneliti pemilu senior, Titi Anggraini, menilai perbedaan pendapat tiga hakim MK merupakan pertama kali dalam sejarah perselisihan hasil pemilu dan pilkada di Indonesia.
Dan, hal ini telah menimbulkan legitimasi hasil pilpres 2024 "menjadi tidak kokoh dan solid."
"Karena pandangan tiga hakim yang dissenting opinion itu akan selalu digunakan sebagai rujukan bahwa ada persoalan pemilu oleh sejumlah pihak yang tidak mendapatkan penylesaikan secara baik," kata Titi.
Selain itu, Titi juga memandang MK masih pragmatis dalam membuat keputusan. Dalam permohonan terkait dengan netralitas presiden, politisasi bansos dan keterlibatan pejabat negara dalam proses elektroal, MK ia sebut "selalu bersandar pada aturan main yang berlaku. Tidak ada kesempatan untuk menggali bukti itu."
Di sisi lain, kata Titi, proses penyelesaian perselisihan hasil pilpres ini merefleksikan kondisi hukum baru. Misalnya, membanjirnya amicus curiae (sahabat pengadilan) yang menandakan pemilu menjadi kepedulian dan perhatian banyak bikan hanya ketika pemungutan suara.
Lainnya, MK juga mengundang dan memberi kesempatan kepada empat menteri dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang sengketa pilpres.
"Lalu memberi kesempatan menyampaikan kesimpulan, dan proses sidang yang lebih displin dan tertib, tidak sampai malam sehingga lebih manusiawi bagi para pihak yang terlibat dalam sidang," kata Titi. (*)
Tags : Politik, Pilpres 2024, Hukum, Indonesia,