SULAWESI TENGGARA - Kasus korupsi tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, yang menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat negara menunjukkan masih terbukanya "celah kongkalikong" di tengah tata kelola industri nikel yang "carut marut", kata sejumlah pegiat lingkungan dan antikorupsi.
Dalam perkembangan penyidikan pada Rabu 9 Agustus 2023 lalu, Kejaksaan Agung menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, sebagai tersangka.
Ridwan disebut membuat keputusan yang berkontribusi memuluskan praktik pertambangan ilegal di lahan konsensi milik PT Antam Tbk. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp5,7 triliun.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, meminta pemerintah mengevaluasi seluruh izin dan praktik pertambangan nikel di Indonesia.
"Kasus ini hanya semacam puncak gunung es yang sudah lama terjadi, tapi tidak pernah ada penegakan hukum yang tegas," kata Melky.
"Semestinya apa yang terjadi di Mandiodo ini jadi pintu masuk untuk mengusut praktik korupsi serupa di nikel," sambungnya.
Menanggapi penetapan tersangka itu, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi, menyatakan “prihatin” dan "menghormati proses hukum yang berjalan".
"Ini jadi bagian penting bagi kami untuk meningkatkan pelayanan dalam perizinan, perbaikan sistem, dan pelayanan khususnya di Ditjen Minerba," kata Agung.
Di tengah tingginya permintaan global terhadap nikel, Indonesia berambisi menjadi produsen baterai terbesar di dunia. Pertumbuhan industri nikel terus digenjot, dan yang paling masif terlihat di Sulawesi.
Pada 2021 misalnya, pemerintah menerbitkan 293 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Sulawesi.
Namun peneliti Trend Asia, Zakki Amali, menilai ambisi itu tak diimbangi dengan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.
Akibatnya, praktik penambangan nikel ilegal muncul "dengan leluasa" dan justru merusak lingkungan.
Bagaimana kronologi dan modusnya?
Kasus ini bermula ketika PT Aneka Tambang Tbk, selaku pemegang konsesi seluas 16.900 hektare di Blok Mandiodo, menandatangani kerja sama operasi (KSO) dengan PT Lawu Agung Mining dan Perusahaan Daerah Sulawesi Tenggara untuk menambang tujuh juta ton cadangan nikel pada 2021.
PT Lawu Agung Mining kemudian mengontrak 38 perusahaan untuk menggarap lahan PT Antam.
Berdasarkan dokumen rencana kerja anggaran biaya (RKAB), lahan yang boleh dikelola semestinya hanya 22 hektare. RKAB merupakan dokumen yang menjadi landasan hukum untuk mengeksploitasi berdasarkan kuota yang ditetapkan.
Kuota yang diberikan kecil karena ribuan hektare lahan lainnya merupakan kawasan hutan, sehingga memerlukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk menggarapnya.
Tetapi, perusahaan-perusahaan itu justru menggarap hingga 157 hektare lahan, termasuk kawasan hutan.
Masifnya penambangan di area konsensi Antam di Blok Mandiodo juga terlihat melalui citra satelit yang terekam di Google Earth.
Kawasan perbukitan yang dulunya hijau, berubah menjadi gundul akibat aktivitas pertambangan dalam beberapa tahun terakhir.
Namun hasil pertambangan di kawasan hutan itu, ternyata juga dijual secara ilegal ke smelter-smelter di Morosi dan Morowali.
Padahal berdasarkan perjanjian KSO, ore nikel hasil pertambangan semestinya diserahkan ke Antam. PT Lawu Agung seharusnya hanya menerima upah sebagai kontraktor.
Dari puluhan perusahaan kontraktor yang dikoordinasikan oleh PT Lawu Agung, hanya tiga perusahaan yang menyerahkan hasil tambangnya ke Antam.
PT Lawu Agung disebut menggunakan modus "dokumen terbang". Artinya, hasil tambang dijual seolah berasal dari perusahaan lain, bukan dari Antam.
Menurut Kejaksaan Agung, PT Lawu Agung ternyata memanfaatkan dokumen RKAB dari sejumlah perusahaan, salah satunya PT Kabaena Kromit Pratama, untuk membuat penjualan nikel itu terkesan legal.
Hasil pertambangan yang semestinya menjadi pemasukan negara itu, akhirnya dinikmati oleh pihak-pihak dari PT Lawu Agung, PT Kabaena Kromit Pratama, dan lain-lain.
Bagaimana keterlibatan para pejabat pemerintah?
Kejaksaan Agung sejauh ini telah menetapkan 10 orang tersangka yang berasal dari PT Antam, PT Lawu Agung Mining, PT Kabaena Kromit Pratama dan Kementerian ESDM.
Dari 10 tersangka itu, empat di antaranya merupakan pejabat Kementerian ESDM yakni eks Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin, Sub Koordinator RKAB berinisial HJ, Kepala Geologi Kementerian ESDM berinisial SM, serta EVT selaku evaluator RKAB.
Juru bicara Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan Ridwan berperan memimpin rapat terbatas pda 14 Desember 2021, dan menyederhanakan persyaratan dokumen RKAB untuk perusahaan pertambangan pada 14 Desember 2021.
Lewat penyederhanaan itu, PT Kabaena Komit Pratama berhasil mendapatkan kuota pertambangan orei nikel sebesar 1,5 juta ton pada 2022.
Penerbitan RKAB perusahaan ini diproses oleh tersangka pejabat lainnya tanpa evaluasi dan verifikasi sesuai ketentuan.
Padahal, PT Kabaena tidak memiliki deposit atau cadangan nikel di wilayah tersebut.
"Dan pada kenyataannya, RKAB tersebut dijual oleh PT Kabaena dan beberapa perusahaan lainnya kepada PT Lawu Agung untuk melegalkan pertambangan ore nikel di lahan milik PT Antam," kata Ketut.
Dokumen RKAB inilah yang kemudian juga dimanfaatkan untuk menjual hasil tambang ilegal agar menjadi seolah-olah legal.
Menurut Koordinator Masyarakat Anti-korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, temuan penyidik sejauh ini menunjukkan adanya "persekongkolan" antara para pejabat dengan perusahaan dalam praktik pertambangan ilegal ini.
“Kalau SOP-nya diikuti, perusahaan seperti ini [PT Kabaena] seharusnya tidak bisa mendapatkan RKAB karena deposit tambangnya sudah habis. Jadi ini SOP-nya ditabrak semua, tidak mungkin mereka tidak tahu, sampai terjadi pencurian terus-terusan,” kata Boyamin.
"Betul-betul negara ditipu oleh oknum nakal pengusaha dan penguasa," katanya.
Dia berharap penyidik dapat membongkar praktik ini hingga tuntas.
"Saya tidak cukup puas kalau hanya sampai Ridwan Djamaluddin yang tersangka, karena dia hanya bagian kecil dari banyak oknum yang bermain," kata dia.
Sementara itu, Kejaksaan Agung mengatakan bahwa "proses penyidikan masih terus dikembangkan".
Mengapa praktik tambang ilegal marak?
Lemahnya penegakan hukum, ditambah "bekingan aparat" dan "kongkalikong dengan pejabat" disebut sebagai pemicu utama menjamurnya tambang-tambang ilegal, kata JATAM.
Kementerian ESDM pernah merilis data bahwa terdapat lebih dari 2.700 titik penambangan ilegal di seluruh Indonesia.
Namun JATAM menilai penindakan terhadap titik-titik yang telah terdeteksi itu pun terkesan "sulit dieksekusi".
"Logikanya harusnya itu mudah saja diselesaikan, tapi mengapa penegakan hukumnya seolah berjalan di tempat atau tidak berjalan? Itu karena kuatnya konflik kepentingan antara pelaku penambangnya, aparat pemerintah, dan penegak hukumnya," kata Melky.
Penegakan hukum pun, kata dia, sering kali hanya fokus pada aktor di lapangan. Padahal pihak yang terlibat bisa saja sampai pada level pembuat kebijakan seperti yang terjadi pada kasus di Blok Mandiodo.
Bagaimana dampak lingkungannya?
Temuan JATAM menunjukkan bahwa kehadiran tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo telah berdampak terhadap ruang hidup warga.
Laut di sekitar wilayah operasi tambang telah tercemar hingga berwarna kecoklatan. Akibatnya, nelayan setempat mengeluhkan hasil laut yang minim.
Selain itu, warga disebut kehilangan sumber mata air warga yang terletak di kawasan pertambangan.
"Ada juga yang sumber air bersihnya tercemar sehingga mengganggu kesehatan warga," kata Melky.
Menurutnya, aktivitas tambang di Blok Mandiodo sudah sering diprotes oleh warga, "tapi nyaris tidak pernah direspons baik oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum".
Laporan BBC News Indonesia terkait operasional tambang nikel di Konawe Utara juga menemukan hal serupa.
Belum lagi dampak deforestasi akibat ekspansi pertambangan nikel, termasuk di kawasan hutan secara ilegal.
Analisis dari Auriga Nusantara menemukan bahwa pertambangan nikel menyebabkan hilangnya 24.811 hektare hutan dalam 20 tahun terakhir.
"Dengan dampak lingkungan yang muncul, seharusnya penerapan pidananya juga memperhitungkan kerugian-kerugian yang dialami oleh masyarakat, jadi tidak hanya memperhitungkan kerugian negara yang hilang," tutur Melky.
Sementara itu, Zakki Amali dari Trend Asia menyoroti bagaimana pertumbuhan tambang nikel ternyata berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Mengacu pada laporan kemiskinan BPS pada Maret 2023, hampir semua provinsi tempat berdirinya tambang nikel justru mengalami peningkatan kemiskinan. Ini berbanding terbalik dengan naiknya pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah tersebut.
"Masyarakat di sekitar smelter mungkin bisa buka usaha kos, rental mobil. Tapi yang di pedesaan terancam kehilangan lahan karena ekspansi tambang ilegal. Warga mau melakukan usaha pertanian dan melaut pun susah karena lingkungannya tercemar," kata Zakki.
"Kondisi ini seharusnya menampar pernyataan Presiden Jokowi soal capaian pertumbuhan nikel yang sangat tinggi karena ternyata angka-angka itu tidak mempertimbangkan masyarakat setempat dan dampak lingkungannya," tuturnya. (*)
Tags : negara ditipu, oknum nakal pengusaha dan penguasa tipu negara dari tambang nikel, celah kongkalikong tambang nikel, kejahatan, lingkungan, alam,