Linkungan   2025/01/07 17:39 WIB

Para Aktivis Lingkungan Serukan agar Tindakan Perusakan Alam Diakui Sebagai Kejahatan Internasional, 'yang Dimasukkan pada Hukum Ekosida'

Para Aktivis Lingkungan Serukan agar Tindakan Perusakan Alam Diakui Sebagai Kejahatan Internasional, 'yang Dimasukkan pada Hukum Ekosida'
Para aktivis lingkungan menyerukan supaya tindakan perusakan alam diakui sebagai kejahatan internasional.

LINGKUNGAN - Dari Paus hingga Greta Thunberg, seruan agar tindak pidana "ekosida" diakui oleh hukum internasional semakin kuat — namun akankah hukum semacam ini berhasil?

Pada Desember 2019, di Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, duta besar Vanuatu untuk Uni Eropa memberikan saran radikal: menjadikan perusakan lingkungan sebagai tindak kejahatan.

Vanuatu adalah sebuah negara pulau kecil di Pasifik Selatan yang keberadaannya terancam oleh semakin naiknya permukaan laut.

Perubahan iklim adalah krisis yang cepat dan tak terelakkan di negara ini, namun tindakan yang menyebabkan kenaikan suhu — seperti penggunaan bahan bakar fosil — yang hampir seluruhnya terjadi di tempat lain, dilakukan oleh dan untuk negara-negara lain, seperti mendapat kelonggaran dari pemerintah negara-negara tersebut.

Negara kepulauan kecil seperti Vanuatu telah lama mencoba membujuk negara-negara besar dan kuat untuk mengurangi tingkat emisi mereka. Namun perubahan terjadi dengan sangat lambat.

Jadi, Duta Besar John Licht mengatakan, mungkin sudah saatnya untuk mengubah undang-undang.

Amandemen pada perjanjian yang dikenal sebagai Statuta Roma, yang membentuk Mahkamah Pidana Internasional, seharusnya dapat mengriminalisasi tindakan-tindakan yang mengarah pada ekosida. Ia berkata, "ide radikal ini memerlukan diskusi yang serius".

Ekosida — yang secara harafiah berarti "membunuh lingkungan" — adalah gagasan yang tampaknya radikal dan, menurut para aktivis, masuk akal.

Secara teori, tidak ada yang boleh dibiarkan begitu saja karena menghancurkan alam. Para aktivis percaya bahwa kejahatan ini harus berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, yang saat ini hanya dapat menuntut empat kejahatan: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Saat ini, Mahkamah Pidana Internasional sudah bisa menuntut kejahatan lingkungan, namun hanya bila ia ada dalam konteks empat tindak pidana tadi. Mahkamah tidak memberikan batasan hukum apa pun pada kerugian yang terjadi pada masa damai.

Masing-masing negara mungkin telah memiliki aturan dan regulasi untuk mencegah kerusakan alam, namun para pegiat lingkungan berpendapat bahwa kerusakan lingkungan secara massal akan terus berlanjut sampai ada hukum global yang diberlakukan.

Peraturan yang diusulkan ini bukanlah aturan yang halus dan bisa dibilang ompong, seperti yang kerap muncul dari proses internasional. Seperti pada Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, misalnya, di mana negara-negara menetapkan target pengurangan emisi mereka sendiri.

Dengan menambahkan ekosida sebagai kejahatan kelima dalam Statuta Roma dari Mahkamah Pidana Internasional, pelaku perusakan lingkungan akan bisa dimintai pertanggungjawaban, kemudian ditangkap, dituntut, dan dipenjara.

Di sisi lain, peraturan ini juga akan membantu menciptakan perubahan budaya atas bagaimana cara dunia memandang tindakan yang bisa merusak alam, kata Jojo Mehta, salah satu pendiri kampanye Stop Ecocide.

"Jika sesuatu dikategorikan sebagai tindak kejahatan, kita meletakkannya di bawah garis moral. Saat ini, Anda masih bisa pergi ke pemerintah untuk mendapatkan izin membongkar atau menambang minyak. Namun Anda tidak bisa mendapatkan izin untuk membunuh seseorang, karena ini tindak kriminal," ujarnya.

"Saat kita bisa menetapkan parameter itu, maka kita mengubah pola pikir, sekaligus mengubah realitas hukum."

Para pendukung gagasan ini percaya bahwa kejahatan ekosida hanya berlaku pada kerusakan lingkungan yang paling serius, yang mencakup kegiatan seperti tumpahan minyak, penambangan laut dalam, peternakan industrial, dan ekstraksi pasir tar.

Pada 2010, Polly Higgins, seorang pengacara Inggris, mendefinisikan ekosida sebagai "kerusakan besar-besaran… sedemikian rupa sehingga kedamaian yang dirasakan oleh penghuni wilayah tersebut telah dan akan sangat berkurang."

Higgins meninggal dunia pada 2019 karena kanker. Ini menjadi pukulan besar bagi gerakan ekosida, karena Higgins adalah salah satu ujung tombak advokasi mereka. Dia bahkan menjual rumahnya dan berhenti dari pekerjaannya yang bergaji tinggi untuk mendedikasikan hidup pada kampanye ini.

Namun meski Higgins telah tiada, gerakan ini sepertinya terus mendapatkan momentum. Setelah puluhan tahun dicap sebagai radikal dalam gerakan lingkungan, ekosida kini didiskusikan oleh parlemen dan pemimpin di seluruh dunia.

Salah satunya adalah Emmanuel Macron, presiden Prancis. Di awal 2020, lebih dari 99% majelis warga Prancis, sebuah kelompok yang terdiri dari 150 orang yang dipilih untuk memandu kebijakan iklim negara tersebut, memilih untuk menjadikan ekosida tindak pidana.

Ini mendorong Macron untuk mengumumkan bahwa pemerintah akan berkonsultasi dengan para ahli hukum tentang bagaimana memasukkan ekosida ke dalam hukum Prancis.

Lebih jauh, dia menambahkan, "Induk dari pertempuran ini adalah dunia internasional: bagaimana memastikan terminologi ini diabadikan di dalam hukum internasional sehingga para pemimpin negara… turut bertanggung jawab di hadapan Majelis Pidana Internasional."

Di tempat lain di Eropa, dua partai Hijau Belgia telah memperkenalkan undang-undang ekosida yang bertujuan untuk menangani permasalahan lingkungan di tingkat nasional dan internasional. Ide ini mendapatkan dukungan dari parlemen Swedia.

"Kita sudah memiliki konvensi, kita juga sudah memiliki tujuan yang sama. Namun visi yang bagus ini harus diwujudkan dari atas kertas menjadi sebuah tindakan," kata Rebecka Le Moine, anggota parlemen Swedia yang mengajukan mosi kepada parlemen nasionalnya.

"Dan aksi ini harus lebih dari sekadar niat baik atau aktivisme, ini harus menjadi hukum."

Paus Fransiskus adalah tokoh lain yang menyerukan agar ekosida diakui sebagai tindak pidana oleh masyarakat internasional. Begitu pula dengan Greta Thunberg, yang menyumbangkan uang hadiah penghargaan pribadinya sebesar €100.000 (Rp 1,7 miliar) untuk Stop Ecocide Foundation.

Mahkamah Pidana Internasional sendiri telah meningkatkan tuntutan pada kejahatan-kejahatan lingkungan dengan batasan yang masih mencakup yurisdiksi mereka.

Sebuah jurnal kebijakan yang disusun pada 2016 menunjukkan Mahkamah Internasional cenderung menuntut kejahatan yang melibatkan eksploitasi sumber daya alam ilegal, perampasan tanah, dan kerusakan lingkungan.

Meski ini tak mengubah status quo, namun dapat dianggap sebagai langkah penting menuju pewujudan ekosida sebagai tindak pidana di bawah hukum internasional.

Walaupun demikian, konsep ekosida memiliki keterbatasan. David Whyte, profesor studi hukum sosial di Universitas Liverpool dan penulis buku "Ecocide" memperingatkan bahwa hukum internasional bukanlah senjata pamungkas untuk membasmi kerusakan lingkungan.

Perusahaan tidak dapat dituntut dengan hukum pidana internasional, melainkan individu, tukas Whyte. Menuntut CEO sebuah perusahaan, lanjutnya, tidak serta-merta menghancurkan bisnis mereka.

"Sangat penting untuk mengubah bahasa dan cara berpikir kita tentang apa yang membahayakan planet ini. Kita sudah seharusnya menghukum kejahatan lingkungan — namun tidak akan ada yang berubah, kecuali kita mengubah model kapitalisme korporat," ujarnya.

Perjalanan memang masih panjang supaya ekosida diakui sebagai kejahatan internasional, namun gerakan yang mendukungnya semakin besar, kata Rachel Killean, dosen senior di Queen's University di Belfast. Killean baru-baru ini menulis makalah tentang cara-cara alternatif bagaimana Mahkamah Pidana Internasional bisa mengadili kerusakan lingkungan.

"Jangan berkata tidak akan pernah — gerakan ini telah mendapatkan momentum yang tidak pernah kita perkirakan sebelumnya. Namun tantangannya masih sangat besar. Pertama-tama, akan ada keengganan politis. Saya pikir, kemungkinan negara-negara menyetujui penambahan tidak pidana ini sangat kecil, terutama bila itu berpotensi menghalangi pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Dari perspektif hukum, undang-undang internasional tentang ekosida juga akan sulit dirumuskan, imbuh Killean. Pengacara harus memastikan ada cukup alasan untuk melakukan penuntutan.

"Jika Anda membayangkan semua hal yang terdapat pada penuntutan pidana, maka Anda harus menentukan seorang individu — jadi, siapa individu yang bertanggung jawab atas sebuah ekosida? Harus ada niat — bagaimana Anda membuktikan seseorang berniat untuk merusak lingkungan? Semua hal berbeda yang ada dalam pengadilan pidana ini menjadi sangat rumit bila diberlakukan pada konteks ekosida."

Aktivis seperti Mehta memahami kesulitan ini. Kelompok kampanyenya, Stop Ecocide, saat ini mengumpulkan panel yang terdiri dari pengacara internasional untuk menuliskan definisi ekosida yang "jelas dan kuat secara hukum" sehingga negara-negara bisa mengusulkannya kepada Mahkamah Pidana Internasional.

Jika ini sudah beres, maka langkah selanjutnya adalah mencari satu negara yang mendukung gagasan ini di The Hague.

Vanuatu memang telah mengangkat masalah ini, namun mereka tidak menyerahkan proposal formal untuk mengamendemen Statuta Roma. Apakah akan ada negara yang cukup berani untuk melakukannya, masih menjadi pertanyaan besar - yang pasti, mereka butuh pengaruh diplomatik yang tinggi.

Namun Mehta yakin langkah ini bisa terjadi, melihat semakin banyaknya pemerintah yang telah menyatakan dukungan mereka pada teori ekosida.

"Ada rasa aman bila melakukannya bersama-sama," ujarnya. "Secara politik, risikonya lebih kecil."

Namun perjalanan tidak akan berakhir di situ. Setelah proposal diajukan, ia harus diadopsi oleh dua per tiga suara mayoritas. Dalam praktiknya, itu membutuhkan dukungan dari 82 negara.

Tidak ada negara yang memiliki hak veto, dan semua negara memiliki kekuatan suara yang sama, terlepas dari ukuran maupun kekayaan mereka. Proses ini, menurut Mehta, bisa makan waktu selama tiga sampai tujuh tahun.

Terlepas dari apakah prosesnya bisa berjalan dengan cepat, atau bahkan terjadi sama sekali, ekosida telah terbukti sebagai gagasan yang ampuh. Ia mengkristalisasi konsep yang selama ini hilang dalam diskusi kebijakan dan teknologi: bahwa perusakan lingkungan adalah hal yang tidak bermoral.

Ekosida juga menjadi pengingat bahwa tindakan ini bukannya tanpa korban: saat hutan terbakar dan air laut naik, manusia di berbagai penjuru dunia ikut menderita. Dan siapa pun yang melakukan ekosida, harus bertanggung jawab.

Bagi pegiat seperti Mehta, menjadikan ekosida sebagai tindak pidana adalah cara untuk mengakhiri penghancuran ekosistem Bumi dan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. (*)

Tags : membunuh alam, hukum internasional, hukum ekosida, Hukum, Lingkungan,