Pilkada   2024/02/24 18:47 WIB

Partai Politik Baru Belum Meraih 4 Persen Suara Sah Nasional, 'Bisa Gagal Masuk ke DPR'

Partai Politik Baru Belum Meraih 4 Persen Suara Sah Nasional, 'Bisa Gagal Masuk ke DPR'

JAKARTA - Belum satupun partai politik baru meraih 4% suara sah nasional, merujuk penghitungan faktual KPU sampai Kamis 22 Februrari 2024.

Berdasarkan penghitungan cepat berbagai lembaga survei, enam partai yang baru pertama kali mengikuti pemilu pada tahun 2024 ini akan gagal memenuhi syarat untuk meraih kursi di DPR.

Ambang batas parlemen dan sistem proporsional terbuka yang memicu biaya tinggi dinilai menghambat partai baru, terutama yang tidak berjejaring dengan pebisnis dan politikus besar.

Namun mengapa Partai Solidaritas Indonesia juga berpotensi gagal untuk kedua kalinya meski telah disokong keluarga Joko Widodo? Mengapa pula suara Partai Perindo yang dimiliki konglomerat Hary Tanoesoedibjo tak kunjung melonjak setelah mereka merapat ke koalisi partai-partai lama dalam Pilpres 2024?

Beberapa pengakuan sejumlah calon legislatif dari partai baru, pakar politik, dan merangkum sebuah riset untuk menjawab pertanyaan itu menlai partai politik baru hampir mustahil mendapat kursi di DPR pada keikutsertaan pertama mereka di pemilu

Seperti disebutkan Amalinda Savirani, pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, partai baru selalu terbebani untuk memenuhi syarat administratif yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu. Syarat yang disebutnya adalah kewajiban sebuah partai baru untuk memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota dan di 50% dari total kecamatan.

Pada saat yang sama, partai baru juga harus mempengaruhi warga untuk memilih mereka—sebuah tahap yang disebut Amalinda tidak kalah berat ketimbang tahap verifikasi administrasi.

Banyak partai baru, kata Amalinda, kerap gagal pada tahap turun ke masyarakat ini. Akibatnya, mereka tidak dapat meraih jumlah minimal suara untuk menempatkan kader di DPR.

“Jadi ini tentang infrastruktur partai politik yang gila, yang membutuhkan sumber daya dan jaringan yang masif,“ kata Amalinda. 

“Verifikasi bisa diakali, tapi representasi itu berat untuk partai baru. Seberapa besar kemampuan mereka mengedukasi dan mempengaruhi warga di akar rumput untuk memilih mereka?“ ujarnya.

Merujuk tren pada beberapa pemilu terakhir, Amalinda menyebut partai baru harus bersiasat dengan perspektif jangka panjang. Setelah pemilu pertama, partai baru bisa berfokus untuk menjalin relasi dengan warga demi melampaui ambang batas parlemen.

“Aturan ambang batas parlemen 4% hampir tidak mungkin dicapai oleh partai baru. Tapi kalau proyeksinya adalah target 10 sampai 20 tahun, sambil melakukan pengorganisasian yang mendalam, syarat itu mungkin dicapai,“ kata Amalinda.

Penuturan Amalinda sesuai dengan situasi yang terjadi di Partai Buruh. Partai yang secara resmi dibentuk pada Oktober 2021 ini diproyeksi sejumlah lembaga survei akan mendapat suara sekitar 0,6% dari total suara nasional.

Salah satu hambatan terbesar Partai Buruh adalah pemilu yang berbiaya tinggi, kata Ilhamsyah, Kepala Badan Pemenangan Pemilu di partai yang menyebut diri sebagai representasi kelas pekerja tersebut.

Ilhamsyah mencontohkan, Partai Buruh tidak bisa menempatkan saksi di setiap tempat pemungutan suara. Karena kendala anggaran, mereka bergantung pada kader maupun sukarelawan yang bersedia mengawal penghitungan suara manual di TPS.

“Semestinya partai bisa menyerahkan sepenuhnya ke KPU untuk mendapatkan hasil penghitungan suara yang objektif. Faktanya, kami tidak bisa menyerahkan hasil pencoblosan kepada penyelenggara sehingga partai politik harus punya saksi di setiap TPS untuk mengawal suara,” kata Ilhamsyah.

“Ini tantangan yang begitu berat bagi Partai Buruh untuk menempatkan saksi di semua TPS yang berjumlah 823 ribu di seluruh Indonesia. Kami memaksimalkan saksi dari internal, kader atau relawan yang tidak dibayar.

“Targetnya kami bisa mengawal 60% TPS, tapi realitanya jauh dari harapan, kami hanya menempatkan saksi di kurang dari 100 ribu TPS,” ujar Ilhamsyah.

Merujuk berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi partainya, Ilhamsyah menyebut berpartisipasi sebagai peserta pemilu sudah merupakan pencapaian besar bagi Partai Buruh. Dia berkata, partai ini dibangun setelah berbagai upaya panjang kelompok buruh membangun basis kekuatan politik.

Sama seperti yang diutarakan Amalinda, sejak tahun 2021 Partai Buruh berfokus pada satu tujuan besar mereka: lolos syarat administrasi KPU.

“Partai kami baru berjalan sekitar 2 tahun, dibangun di tengah pandemi Covid. Jadi kami masih sangat baru sebagai partai politik,” kata Ilhamsyah.

”Di satu setengah tahun pertama kami disibukkan syarat administrasi. Fokus semua kader adalah memenuhi syarat yang diminta UU Pemilu.

”Sekarang ada beberapa kursi yang bisa kami dapat di DPRD tingkat kabupaten dan kota. Ini adalah pencapaian,” ujarnya. Ilhamsyah berkata, kursi di legislatif tingkat daerah yang tidak berpatokan pada ambang batas parlemen akan menjadi modal besar untuk ”mempertahankan dan membesarkan Partai Buruh”.

Menurut Amalinda Savirani, raihan kursi di DPRD akan menjadi semacam ”tabungan” bagi partai baru yang gagal masuk DPR. Jika Partai Buruh betul-betul mendapat kursi DPRD di dapil berlatar kawasan pabrik, Amalinda menyebut partai itu akan mengulang pengalaman PSI pada pemilu 2019.

Walau gagal masuk DPR pada Pemilu 2019, PSI menempatkan 8 kader mereka di DPRD DKI Jakarta dan satu kader di DPRD Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.

”Di Kabupaten Bekasi, daerah industri yang saya teliti, karena basis pemilihnya adalah buruh, Partai Buruh menargetkan empat kursi atau satu fraksi. Kalau tercapai, itu bisa menjadi celengan mereka untuk menjadi peserta Pemilu 2029,” kata Amalinda.

”Tapi harus diingat, masalah lokal berbeda dengan isu nasional,“ ujarnya.

Amalinda berkata, kursi di DPRD itu tak akan berdampak apapun bagi partai baru jika mereka tidak mampu mengusung gagasan yang berkaitan dengan persoalan di tingkat nasional.

PSI gagal dua kali ke DPR?

William Sarana dilantik menjadi anggota DPRD DKI Jakarta saat berumur 23 tahun pada 2019. Dia adalah satu dari 13 kader PSI yang meraih kursi di legislatif daerah. Dia lantas menjabat ketua fraksi partainya.

Berdasarkan penghitungan suara faktual KPU per Kamis (22/02), William telah meraih 10.843 suara. Kompetitor terdekat William belum mencapai setengah suaranya. Dia satu langkah kembali ke kursinya di DPRD DKI.

“Kalau sebuah partai kuat di DPRD tingkat 2, dicintai masyarakat, maka mereka lebih mudah mendapatkan suara di DPRD provinsi atau DPR sebenarnya. Jadi itu level DPRD sangat penting dalam konteks pemilu,” ujar William.

Namun keberhasilan William dalam dua pemilu ini tidak berbanding lurus dengan capaian PSI. Di Pemilu 2019, PSI hanya mendapat 1,89% dari total suara nasional. Sementara pada pemilu kali ini, suara mereka baru mencapai 2,5%.

Walau berpotensi besar mengulang kegagalan masuk DPR, para petinggi PSI masih beretorika bahwa mereka masih berpeluang melewati ambang batas parlemen. 

Kontestasi PSI kali ini menjadi sorotan. Pucuk pimpinan partai ini mulai diduduki Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, pada September 2023. Naiknya Kaesang menjadi Ketua Umum PSI kontroversial karena dia bukan anggota yang mengikuti kaderisasi berjenjang partai.

Setelah Kaesang memimpin PSI, partai ini secara positif menarasikan apa yang mereka sebut sebagai keberhasilan-keberhasilan Jokowi. Foto Jokowi terpampang di hampir sebagian besar baliho, spanduk, dan poster calon legislatif PSI.

”Ketika Kaesang masuk ke PSI, kami sangat senang. Dia menjadi harapan baru untuk PSI,” kata William. Harapan William itu akan menghadapi realitanya akhir Maret mendatang, saat KPU menetapkan hasil penghitungan suara.

Efek Jokowi ini pula yang diharapkan kader PSI, Cahyo Aryoseno, saat mendaftar sebagai caleg tingkat DPRD Kota Surakarta. Mendaftar sebagai kader PSI sejak 2019, baru pada pemilu kali ini dia berani mencalonkan diri menjadi caleg.

”Jokowi effect ini yang luar biasa menyakinkan saya untuk bergabung PSI bahkan mencalegkan diri,” kata Aryoseno.

Semangat Aryoseno berkompetisi di pemilu kali ini mencuat karena dia merasa mendapat dukungan dari PSI. Dia berkata, PSI memberinya modal kampanye: seribu kaus partai, 2.000 kalender, dan 200 paket sembako.

Namun harapan Aryoseno masih bertepuk sebelah tangan. Merujuk penghitungan faktual KPU, dia baru mendapat 279 suara.

“Saya, istri dan anak saya sudah mengadakan sosialisasi sampai 30 kali,” kata Aryoseno.

”Prediksi saya itu saya bakal menang dan dapat 2000 suara. Tapi, loh kok ternyata sedikit sekali. Itu di luar prediksi saya. Dengan jumah suara itu, saya kecewa sekali ” ujarnya.

Meski belum terwujud di DPR maupun di tingkat personal seperti yang dirasakan Aryoseno, PSI menyebut keluarga Jokowi mampu mendongkrak perolehan suara mereka di tingkat DPRD Kota Solo.

Pada pemilu 2019 mereka hanya mendapat satu kursi di DPRD Solo. Kini mereka telah meraih setidaknya satu kursi di lima dapil kota tersebut.
Cerita harapan dan kekalahan caleg Garuda dan Gelora

Di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, pemilihan legislatif tingkat daerah menjadi arena tidak seimbang antara partai lama dan partai baru. Partai Gelora adalah satu-satunya partai yang perolehan suaranya menembus 1%. Partai baru lainnya berkutat di angka 0%.

“Dapil 5 Pamekasan medannya sangat berat,“ kata Suwasik, Caleg Partai Garuda. “Karena sistem proporsional terbuka, otomatis terjadi perang uang. Sebagai pendatang baru, saya kesulitan menembus perang itu,” tuturnya.

Sama seperti nasib partainya di tingkat nasional, Suwasik menyebut Partai Garuda juga gagal melawan partai lama yang telah memiliki basis massa di Pamekasan. Secara terang-terangan, dia menyebut partainya bisa mendapat kursi jika memiliki modal uang yang lebih besar.

“Kami sementara ini belum bisa mendapatkan caleg-caleg yang prioritas, yang punya uang,” tuturnya.

Suwasik kecewa karena merasa tidak mendapat dukungan dari partainya. Dia ragu apakah akan terus bertahan menjadi kader Partai Garuda.

“Partai secara finansial memang nol. Bantuan dana untuk saksi di TPS tidak ada, cuma atribut saja yang mereka bantu, seperti bendera. Yang lainnya tidak ada,” ucap Suwasik.

“Saya mandiri, di situ saya sangat kecewa dengan partai saya sendiri."

“Tidak tahu ke depannya apakah masih akan lanjut di sini. Kalau memang langkah-langkahnya partai saya masih seperti ini, saya rasa tidak perlu dilanjut,” kata Suwasik.

Berbeda dengan Suwasik, Mohammad Saedy Romli masih berharap akan lolos ke DPRD Pamekasan. Di portal penghitungan faktual KPU, per 22 Februari, dia telah mendapat 277 suara.

Di Pamekasan, suara Partai Gelora adalah yang tertinggi di antara partai baru. Suara mereka bahkan melampaui Partai Gerindra.

Saedy berkata, partainya tidak boleh bubar meski nantinya resmi gagal masuk DPR. Karena telah menyokong Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming pada Pilpres 2024, dia berharap Partai Gelora akan mendapat keuntungan.

Optimisme Saedy itu juga didasarkan pada fakta bahwa sejumlah figur di Partai Gelora sebenarnya wajah-wajah lama di perpolitikan Indonesia. Salah satunya adalah Fahri Hamzah, yang keluar dari Partai Keadilan Sejahtera dan membentuk partai ini.

”Saya percaya sekali bahwa mereka mampu menahkodai Partai Gelora,” ujarnya.

Pemilu tahun 1999 merupakan ajang elektoral pertama yang diikuti lebih dari tiga partai setelah pemilu pertama Indonesia tahun 1955.

Terdapat 48 partai pada pemilu pertama pasca Orde Baru ini—hanya tiga di antaranya yang pernah mengikuti ajang sebelumnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia, Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Dari seluruh partai yang berkompetisi tahun 1999, 21 di antaranya mendapatkan kursi di DPR karena melampaui ambang batas parlemen—2% dari total suara nasional.

Pada pemilu 2004 terdapat 24 partai yang berkompetisi. Dari jumlah itu, 16 partai lolos ke DPR—10 di antaranya adalah partai baru.

Dari seluruh partai baru, hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang memenuhi ambang batas elektoral untuk mengikuti pemilu 2009. Keduanya meraup, masing-masing, 10,1% dan 8,1% suara sah nasional.

Sejak Pemilu 2009, jumlah partai baru yang lolos ke DPR semakin sedikit. Tahun itu, yang langsung menempatkan kader di DPR adalah Partai Gerindra dan Partai Hanura.

Pada Pemilu 2014, partai baru yang melaju ke DPR adalah Partai Nasdem. Suara partai besutan taipan Surya Paloh itu bahkan mengungguli Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Hanura. Pemilu 2014 adalah ajang terakhir yang bisa “dimenangkan” partai baru. 

Perlukah sistem diubah untuk mudahkan partai baru?

Syarat keikutsertaan partai dalam pemilu dan ambang batas parlemen diperberat pasca Orde Baru untuk mencegah fragmentasi politik akibat begitu banyaknya partai yang duduk di DPR.

Fragmentasi itu terjadi pada dekade 1950-an, termasuk ketika partai politik berbasis identitas etnis memicu gejolak bersenjata di beberapa daerah.

Analisis itu muncul dalam sebuah konferensi tentang reformasi elektoral di Jakarta, pada Juni 2019. Konferensi ini dihadiri berbagai pakar dan diadakan secara kolaboratif oleh lembaga riset Center for Strategic and International Studies dan Australian National University.

Konferensi itu mengutip analisis Benjamin Reilly, seorang profesor ilmu politik di Australia, yang menyebut syarat kepengurusan di banyak provinsi dan ambang batas parlemen penting untuk menciptakan stabilitas demokrasi.

Namun peningkatan ambang batas itu, seperti yang terjadi pada 2019 dan 2024, dipertanyakan saat Indonesia tidak menghadapi risiko ketidakstabilan demokrasi.

“Karena isu atomisasi dan lokalisasi partai tidak lagi relevan, masuk akal untuk berasumsi bahwa tujuan utama dari regulasi itu adalah menutup kompetisi dengan partai baru,” tulis Marcus Mietzner, pakar politik Asia Tenggara, yang menulis risalah konferensi tersebut.

“Hanya oligarki dengan sumber daya besar yang bisa mendanai pendirian dan operasional partai di seluruh pelosok negeri ini,” ujarnya.

Namun merujuk hasil Pemilu 2019, pendanaan besar pun terbukti tidak bisa membuat sebuah partai baru lebih kompetitif. Partai Berkarya yang digawangi putra mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra, gagal masuk DPR tahun itu.

“Ini memberi bukti lanjutan bahwa ambang batas parlemen sudah bertransformasi dari alat rekayasa elektoral yang positif menjadi mekanisme pertahanan partai petahana melawan rival-rival baru,” tulis Mietzner. (*)

Tags : Joko Widodo, Politik, Indonesia, Pemilu 2024, Populisme,