Entertaiment   2024/02/24 18:19 WIB

Panitia Nobar Film Eksil Batal Ditayangkan karena 'Tak ada Izin Keramaian'

Panitia Nobar Film Eksil Batal Ditayangkan karena 'Tak ada Izin Keramaian'
Acara nonton bareng film Eksil di Samarinda, Kaltim, dibatalkan. 

PANITIA nonton bareng (nobar) film dokumenter Eksil di Samarinda, Kalimantan Timur, menduga motif di balik pembatalan acara tersebut ada kaitan dengan dinamika politik Pilpres 2024 yang masih panas sejak peluncuran film Dirty Vote.

Sebab, dua film ini memuat 'dosa-dosa' negara dan pemerintah.

Penyelenggara nobar, Wisnu Juliansyah, berkata masih mempertimbangkan mencari alternatif lokasi nonton di tempat lain.

Sebelumnya pihak pengelola bioskop CGV Plaza Mulia Samarinda membatalkan acara ini dengan dalih belum mengantongi surat izin keramaian dari Polresta Samarinda. 

Meski belakangan Humas Polresta Samarinda, Iptu Muhammad Rizal, membantahnya. 

Seperti apa kronologinya?

Penyelenggara nobar film Eksil di Samarinda, Kalimantan Timur, Wisnu Juliansyah, bercerita awal mula muncul ide menonton sinema karya Lola Amaria ini sekitar satu pekan lalu.

Dia bersama teman-temannya di Komunitas Aksi Kamisan Kaltim melihat sebuah unggahan dari akun Instagram rumah produksi film Eksil.

Baginya film ini menarik ditonton bersama karena berisi kisah sejarah kelam Indonesia di masa lalu yang membuat sejumlah orang kehilangan hak-haknya sebagai warga negara hanya karena tidak mau mengakui pemerintah Orde Baru yang sedang berkuasa.

"Jadi kami buka [akun Instagram], dan siapapun kelompok di daerah yang mau nobar film Eksil dipersilakan menghubungi. Mereka siap memfasilitasi," kata Wisnu Juliansyah.

"Akhirnya kawan-kawan di Kamisan Kaltim mau buat di Samarinda," sambungnya.

Wisnu dan kawan-kawan memutuskan menyewa salah satu studio yang berkapasitas 146 penonton di bioskop CGV Plaza Mulia Samarinda dengan biaya sewa Rp4.050.000.

Setengah dari uang sewa itu, katanya, sudah dibayar kepada pihak pengelola bioskop. Adapun sisanya baru akan dilunasi sehari sebelum nobar digelar pada Kamis (22/02).

Kata Wisnu, uang sewa tersebut diperoleh dari hasil penjualan tiket.

Ada 146 tiket yang sudah terjual dengan harga Rp30.000 per tiket.

Tapi, pada Rabu (21/02), pihak pengelola bioskop CGV Plaza Mulia Samarinda, memanggil Wisnu dan kawan-kawan untuk memberitahu bahwa pihak bioskop tidak bisa menyayangkan film tersebut.

Wisnu mengaku kaget dan merasa aneh dengan pemberitahuan mendadak itu. Sebabnya, mereka diminta harus mengantongi surat izin keramaian dari kepolisian sehari jelang nobar digelar.

"Pertama kami diberitahu mendadak, H-1. Sementara urus surat itu ribet dan lama. Ngapain juga [urus surat izin keramaian] kan cuma nonton film di bioskop... bukan demonstrasi," ucapnya jengkel.

Namun rupanya, menurut Wisnu, tak cuma panitia nobar yang diminta mengurus surat izin keramaian, tetapi juga pengelola bioskop.

"Jadi pihak pengelola CGV juga diminta urus surat izin keramaian. Kami selaku panitia nobar juga sama."

Akhirnya, sambung Wisnu, pihak CGV Plaza Mulia memberi dua opsi kepada panitia nobar: dibatalkan atau diundur sampai panitia mengantongi surat izin.

Diberi pilihan seperti itu, dia tak berkutik. Wisnu dan teman-temannya mengaku ogah meminta izin keramaian karena fasilitas yang dipakai milik swasta dan disewa pakai dana pribadi, bukan ruang publik.

"Itu kan nonton bareng [film] yang kemudian sewa teater kayak bioskop gitu. Itu bukan fasilitas publik, itu fasilitas swasta yang kami sewa, kami bayar, ya enggak perlu izin keramaian."

Apa motif di balik pembatalan itu?

Beberapa hari sebelum acara nobar, Wisnu berkata pihak pengelola CGV Plaza Mulia disebut dipanggi kepolisian. Tak jelas apa maksud dari pemanggilan itu.

Tapi setelah pertemuan itulah, pihak bioskop berdalih harus ada surat izin keramaian.

"Dia [pihak CGV] juga ada ngomong lewat chat, bahwa dia sempat ke Polres [Polres Samarinda]. Setelah ketemu kami baru diminta bikin surat izin keramaian," imbuhnya.

Kepada Wisnu, pengelola bioskop sebetulnya bingung soal izin keramaian ini. Sebab sebelumnya acara nobar film yang diselenggarakan di lokasi sama, tidak pernah mengantongi izin keramaian.

"Makanya pihak CGV ini sebenarnya heran juga, kenapa nobar film [Eksil] ini pakai surat izin keramaian. Mereka bilang ke kami, sebelum-sebelumnya enggak pernah pakai izin keramaian," terang Wisnu. 

Dia menduga motif di balik pembatalan nobar itu masih berkaitan dengan dinamika politik Pilpres 2024 yang masih panas sejak film Dirty Vote diluncurkan tiga hari sebelum pencoblosan.

"Menurut kami ada unsur intimidasi di sini karena tiba-tiba [batal]."

"Mungkin ada kaitannya dengan polemik pemilu yang belum usai ini. Ada ketakutan-ketakutan negara akan masa lalu."

"Film Eksil ini kenapa seperti ini [dibatalkan] karena melihat Dirty Vote [ramai jadi perbincangan publik]."

Juru bicara Polresta Samarinda, Iptu Muhammad Rizal, membantah pihaknya melarang acara nobar film Eksil.

Katanya, informasi yang beredar di media sosial bahwa pembatalan itu lantaran tidak mendapatkan izin dari kepolisian, tidak benar. 

Polisi klaimnya, tidak punya hak melarang penayangan film di bioskop. Adapun izin keramaian sebutnya hanya jika penayangan dilakukan di luar bioskop atau ruang publik lain.

"Informasi itu tidak benar, kami tidak pernah melarang," katanya seperti dilansir Kaltimtoday.co.

Hingga saat ini, Wisnu dan kawan-kawannya di Komunitas Aksi Kamisan Kaltim masih mempertimbangkan alternatif lokasi lain agar nobar film dokumenter tersebit tetap terlaksana.

Kendati dia membuka peluang bagi pembeli tiket kalau ada yang ingin uangnya dikembalikan atau menunggu sampai dijadwalkan kembali.
Penonton kecewa: Itu bagian dari sejarah, dan kita harus tahu

Rahman Dwi Saputra, 29 tahun, yang sudah membeli tiket film nobar mengaku kecewa karena batal bisa menyaksikan Eksil.

"Sangat disayangkan, nobar film gagal ditayangakn H-1. Ya kecewa banget. Kami kecewa ke pihak keamanan, kenapa H-1 batal diputuskan secara sepihak," ungkap dia.

Padahal, kata dia, film itu akan menginspirasi anak muda. Film yang mengisahkan perjuangan pemuda pemudi di 1965 yang sekolah ke luar negeri tapi tak bisa pulang dan tanpa kewarganegaraan.

"Itu bagian dari sejarah, dan kita harus tahu. Entah itu baik atau buruk itu lah sejarah kita, kenapa harus dibatalkan [nobar]," keluh dia.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan izin keramaian dari kepolisian hanya berlaku untuk kegiatan yang mendatangkan massa lebih dari 1.000 orang seperti konser musik, dangdut, atau pertunjukan wayang kulit.

Selain dari aktivitas yang tidak dilakukan di ruang publik dan tidak mengundang banyak orang, maka tak perlu ada surat izin keramaian.

Lagi pula, menurut Isnur, film dokumenter tersebut sebetulnya sudah lolos seleksi dari Lembaga Sensor Film (LSF).

"Itu ngaco aja, mereka [pihak bioskop] ketakutan kayaknya," ujar Isnur.

"Ini jurus lama dalam praktik membungkam... praktik orang ketakutan terhadap kebebasan berpikir dan berekspresi. Bagian dari cara-cara praktik Orde Baru melarang buku, film, konser."

Sejarawan dan akademisi, Andi Achdian, sependapat.

Dia menduga ada pihak-pihak tertentu di daerah tersebut tidak suka dengan film yang dianggap 'meresahkan' dan 'tabu'.

Pihak tertentu ini, menurutnya, punya kewenangan untuk memerintah aparat negara. Tapi perintahnya tidak terang-terangan berupa pelarangan, namun dengan cara yang halus.

"Kalau zaman Orde Baru namanya gentle command, enggak perlu dibilang jelas melarang, tapi bisa dengan bahasa, 'kok gitu ya.. jangan lah'," ujar Andi kepada BBC News Indonesia.

"Bahasa seperti itu sudah ditafsirkan oleh aparat birokrasi pada masa Orde Baru sebagai perintah melarang."

"Di balik gentle command itu ada sedikit intimidasi, misalnya dengan menurunkan ormas, begitu polanya. Itu menunjukkan indikasi bahwa demokrasi di Indonesia masih rapuh."

Film Eksil, bagi Andi Achdian, berupaya memahami sejarah Indonesia di masa lalu dari kacamata kemanusiaan.

Bagaimana orang-orang yang dituduh sebagai pengkhianat negara pada periode 1965 sebetulnya adalah korban dari kekejaman pemerintah Orde Baru.

Bagi beberapa pihak, ujarnya, terutama pejabat pemerintah dan pensiunan tentara, tentu film tersebut masih dianggap tabu. Berbeda dengan generasi sekarang yang justru ingin mencari tahu kebenarannya.

"Saya kira kenapa film ini masih dianggap momok, karena ada yang merasa bersalah, ada orang yang punya fobia."

"Kalau generasi sekarang tidak ada masalah. Tapi yang punya dosa dan yang terus menghidupkan itu yang bermasalah."

"Jadi ada semacam dosa turunan yang dipelihara sehingga hal-hal begitu [film atau buku yang terkait peristiwa 1965] dianggap tabu."

Catatannya, sejak reformasi bentuk-bentuk pelarangan terhadap film atau buku yang berkaitan dengan peristiwa 1965 kerap mengalami intimidasi.

Pada 2014 misalnya, pemutaran film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer di beberapa daerah dibatalkan dengan alasan keamanan karena mendapat teror dan bahkan pembubaran paksa oleh ormas tertentu.

Salah satu pelarangan itu terjadi di Universitas Brawijaya di Kota Malang. Pihak yang melarang adalah Komando Distrik Militer 0833/Bhaladika Jaya.

Film Senyap berkisah tentang perjalanan satu anggota keluarga korban pembantaian terduga simpatisan PKI untuk bertemu dengan orang-orang di balik pembantaian tersebut.

Andi khawatir pelarangan nobar film Eksil di Samarinda bakal merembet ke daerah lain seperti peristiwa Senyap.

"Karena biasanya polanya begitu. Awalnya di wilayah mana dulu... kan itu pola-polanya dari yang sudah lama kita alami."

"Spirit Orde Baru masih bergentayangan dengan fobianya sendiri."

Dia berharap panitia nobar di Samarinda, Kaltim, tidak kecut dengan pelarangan itu dan tetap menggelar acaranya di tempat lain.

Eksil merupakan film dokumenter garapan Lola Amaria dan tayang di bioskop mulai 1 Februari 2024. Sayangnya film ini tidak mendapatkan cukup banyak jam tayang karena keterbatasan layar.

Alur cerita Eksil dapat dibilang sensitif lantaran menceritakan kisah para mahasiswa yang tak bisa pulang ke Indonesia usai peristiwa 1965.

Mereka telah kehilangan kewarganegaraan sehingga tak ada lagi akses untuk menghubungi keluarga mereka di Indonesia.

Akibatnya mereka menjadi Eksil alias terasing dan hidup tanpa status kenegaraan di negeri orang.

Eksil berkisah dari narasumber asli yang merupakan para eksil yang mengalami kejadian tersebut dan mengisahkan pengalaman hidup mereka di negeri orang.

Film ini meraih penghargaan Piala Citra Festival Film Indonesia 2023 kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik. (*)

Tags : Media sosial, Politik, Hukum, Indonesia, Teater, Film,