HUKRIM - Para penjahat menggunakan "taktik psikologis" untuk menguras uang tunai korbannya di tengah meningkatnya angka penipuan, kata Bank Barclays.
Chief Behavioural Scientist Bank Barclays, Dr Pete Brooks, mengatakan mereka menggunakan trik khusus, termasuk menciptakan ilusi kelangkaan produk atau berpura-pura menjadi pihak berwenang untuk "memanipulasi korban secara sosial".
Dia mengatakan para penipu mengincar orang selama berminggu-minggu melalui aplikasi kencan dan dalam beberapa kasus membangun "hubungan emosional".
Dr Brooks menambahkan, mereka menyasar mangsanya dengan melihat bias dan sifat kepribadian orang.
Dia mengatakan meskipun jenis penipuan tidak berubah selama beberapa dekade, penjahat menjadi lebih canggih dan dapat menggunakan "lebih banyak saluran" untuk mengincar orang-orang.
Salah satunya dengan menggunakan aplikasi kencan. Dr Brooks mengatakan para penipu akan terhubung dengan orang yang cocok dengan mereka, membangun hubungan dalam periode waktu tertentu, dan kemudian mengeksploitasi sifat korbannya agar mereka mau mentransfer uang. "Sebagian besar dari kita percaya begitu saja," kata Dr Brooks seperti dirilis BBC.
Dr Brooks mengatakan "penipuan pembelian", di mana barang yang dibeli secara daring tidak ada atau tidak pernah sampai, adalah jenis yang paling umum.
Dia mengatakan kejahatan semacam itu melibatkan penipu yang menciptakan "kelangkaan yang menyebabkan 'nilai' dari barang yang mereka jual bisa memotivasi konsumen bertindak cepat, tanpa mempertimbangkan lebih jauh".
Misalnya, mengiklankan sesuatu dengan penawaran hanya satu kali, tambahnya, atau produk dengan harga atau edisi terbatas, atau "mendorong untuk membeli sesuatu yang 'harus' dibeli sekarang, meski Anda belum pernah melihat produknya dalam kehidupan nyata".
Barclays mengatakan jumlah rata-rata kerugian seseorang dari modus penipuan pembelian mencapai Rp18 juta.
Namun, penelitian menemukan penipuan yang menargetkan orang-orang yang berinvestasi mengakibatkan kerugian yang lebih banyak.
Angka penipuan meningkat sampai 17% dalam tiga bulan terakhir, sementara upaya menipu orang meningkat 70% dalam tiga bulan terakhir di 2021.
'Menanamkan rasa takut'
Penipuan dengan meniru identitas, kata Dr Brooks, melibatkan penjahat yang mengeksploitasi suatu sifat di lebih dari sepertiga orang Inggris yang disurvei. Para korban cenderung memenuhi permintaan jika mereka yakin itu berasal dari lembaga terkenal, seperti bank, polisi, atau NHS.
"Dalam situasi ini, para penipu akan memanfaatkan wewenang dari lembaga yang bersangkutan untuk menanamkan rasa takut pada korban mereka," katanya.
"Mungkin dengan mengatakan bahwa rekening bank mereka telah disusupi, mereka terlambat membayar, atau mereka akan didenda jika mereka tidak membayar dalam jumlah penuh. Secara psikologis, banyak dari kita akan mempercayainya begitu saja karena itu berasal dari lembaga terkemuka."
Sementara itu, penipuan investasi, kata Barclays, membuat korban kehilangan rata-rata Rp300 juta dalam tiga bulan terakhir di 2021.
Dr Brooks mengatakan para penipu itu "ahli dalam mengeksploitasi fakta bahwa orang ingin mengembangkan aset mereka, dan terkadang kita mengesampingkan melakukan pengecekan yang lebih mendalam demi mendapatkan peluang jumlah uang kembali yang tinggi".
Barclays mengatakan hal itu tergambar dalam penelitiannya. Tiga dari 10 orang mengakui bahwa mereka bersedia menginvestasikan uangnya pada penyedia investasi atau tabungan yang belum pernah mereka dengar, jika mereka pikir pengembaliannya akan lebih tinggi daripada penyedia investasi lainnya.
Barclays mengatakan panggilan telepon dari bank yang sebenarnya tidak akan pernah meminta pelanggan untuk membagikan nomor pin atau informasi keamanan mereka atau untuk mentransfer uang ke "rekening yang aman".
Bank memberikan saran: "selalu mempertanyakan apakah tawaran itu masuk akal dan jangan takut untuk curiga".
Namun, yang "mengkhawatirkan", hampir sepertiga dari 2.002 orang yang disurvei mengakui bahwa mereka "tidak akan tahu apa yang harus dilakukan jika mereka menjadi sasaran penipuan". (*)
Tags : Internet, Teknologi, Kejahatan, Inggris raya, Kejahatan siber,