Headline Sorotan   2023/04/12 15:7 WIB

Nelayan Natuna Kalah 'Bertempur' dengan Nelayan Asing yang Masuk Wilayah ZEE, 'karena Doyan Bersikap Suka Hati dan Brutal Ditengah Laut'

 Nelayan Natuna Kalah 'Bertempur' dengan Nelayan Asing yang Masuk Wilayah ZEE, 'karena Doyan Bersikap Suka Hati dan Brutal Ditengah Laut'
Kapal ikan asing berbendera Vietnam ditangkap di Laut Natuna Utara.

"Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selalu diserobot nelayan asing mencuri ikan membuat nelayan Natuna bagaikan terusir dan terasing di laut sendiri"

onflik di Natuna saat ini masih belum benar-benar clear. Kunjungan Presiden ke Natuna baru menimbulkan rasa gentar dengan bukti mulai menyingkirnya kapal Cina dari Natuna. Tapi ini belum dapat dikatakan selesai.

Nelayan Pantai Utara (Pantura) baru dipersiapkan oleh pemerintah ke Natuna. Hal ini masih membutuhkan kordinasi lebih lanjut.

Dalam kondisi seperti ini, Menko Maritim dan Investasi menyatakan bahwa ZEE bisa dimanfaatkan oleh China dan Indonesia dinilai suatu langkah yang terburu-buru, seharusnya menunggu sampai semua langkah komperhensif muncul.

Lihatlah seperti penuturan para nelayan Natuna yang masih ketakutan untuk mengabl ikan diperairan laut sendiri, menunjukkan alangkah mirisnya nelayan dalam negeri yang tak sesuai dengan lagu koplo Koesplus: 'Bukan lautan hanya kolam susu'.

Muhammad Budiman, salah satu nelayan di Kabupaten Natuna menceritakan pengalamannya tentang nasibnya pernah mencari ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) bagaikan terusir dan terasing di laut sendiri.

Pasalnya, kata dia, puluhan kapal asing banyak memasuki wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara untuk mencuri ikan.

"Nelayan asing selalu masuk wilayah ZEE menabrak dan bersikap brutal."

"Kita selalu dikejar, diusir, dan bahkan ada yang ditabrak kapal asing. Kita (laju) gas habis-habisan karena jarak kapal yang mengejar kita itu kurang dari 40 sampai 50 meter," kata Muhammad Budiman menceritakan, di Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Januari lalu.

Para Nelayan Natuna menyebutkan patroli keamanan yang jarang dituding menjadi penyebabnya.

Akan tetapi, aparat keamanan Indonesia menyatakan patroli dilakukan sepanjang tahun di perairan Natuna.

Muhammad Budiman mengaku pernah berhadapan langsung dengan kapal-kapal nelayan asing.

"Malam itu, 18 Desember 2019, sekitar pukul 10 malam, bersama tujuh awak buah kapalnya (ABK) saya semua pada ketakutan dan gemetar," kata Muhammad Budiman.

Keringat mengalir deras dari kulit mereka walaupun udara dingin dan angin laut bertiup kencang.

Budiman yang bertanggung jawab sebagai nakhoda kapal ikan berteriak, "Matikan genset! Semua lampu juga matikan!"

Saat cahaya bulan redup karena tertutup awan, yang terdengar hanya suara mesin kapal yang melaju cepat dan deru ombak yang dihantam kapal.

Budiman, yang biasa disapa Budi, memacu kecepatan maksimal kapal ikan berkekuatan 29 gross tonnage (GT) yang berasal dari Tanjung Balai Karimun itu tanpa arah.

Dalam pikirannya, ia harus kabur secepat mungkin dan bersembunyi di balik gelapnya malam.

Ia pun menghubungi teman-teman nelayan lain lewat radio agar siap sedia membantu jika kejadian buruk terjadi.

Kapal yang dinakhodai Budi saat itu dikejar-kejar oleh dua pasang kapal nelayan asing di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Selain itu, kata Budi, masih terdapat banyak lampu jauh kapal asing lain yang sedang mencuri ikan di saat bersamaan.

"Saat itu takut sekali. Keringat semua badan, gemetar lagi. Intinya yang penting nyawa selamat," kata warga asli Pulau Tiga Barat itu.

"Haluan pun kita sudah tidak tahu lagi. Yang penting menengok ke belakang, dia putar haluan, kita putar haluan ke arah lainnya," katanya.

Dua jam berlalu, katanya, akhirnya cahaya lampu suar kapal asing itu menghilang. Namun, jantungnya masih berdetak kencang dan ia terus waspada melihat sekitar untuk memastikan kondisi telah aman.

Proses penangkapan satu dari enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/2021) oleh kapal pengawas KP Hiu Macan 01. Foto : Ditjen PSDKP KKP

"Awalnya, kita berlayar melewati mereka. Setelah mereka menarik pukat, lalu mengejar kita, entah mau menabrak atau menakut-nakuti kita, kita pun tidak tahu. Kita semua pun pada takut tidak sempat merekam dan apa," ujarnya.

Budi mengeluhkan saat itu tidak ada patroli aparat keamanan Indonesia. Ia dan teman-teman nelayan lain pun telah mengontak aparat keamanan untuk mengeluhkan banyaknya nelayan asing yang mencuri ikan di ZEE.

"Dua hari tidak ada tanggapan. Hari ketiga pas kita hubungi Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) baru ada keluar patroli KRI (kapal perang Republik Indonesia). Kita di laut juga sebagai benteng bagi pemerintah. Ibarat kita kasih tahu ya disikapi dengan cepat lah, biar tidak menunggu-nunggu" ujarnya.

Setelah kondisi aman dan tidak lagi dikejar, Budi dan para ABK melanjutkan memancing ikan menggunakan metode pancing ulur.

'Terusir dan terasing di laut sendiri'

Kejadian itu adalah satu dari banyak pengalaman yang dirasakan Muhammad Budiman dan nelayan Indonesia lain saat mengambil ikan di wilayah laut Indonesia, khususnya perairan Natuna.

Mereka menyebut merasa terusir dan terasing di laut sendiri.

"Banyak kejadian seperti ini yang terjadi, bahkan ada yang hampir tenggelam dan hancur. Saya merasa terasing di daerah sendiri," kata Budi.

Pada hari yang sama setelah kejar-kejaran itu, ternyata ada nelayan Indonesia lain yang juga mengalami nasib miris akibat ulah kapal asing.

Nelayan bernama Asoy yang berasal dari Tanjung Balai Karimun mengeluhkan seluruh tali pancingnya habis ditabrak oleh kapal asing pada hari itu.

"Habis kita punya alat tangkap ditabrak. Kita tidak bisa buat apa-apa sama mereka. Mereka itu brutal. Kalau kita kode mereka (agar menjauh) malah kita ditakut-takutin," kata Asoy yang sudah menjadi nelayan lebih dari 13 tahun.

Mengutip seperti disebutkan Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) meminta ZEE Indonesia tidak dimanfaatkan nelayan asing.

"ZEE itu adalah hak berdaulat Indonesia yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, dan saat ini nelayan bisa memanfaatkan," kata Ketua Umum ANNI, Riyono.

“UNCLOS 1982 Pasal 56 ayat 1 huruf A memandatkan kepada kita. Jangan diberikan nelayan asing dong,” kata Riyono lagi.

Konflik di Natuna saat ini masih belum benar-benar clear. Kunjungan Presiden ke Natuna baru menimbulkan rasa gentar dengan bukti mulai menyingkirnya kapal Cina dari Natuna. Tapi ini belum dapat dikatakan selesai.

Nelayan Pantai Utara (Pantura) baru dipersiapkan oleh pemerintah ke Natuna. Hal ini masih membutuhkan kordinasi lebih lanjut.

Dalam kondisi seperti ini, Menko Maritim dan Investasi menyatakan bahwa ZEE bisa dimanfaatkan oleh China dan Indonesia. Menurut Riyono, ini suatu langkah yang terburu-buru, seharusnya menunggu sampai semua langkah komperhensif muncul.

Riyono mengatakan, tidak ada kerjasama saja nelayan China sudah mengklaim Natuna adalah fishing ground mereka. Apalagi ada kerjasama. Akan semakin parah dan bisa berpotensi masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia. Kalau ini terjadi maka bisa mengancam kedaulatan NKRI

“Meihat pengalaman dan urgensinya, maka ANNI meminta pemerintah fokus dulu ke penanganan Natuna secara keamanan dan penguasaan wilayah ZEE dengan aktivitas ekonomi para nelayan,” ujarnya.

​Nelayan Natuna melaut di perairan Kepulauan Riau masih terjepit. Seperti disebutkan Asoy juga bercerita pernah ditabrak, dilempar dengan botol berisi kotoran, dan disemprot air kotoran busuk ikan oleh kapal asing.

Nelayan lain, Muhammad Daud dan Zaliwardi, juga mengeluhkan maraknya pencurian ikan oleh kapal asing di Laut Natuna Utara.

"Tengah bulan lalu banyak sekali (kapal asing), pokoknya puluhan kapal. Kita takut dekat kapal mereka, kapal kita (ukuran) tidak sama," kata Daud yang telah menjadi nelayan sejak 1993.

"Mereka itu merajalela, kita pakai tali, mereka pakai pukat. Disapu habis semua ikannya, mau makan apa kita?"

Lucunya, kata Zaliwardi, nelayan dari Rukun Lubuk Lumbang, nelayan Natuna seperti 'warga ilegal' saat mengambil ikan di Laut Natuna Utara.

Menurutnya, nelayan Natuna seperti 'sembunyi-sembunyi' saat mengambil ikan guna menghindari pertemuan dengan kapal asing karena takut diganggu.

Sedangkan kapal asing secara terbuka mengambil ikan tanpa takut, keluh Zaliwardi.

"Memang sedih, pencarian kita di situ malah kita diusir. Mau bentrok kita tidak mampu, kawan-kawan pun lari juga. Tidak ada yang mampu kalau diusir, dia lebih besar dari kita, 60 GT ke atas," kata Zaliwardi.

Keberadaan kapal asing itu, kata Zaliwardi, sangat merugikan hasil tangkapan ikan karena mereka menggunakan pukat yang merusak terumbu karang dan mengambil ikan secara masif.

Patroli keamanan Indonesia 'minim'

Para nelayan seperti Muhammad Budiman yang mengungkapkan keterusiran dan keterasingan tersebut muncul akibat dari kurangnya perlindungan dari aparat keamanan laut Indonesia terhadap nelayan di Laut Natuna Utara.

"Kita tidak pernah jumpa patroli saat ada kapal asing (kejadian Desember lalu itu). Itu pun dia (aparat keamanan) minta berita sama kita. Ada kapal tidak di laut, baru mereka turun," kata Zaliwardi yang menggunakan kapal 5 GT melaut hingga 100 mil.

Muhammad Budiman, nelayan Natuna

Bahkan, Daud cukup heran karena beberapa waktu lalu saat kapal keamanan Indonesia mau patroli, kapal asing telah mengetahui dan cepat kabur.

"Saya mengeluh, kapal kita ini tidak ada sering patroli. Kapal perang kita itu tidak ada sering patroli di situ," kata Budi.

Akhir tahun lalu, para nelayan tersebut malah mengatakan bertemu seminggu bahkan hanya sebulan sekali dengan patroli keamanan Indonesia.

Namun, setelah berita kapal nelayan China masuk ke ZEE Indonesia untuk mengambil ikan viral, pengerahan kekuatan keamanan menjadi besar.

Hasilnya, mereka bisa bertemu dengan kapal keamanan Indonesia setiap hari hingga saat ini dan kapal asing pencuri ikan pun telah menghilang.

Untuk itu, mereka berharap agar keamanan perairan Natuna Utara dapat terus dijaga setiap saat, dan terus ditingkatkan.

"Harapan kita, supaya laut aman, bukan untuk saya, bukan untuk generasi sekarang, tapi ke depan, anak cucu kita karena ikan itu kan kita punya harta," kata Asoy.

Pengamat sosial ekonomi maritim dari Universitas Maritim Raja Ali Haji di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Khodijah Ismail, mengatakan pelanggaran tersebut karena rendahnya pengawasan dari aparat keamanan Indonesia.

"Akibatnya bukan hanya menimbulkan ancaman sosial ekonomi tapi juga ancaman nyawa. Ketika mereka melaut, armada mereka kecil, armada asing besar. Mereka takut," kata Khodijah yang melakukan riset terhadap kesejahteraan nelayan tradisional Natuna.

'Konflik tak berujung di laut ZEE'

Ancaman keamanan Negara terus muncul di wilayah perairan Laut Nusantara hingga sekarang ini. Bukan saja disebabkan oleh kapal ikan asing (KIA), namun ancaman juga muncul karena disebabkan aktivitas yang dilakukan oleh kapal ikan Indonesia (KII).

Kapal KM Sinar Samudra dari Pati, Jawa Tengah yang ditangkap Polairud Natuna melanggar batas wilayah tangkap di Perairan Subi Kabupaten Natuna. Foto : PSDKP Natuna

Khusus di Laut Natuna Utara (LNU) yang berbatasan langsung dengan Vietnam, konflik terjadi karena didominasi oleh kegiatan menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) yang dilakukan KIA dari negara tersebut.

Kegiatan tersebut jika terus dibiarkan bisa mengancam kedaulatan Negara yang ada di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia tersebut. Sebelum berganti nama menjadi Laut Natuna Utara pada 2017, perairan ZEEI tersebut dulu bernama Laut Cina Selatan.

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) yang merilis informasi tersebut, mengungkapkan KII yang melakukan kegiatan melanggar hukum itu terjadi di wilayah jalur penangkapan ikan yang ada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711.

Berdasarkan pengamatan Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) yang berjalan sepanjang Maret hingga Juni 2022, IOJI menyebut KII yang beroperasi menggunakan alat penangkapan ikan (API) jenis Jaring Tarik Berkantong (JTB) dari Pati, Jawa Tengah.

Kapal-kapal tersebut diduga melakukan penangkapan ikan di jalur kurang dari 12 mil laut dari Pulau Subi yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Semua kapal yang beroperasi ukurannya rerata di atas 30 gros ton (GT) dengan izin operasional diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

CEO IOJI Mas Achmad Santosa menjelaskan, sebagai kapal yang ukurannya di atas 30 GT dan menggunakan API jenis JTB, mereka dinilai sudah melakukan pelanggaran jika beroperasi dengan cakupan jalur di dalam 12 mil laut.

“Mereka diduga kuat melanggar jalur penangkapan,” sebut dia belum lama ini di Jakarta.

Berdasarkan Pasal 25 (3) huruf c Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18/2021 tentang penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPPNRI) dan laut lepas, serta penataan andon penangkapan ikan, kapal di atas 30 GT dengan JTB juga dilarang beroperasi di atas 30 mil laut.

Oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Laut Natuna Utara dikelompokkan masuk ke dalam WPPNRI 711 yang di dalamnya mencakup juga perairan Laut Natuna dan Selat Karimata. Cakupan luas WPPNRI tersebut berdasarkan data yang dirilis KKP mencapai 66.195.416,22 hektare.

Seluruh KII yang melakukan pelanggaran, khususnya di Laut Natuna Utara bisa dipidana dengan pidana denda paling banyak mencapai Rp250 juta. Hal itu merujuk pada Pasal 7 dan 100 Undang-Undang Perikanan jo. UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Selain denda, merujuk pada Pasal 130 (2) Permen KP Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap, pelanggaran ini juga dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran (pelanggaran pertama), pembekuan izin (pelanggaran kedua), dan pencabutan izin (pelanggaran ketiga).

Tak hanya secara pidana, IOJI merekomendasikan KKP untuk mengeluarkan moratorium terhadap perizinan baru dan perpanjangan izin kapal-kapal dengan API jenis JTB. Cara tersebut diharapkan bisa mencegah munculnya potensi konflik horisontal.

Pada saat yang sama, KKP juga perlu melaksanakan kajian mengenai dampak kapal-kapal JTB, terutama pada (1) kesehatan laut, (2) pola kepemilikan, (3) potensi konflik horisontal. Hasil kajian ini akan berperan sebagai dasar evaluasi kebijakan kapal-kapal jaring tarik berkantong.

Selain itu, instansi-instansi penegak hukum di laut juga perlu untuk bersiaga untuk menyiapkan kapal patroli di perairan Pulau Subi dan sekitarnya, untuk mencegah terjadinya pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh kapal-kapal jaring tarik berkantong.

Selain KII, konflik horisontal juga berpotensi muncul akibat pelanggaran yang dilakukan oleh KIA dari Vietnam. Ancaman itu bisa terjadi, karena KIA berbendera Vietnam jumlahnya banyak dan beroperasi menangkap ikan secara intensif di LNU.

Ada sekitar 60 unit KIA berbendera Vietnam tersebut masuk ke LNU. Jumlah itu melebihi KIA berbendera negara lain yang ada di perairan tersebut.

Paling sering, mereka beroperasi di Laut Natuna Utara ZEE Indonesia non sengketa 1 pada koordinat 106.2 BT hingga 109.1 BT dan 5.3 LU hingga 6.2 LU. Terdeteksi juga, sebanyak delapan KIA Vietnam yang sudah melakukan penangkapan ikan secara ilegal sebelum periode Maret-Juni 2022.

“Mereka beroperasi di ZEE Indonesia non-sengketa atau repeated offenders,” terang Santosa menjelaskan tentang wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara yang berada di sebelah selatan garis batas Landas Kontinen Indonesia-Vietnam.

Deretan kapal nelayan kecil di Pelabuhan nelayan Natuna, Kepulauan Riau

Dari hasil pengamatan Citra Satelit, IOJI mengidentifikasi pola operasi KIA Vietnam di ZEE Indonesia non-sengketa, yaitu dua kapal berlayar ke arah yang sama secara beriringan dengan jarak antar kapal antara radius 300 hingga 400 meter.

Pola ini merupakan ciri khas kapal ikan dengan alat tangkap pair trawl. Tren operasi KIA Vietnam di ZEE Indonesia non sengketa diketahui sudah mulai muncul sejak 2021 hingga sekarang, terutama hasil analisis pada Juni 20222.

Berdasarkan Pasal 56 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki hak berdaulat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati maupun non-hayati di ZEE Indonesia.

Aturan tersebut menegaskan bahwa negara lain tidak dapat ikut menikmati sumber daya tanpa izin Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, Pemerintah berwenang dan memiliki kewajiban utama (primary responsibility) untuk mengambil tindakan yang diperlukan seperti menindak pelanggaran pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI, termasuk penangkapan kapal dan penuntutan pidana.

Tambahan lagi, kapal-kapal dari Vietnam dinilai melakukan pelanggaran, karena API yang digunakan adalah pair trawl. Alat tangkap tersebut bisa menimbulkan kerusakan karang sebagai habitat ikan. API pair trawl sendiri dikategorikan sebagai alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan dilarang penggunaannya di seluruh WPP NRI.

Dengan pelanggaran yang dilakukan seperti di atas, maka KIA berbendera Vietnam bisa dipidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp30 miliar. Semua aturan tersebut dinilai sudah cukup kuat bagi Pemerintah untuk menindak sesuai peraturan yang berlaku.

Selama Maret-Juni 2022, IOJI juga mendeteksi empat kapal patroli pengawas perikanan Vietnam yang berpatroli di sekitar garis batas Landas Kontinen RI-Vietnam, yaitu Kiem Ngu 216 (KN216), Kiem Ngu 220 (KN220), Kiem Ngu 268 (KN268), Kiem Ngu 204 (KN204).

Keempat kapal ini beberapa kali keluar masuk zona non-sengketa sejauh 7 hingga 10 mil laut dari garis batas Landas Kontinen, atau tidak jauh dari pusat intrusi KIA Vietnam di ZEE Indonesia non-sengketa.

Pola operasi ini tidak hanya terjadi sepanjang Maret-Juni 2022 saja, tetapi juga sepanjang tahun 2021. Pada 19 Juni 2022, Kapal KN268 terdeteksi melakukan pengintaian (shadowing) terhadap KRI STS-376 ketika melakukan upaya pelarangan (interdiksi) kepada KIA Vietnam BV5119TS.

Operasi kapal KN268 yang tidak lain adalah Vietnam Fisheries Resources Surveillance (VRFS) dinilai IOJI sebagai tindakan pengawalan (escorting) dan perlindungan terhadap aktivitas penangkapan ikan secara ilegal KIA Vietnam di wilayah ZEE Indonesia non sengketa.

Mas Achmad Santosa memaparkan, berdasarkan pertimbangan hukum dalam South China Sea Tribunal Award (2016), kegiatan illegal fishing KIA Vietnam BV5119TS dianggap sebagai tindakan resmi Pemerintah Vietnam dikarenakan tindakan pengawalan kapal KN268.

“Dengan demikian, Pemerintah Vietnam dinilai telah melanggar kewajiban saling menghormati (due regard obligation) terhadap hak berdaulat Indonesia di ZEE Indonesia,” tegas dia.

Selain di LNU, aktivitas serupa juga terjadi di wilayah perairan laut yang masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Papua Nugini yang berbatasan langsung dengan Laut Arafuru yang menjadi bagian dari WPPNRI 718 bersama Laut Aru dan Laut Timor Bagian Timur.

Aktivitas penangkapan ikan secara ilegal tersebut melibatkan puluhan kapal ikan Indonesia (KII) dengan ukuran kapal di atas 30 GT dan menggunakan API pancing cumi. Mereka semua terdeteksi melakukan illegal fishing di ZEE Papua Nugini.

Intrusi kapal-kapal yang terdaftar di WPPNRI 718 itu terdeteksi oleh IOJI sudah berlangsung sejak Februari 2022. Mereka melakukannya karena ada tren penurunan produksi tangkapan cumi/sotong di wilayah perairan tersebut.

Penurunan tersebut bisa terjadi, karena ada kenaikan permintaan terhadap ekspor produk perikanan cumi dalam beberapa tahun terakhir ini. Fakta tersebut diafirmasi oleh temuan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan data dari Badan Pusat Statistik.

IOJI merinci, sebanyak 21 KII yang beroperasi di ZEE Papua Nugini telah melaksanakan illegal fishing sepanjang Juni dan Juli 2022. Menariknya, kapal-kapal tersebut diketahui milik perusahaan dari Jakarta atau Bali.

Atas semua permasalahan yang dipaparkan di atas, IOJI mengeluarkan sejumlah rekomendasi atas tiga masalah inti di atas, yaitu illegal fishing di Laut Natuna Utara dan Laut Arafuru; jalur penangkapan ikan di perairan pulau Subi, Natuna; dan pelanggaran KII di ZEE Papua Nugini.

Masalah illegal fishing di Laut Natuna Utara dan Laut Arafuru, rekomendasinya adalah:

Pemerintah Indonesia (Kemlu) menyampaikan keberatan kepada pemerintah Vietnam mengenai pelanggaran kewajiban due regard pemerintah Vietnam terhadap Indonesia.
Mempertimbangkan pengajuan gugatan internasional terhadap Pemerintah Vietnam berdasarkan Pasal 94, 192, dan 194 UNCLOS 1982

Sekjen KKP Antam Novambar melihat satu dari lima kapal asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara karena menangkap cumi-cumi tanpa izin dan telah dibawa di dermaga Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (12/4/2021). Foto : KKP

Pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No.13/2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia agar:

  • Mempercepat penerbitan rencana patroli nasional yang memfokuskan di wilayah-wilayah rawan keamanan laut seperti LNU dan Laut Arafura.
  • Mengevaluasi penyelenggaraan penegakan hukum di laut saat ini, terutama terkait pelanggaran illegal fishing, khususnya di LNU dan Laut Arafura, baik itu yang dilakukan oleh KIA dan KII.
  • Melaksanakan siap siaga kapal-kapal patroli termasuk sarana dan prasarana pendukungnya di Laut Natuna Utara.

Untuk masalah penangkapan ikan di perairan pulau Subi, Natuna, rekomendasinya adalah:

  • Menjatuhkan sanksi pidana dan/atau administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh kapal jaring tarik berkantong (JTB);
  • Mengeluarkan moratorium terhadap perizinan baru dan perpanjangan izin kapal-kapal JTB;
  • Melaksanakan siap siaga kapal patroli di perairan pulau Subi dan sekitarnya untuk mencegah terjadinya pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh kapal-kapal JTB;
  • Melaksanakan kajian mengenai dampak kapal-kapal jaring tarik berkantong, terutama pada (1) kesehatan laut, (2) pola kepemilikan, (3) potensi konflik horisontal.
  • Mengevaluasi kebijakan kapal-kapal JTB;

Untuk masalah pelanggaran KII di ZEE Papua Nugini, rekomendasinya adalah:

  • KKP perlu memutakhirkan data stok cumi dan sotong di WPPNRI 718 untuk memastikan pengelolaan sumber daya cumi dan sotong yang berkelanjutan;
  • Pemerintah (Kemlu RI) perlu menyiapkan strategi pendampingan hukum dan pemulangan awak-awak kapal ikan berbendera Indonesia jikalau KII yang melakukan intrusi di ZEE Indonesia ditahan oleh otoritas Papua Nugini.
  • Sedangkan Direktur Operasi Laut Badan Keamanan Laut (Bakamla) Bambang Irawan mengakui masih banyak permasalahan yang ada wilayah perairan laut Indonesia sampai sekarang. Diperlukan ketegasan semua pihak untuk bisa sama-sama memahami bahwa kedaulatan Negara perlu ditegakkan di sana.

“Khusus di Natuna, mari kita selesaikan (setiap persoalan) dengan baik. Keperluan kita adalah menghadirkan simbol negara di Laut Natuna Utara. Semua stakeholder harus dirumuskan di sana,” ungkap dia menyebut bahwa simbol Negara tidak terbatas pada TNI AL, Bakamla, dan PSDKP saja.

Sementara, Dosen Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Widodo juga berpendapat kalau hak berdaulat di laut adalah sesuatu yang harus terus dipertahankan. Hak tersebut tidak bisa dibagi dengan negara lain di sekitarnya.

Hak tersebut sudah ditetapkan dalam UNCLOS 1982 dan kemudian ditegaskan oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dia bahkan bilang kalau ketetapan UNCLOS tersebut sebagai bentuk hadiah yang mewah.

Patroli keamanan di Natuna: Akan tidak terbatas dan sepanjang tahun

Kasus pencurian ikan ilegal oleh kapal asing mencuat ke publik saat Dedek Ardiansyah, nelayan dari Pulau Tiga Barat mengunggah video kapal-kapal asing ke sosial media pada Desember tahun lalu.

Kasus pencurian ikan menjadi viral ketika kapal-kapal ikan China yang dikawal kapal penjaga pantai China terdeteksi melakukan penangkapan ikan dalam jarak 130 mil laut dari Ranai.

Bahkan, mereka menolak untuk diusir dari wilayah ZEE Indonesia.

Presiden Joko Widodo pun turun tangan dengan melakukan kunjungan ke Natuna.

Ia menegaskan tidak ada tawar-menawar dalam kedaulatan Indonesia.

Jokowi kemudian memerintahkan peningkatan patroli di wilayah Natuna. Dampaknya, terjadi peningkatan kekuatan militer di Natuna.

TNI AU mengerahkan empat jet F-16 untuk patroli di Natuna.

Kemudian, TNI AL mengerahkan beberapa kapal perang, diantaranya yaitu KRI Karel Satsuit Tubun, KRI Usman Harun, KRI Jhon Lie, KRI Semarang, KRI Tjiptadi, KRI Teuku Umar, KRI Sutendi Senoputra, dan KRI Ahmad Yani.

Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I), Laksamana Madya TNI Yudo Margono, menegaskan patroli di Laut Natuna Utara akan tetap dilakukan sepanjang tahun, walaupun kapal nelayan dan kapal penjaga pantai China sudah tidak ada lagi di wilayah ZEE Indonesia.

"Patroli tetap. Tidak terbatas. Operasi sepanjang tahun. Sudah (tidak ada kapal China). Sudah 400 mil di luar garis batas ZEE. Sudah sampai di sana. Sudah tak terpantau lagi di AIS," kata Yudo kepada wartawan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Selat Lampa, Kamis (16/01).

Di Natuna, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan pemerintah akan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk masyarakat dan wilayah Natuna.

"Rapat di atas KRI Semarang, memastikan pemerintah akan berusaha mengawal, dan menjamin keselamatan para nelayan disini. Sudah ada instruksi agar aparat seperti TNI AL, Bakamla, Polair, KKP bekerja sungguh-sungguh mengawal laut ini," kata Mahfud.

Senin 30 Desember tahun lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap tiga kapal ikan asing berbendera Vietnam di Laut Natuna dan menahan 36 orang berkewarganegaraan Vietnam.

Dari 2015 hingga 2019, KKP telah menangkat ratusan kapal asing yang mencuri ikan secara ilegal di perairan Indonesia.

KKP juga menangkap kapal nelayan Indonesia yang mengambil ikan dengan cara terlarang.

Kapal asing terbanyak yang ditangkap selama lima tahun terakhir berasal dari Vietnam, sebesar 234 kapal. Sementara itu, kapal nelayan asing China yang ditangkap hanya satu.

Strategi nelayan: pagar laut Nusantara

Tokoh nelayan Pulau Tiga Barat, Hanafi Jamaluddin, mengatakan pengamanan perairan Natuna tidak hanya bisa disandarkan kepada aparat keamanan Indonesia semata.

Perlu ada, kata Hanafi, kerja sama bersinergi antara aparat dengan para nelayan Natuna di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) wilayah laut Natuna.

"Kami selaku nelayan semut, selaku nelayan kecil, siap menjadi pagar laut Nusantara. Natuna adalah pintu jalur laut negara lain yang masuk ke Indonesia," katanya.

Artinya, kata Hanafi, kapal 'semut' nelayan tradisional Natuna berperan sebagai pagar laut di wilayah 20-30 mil.

Lalu kapal nelayan berukuran lebih besar berada di jarak 30 sampai 100 mil. Kemudian kapal lebih 50 GT berada di wilayah 100 sampai 200 mil.

"Jadi berlapis-lapis. Tidak ada celah untuk masuk. Saya rasa kalau ini kita buat, mereka berpikir 1000 kali juga. Betul-betul kita menguasai laut kita, itu harapan kami kedepan. Kapal-kapal kita, Bakalma, TNI AL, KKP, dan lainnya berpatroli untuk menjaga dan mengawasi wilayah dan nelayan," katanya.

Fasilitas yang memadai kepada nelayan Natuna, kata Hanafi, bukan hanya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat namun juga berperan sebagai benteng pertahanan laut Indonesia. 

Bupati Natuna usulkan 'provinsi khusus'

Menyikapi masih bersetegangnya nelayan dalam negeri dengan nelayan asing di wilayah ZEE ini, Bupati Natuna, Abdul Hamid Rizal yang memiliki wilayah perairan laut Natuna, menjelaskan penangkapan ikan illegal oleh kapal asing di Laut Natuna Utara merupakan peringatan kepada pemerintah pusat untuk memperhatikan Natuna dengan khusus.

Ia meminta pemerintah pusat untuk meningkatkan kekuatan pertahanan laut dan udara di Natuna agar siap setiap saat dalam menghadapi segala bentuk pelanggaran pertahanan dan keamanan.

"Saya pernah mengatakan bahwa Natuna ini tidak bisa dilihat sekedip mata, bukan sebelah mata, sekedip mata," kata Hamid didepan media.

"Natuna ini harus dipelototin terus. Kenapa? Kita punya sumber daya alam besar, punya gas, punya minyak. Dan punya sumber daya kelautan yang besar (ikan), Maka Natuna ini harus terus diawasi dan dijaga jadi tidak hanya tertentu-tertentu saja," katanya.

Hamid juga meminta agar kewenangan Kabupaten Natuna diperbesar dengan cara membentuk provinsi khusus Natuna dan Anambas.

"Saya kira daya dukung dari pemda perlu diperbesar, perlu ditingkatkan. Kalau hanya dengan kabupaten saya kira mungkin tidak begitu signifikan. Jadi tidak ada pilihan, daerah ini Natuna dan Anambas ini harus diperhatikan secara khusus yaitu Provinsi Khusus Kepulauan Natuna dan Anambas," kata Hamid.

Menurut Hamid, Natuna memiliki wilayah 99% laut dan hanya satu persen daratan. Sementara, lanjuntya, kewenangan kelautan, kehutanan dan pertambangan dipegang oleh provinsi.

Artinya, kata Hamid, Pemerintah Kabupaten Natuna memiliki kewenangan terbatas.

"Kalau bicara anggaran kami sudah punya dana bagi hasil (DBH) Rp1,4 triliun sampai Rp1,7 triliun dan itu untuk sementara ini bisa mampu untuk mendukung kalau dibentuk provinsi khusus Kepulauan Natuna dan Anambas."

Lanjut Hamid, Natuna juga berencana untuk dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Natuna, Natuna Barat dan Natuna Selatan.

"Yang dua ini sudah disetujui presiden sudah ada amanat presidennya kemarin. Cuma hanya tertunda gara-gara ada protes dari Papua. Itu saja. Jadi mudah-mudahan Papua disetujui, sehingga dalam rangka menjaga NKRI harga mati dapat terwujud."

Komisi I DPR desak penguatan fungsi Bakamla

Komisi I DPR bidang pertahanan melakukan kunjungan ke Natuna.

Pelanggaran keamanan di Laut Natuna Utara, kata anggota Komisi I DPR dari Partai Golkar Dave Laksono, salah satunya disebabkan oleh lemahnya kekuatan Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Untuk itu, Komisi I sepakat untuk memperkuat peran dan fungsi Bakamla dalam undang-undang.

"Sudah masuk prolegnas (RUU Bakamla), dan akan dibahas masa sidang ini atau yang mendatang," katanya.

Bakamla memiliki peran dalam melaksanakan patroli keamanan, penegakkan hukum dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia.

Saat ini dasar hukum Bakamla diatur di tingkat Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut.

Dave mengatakan, UU Bakamla dibutuhkan agar anggaran, proses pengadaan dan perawatan kapal, serta pengawasan dan pengamanan keamanan laut Indonesia yang dilakukan oleh Bakamla menjadi maksimal.

Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di laut Natuna, Kepulauan Riau (Kepri).

"Sekarang Bakamla pinjam senjata dari TNI AL berupa senjata ringan. Ke depan butuh meriam misil atau air, lampu tembak, sound wave, dan peralatan canggih lainnya sendiri untuk mengusir kapal asing yang melakukan tindakan ilegal," katanya.

Senada dengan itu, pengamat keamanan Universitas Padjajaran, Muradi, berharap agar Bakamla dapat menjadi organisasi mandiri dan tidak lagi bergantung kepada TNI AL dalam menjaga keamanan laut.

"Bakamla ditingkatkan, TNI AL ditingkatkan sehingga mereka dapat berperan secara maksimal dan bergilir di level masing-masing, yaitu urusan keamanan dan kedaulatan," kata Muradi.

Muradi berharap pelanggaran keamanan di perairan Natuna oleh kapal nelayan asing mendorong pemerintah Indonesia untuk memperkuat keamanan, pertahanan, dan juga perekonomian wilayah perbatasan Indonesia. (*)

Tags : laut natuna, laut wilayah zona ekonomi eksklusif di natuna, kepri, nelayan natuna, nelayan natuna bertempur dengan nelayan asing, nelayan asing yang brutal ditengah laut,