"Perusahaan pabrik kelapa sawit [PKS] masih didominasi rata-rata dilakoni oleh perusahaan perkebunan sawit skala besar yang kini ada 285 total pabrik beroperasi di Riau"
PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] mendesak Pemprov Riau untuk membuka data 285 pabrik sawit apakah benar memiliki kebun inti yang dipersyaratkan oleh Kementan RI, jika masih 'melenceng' dari ketentuan bisa memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan tersebut.
“Tindakan dilakukan oleh Pj Gubernur Riau patut diapresiasi jika mau membuka data kembali, namun selama ini tindakan dari pemerintah belum terlihat."
"Mestinya, jika pemerintah kembali mengkaji ulang pabrik sawit tanpa kebun inti dari daftar perusahaan bisa dibuka dan jika melenceng dari ketentuan langsung menindaknya,” kata Ir Marganda Simamaora SH M.Si, Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba], Rabu (13/6).
Pemerintah daerah diminta lebih mengawasi perizinan pembangunan pabrik sawit. Arahan ini disampaikan melalui Surat Edaran bernomor 245/2024 mengenai Monitoring Perizinan Berusaha Berbasis Risiko KBLI 10431 Industri Minyak Mentah Kelapa Sawit [Crude Palm Oil] yang ditandatagani Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Andi Nur Alamsyah.
Dalam suratnya, Andi Nur Alamsyah membuat edaran kepada Gubernur dan Bupati agar mengawasi berdirinya pabrik kelapa sawit.
Tujuan penerbitan surat ini adalah panduan bagi Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dalam melakukan pemeriksaan dan pemberian perizinan berusaha pada KBLI 10431 Industri Minyak Mentah Kelapa Sawit [Crude Palm Oil] dan Upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif pada Industri Minyak Mentah Kelapa Sawit.
Terbitnya surat ini berpijak atas dasar hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2021 tentang Standar kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
"Latar belakang surat ini untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang tentang Cipta Kerja, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko," kata Ganda Mora [nama sapaannya] menjelaskan.
"Dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha serta memudahkan Pelaku Usaha, maka pemerintah telah menerapkan Online Single Submission [OSS] Risk Based Aproach [RBA] dimana seluruh proses pengajuan perizinan berusaha, verifikasi, hingga pengawasan terintegrasi pada sistem tersebut," sambungnya.
Menurutnya, dalam mengajukan perizinan berusaha, persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia [KBLI] yang tercantum dalam Lampiran 2 Sektor Pertanian Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dalam hal ini yaitu KBLI 10431 Minyak Mentah Kelapa Sawit [Crude Palm Oil].
"Nantinya, pelaku usaha melakukan proses pengajuan perizinan berusaha pada sistem Online Single Submission [OSS] dengan melampirkan persyaratan dasar dan Persyaratan Perizinan Berusaha sesuai KBLI 10431," terangnya.
Industri Pengolahan Hasil Perkebunan Industri Minyak Mentah Kelapa Sawit dengan Kategori Usaha Besar dan Risiko Tinggi agar memilih ruang lingkup Seluruh [Pertanian] yang mewajibkan terintegrasi dengan KBLI 01262 [Perkebunan Buah Kelapa Sawit] pada sistem Online Single Submission [OSS)].
Sebelumnya, Gubernur Riau mengeluarkan surat yang ditujukan kepada para pimpinan perusahan pabrik Pengolahan Kelapa Sawit [PKS] beberapa hari lalu, yang berisi tentang implementasi penerapan harga pembelian TBS sawit produksi pekebun.
"Surat itu tertera juga deretan nama-nama PKS yang ada di Riau. Total ada 285 PKS yang tertera di surat itu," kata Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan [P2HP] Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Defris Hatmaja.
Dia menyebutkan bahwa, nama-nama yang tertera di surat itu merupakan perusahaan yang telah memiliki izin.
"Itu yang sudah terdata dan memiliki izin," kata Defris pada wartawan, Jumat (27/1) lalu.
Dia juga menunjukkan daftar PKS yang memiliki izin dan PKS lain yang tidak terdapat di daftar nama tersebut, berarti belum memiliki izin.
Kehadiran pabrik tanpa kebun ini, seyogianya juga tak sejalan dengan dengan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Permentan tersebut salah satunya mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi paling rendah 20 persen kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri.
Menurutnya, beberapa di antara pabrik ini telah berupaya memenuhi persyaratan tersebut. Dalam hal ini, maka peran pemerintah kabupaten sangat penting dalam mengawal kemajuan yang dilakukan oleh PKS tanpa kebun tersebut.
Dia menilai, kehadiran PKS tanpa kebun di satu sisi telah memberikan pasar bagi petani ataupun pekebun sawit, mengingat saat ini jumlah PKS di Riau tidak sebanding dengan jumlah Izin Usaha Perkebunan [IUP] yang telah dikeluarkan.
Saat ini, sebut dia, ada 285 IUP yang telah dikeluarkan, namun jumlah PKS yang ada, termasuk PKS tanpa kebun juga masih banyak.
Namun di sisi lain, kehadiran PKS tanpa kebun berpotensi mengganggu pasar bahkan berpotensi mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat karena telah mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku bagi PKS yang memiliki kebun.
Penawaran harga pembelian TBS oleh PKS tanpa kebun yang cenderung lebih tinggi daripada penawaran harga pembelian PKS yang terintegrasi, berpotensi menyebabkan para pekebun mengalihkan penjualan TBS mereka kepada PKS tanpa kebun.
Hal tersebut tentu saja menyebabkan terganggunya kontinuitas pasokan bahan baku TBS produksi pabrik kelapa sawit yang selama ini bekerjasama dengan pekebun.
“Dampak negatifnya, kehadiran PKS tanpa kebun ini membuka persaingan harga yang tidak sehat, serta dapat merusak kemitraan antara PKS dan pekebun,” sebut Defris.
"Hal ini yang perlu pengawasan dan evaluasi pemerintah daerah guna memastikan bahwa pekebun memasok TBS mereka kepada PKS yang menjadi mitra mereka," katanya.
Tetapi menurut Ganda Mora yang juga sebagai Ketua Umum Nasional Independen Pembawa Suara Transparansi [INPEST] ini lagi menyebutkan, peran pemerintah kabupaten sangat penting dalam mengawal kemajuan yang dilakukan oleh PKS tanpa kebun tersebut.
“Di sisi lain, kehadiran PKS tanpa kebun berpotensi mengganggu pasar bahkan berpotensi mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat karena telah mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku bagi PKS yang memiliki kebun,” kata dia.
Dia menyarankan seyogyanya pemerintah daerah setempat membentuk tim untuk menilai sebaran pabrik yang ada di lapangan dan keterkaitannya terhadap sumber bahan baku milik pekebun non mitra dan sejauh mana penerapan Permentan.
Jika memang terbukti menyimpang dari ketentuan yang ada perlu segera ditertibkan.
“Dalam aturan yang ada bahwa kegiatan usaha pengolahan hasil perkebunan dapat didirikan pada wilayah perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha pengolahan hasil perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan perizinan berusaha dari pemerintah pusat,” jelas dia.
Dia menilai keberadaan Pabrik Kelapa Sawit [PKS] tanpa kebun bisa mengganggu tata niaga atau harga Tandan Buah Segar [TBS] sawit lantaran patokan harga tidak terkendali.
“Harga tidak terkendali bisa berdampak negatif bagi pekebun sawit. Itu harus menjadi perhatian bersama agar semua berjalan seimbang.
Ia menjelaskan, selama ini penyebab beroperasinya PKS tanpa kebun di Riau karena tidak mampu menyerap TBS petani atau PKS besar banyak mengalami kendala dan tidak menerima TBS petani swadaya maupun plasma.
“Untuk sementara PKS tanpa kebun bisa menjadi solusi tempat menjual TBS petani, namun tidak boleh dibiarkan terlalu lama,” dalam pandangannya.
Sejauh ini, belum tampak pemprov menutup "loading ramp" yang berfungsi sebagai tempat penimbunan sementara TBS sebelum diolah sebagai penampung TBS petani yang menjadi penyuplai TBS ke PKS tanpa kebun tersebut.
Namun yang menjadi pertanyaan besar, kata dia, adalah keluarnya izin operasi loading ramp tersebut.
"Siapa yang memberi izin beroperasinya loading ramp, dan PKS tanpa kebun itu. Secara aturan apakah sudah legal. Apakah sudah memenuhi persyaratan berdirinya PKS? Pertanyaan-pertanyaan besar yang selama ini belum terjawab," ujarnya.
Pemerintah harus tegas terhadap pabrik sawit tanpa kebun
Sejumlah kalangan meminta pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap banyaknya bermunculan pabrik kelapa sawit tanpa kebun dan tidak memiliki kemitraan [kebun] yang izinnya diberikan kepala daerah.
"Seharusnya masalah izin pendirian pabrik kelapa sawit harus mengikuti aturan yang berlaku sebab jika tidak bakal menjadi masalah di kemudian hari," kata Ganda Mora lagi.
"Dari sisi pertimbangan jarak antar pabrik, adanya kemitraan, dan daya dukung wilayah tentu menjadi acuan melalui sebuah studi kelayakan pabrik kelapa sawit [PKS]," kata dia.
Hal itu menanggapi potensi obral izin pabrik kelapa sawit yang cenderung semakin tinggi menjelang Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] yang dinilai tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah dan mengabaikan regulasi.
Menurutnya, dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan disebutkan bahwa pabrik harus memiliki perkebunan sendiri, apabila tidak ada maka pabrik diwajibkan menjalin kemitraan dengan petani untuk memenuhi pasokan bahan baku 20 persen.
"Jika pemberian izin [pabrik sawit] dikaitkan dengan aktivitas politik tentu akan berdampak setelah pilkada 2024, umpama jika melanggar akan dikejar oleh lawan politik," tambahnya.
Menurut dia, kehadiran pabrik sawit tanpa kebun jelas mengganggu tata niaga sawit yang sudah berjalan oleh karena itulah, pemerintah daerah dan pusat harus tegas dalam menjalankan regulasi.
Dia menambahkan pemerintah memang mengizinkan pabrik sawit tanpa kebun berdiri tetapi diwajibkan menjalin kemitraan dengan petani.
"Dengan adanya kemitraan inilah, pabrik sawit dapat mengetahui sumber buah sawitnya," katanya.
Menurut dia, kepala daerah baik itu bupati sampai gubernur harus memastikan kerjasama kemitraan antara pabrik tanpa kebun dengan petani sebelum izin pabriknya diterbitkan.
Di sinilah, lanjutnya, peran kepala daerah mengawasi dan memverifikasi adanya kerjasama tadi karena sangat berbahaya jika pemerintah daerah tidak mengetahuinya.
Dengan mengetahui kerja sama kemitraan, maka dapat diketahui kapasitas olah dan daya tampung pabrik untuk menerima pasokan panen TBS sawit dari masyarakat.
Tetapi satu sisinya Ganda Mora kembali menjelaskan, pasca terbitnya UU Cipta Kerja maka proses pendirian pabrik sawit menjadi lebih ketat dari sisi lingkungan.
"Di sinilah peranan pemerintah daerah harus mengawasi perizinan Amdal bagi pabrik sawit yang akan dibangun agar tidak melanggar regulasi yang sudah berjalan," katanya.
Jadi pihaknya sedang melakukan investigasi menyeluruh di Propinsi Riau, terkait mana saja pabrik sawit yang tidak memiliki kebun inti yang minimal 20% dari kebutuham TBS nya, dan menelusuri pabrik sawit yang berada di sekitar kawasan hutan lindung, margasatwa, TNTN hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi konversi, sehingga dinilai keberadaan beberapa pabrik jadi pemicu perambahan hutan, mereka menampung buahnya terutama kebun skala luas yang tidak memiliki izin. (*)
Tags : pabrik sawit, riau, pks, pabrik sawit miliki izin, sahabat alam rimba, salamba sorot pabrik sawit tak miliki kebun, pabrik sawit ganggu tata niaga, bisnis sawit, Lingkungan, Alam, Riau,