"Sejumlah 136 pabrik sawit tersebar di setiap penjuru pelosok Riau, tetapi masih ada yang menabrak Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI. Kini timbul desakan untuk segera dilakukan evaluasi"
ejalan dengan pernyataan Dinas Perkebunan (Disbun) Riau, Indonesian Corupttion Investigation (ICI) juga menilai Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang berdiri tanpa kebun semakin hari akan 'memberatkan' Pemerintah Provinsi Riau.
"Jumlah PKS semakin banyak, tetapi memungkinkan mereka membuka usaha tidak memiliki kebun sendiri dan kemitraan sesuai Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013, tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan."
"Jadi ini jelas melanggar, namun Pemprov Riau melalui Dinas Perkebunannya seakan membiarkan aktivitas itu yang sudah mengarah dalam kerugian pada negara," kata H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris, Koordinator ICI dalam keterangan persnya, Selasa (11/1/2023).
Tetapi seperti disebutkan Fera Virginati SHut MM, Bidang Produksi Disbun Riau dari jumlah 287 perusahaan pabrik sawit di Provinsi Riau, ada 136 pabrik sawit berdiri di Riau tanpa memiliki kebun sawit dan mereka melakukan bisnis pengelolaan TBS kelapa sawit milik petani.
Menurut laporan Kementerian Pertanian (Kementan), luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektare (ha) pada 2021. Ditinjau dari wilayah, mayoritas perkebunan kelapa sawit nasional ada di wilayah Sumatera dan Kalimantan yaitu lebih dari 14 juta ha.
Riau salah satunya merupakan daerah yang dikenal memiliki produksi kelapa sawit terbesar yang didukung oleh luasnya areal perkebunan kelapa sawit.
Riau tercatat sebagai provinsi yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, yakni mencapai 2,89 juta ha.
"Sedangkan produksi kelapa sawitnya tercatat dengan jumlah 10,27 juta ton. Disusul Kalimantan Tengah dengan produksi mencapai 7,92 juta ton," ungkapnya.
'Pabrik tak miliki kebun seakan dibiarkan'
Diungkapkan Darmawi Wardhana lebih dari 136 pabrik sawit yang tersebar di Riau, ada beberapa pabrik yang tak memiliki kebun sendiri dan kemitraan yang terang-terangan telah melanggar peraturan Permentan tetapi seakan dilakukan pembiaran.
"Padahal sesuai Permentan Nomor 98 Tahun 2013 itu perusahaan yang mendirikan pabrik harus bisa menyediakan sekurang-kurangnya 20 persen dari bahan baku sendiri dan kekurangannya dari kebun masyarakat atau bermitra."
"Faktanya setiap pabrik kelapa sawit wajib memiliki kebun sendiri. Kalau tidak ada, harus bermitra dengan kelompok tani atau pekebun sekitar yang dibuktikan secara tertulis. Ada juga yang bermitra namun tidak sesuai aturan yang ada,” katanya.
Sebelumnya pihak Dinas Perkebunan terkait, secara umum telah membuat surat kepada perusahaan agar memenuhi persyaratan 20 persen dan kemitraan dengan masyarakat.
"Jadi sanksi perusahaan yang belum melakukan kemitraan dengan petani ini tidak ada, bahkan sanksi pencabutan izin usahanya,” sebutnya.
Menurutnya, jika perusahaan mematuhi kewajiban sesuai aturan yang ada termasuk kemitraan harga kelapa sawit rakyat bisa lebih terjamin.
Ada juga pabrik-pabrik tersebut telah beroperasi dengan kapasitas tandan buah segar (TBS) ribuan ton dan beroperasi telah lama tetapi lengah untuk membangun kebun sawitnya sendiri.
"Dari segi ekonomis dan luasan lahan produktif di Riau maka perusahaan parbrik seharusnya sudah layak mempunyai kebun sendiri. Sesuai aturan setiap pabrik harus memiliki lahan produktif minimal 20 persen dari luasan," sebutnya.
Jadi hasil tinjauan selama ini dilapangan, kata Darmawi Wardhana lagi, saat ini masih banyak pabrik yang belum memiliki kebun sendiri dan lebih memilih menerima buah sawit yang tak jelas juntrungnya, sehingga biaya produksi menjadi lebih tinggi dan tentunya mengabaikan aturan lingkungan.
Problematika di 2023
Sebelumnya Kejaksaan tinggi (Kejati) Riau mengaku segera melakukan penindakan terhadap korporasi perkebunan kelapa sawit maupun pabrik melakukan pengelolaan lahan secara ilegal.
"Saat ini tim Kejati Riau sudah masuk dalam pengawasan pengelolaan lahan dan hutan serta penetapan harga TBS. Kejati Riau akan melakukan penindakan terhadap korporasi perkebunan dan pabrik sawit yang bermain main dengan penetapan harga TBS," kata Kordinator Aspidsus Kejati Riau Fauzy Marasa Besy SH MH dalam pemaparanya pada diskusi publik dengan tema "Problematika Perkebunan Kelapa Sawit di Riau, Tantangan dan Harapan di Tahun 2023" yang ditaja Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau bersama Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Selasa 27 Desember 2022 kemarin.
Kejati juga segera menindak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang melakukan potongan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang dilakukan sepihak oleh pabrik kepada hasil buah oleh petani.
Ia menjelaskan, berdasarkan instruksi Kejaksaan agung, Kejati Riau sudah membentuk tiga Satgas, pertama Satgas mafia tanah, kedua Satgas mafia pupuk dan ketiga satgas perekonomian.
Sementara Fera Virginati SHut MM, Bidang Produksi Disbun Riau pada kesempatan diskusi itu juga memaparkan, persoalan perkebunan kelapa sawit milik petani di Riau mencapai 1,6 juta haktar dari luasan 2,8 juta kebun sawit di Riau.
Dari total kebun rakyat yang diusulkan peremajaan dalam Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menggunakan biaya dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Pada tahun 2022 saja telah terjadi nol jumlah PSR yang diajukan Pemrov Riau untuk peremajaan atau replanting kebun sawit petani di Riau," ujar Fera.
Dari jumlah 287 perusahaan pabrik sawit di Provinsi Riau, 136 pabrik sawit berdiri di Riau tanpa memiliki kebun sawit dan mereka melakukan bisnis pengelolaan TBS kelapa sawit milik petani.
"Hanya 15 perwakilan perusahaan PKS yang hadir dalam penetapan harga TBS setiap dua Minggu," ujar Fera.
Sekjen DPP APKASINDO Dr Rino Afrino ST MT mengatakan kalau pihaknya terus memperjuangkan nasib petani sawit di Indonesia.
"Mulai dari jaminan bibit sawit yang ditanam petani dari bibit unggul sampai dengan memperjuangkan PSR serta harga TBS milik petani," jelas Rino Afrino.
Tetapi kembali disebutkan Darmawi Wardhana kalau Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 77 Tahun 2020 sejatinya menjamin harga tandan buah segar atau TBS kelapa sawit produksi swadaya agar mendapatkan harga jual yang wajar.
"Sampai saat ini masih banyak persoalan petani sawit yang dirugikan oleh pihak korporasi," ujar dia.
Jika persolan petani sawit di Riau bisa disikapi oleh instansi terkait dengan baik, sambung Darmawi Wardhana menyikapi, maka tidak ada lagi kemiskinan di Riau.
Pabrik kelapa sawit tanpa kebun perlu dievaluasi
Sebelumnya, Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Riau, Zul Fadli mengatakan kehadiran Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tanpa kebun pada awalnya diperkenankan dan telah membantu menyerap Tandan Buah Segar (TBS), namun dalam perkembangannya perlu dilakukan evaluasi terhadap aturan yang mengharuskan pabrik tersebut harus juga memiliki kebun sendiri.
“Peraturaan yang ada saat ini bahwa PKS disyaratkan untuk memiliki kebun sendiri yang mampu memasok pabrik minimal 20 persen,” ujarnya didepan media belum lama ini.
Kehadiran pabrik tanpa kebun ini, seyogianya juga tak sejalan dengan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Permentan tersebut salah satunya mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi paling rendah 20 persen kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri.
Saat ini dari data yang dimilikinya, ada 136 PKS yang beroperasi di Riau namun ada beberapa PKS yang belum memiliki kebun sendiri yang tersebar di beberapa daerah.
Menurutnya, beberapa di antara pabrik ini telah berupaya memenuhi persyaratan tersebut. Dalam hal ini, maka peran pemerintah kabupaten sangat penting dalam mengawal kemajuan yang dilakukan oleh PKS tanpa kebun tersebut.
Dia menilai, kehadiran PKS tanpa kebun di satu sisi telah memberikan pasar bagi petani ataupun pekebun sawit, mengingat saat ini jumlah PKS di Riau tidak sebanding dengan jumlah Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang telah dikeluarkan.
Ada ada banyak IUP yang sudah dikeluarkan, namun jumlah PKS yang ada, termasuk PKS tanpa kebun, baru ada 136 pabrik.
Namun kembali disebutkan Darmawi Wardhana, di sisi lain, kehadiran PKS tanpa kebun berpotensi mengganggu pasar bahkan berpotensi mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat karena telah mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku bagi PKS yang memiliki kebun.
Penawaran harga pembelian TBS oleh PKS tanpa kebun yang cenderung lebih tinggi daripada penawaran harga pembelian PKS yang terintegrasi, berpotensi menyebabkan para pekebun mengalihkan penjualan TBS mereka kepada PKS tanpa kebun.
Hal tersebut tentu saja menyebabkan terganggunya kontinuitas pasokan bahan baku TBS produksi pabrik kelapa sawit yang selama ini bekerjasama dengan pekebun.
“Dampak negatifnya, kehadiran PKS tanpa kebun dalam perjalanannya sama saja sudah melakukan korupsi yang merugikan petani," kata dia.
"Ini membuka persaingan harga yang tidak sehat, serta dapat merusak kemitraan antara PKS dan pekebun. Hal ini yang perlu pengawasan dan evaluasi pemerintah daerah guna memastikan bahwa pekebun memasok TBS mereka kepada PKS yang menjadi mitra mereka,” jelas dia.
Tak hanya menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan merusak kemitraan PKS dan pekebun, namun kehadiran PKS tanpa kebun ini juga membuka celah penyerapan TBS dari sumber tanaman yang tidak jelas usia dan asal usulnya. Padahal besarnya harga TBS selama ini ditetapkan berdasarkan usia tanaman.
“Karena tidak semua harganya sama, tergantung usia tanaman yang tentu mempengaruhi kualitas buah. Ketelusuran TBS ini sangat penting,” tutur dia.
Karena itu pihaknya terus mendorong PKS tanpa kebun yang ada saat ini di Riau segera memiliki kebun sendiri, minimal mampu memenuhi kebutuhan pabrik sebesar 20 persen.
"Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat penting guna mengevaluasi kemajuan pembangunan kebun sawit oleh PKS tanpa kebun, sekaligus mengawasi persaingan usaha agar tidak mengganggu tata niaga," sebutnya.
Iapun lantas menyarankan seyogyanya pemerintah daerah setempat membentuk tim untuk menilai sebaran pabrik yang ada di lapangan dan keterkaitannya terhadap sumber bahan baku milik pekebun non mitra dan sejauh mana penerapan Permentan. Jika memang terbukti menyimpang dari ketentuan yang ada perlu segera ditertibkan.
“Dalam aturan yang ada bahwa kegiatan usaha pengolahan hasil perkebunan dapat didirikan pada wilayah perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha pengolahan hasil perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan perizinan berusaha dari pemerintah pusat,” jelas dia.
PKS tanpa kebun bisa jadi induk petani swadaya
Beroperasinya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang tidak memiliki perkebunan kelapa sawit, menurut Darmawi Wardhana menyarankan dapat menjadi induk para petani swadaya.
Kehadirannya, kata dia juga bisa menjadi pilihan bagi petani swadaya yang tidak dapat bermitra dengan PKS yang memiliki kebun untuk menjual hasil panen kebun kelapa sawitnya.
"Kalo kita liat dari petani swadaya yang tidak bermitra dengan PKS yang punya kebun akan bisa menjadi salah satu option untuk jual ke PKS tanpa kebun," terangnya kembali sebelum Jumat (13/1/2023 tadi ini.
PKS tanpa kebun, menurutnya memang mau tidak mau harus membeli TBS dari petani swadaya. Sehingga ia berharap ada jalinan kerja sama terhadap petani swadaya tadi. Sehingga kehadiran PKS itu justru ikut mensejahterakan petani.
"Dengan kerja sama, PKS itu bukan hanya sekedar membeli TBS saja tapi juga berkontribusi bagi sekitar," terangnya.
"Saya kira kehadirannya juga harus diterima oleh kelembagaan petani, selama mereka bekerja sama dengan kelembagaan petani seperti asosiasi, koperasi, kelompok tani," sebutnya.
Jadi PKS tanpa kebun justru dituduhkan selama ini menggangu kelembagaan petani kelapa sawit, khususnya di Riau. Misalnya dengan iming-iming harga tinggi, maka petani akan tergiur mengalihkan penjualan hasil kebunnya ke PKS tersebut.
Darmawi mengatakan biasanya PKS tanpa memiliki kebun itu akan berdiri tidak jauh dari kebun plasma yang dikelola masyarakat. Padahal dalam aturan, PKS dapat dibangun minimal berjarak belasan kilometer dari kebun tadi.
"Kita berharap para pelaku usaha ini mentaati aturan. Tapi memang akan sulit mematuhi aturan itu, sebab banyak akal-akalan yang dilakukan oknum agar pembangunan itu berjalan lancar," tuturnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data yang dirilis Dinas Perkebunan Riau terdapat 136 PKS yang tidak memiliki perkebunan kelapa sawit beroperasi di Bumi Lancang Kuning. Sementara untuk PKS yang memiliki kebun berjumlah 140 PKS. Kemudian terdapat juga 18 PKS yang sudah dapat memanfaatkan limbah menjadi biogas listrik di Riau.
Tetapi Ia mengakui implementasi tata niaga sektor perkebunan kelapa sawit di Riau masih menghadapi sejumlah tantangan satu di antaranya terkait kehadiran Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tanpa kebun.
Kehadiran PKS tanpa kebun ini dianggap berpotensi merusak tata niaga, mulai dari penerapan harga tandan buah segar (TBS) hingga rantai pasoknya. Perlu langkah kongkrit pemerintah daerah dalam mengevaluasi PKS tanpa kebun tersebut.
Jadi kehadiran pabrik tanpa kebun ini, Darmawi Wardhana sekali lagi menekankan, seyogianya juga tak sejalan dengan Permentan RI Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Permentan tersebut salah satunya mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi paling rendah 20 persen kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri. (*)
Tags : Pabrik Tanpa Kebun, Riau, PKS Perlu Dievaluasi, Pabrik Sawit Tanpa Kebun Bisa Jadi Induk Petani Swadaya,