DIATAS tungku atau meja saji, padi bisa bertransformasi menjadi hampir apa saja: Nasi kuning yang lezat, nasi uduk yang gurih, nasi liwet yang pas, lontong, ketupat, dan lainnya.
Bulir-bulir padi tak hanya menghasilkan hidangan yang lezat, tapi juga menghidangkan banyak cerita. Dan penaklukan adalah salah satu kisahnya.
“Ketika mereka [kolonialis Belanda] melihat pribumi makan dengan menu nasi, sayur, lauk pauk dengan lesehan… itu buat mereka merupakan bentuk rendahnya peradaban,” kata Fadly Rahman, sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung.
Karena itulah mereka kemudian menciptakan tata boga yang kelak disebut dengan Rijsttafel.
Rijstaffel adalah sajian mewah para bangsawan koloni Belanda. Disajikan a la francaise, di rumah-rumah gedong atau hotel-hotel mewah di kota-kota besar di nusantara.
Segala nasi dan lauknya termasuk masakan asli nusantara asli ditakar sedikit-sedikit di piring saji—mirip di rumah makan Padang mewah zaman sekarang.
Lauk dan pendampingnya ada beragam: ada perkedel, semur, sayur lodeh, acar, sate, kerupuk, sambal dan puluhan menu lainnya.
Pada akhir abad ke-19, Hindia Belanda memang sedang makmur-makmurnya berkat kebijakan Tanam Paksa dan berkat keterlibatan modal swasta.
Gaya hidup kaum bangsawan bermunculan. Dansa-dansi di kamar bola, menonton komedi stamboel dan drama, lalu makan-makan mewah yang diciptakan khusus kaum bangsawan dan raja.
Kata Rijstaffel ini perpaduan dua kata ‘rijs’ dan ‘tafel.’
Kata Fadly ‘rijs’ adalah representasi simbolik kebudayaan Jawa sementara ‘tafel’ adalah representasi simbolik kebudayaan Belanda yang menggunakan meja sebagai simbol keagungan peradaban mereka.
Idealnya makan menggunakan meja dengan aneka perantinya, begitu intinya.
Fadly menyebut Rijsttafel adalah revolusi kuliner pertama yang mengubah tradisi sejarah kuliner nusantara.
“Bagaimana pertemuan Barat dengan Timur di meja makan. Seolah-olah keharmonisan, tapi di sisi lain upaya untuk mengalahkan atau menaklukkan kebudayaan Jawa. Menaklukkan mereka yang dianggap rendah yang inferior,” tutup Fadly.
Rijstaffel hanya hidup seumur jagung. Begitu Jepang datang, kebiasaan ini praktis tak lagi dipertunjukkan.
Kini Rijstaffel hanya menjadi menu kangen-kangenan di restoran-restoran mancanegara.
Padi-padi lestari
Rijsttafel mencerminkan hasrat penaklukan. Tapi, Revolusi Hijau pada era1960-an juga punya semangat yang sama.
Bagaimana menaklukkan alam agar bisa memenuhi kebutuhan manusia.
Bagaimana satu hektar lahan bisa dipanen dua, tiga, empat kali dalam setahun. Menghasilkan dua, tiga, empat kali lipat dari yang semestinya.
Benih-benih yang tidak tahan penyakit, produktivitasnya rendah, rasanya tak enak, otomatis disisihkan ke pinggiran dan akhirnya menghilang.
“Mulai Revolusi Hijau itu ada sebagian yang tidak suka menanam lokal atau karena tuntutan harus menghasilkan beras produksi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya,” kata Kristamtini, peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta seperti dilansir BBC News Indonesia.
Bersama para koleganya, Kristamtini menyisir lembah dan gunung. Menyambangi pematang sawah hingga dapur-dapur para mbah yang mungkin masih menyimpan benih lokal yang tersisa.
“Kadang-kadang ada petani yang masih menyimpan. Satu kasus kami menemukan beras hitam yang hanya ditaruh di dapur. Kemudian kita tanam tidak bisa. Kalau sudah begitu, kan mau nangis darah pun tidak akan ketemu lagi,” kata dia.
Dari 2014, Kristamtini dan timnya telah menemukan sekitar 100 jenis padi. Sekitar 80 di antaranya sudah dikarakterisasi. Beberapa di antaranya juga sudah didaftarkan.
“Seperti [padi] yang hitam ini kandungan antosioninnya tinggi. Untuk kesehatan. Kalau pun putih seperti ini. Mentik susu, ini enak dan wangi. Yang baru saja kita lepas itu jenis menor dari Kulonprogo itu keunggulannya wangi, pulen, umur pendek, produktivitas tinggi,” kata Kristamtini, menyebut beberapa benih lokal yang selamat dan punya potensi yang bagus buat ekonomi petani.
Rendah gula dan gluten, berserat tinggi, bebas pestisida, bebas pupuk kimia, dari kebun petani lokal, jadi mantra baru beras.
Aliansi Organis Indonesia mencatat lahan pertanian organik melonjak jadi seperempat juta hektare lebih pada 2018 dibanding 10 tahun sebelumnya, yang hanya 50 ribuan hektare saja.
Khusus untuk beras organik, jumlah lahannya mencapai hampir 54.000 hektare dibandingkan 300-an hektare satu dekade sebelumnya.
Termasuk yang membudidayakan padi organik itu adalah Miftahul Abdurrahman, atau biasa dipanggil Taul oleh kawan-kawannya. Dia merupakan petani muda yang banting setir jadi petani setelah bosan bekerja sebagai peneliti di lembaga swadaya masyarakat.
Seperempat hektare lahan yang dia sewa diolah jadi sawah-sawah organik, memanfaatkan limbah pabrik gula dan peternakan yang berada tak jauh dari lahannya.
Sekali panen dia bisa mendapatkan 600 kilogram beras dan biasanya habis dalam waktu kurang dari seminggu,
“Itu saya masih kekurangan (suplai beras organik),” katanya dengan senyum mengembang.
Miftah menyebut pertanian biasa hanya unggul sedikit saja dalam perkara produktivitas. Dalam jangka panjang, lahan-lahan yang penuh pupuk dan pestisida kimia akan rusak.
“Kalau organik, makin lama ya makin bagus (tanahnya).”
Miftah mendesak pemerintah membuka program wajib pertanian organik.
“Berani nggak bupati mengeluarkan peraturan. Pemerintah, DPRD mengeluarkan Perda membebaskan lahan minimal 2-3 hektare setiap desa untuk dunia agro anak muda. Sewa oke. Kita itu nggak ngemis kok. Minta-minta nggak. Sewa. Fair,” katanya gemas.
Melambat, kembali ke alam
Salah satu teknik pertanian yang selaras dengan alam—dan tak perlu repot memakai pupuk kimia dan pestisida adalah minapadi.
Minapadi telah dipraktikkan dari generasi ke generasi. Tak cuma di Indonesia tapi juga di persawahan-persawahan di Asia Timur dan Asia Tenggara.
“Minapadi itu memelihara ikan di tempat tanaman padi. Itu kan bisa saling membantu. Kotoran ikan jadi pupuk. Penyakit bisa dimakan ikan dari padinya,” kata Sigit Paryono, petani Dusun Cibluk Kidul, Desa Margoluwih, Sleman, Yogyakarta yang merintis minapadi sejak 2010.
Usahanya semakin lancar, berkat bantuan pemerintah daerah yang memberikan bantuan teknis.
“Tahun 2015 itu kan kita dipercaya untuk percontohan FAO Asia Pasifik,” kata Sigit yang juga jadi bintang dalam video dokumenter yang dipromosikan FAO.
Satu hektare lahan yang ditanam dengan teknik minapadi bisa memberi hasil panen kira-kira Rp40 juta, dari ikan dan dari padi.
Pada masa jayanya, minapadi di desa Sigit dibudidayakan di 10 hektare lahan. Total ada lima puluhan petani yang ikutan.
Tapi menjelang tahun 2022 ini, praktis tinggal Sigit seorang yang bertahan, mengupayakan kurang dari satu hektare tanah untuk kolam ikan dan padi yang hidup berdampingan.
Lainnya, kebanyakan tak telaten atau salah manajemen. Pakan bantuan juga kerap dijual sebagai sampingan ketimbang digunakan untuk kolam garapan.
“Menanam padi itu kan cuma seminggu sekali dilihat sawahnya. Kalau minapadi tiap hari dua kali dicek pasti,” jelasnya soal kesulitan minapadi.
Sigit juga kenyang dengan pengalaman keliling sawah tengah malam, apalagi jika hujan, demi mengecek tanggul sawah agar tidak ada yang jebol atau ikan digasak berang-berang dan predator lainnya.
Lahan minapadi makin menyusut. Gemanya sudah berkurang. Tapi Sigit tetap istiqamah.
“Kalau [lahan dipakai untuk] kolam terus, nggak diselingi minapadi nanti tanahnya nggak bagus. [Dengan minapadi] tanah jadi bagus jadi subur. Kalau [pakai pupuk] kimia jadi rusak,” tutupnya. (*)
Tags : Pertanian, Padi Bisa Bertransformasi, Padi Menghasilkan Hidangan Lezat,