MINUMAN herbal yang berasal dari istana-istana kerajaan di Jawa lebih dari 1.300 tahun yang lalu diberi sentuhan baru oleh anak muda Indonesia.
"Nasib jamu Indonesia dari digendong yang bertahan jadi warisan budaya."
Tapi bagaimana anak muda untuk melestarikannya?
Di jalan-jalan di Jawa Tengah, sejumlah perempuan memasukkan botol-botol jamu ke keranjang bambu dengan hati-hati.
Noda-noda kuning membekas di tangan mereka. Pagi itu, mereka baru saja selesai menumbuk kunyit dengan alu dan lesung, bersama tanaman-tanaman akar rimpang lainnya, buah, kayu manis, dan daun-daun untuk menambah cita rasa.
Saat matahari mulai terbit, para penjual jamu gendong menyusuri rute harian mereka dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai motor. Mereka hanya berhenti untuk menyajikan salah satu ramuan tumbuhan mereka kepada pelanggan yang menginginkannya.
Kebanyakan dari mereka membawa sebanyak delapan botol, masing-masing berisi jamu yang diracik untuk memberikan semangat kepada para pelanggan di setiap usia, mulai anak-anak hingga usia lanjut.
Mereka berhati-hati agar tidak menumpahkan setetes pun saat menuangkan minuman berharga itu ke dalam gelas.
Jamu adalah bagian integral dari budaya Indonesia sehingga negara ini telah menominasikannya dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda Unesco.
“Pada dasarnya, jamu adalah obat herbal. Lebih dari itu, jamu merupakan cerminan bagaimana suatu budaya menjaga kesejahteraan selama ribuan generasi,” ujar Metta Murdaya, penulis Jamu Lifestyle: Indonesian Herbal Wellness Tradition seperti dirilis BBC News Indonesia.
Minuman ini memiliki sejarah yang kaya dan kuno, berasal dari masa Kerajaan Mataram (abad ke-8 hingga ke-10) lebih dari 1.300 tahun yang lalu.
Jamu pertama kali diminum di istana, kemudian diperkenalkan ke desa oleh para tabib. Kemudian, resepnya diturunkan dari mulut ke mulut melalui keluarga.
Menurut antropolog Patrick Vanhoebrouck, yang telah tinggal di Jawa selama lebih dari 20 tahun, referensi ekstrak herbal tersebut dapat ditemukan di relief candi Borobudur di Jawa.
“Penelitian arkeologi pada candi-candi abad ke-9 di Jawa Tengah menunjukkan jamu dan resep obat herbal sudah ada untuk menjaga kesehatan,” katanya.
Alu dan lesung, alat pembuat jamu, juga pernah ditemukan dalam penggalian arkeologi dan berasal dari zaman Kerajaan Mataram.
Sementara itu, resep pertama ditemukan dalam catatan di istana kerajaan, generasi keempat pembuat jamu Vanessa Kalani mengatakan jamu bahkan bisa jadi sudah ada lebih awal dari itu.
“Saya percaya bahwa sudah ada di masa ketika manusia hidup di alam dan mengambil apapun yang mereka butuhkan dari hutan untuk menyembuhkan, entah itu daun atau bunga tertentu,” katanya.
"Ini adalah obat suku asli."
Sama halnya, orang Malaysia juga memiliki ramuan atau ramu, tradisi bahan-bahan herbal, obat-obatan dan kecantikan yang menggabungkan tradisi penyembuhan penduduk asli.
Meskipun kunyit asam dan beras kencur adalah dua jamu yang paling terkenal, setiap pulau di Indonesia memiliki versi minumannya sendiri berdasarkan tumbuhan dan rempah-rempah yang endemik di lanskapnya.
Ketika ke Jawa Tengah, Anda akan menemukan minuman kunyit dan asam yang manis; orang Bali menyukai loloh cemcem yang terbuat dari daun cemcem; sedangkan di kepulauan Maluku ada kopi rempah, dibuat dari kopi dan rempah-rempah seperti pala, cengkih, dan kayu manis.
Setiap keluarga mungkin juga memiliki versi minumannya sendiri, yang bisa terasa pahit karena sayuran yang berbentuk umbi akar di dalamnya.
Sebuah survei tahun 2012 oleh Kementerian Kesehatan Indonesia mencatat ada 15.773 resep jamu yang berbeda di nusantara.
Setiap jamu dipercaya memiliki khasiat yang berbeda-beda, baik untuk meredakan nyeri haid maupun menurunkan tekanan darah.
Sementara banyak ramuan yang konon memiliki manfaat kesehatannya sendiri – dari kunyit untuk memperlancar pencernaan atau lengkuas untuk mengurangi nyeri otot – jamu dipandang lebih sebagai tindakan pencegahan daripada pengobatan.
Minuman ini dipandang secara holistik, karena dapat mengobati tubuh, pikiran, dan jiwa.
“Banyak orang Jawa yang sadar bahwa kesehatan fisik diyakini dipengaruhi oleh tingkat energi emosional, mental, dan metafisik dengan keseimbangan yang harmonis,” kata Vanhoebrouck.
Sebuah laporan yang diterbitkan pada 2015 menyatakan 49,5% pembuat jamu sudah berusia 60 tahun dan hanya sepertiga dari mereka yang memiliki penerus. Sejak saat itu muncul kekhawatiran jika tradisi tersebut akan hilang.
Namun, generasi baru para pengrajin dan pengusaha sekarang merangkul minuman kuno ini dan memberikan sentuhan mereka sendiri.
Jony Yuwono, pemilik Acaraki , sebuah kafe jamu di Jakarta, melihat betapa populernya kedai kopi di ibu kota dan terinspirasi untuk menghidupkan kembali minuman pahit lainnya.
Dia sekarang menyajikan jamu di lingkungan bergaya barista.
Di kafe itu, Anda bisa menemukan para Gen Z Jakarta sedang memesan kunyit asam bersama latte dari acaraki (sebutan untuk ahli campuran herbal di masa kerajaan Majapahit).
Alih-alih menggunakan alu dan lesung seperti para penjaja jamu gendong, acakari menyiapkan setiap minuman sesuai pesanan dengan bantuan penggiling kopi elektrik, French press, atau pembuat kopi V60.
Yuwono yakin minuman tersebut masih memiliki nilai jual hingga saat ini.
“Orang-orang boleh bilang jamu sudah kuno atau pahit, tapi itu tugas kita untuk mengemasnya kembali. Bubble tea pada dasarnya adalah teh yang sudah berumur ribuan tahun,” ujarnya.
Menurut Yuwono, yang merupakan bagian dari tim peneliti nominasi Unesco, seorang acaraki akan bermeditasi, puasa, dan sering berdoa untuk mengumpulkan energi positif yang dibutuhkan untuk penyembuhan.
Sementara Nova Dewi, pendiri Suwe Ora Jamu, telah memberikan sentuhan modern pada kafe jamu yang dipenuhi sofa di Jakarta, dia tidak melupakan akar dari minuman tersebut.
“Nenek saya selalu bilang kalau saya mau membantunya membuat jamu, saya harus fokus. Katanya niatnya harus benar,” kata Dewi.
Niat positif sama pentingnya dengan ramuannya, tutur Murdaya.
“Niat positif merupakan bagian integral dari jamu karena resep telah diwariskan dari penyembuh kepada masyarakat dan orang tua kepada anak-anak. Sama seperti ketika Anda mengatakan itu sup ayam buatan ibu: mengapa itu lebih baik daripada makanan dari luar? Karena orang yang membuatnya untukmu," katanya.
Ingatan pertama Kalani tentang jamu adalah ketika mengunjungi pabrik nenek buyutnya, Nyonya Meneer, yang didirikan pada 1919.
"Hal pertama yang saya ingat adalah aromanya - itu mengaktifkan semua indra saya, dari satu ruangan di mana para perempuan akan memotong kayu putih di lantai, ke ruangan lain di mana mereka akan memilah bumbu dan rempah-rempah," katanya.
Saat pabrik yang menjual bubuk jamu tutup lima tahun lalu, Kalani memutuskan untuk mengikuti jejak nenek buyutnya dengan meluncurkan merek Jamu Bar secara online.
Beberapa mantan karyawan nenek buyutnya, yang sekarang berusia delapan-puluhan tahun, bergabung dengannya sebagai konsultan.
"Saya merasa terdorong untuk melanjutkan apa yang dia mulai," kata Kalani.
"Saya masih memiliki jurnal dan resep-resepnya. Ini adalah warisan indah yang dia tinggalkan untuk kami – yakni pengetahuannya, kecintaannya pada herbal, dan hasratnya untuk membantu orang menjadi lebih baik."
Kalani mengaku hanya mengambil inspirasi dari resep nenek buyutnya, mengubahnya untuk selera masa kini dengan membuatnya lebih manis.
“Saat itu, jamu sangat pahit, jadi saya membuatnya lebih sesuai dengan selera modern,” katanya.
Kalani bukan satu-satunya orang yang mengubah jamu untuk audiens baru, karena jamu juga telah memasuki kancah koktail lokal.
Di restoran Kaum, yang terletak di dalam klub pantai trendi Bali, Potato Head, kepala bartender Bina Nuraga memberikan cita rasa Indonesia kepada tamu internasional dengan memadukan jamu kunyit dengan rum yang mengandung pandan.
"Karena jamunya terdiri dari kunyit, jahe, dan daun pandan, ini menambahkan sentuhan pedas pada koktail, serta aroma earthy note yang enak dan juga pahit," kata Nuraga.
Sementara itu, koki Amerika Will Goldfarb dalam acara Netflix Chef's Table menunjukkan di restoran Room4Dessert Ubud miliknya bagaimana jamu juga bisa menjadi makanan penutup.
Menggambarkan ramuan itu "abadi", koki yang minum jamu setiap pagi itu, segera tahu bahan apa yang akan ditambahkan ke "Incidente Stradale", ramuan unik tiramisu tradisional.
“Piringnya diolesi sedikit konsentrat jamu, biar tidak terlalu membosankan,” kata Goldfarb.
"Baru-baru ini kami juga menggunakan jamu untuk bomboloni [donat Italia] kami. Ini markisa dengan lapisan kulit yang renyah yang terbuat dari jamu."
Namun, para pengusaha muda bertekad membawa jamu lebih jauh.
Seorang generasi ketiga Maluku baru-baru ini meluncurkan Good Jamu di Belanda.
Anna Uspessij, yang menghabiskan tujuh tahun di Indonesia mempelajari warisannya, pulang ke Belanda saat pandemi.
Setelah membuat jamu di Bali, ia ingin melanjutkannya sebagai bagian dari ritual hariannya.
Ketika Uspessij hanya bisa menemukan bubuk jamu dijual di Belanda, dia mulai membuat jamu kunyit dan jahe segar untuk keluarga dan teman-temannya.
Kabar ini menyebar dan dia sekarang menjual merek Good Jamu miliknya secara online dan di toko bahan makanan organik di seluruh negeri.
Minuman berwarna oranye ini dapat membingungkan pembeli Belanda, katanya: "Mereka berkata, 'Saya pikir ini manis', tetapi mereka masih menilai rasanya sangat enak."
Pengusaha muda ini, yang sekarang berencana untuk membawa merek tersebut ke Jerman, mengatakan dia tidak mengubah bahan-bahan untuk disesuakan dengan selera Barat: "Ini warisan budaya dan saya tidak ingin mengurangi apapun". (*)
Tags : nasib jamu indonesia, warisan budaya, jamu gendong yang masih bertahan, anak muda punya cara melestarikan warisan budaya,