Politik   2024/02/03 13:0 WIB

Pakar Asing Nilai Adanya Dinasti Politik Baru di RI, 'yang Menunjukkan Partai Politik Kuasai Pemilu'

Pakar Asing Nilai Adanya Dinasti Politik Baru di RI, 'yang Menunjukkan Partai Politik Kuasai Pemilu'

JAKARTA - Pakar politik, sejarah, dan budaya Indonesia dari Australia Maxe Lane mengurai kemunculan dinasti baru di negara ini usai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lenger dari kursi presiden.

"Ada dinasti politik baru di RI menunjukkan partai partai politik menguasai pemilu."

"Proses konsolidasi pandangan politik yang homogen selama 20 tahun di antara partai-partai yang menguasai pemilu di Indonesia telah memfasilitasi kehidupan politik yang didominasi persaingan dan ambisi pribadi, dan membuka jalan bagi pembangunan dinasti," kata Lane dalam tulisannya The Twin Axis in Indonesian Politics: Elite Personal Ambition and the Alienation of Civil Society di situs Fulcrum pada 19 Januari. Situs ini terafiliasi dengan ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Lane juga menulis bahwa pemilihan presiden mendapat perhatian besar selama 20 tahun terakhir.

Pilpres di Indonesia kali ini, lanjut dia, menjadi sorotan karena muncul isu pembangunan dinasti politik akibat manuver Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Jokowi mengamankan kekuasaan melalui anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Anak terakhir Jokowi, Kaesang Pangarep, juga menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai tersebut turut mengusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.

PSI juga pernah mengusung Jokowi-Maruf Amin di Pilpres 2019.

Lane juga menulis Jokowi dianggap memanfaatkan institusi negara seperti Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Manuver-manuver tersebut telah memicu tuduhan bahwa Widodo [Jokowi] akan kembali ke metode Orde Baru dan khususnya nepotisme politik," ujar dia.

Lane lalu menerangkan bahwa fenomena kemunculan dinasti politik ini merupakan puncak dinamika yang terjadi dalam politik arus utama selama dua dekade.

Pada 1998 hingga 2002, terjadi pertikaian politik mengenai karakter Indonesia usai Soeharto lengser.

Pada 1998-1999, BJ Habibie menjadi presiden untuk menggantikan Soeharto. Lalu pada 1999-2001, Indonesia dipimpin Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Mereka membahas sejumlah reformasi yang telah membebaskan kehidupan politik secara signifikan.

Reformasi itu mencakup pengakuan hak serikat pekerja yang sebelumnya diberangus Orde Baru, mencabut larangan penyebaran Marxisme-Leninisme dan menganjurkan gagasan sistem pasar bebas.

Beberapa reformasi ala Gus Dur diterima elit politik, tapi gagasan lain ditentang. Mayoritas partai di parlemen kemudian bergerak untuk melengserkan dia.

"Sejak saat itu, seluruh politik elektoral berada di tangan mayoritas parlemen, meski komposisi pastinya telah berubah," kata Lane.

Dia lalu berkata, "Saat mayoritas anggota parlemen ini terkonsolidasi, maka terjadi pula kesamaan pandangan mengenai perkembangan ekonomi, sosial dan politik."

Perspektif ini ditandai dengan kepuasan terhadap status quo politik sekarang dan dukungan yang dibantu negara serta oligarki.

Lane juga menjelaskan selama hampir 20 tahun parlemen tak menunjukkan perpecahan, kontroversi atau perdebatan yang bersifat polarisasi, bahkan perdebatan yang telah memicu kontroversi di masyarakat.

Dengan konsolidasi homogenitas pandangan ini, Lane menilai dinamika antar-partai menjadi semakin didominasi persaingan dan ambisi pribadi.

Tokoh-tokoh seperti Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono meninggalkan habitat asli Golkar atau militer Orde Baru untuk mendirikan partai sebagai kendaraan pribadi, kata dia.

PDIP, usai 1998, kemudian menyusul menjadi kendaraan Megawati Soeuarnoputri. Perpecahan PKB yang menyingkirkan Gus Dur menjadikan PKB sebagai kendaraan bagi Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden untuk Anies Baswedan di pilpres kali ini.

Jokowi baru terjun ke dunia politik pada 2004. Di bergabung dengan PDIP untuk pemilihan Wali Kota Solo. Di tahun tersebut, kata Lane, pencitraan pribadi adalah segalanya dibanding ideologi dan program.

"Widodo [Jokowi] mampu memanfaatkan kelemahan utama PDIP terkait dominasi politik ambisi pribadi," ujar dia.

Sejak kalah di Pilpres 2004 dan 2009, Lane memandang PDIP tak punya calon presiden yang kredibel.

Selama menjadi Wali Kota, Jokowi membangun citra yang berbeda dengan PDIP bahkan dalam hal pakaian. Gaya dia blusukan, menyambangi pasar dan simbol-simbol yang menunjukkan dekat dengan kelas bawah menjadikan Jokowi populer.

Dia lantas maju untuk calon Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Ketika itu, Jokowi tak memakai seragam partai, tetapi kemeja kotak-kotak.

Megawati sendiri berulang kali mengingatkan secara terbuka bahwa Jokowi harus selalu bertindak sebagai "petugas partai", "melaksanakan tugas partai.owi
Pada 2014, Jokowi maju sebagai capres didampingi Yusuf Kalla dan lima tahun berikutnya kembali nyapres dengan didamping Maruf Amin.

"Di masa kepemimpina di yang kedua, dia tidak berupaya memperkuat posisi PDIP dibandingkan partai lain, melainkan hanya berupaya memperkuat posisinya sendiri," kata Lane.

Lan menyoroti bahwa Jokowi tak menempatkan kader partai di posisi strategis seperti sekretaris kabinet atau Menkomarves.

Jabatan strategis sisanya jatuh ke tangan tokoh partai lain ini melemahkan posisi PDIP secara keseluruhan di pemerintahan.

Lane menilai terdapat dua proses mendasar yang perlu diperhatikan.

Pertama, kemunculan Jokowi yang membangun dinasti merupakan cerminan dari ciri-ciri dasar politik arus utama Indonesia.

"Prabowo, Yudhoyono, Surya Paloh, Megawati, dan bahkan partai-partai kecil lainnya telah membuka jalan bagi Widodo dan putra-putranya," ujar dia.

Kontroversi yang ada saat ini, kata Lane, tak berpusat pada ideologi atau program, hanya pada bahaya pembangunan dinasti itu sendiri.

Lane juga menyoroti ketidakmampuan PDIP menghasilkan pemimpin kredibel sehingga mereka tampak mememfasilitasi perwujudan ambisi pribadi Jokowi.

"PDIP kini menghadapi fenomena yang turut mereka ciptakan," kata dia.

Kedua, manifestasi ekstrim politik ambisi pribadi berdasarkan serangkaian manuver Jokowi yang menimbulkan potensi nyata perpecahan politik.

Manuver Jokowi bahkan mengharuskan dia melakukan pengkhianatan secara perlahan terhadap PDIP.

Dampak utama dari manuver Jokowi telah dirasakan PDIP.

"Sebagai balasannya, Megawati kini juga menggunakan perbandingan dengan Orde Baru untuk mengkritik mereka yang baru berkuasa," ungkap Lane. (*)

Tags : pakar asing prediksi nasib ri jika prabowo menang, pakar asing, media asing, australia, prabowo subianto, joko widodo, jokowi, pilpres 2024, pemilu 2024,