Headline Artikel   2020/12/27 18:36 WIB

Pabrik Sawit Tanpa Kebun Perlu Dievaluasi, Benarkah 'Menganggu Tata Niaga?'

Pabrik Sawit Tanpa Kebun Perlu Dievaluasi, Benarkah 'Menganggu Tata Niaga?'

"Keberadaan Pabrik Kelapa Sawit [PKS] tanpa kebun dinilai bisa menggangu tata niaga atau harga Tanda Buah Segar [TBS] sawit lantaran patokan harga tidak terkendali"

da 230 unit Pabrik Kelapa Sawit [PKS] di Provinsi Riau, sebagian besar tidak punya kebun sawit yang menjadi pasokan bahan baku, artinya PKS membeli dari luar. Sementara sudah ada aturan PKS harus bisa pasok sendiri kebutuhannya sekitar 20%. Bahkan 12 PKS yang tergolong besar [BUMN, red] hanya mampu pasok kebutuhan sendiri sekitar 40 hingga 60%.

Dampak yang terjadi PKS dalam mencari pasokan bahan baku tentu membeli dari luar. Inilah awal persoalan, terjadilah pembukaan lahan dari oknum dan masyarakat di kawasan yang dilarang seperti kawasan hutan. "Dampaknya kalau terjadi pembukaan lahan tentu akan ada pembakaran menibulkan asap yang bisa membuat bencana.Jadi PKS ini perlu ditindak tegas kalau perlu ditutup yang tidak memenuhi aturan," kata Suhardiman Amby masa menjabat Ketua Panitia Khusus [Pansus] DPRD Riau.

Tapi H Darmawi Aris SE, dari Badan Pekerja Nasional [Bapernas] Investigation Coruption Indonesia [ICI] menilai implementasi tata niaga sektor perkebunan kelapa sawit di Riau masih menghadapi sejumlah tantangan satu di antaranya terkait kehadiran Pabrik Kelapa Sawit [PKS] tanpa kebun ini. Menurutnya, kehadiran PKS tanpa kebun ini dianggap berpotensi merusak tata niaga, mulai dari penerapan harga tandan buah segar [TBS] hingga rantai pasoknya. Perlu langkah kongkrit pemerintah daerah dalam mengevaluasi PKS tanpa kebun tersebut.

Katanya, kehadiran pabrik tanpa kebun ini, seyogianya juga tak sejalan dengan Peraturan Menteri Pertanian [Permentan] Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, "Permentan tersebut salah satunya mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi paling rendah 20 persen kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri," ulasnya.

Namun di sisi lain, kehadiran PKS tanpa kebun berpotensi mengganggu pasar bahkan berpotensi mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat karena telah mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku bagi PKS yang memiliki kebun. Penawaran harga pembelian TBS oleh PKS tanpa kebun yang cenderung lebih tinggi daripada penawaran harga pembelian PKS yang terintegrasi, berpotensi menyebabkan para pekebun mengalihkan penjualan TBS mereka kepada PKS tanpa kebun.

"Ini tentu saja menyebabkan terganggunya kontinuitas pasokan bahan baku TBS produksi pabrik kelapa sawit yang selama ini bekerjasama dengan pekebun. Dampak negatifnya, kehadiran PKS tanpa kebun ini membuka persaingan harga yang tidak sehat, serta dapat merusak kemitraan antara PKS dan pekebun. Hal ini yang perlu pengawasan dan evaluasi pemerintah daerah guna memastikan bahwa pekebun memasok TBS mereka kepada PKS yang menjadi mitra mereka,” jelas dia.

Tak hanya menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan merusak kemitraan PKS dan pekebun, namun kehadiran PKS tanpa kebun ini juga membuka celah penyerapan TBS dari sumber tanaman yang tidak jelas usia dan asal usulnya. Padalah besarnya harga TBS selama ini ditetapkan berdasarkan usia tanaman. “Karena tidak semua harganya sama, tergantung usia tanaman yang tentu mempengaruhi kualitas buah. Ketelusuran TBS ini sangat penting,” tutur dia.

Sementara, Ketua Gabungan Perusahaan Sawit Indonesia [GAPKI] Riau Jatmiko K Santosa yang terpilih memimpin GAPKI Cabang Riau periode 2021-2025 dalam Musyawarah Cabang GAPKI Riau ke-VI Rabu 16 Desember 2020 kemarin mengaku tetap fokus pada pencegahan kebakaran hutan dan lahan [Karhutla] bersama pemerintah Provinsi Riau secara berkelanjutan, salah satunya dengan mendorong penerapan sawit lestari. "Kami juga berkomitmen mendorong seluruh anggota GAPKI dalam penerapan sertifikasi ISPO dan RSPO," kata Jatmiko.

Jatmiko usai acara mengaku tetap menyarankan seyogyanya pemerintah daerah setempat membentuk tim untuk menilai sebaran pabrik yang ada di lapangan dan keterkaitannya terhadap sumber bahan baku milik pekebun non mitra dan sejauh mana penerapan Permentan. Jika memang terbukti menyimpang dari ketentuan yang ada perlu segera ditertibkan. “Dalam aturan yang ada bahwa kegiatan usaha pengolahan hasil perkebunan dapat didirikan pada wilayah perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha pengolahan hasil perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan peizinan berusaha dari pemerintah pusat,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia [Apkasindo] Riau, Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP dalam konfirmasi lewat WhatsApp [WA] menanggapi, keberadaan PKS tanpa kebun sangat menganggu tata niaga TBS dan berdampak negatif bagi pekebun sawit, lantaran patokan harga tidak terkendali. Menurutnya, ada hal yang menyebabkan PKS tanpa kebun bisa beroperasi. "Karena beberapa PKS yang ada khususnya Kabupaten tidak mampu [menyerap] TBS petani atau PKS besar beberapa waktu yang lalu banyak mengalami kendala dan tidak menerima TBS petani swadaya maupun plasma. Untuk sementara [PKS tanpa kebun] bisa menjadi solusi tempat menjual TBS petani, namun tidak boleh dibiarkan terlalu lama," katanya.

Dia menilai, Pemkab setempat dan jajaran sedang berupaya untuk menutup loading ramp sebagai penampung TBS petani yang menjadi penyuplai TBS ke PKS tanpa kebun tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan besar, kata dia, adalah keluarnya izin operasi loading ramp tersebut. "Siapa yang memberi izin beroperasinya loading ramp, dan pks tanpa kebun itu? Secara aturan apakah sudah legal? apakah sudah memenuhi persyaratan berdirinya PKS? Pertanyaan-pertanyaan besar yang selama ini belum terjawab," ujar dia.

Buruh sawit 

Sebelumnya, Kepala Dinas Perkebunan Riau Zulfadli pada media mengatakan kehadiran PKS tanpa kebun pada awalnya diperkenankan dan telah membantu menyerap TBS milik pekebun. Namun dalam perkembangannya, kata dia, ada aturan yang mengharuskan mereka memiliki kebun sendiri. “Peraturaan yang ada saat ini mereka [PKS tanpa kebun, red] disyaratkan untuk memiliki kebun sendiri yang mampu memasok pabrik minimal 20 persen,” ungkap dia.

Diakuinya saat ini ada data yang dimilikinya tentang PKS tanpa kebun di Riau. Mereka tersebar di beberapa daerah. Menurutnya, beberapa di antara pabrik ini telah berupaya memenuhi persyaratan tersebut. Dalam hal ini, maka peran pemerintah kabupaten sangat penting dalam mengawal kemajuan yang dilakukan oleh PKS tanpa kebun tersebut. Dia menilai, kehadiran PKS tanpa kebun di satu sisi telah memberikan pasar bagi petani ataupun pekebun sawit, mengingat saat ini jumlah PKS di Riau tidak sebanding dengan jumlah Izin Usaha Perkebunan [IUP] yang telah dikeluarkan, sebutnya yang tak menjleaskan jumlah IUP yang telah dikeluarkan.

Benarkah karyawan PKS dihantam corona?

Merebaknya informasi banyaknya para karyawan pabrik kelapa sawit dihantam wabah Corona, aktivitasnya menjadi tidak berjalan normal dan kehidupan ekonomi sehari-hari mulai terganggu. Hal yang membuat pekerja harian di pabrik juga mengalami gangguan karena kondisi harga Tandan Buah Segar [TBS] petani kelapa sawit naik turun. "Mereka yang menyatakan itu bicara tadi mungkin bukan karyawan dan tidak punya kebun sawit. Selain itu, mereka hidup bukan dari TBS sawit," kata H Zulfikar, Direktur pabrik kelapa sawit PT Mustika Agung Sawit Gemilang [MASG] dalam bincang-bincangnya suatu hari di Pekanbaru.

Tapi ia juga mengaku sejumlah 200 lebih karyawannya sudah dilakukan test swab, ada yang mengalami gejala Covid-19, "kita beri pengobatan dan waktu istarahat cukup serta ada juga karyawan yang diberi waktu isolasi mandiri dirumah," kata dia yang tak menyebutkan jumlah karyawannya yang tertular Covid-19 itu.

Ia juga mengatakan pabrik tetap berjalan lancar dan normal. Ia tak setuju dikatakan karyawannya mengalami kelaparan, karena harga TBS mampu memberikan penghasilan bagus buat petani. "Petani sawit itu sangat teruji dengan turun naiknya harga sawit. Justru disaat Corona ini harga TBS kami lebih cantik sebelum ada Corona tahun lalu. Jadi harga turun naik itu biasa. Kalau kelaparan, sangat tidak mungkin, disaat harga TBS Rp 800 saja kami bahagia apalagi rata-rata harga TBS petani swadaya saat ini Rp 1.500/kg," ujarnya.

Zulfikar menyebutkan PT MASG beroperasi khususnya untuk kepentingan umum masyarakat yang berada tepatnya di wilayah dua Desa Semelinang Darat, Kelurahan Peranap dan Desa Gumanti, hasil perkebunan warga ratusan ton setiap bulannya dapat dijual di perusahaan tersebut. "PT MASG juga menerima pekerja kasar, semua dalam rangka membantu warga," ujarnya.

Namun salah satu petani sawit swadaya, Kasruddin yang juga petani sawit di Desa Semelinang Darat mengaku, sepanjang pabrik sawit tetap beroperasi maka penghasilan petani tetap aman dan tidak akan kelaparan. "Bagi kami, petani sawit disini sudah teruji dan tahan lapar, selama ada pabrik MASG kebun sawit kami terjamin sampai menghasilkan," imbuhnya.

Lain lagi disebutkan, petani sawit Desa Semelinang Darat Paiki mengaku hal sama, petani di desa itu tetap baik dan tidak ada yang kelaparan. "Kami disini tetap hidup aman dan sehat walaupun ada ancaman pandemi Corona," sebutnya.

Buruh sawit kelaparan

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit [SPKS] Kabupaten Rokan Hulu [Rohul] Yusro Fadil justru dikontak ponselnya mengaku, saat ini bantuan sosial [bansos] sembako dari pemerintah diperlukan oleh para petani dan buruh sawit. "Yang dibutuhkan petani hari ini, khususnya buruh sawit itu adalah sembako. Jadi ini yang belum tepat sasaran, ini yang belum mereka terima," kata Yusro yang sudah menjelaskan dalam diskusi online Dampak COVID-19 pada Buruh dan Petani Sawit, Jumat [24/4] kemarin. 

Menurutnya, buruh sawitlah lebih rentan akan kelaparan. Pasalnya, buruh ini tak memiliki lahan seperti para petani. "Bahkan istilahnya mereka ini lebih baik mati karena Corona, daripada mati karena kelaparan.Karena kondisi hari ini ada beberapa daerah itu sangat berpotensi sekali mereka tidak makan. Kalau petani sawit masih aman, tapi buruh sawit ini yang akan terganggu," urainya.

Diujung desa yang jauh dari keramaian tentu akan ada kesulitan akses pangan bagi petani dan buruh sawit karena tak ada lagi lahan yang tersisa untuk ditanami pangan. Semuanya sudah dikonversi ke perkebunan sawit. "Temuan-temuan kita di lapangan petani sawit itu sudah tidak punya pangan. Dulunya mereka punya sawah atau ladang, kemudian dikonversikan menjadi kebun sawit," jelasnya. (rp.sdp/*)

Tags : pabrik tanpa kebun, pabrik kelapa sawit, pks di riau, sembako, petani sawit, kelapa sawit, sawit,