"Gunung Daik Lingga masih berdiri kokoh yang puncaknya bercabang tiga perawan nan sakral masih abadi akan dengan mudah mengkhianati keindahannya"
enelusuri lereng pegunungan Daik Lingga pada suatu musim panas sungguh mengasyikkan, alamnya membuat siapa saja akan terpesona oleh garis samar bebatuan diselimuti pusaran awan yang gunungnya menjulang tinggi di atas permukaan laut yang terkenal di Kabupaten Daik Lingga, Provinsi Kepulauan Riau [Kepri].
Menyaksikan puncak megah gunung Daik tegak menjulang dengan ketinggian lebih kurang 1.165 meter mendominasi cakrawala wilayah di perairan Laut Cina Selatan yang pemandangannya alami. Saya melihat dan pernah menyaksikan dan tidak perlu melakukan perjalanan selama berhari-hari untuk melihat keindahan yang sulit dipahami itu.
Puncak gunung yang secara tidak sengaja menyita imajinasi bukanlah puncak Everest yang tingginya lebih dari 8.000 meter, tetapi puncak yang relatif rendah yang tingginya akan dengan mudah mengkhianati keindahannya.
Ternyata, bukan saya satu-satunya yang terobsesi dengan puncak ini. Beberapa dekade sebelumnya sekelompok pria lain juga jatuh cinta dengan gunung ini yang dikenal banyak meninggalkan warisan yang agak unik. Fazli Ahmad, seorang pendaki yang juga jurnalis televisi dari Malaysia melalui blok linasasmita.com Ia menceritakan pengalamannya mendaki gunung Daik.
Ada sekitar 71 orang dari Negara Bagian Pahang Malaysia juga turut serta dalam pendakian Gunung Daik yang yang dilakukan 2017 lalu. Ia menceritakan, sebelum melakukan pendakian terlebih dahulu menghubungi guide dan porter atau ketua sebuah komunitas. "Komunitas setempat bisa memperlihatkan foto-foto jalur pendakian Gunung Daik baik lokasi untuk berkemah (camping) khusus untuk mendirikan tenda (kemah)," sebutnya.
"Pihak Komunitas stempat akan menyarankan sipendaki lebih dahulu melakukan survei, jika sudah dilakukan kelompok pendaki gunung datang, lapor, bayar simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi), lalu mendaki."
Fungsi guide atau komunitas sebagai penunjuk jalur dan rute yang benar untuk mendaki gunung. Untuk memberi tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sana dan mungkin juga akan berbagi sedikit pengetahuan tentang flora dan fauna yang hidup di gunung.
Gunung Daik yang bercabang tiga - adalah gunung lebih kurang 1.165 meter yang ikonik di pegunungan Kabupaten Daik Lingga, yang menjadi rumah bagi tumbuhan dan hewan. Namun, gunung Daik dengan mudah mencuri perhatian banyak orang, karena memang satu-satunya gunung tinggi dan posisinya jauh dari permukaan laut lepas.
Pada cabang tiga tampak berdiri sendirian dan tampak menjulang tinggi meskipun tingginya melebihi dari puncak dan bukit-bukit yang berjejer dengannya.
Posisi geografis puncak gunung Daik memberikan pemandangan yang berbeda dari beberapa tempat. Kemegahan relief vertikalnya yang menakjubkan tidak dapat dihindari dari sudut atau jarak mana pun.
Menjulang seperti menara kembar yang saling membelit, puncak Gunung Daik bergabung dengan punggung bukit yang tajam dan memiliki daya pikat yang sama besarnya dengan ujung segitiga simetris yang curam.
Beberapa hari bisa dihabiskan di Kabupaten Daik Lingga, menyaksikan pantulan luhur Gunung Daik dari tepian pelabuhan Daik Lingga yang juga terlihat jauh, dan bisa untuk menyaksikan matahari pagi dan sore hari menyinari puncak gunung Daik yang menjulang di atas lereng pedesaan di sekitarnya.
Pertama kali saya sendiri pernah melakukan pendakian pada tahun 2018, perjalanan singkat selama sejauh 40 km mencapai ketinggian 500 meter menawarkan salah satu pemandangan terbaik dan terdekat ke gunung daik. Sekitar 600 meter ke atas lagi ke puncak adalah yang terdekat yang bisa dicapai oleh siapa pun ke puncak cabang tiga.
Itu karena mendaki gunung daik adalah terlarang, sesuatu yang langka seperti daerah Daik Lingga yang telah lama merangkul pariwisata pendakian gunung dengan begitu antusias sehingga membuat titik tertinggi pulau Sumatera - puncak Gunung Daik setinggi lebih kurang 1.165 meter - menjadi penuh sunyi senyap dan dingin.
Tapi alasan Gunung Daik tetap menjadi puncak perawan - demikian halnya ledakan trekking komersial dan pendakian gunung di Lingga saat ini. Melihat Gunung Daik dan desa-desa tempat orang-orang yang tinggal disekitar lereng gunung [salah satu suku utama Melayu di Daik Lingga] mengemukakan beberapa larangan hingga di masa kejayaan Kesultanan Lingga.
Gunung Daik sendiri dikenal dengan gunung tiga cabang yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, Gunung Daik memiliki keindahan alam yang masih asri. Gunung Daik merupakan salah satu tempat wisata alam yang terdapat di kecamatan Lingga, namun banyak hal yang menjadi syarat dipatuhi termasuk segala larangan.
Pesona gunung daik
Gunung Daik memiliki pesona keindahan yang cukup banyak menarik minat para pendaki. Meskipun jalurnya yang terkenal terjal dan berliku, namun hal ini akan terbayarkan dengan keindahan alam di sekitar gunung yang masih sangat hijau dan asri. Sebelum memulai pendakian, Anda akan disambut dengan gapura bertuliskan 'Obyek Wisata Pendakian Gunung Daik'.
Sepanjang jalur pendakian akan disuguhkan dengan suasana hutan yang masih alami. Di kaki gunung, terdapat sungai-sungai yang memiliki air sangat jernih. Air dari sungai ini menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Lingga.
Pendakian membutuhkan waktu semalam. Sesampainya di puncak gunung, akan terlihat pesona keindahan kota Lingga dan sekitarnya. Tetapi Gunung Daik juga memiliki legenda yang cukup dipercaya oleh masyarakat sekitar. Pada zaman dahulu kala gunung ini dihuni oleh makhluk halus yang disebut dengan bunian. Yang dalam ceritanyanya bunian sangat akrab dengan manusia, bahkan tak jarang manusia yang meminjam alat-alat perkakas atau bahkan perabot bunian saat manusia memiliki acara hajatan.
Namun suatu ketika, terdapat seseorang yang tidak mengembalikan perabot yang telah dipinjamnya dari bunian tersebut sehingga membuat bunian murka. Hal ini telah menjadi mitos gunung Daik yang dipercaya oleh masyarakat setempat. Untuk melakukan pendakian tentu terlebih dahulu perlu menyiapkan fisik agar tetap kuat mendaki. Karena jalur pendakian cukup sulit, sehingga fisik yang sehat perlu disiapkan sebelum memulai pendakian.
Fersi cerita rakyat yang dituangkan dalam website pemerintah setempat gunung Daik yang tegak menjulang dengan ketinggian lebih kurang 1.165 meter itu mempunyai tiga puncak yang bercabang tiga [cerita rakyat berasal dari Orang Kaya Cening Abdul Manan], dikisahkan disetiap cabang mempunyai nama tersendiri. Cabang yang sebelah kanan paling besar bernama gunung Lingga, dan ditengah-tengah tegak runcing disebut dengan pejantan. Paling kiri yang pendek bernama cindai menangis.
Dalam legenda yang hidup di tengah masyarakat Lingga, cabang cindai menangis yang pendek akibat patah dan jatuh ke laut menjadi Pulau Pandan yang terletak di sebelah barat pulau Lingga. Pulau Pandan sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Terdapat berbagai legenda tentang patahnya gunung Daik di tengah masyarakat Lingga.
Menurut cerita rakyat, patahnya gunung Daik akibat pertarungan Datuk Kaya Kuning dengan Mak Yah seorang wanita penguasa Lingga yang menjadi raja Orang Laut Lingga.. Pertarungan dilakukan untuk adu kesaktian masing-masing mematahkan satu diantara puncak cabang gunung Daik. Sebelum bertarung Datuk Kaya Kuning dan Mak Yah berjanji, jika Mak Yah kalah dia akan menyerahkan kekuasaan kepada Datuk Kaya Kuning. Dalam adu kesaktian, Mak Yah yang pertama mematahkan puncak gunung. Namun walau pun telah berupaya mengeluarkan seluruh kesaktiannya tetapi usahanya gagal.
Mak Yah menyerah karena kesaktiannya belum mampu mematahkan sebuah puncak gunung. Selanjutnya Datuk Kaya Kuning diuji kesaktiannya mematahkan puncak gunung. Datuk Kaya Kuning yang sakti berhasil mematahkan satu diantara puncak gunung. Patahan puncak gunung yang patah berguling ke bawah dan jatuh ke laut menjadi sebuah pulau yang diberi nama Pulau Pandan. Melihat kesaktian Datuk Kaya Kuning, mengakibatkan Mak Yah mengaku kalah. Setelah menerima kekalahan, Mak Yah mengakui tunduk terhadap Datuk Kaya Kuning. Mak Yah menyerahkan kekuasaanya kepada Datuk Kaya Kuning untuk menjadi raja di seluruh Lingga memerintahkan Orang Laut.
Legenda yang lain tentang gunung Daik mengisahkan tentang patahnya gunung Daik bersamaan dengan berakhirnya pertapaan raja Inderagiri yang ingin menambah kesaktian. Menurut cerita rakyat, raja Inderagiri mendaki gunung Daik untuk bertapa. Di hari akhir bertapa raja Inderagiri mendengar suara gemuruh dan dilihatnya satu diantara puncak gunung Daik patah dan berguling ke bawah. Raja Inderagiri segera mengakhiri pertapaannya untuk menyelamatkan diri. Dia berlari turun ke bawah gunung untuk menyelamatkan diri dan tidak sadar keris saktinya terjatuh. Patahan puncak gunung berguling ke bawah dan jatuh ke laut menjadi pulau pandan.
Cerita rakyat tentang patahnya gunung Daik berhubungan dengan pertanda kematian Datu Kaya Montel yang tinggal di pulau Lingga. Pada suatu hari Datuk Kaya Montel penguasa Lingga dan juga menjadi raja Orang Laut sakit keras. Orang Laut yang mendengar Datuk Kata Montel sakit keras datang berhimpun ke pulau Mepar. Sebelum meninggal Orang Laut mendapatkan pesan dari Datuk Kaya Montel, jika terjadi suatu hal yang aneh dan menggemparka di pulau Lingga bertanda dirinya telah meninggal dunia. Setelah mendengar wasiat dari Datuk Kaya Montel, seluruh Orang Laut kembali ke tempat masing-masing untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.
Kondisi Datuk Kaya Montel belum juga membaik dan pada suatu hari tiba-tiba terdengar suara gumuruh yang dahsyat di atas puncak gunung Daik hingga sampai ke laut. Orang Laut terkejut mendengar suara bergemuruh gunung dan pagi harinya mereka melihat satu diantara puncak gunung telah patah. Di tengah laut muncul pulau baru yang berasal dari patahan puncak gunung. Orang Laut yang teringat dengan wasiat Datuk Kaya Montel dan mereka sangat bersedih hati. Patahnya salah satu puncak gunung Daik sebagai tanda alam telah wafatnya Datuk Kaya Montel di pulau Mepar. Orang Laut yang teringat wasiat dari Datuk Kaya Montel datang kembali beramai-ramai mengunjungi pulau Mepar untuk menyampai duka cita. Ada makna dibalik cerita rakyat patahnya gunung Daik, yakni tentang manusia wajib menepati janji.
Nama puncak ’Cindai Menangis’ Semula bernama cindai ( tanpa kata ’menangis) Kata ’menangis’ ketika itu belum melekat pada kata ’cindai’ terdapat alasan yang kuat, kata ’menangis’ ditambahkan pada kata ’ cindai’ Alasan itu didasari pada peristiwa tertentu yang pernah terjadi pada zaman dahulu kala.
Sebelum puncak cindai itu patah, masyarakat sekitar gunung yang indah permai itu sering mendengar suara tangisan menurut orang – orang faham yang bermungkim di sekitar pulau itu, suara tangisan yang selalu terdengar pada malam hari itu bersumber dari puncak terindah itu. Setelah patah, orang – orang tua menafsirkan bahwa tangisan tersebut menandakan perihal dirinya akan patah. Dia sedih bahwa dirinya akan berpisah untuk selamanya dengan cabang lain yakni Daik dan Pejantan. Sesungguhnya ada cerita tersendiri tentang puncak terendah itu yang harus hengkang dari atas gugusan puncak gunung yang sangat menawan kalbu jika ditengok dari Desa Kota Kecamatan Singkep atau dari Desa Duara, Kecamatan Lingga.
Patahnya Gunung Daik itu ( Puncak Cindai Menangis ) tidak dapat diketahui pasti waktu terjadinya. Namun demikian, dikaitkan dengan orang – orang kuat yang pernah hidup di Daik, patahnya puncak cindai ini bersamaan dengan meninggalnya Datuk Kaya Montel. Datuk Kaya Montel adalah penjaga Laut, yang bertempat tinggal terahkir di Mepar sebuah pulau kecil yang dijadikan benteng oleh Sultan. yang terletak arah Selatan Pulau Lingga. Datuk Kaya Montel disegani oleh setiap orang bukan hanya kekuatan fisiknya melainkan juga karena kekuatan batinnya. Dalam situasi yang sangat mendesak dia dapat membuat air laut seperti tanah yang dapat dipijak untuk kegiatan berjalan. (rp.sdp/*)
Tags : Gunung Daik Lingga, Kepri, Pegunungan Daik Lingga, Gunung Daek Puncak Perawan Nan Sakral, Gunung Daik Bercabang Tiga yang Menjulang Tinggi,