JAKARTA - Terbitnya izin lokasi dan hak atas tanah untuk berusaha terkadang beririsan dengan klaim kawasan hutan. Perbedaan ini seringkali terjadi dikarenakan perbedaan peta.
Apalagi hingga saat ini belum ada One Map Police di Indonesia. Agar tak berlarut-larut pemerintah wajib melindungi investasi perkebunan sawit.
Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH menjelaskan, bupati atau pemerintah daerah berwenangan memberikan izin lokasi, asalkan sesuai dengan Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Menurut Sadino, hal ini berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan sah menurut hukum dan peraturan perundang-undangan. Bahkan dari izin lokasi sudah terbit hak atas tanah seperti HGU, HGB, SHM, HPL dan hak lainnya, namun masih diklaim sebagai kawasan hutan.
Penerima izin lokasi dan hak atas tanah sering menjadi obyek kesalahan yang sesungguhnya hak atas tanah tersebut, telah diberikan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
"Padahal hak atas produk negara dan dilindungi konstitusi tetapi bisa salah karena dimasukkan dalam klaim kawasan hutan. Siapa yang harus disalahkan kok penerima izin dan hak yang sudah membayar pajak dan kewajiban lainnya kepada negara tetapi tidak dilindungi investasi dan hak-haknya," kata Sadino melalui keterangan tertulisnya, Selasa (17/1/2023).
Menurut Sadino, peraturan yang berkaitan dengan izin lokasi tidak hanya Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal tetapi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004, tentang Perkebunan yang mengatur perizinan bidang perkebunan yang didalamnya ada perkebunan kelapa sawit. Perubahan selalu terjadi dan saat ini izin lokasi digantikan dengan SKKR.
"Dalam ketentuan umum peraturan Menteri Agraria menjelaskan Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah sesuai dengan Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak," tegas Sadino.
Menurut Sadino, hal ini sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sesuai Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan kegiatan pengukuhan Kawasan hutan "memperhatikan" tata ruang wilayah.
Artinya tata ruang wilayah sebagai dasar pemberian izin lokasi adalah sebagai panglimanya. Di dalam "pengukuhan kawasan hutan" yang dijalankan juga harus "memperhatikan" tata ruang wilayah.
Pemerintah juga wajib memberikan perlindungan hukum, khususnya investasi bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
"Komitmen Pemerintah dalam melindungi investasi oleh pelaku usaha perkebunan sebagaimana ketentuan dalam UU Penanaman Modal sesuai azas hukumnya, yaitu kepastian hukum, menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal. Sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan," kata Sadino.
Jika terjadi permasalahan, misalnya, izin lokasi dan hak atas tanah beririsan dengan kawasan hutan sejatinya sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34. Pemerintah sudah berusaha menyelesaikannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan
Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
Hal ini, lanjut Sadino, juga didukung dengan lahirnya Perpu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja juga mengatur penyelesaian perkebunan kelapa sawit sesuai Pasal 110A dan Pasal 110B.
"Penyelesaian permasalahan perkebunan kelapa sawit telah diatur Pasal 110A dan Pasal 110B baik itu yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja," sebutnya.
Terkait izin lokasi beririsan atau dikaitkan dengan kawasan hutan, menurut Sadino, memang kadangkala terjadi perbedaan peta antara Peta Tata Ruang Wilayah dengan Peta Kawasan Hutan. Hal ini disebabkan belum adanya One Map Police di Indonesia.
"Dengan adanya perbedaan peta tersebut, maka diperlukan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah," jelasnya.
Masalah Izin Perkebunan Bukan Korupsi
Sadino menjelaskan, permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi, yang termasuk ke dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan. Jika ada permasalahan Izin, hal itu bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.
"Hal tersebut diatur dengan Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal 110A. Di mana kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki Perizinan Berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun. Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun tidak menyelesaikan, baru dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan pencabutan Perizinan Berusaha," kata Sadino.
Menurut Sadino, pelaku usaha masih diberikan waktu selama tiga tahun sejak UUCK dan Perpu 2 diberikan waktu sampai 2 November 2023 dikeluarkan, untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin. Tidak ada merupakan Tindakan pidana dan tidak juga masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.
"Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana. Karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi," ujar Sadino.
Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino SH MH mengatakan, perusahaan perkebunan yang tidak membuka hutan karena perolehannya hasil membeli atau akuisisi, tak ada kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Apalagi mereka mendapatkannya dari membeli atau hasil lelang.
Sebenarnya, bagaimana definisi PSDH dan DR dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan? PSDH merupakan pungutan yang dikenakan sebagai nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Sementara, DR adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
"Ketentuan PSDH dan DR lahir dari pasal 35 UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan ayat (1) setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 dan pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja," kata Sadino dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/2/2023).
Menurut Sadino, jika dilihat dari aturan hukumnya, PSDH dan DR mempunyai prasyarat subyek hukumnya adalah setiap pemegang izin pemanfaatan hutan, sedangkan izin perkebunan bukan dalam kategori dalam ketentuan ini.
"Maka perlunya lebih diteliti terhadap penggunaan aturan dan izinnya. Karena izin perkebunan dari bupati, sedangkan izin usaha pemanfaatan hutan dari menteri," tegas Sadino.
Sadino berpendapat, adanya ketentuan tersebut karena kebijakan yang selama ini tidak konsisten terkait regulasi negara yang tidak harmonis dan saling tumpang tindih aturan hukumnya telah dilakukan evaluasi oleh pemerintah.
"Setiap orang atau badan hukum apabila terlanjur melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki izin tidak bisa dipidana namun hanya dilakukan tindakan administratif dan diberikan jangka waktu selama tiga tahun sejak berlakunya UU cipta kerja," tambahnya.
Sadino menerangkan, banyak pemegang HGU mendapatkannya dari akuisisi atau jual beli, lelang lembaga perbankan dan juga dari BPPN saat krisis moneter 1998. Sehingga, tak semua pemegang HGU memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) begitu juga pemegang IPK bukan otomatis pemegang izin pelepasan kawasan hutan.
"Waktu itu, banyak pemegang HGU kesulitan meneruskan usahanya karena kesulitan modal. Sehingga HGU yang diperjualbelikan, apalagi menurut aturan jual beli HGU tak dilarang," kata Sadino.
Menurut Sadino, karena investor mendapatkan HGU dari lelang atau membeli maka sebagian besar tidak memiliki IPK. Alasannya, HGU adalah hak atas tanah yang berarti bukan kawasan hutan sehingga untuk apa mengurus IPK.
"Ketelusuran regulasi penting karena tak semua lahan bisa dijadikan perkebunan. Apalagi, sebagian besar lahan sudah tak berhutan sehingga sulit menghitung PSDH dan DR," katanya.
Menurut Sadino, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya hutan diatur UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan dikenal dengan Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Menurut Sadino, pengaturan PSDH dan DR diatur melalui UU No 41/1999 tentang Kehutanan sebagai pengganti dari UU No 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
Tidak Ada kawasan Hutan Tanpa Proses Pengukuhan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan setidaknya ada empat proses yang harus dilalui.
Seperti, penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tanpa proses itu maka tidak bisa disebut kawasan hutan.
Itu disampaikan Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH.
Ia mengatakan, selama ini dengan 'menunjuk', seolah telah selesai aktivitas penentuan suatu lahan yang akan menjadi kawasan hutan.
"Pemerintah lupa bahwa menunjuk tanpa dilanjutkan sampai penetapan melalui pengukuhan kawasan hutan adalah bersifat inferatif yang harus dijalankan pemerintah. Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hanya menunjuk terus disebut sebagai kawasan hutan adalah tindakan yang otoriter," sebut Sadino.
Padahal, tanpa ada proses yang lengkap penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka pengukuhan kawasan hutan belum selesai. Karena pengukuhan kawasan hutan adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang kawasan hutan itu sendiri," sambungnya.
Menurut Sadino, pengukuhan dengan tahapannya merupakan bentuk pelaksanaan administrasi pemerintahan. Jika tidak dijalankan dan telah ada ketentuan hukum lain, maka status menunjuk kawasan hutan posisinya sangat lemah.
"Sehingga pada akhirnya akan menyimpan konflik lahan sebagaimana sering terjadi pada saat ini," kata Sadino.
Sadino menilai, pelepasan kawasan hutan tentunya atas lahan kawasan hutan yang sudah dikukuhkan, bukan kawasan hutan yang baru dalam proses penunjukan.
Seringkali salah difahami seolah Hak Atas Tanah seperti HGU mesti ada pelepasan kawasan hutan. Padahal kalau RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan hutan.
Misalnya Hak Atas Tanah seperti HGU di Riau dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Bagaimana produk Hak Atas Tanah pemerintah malah tidak diakui, padahal produk tersebut diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku berarti sah menurut hukum. Juga tidak ada pencabutan izin dan dibatalkan oleh pengadilan.
Penentuan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai Pasal 15 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dia menambahkan, pemerintah sejatinya menyadari adanya dispute peraturan perundang-undangan antara Tata Ruang Wilayah dengan kehutanan dan dicoba untuk diselesaikan melalui PP 10 Tahun 2010 ternyata tetap tidak bisa.
Maka dikeluarkan PP 60 Tahun 2012 dan PP 104 Tahun 2015 yang memberikan, kesempatan kepada pelaku usaha perkebunan melakukan permohonan pelepasan kawasan hutan secara parsial dan tukar menukar kawasan hutan.
"Tata cara permohonan pelepasan kawasan hutan diatur dengan Peraturan Menteri. Meskipun telah dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan penyelesaian permasalahan lahan terkait dengan kawasan hutan, tidak mudah diselesaikan," katanya.
Hal ini karena menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku surut sedangkan setiap perizinan, mempunyai waktu dan ketentuan hukum yang berbeda baik locus maupun temposnya.
Misalnya, di Provinsi Riau mau pun Kepulauan Riau keberlakukan Perda RTRWP dan RTRWK/K sudah berjalan terlalu lama. Mengikuti penyesuaian dengan peraturan yang baru tentunya tidak mudah.
"Jika melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 amar putusan menyatakan, bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers)," ungkap Sadino.
Kata Sadino, penunjukan belaka untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, merupakan pelaksanaan pemerintahan yang otoriter.
Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers).
"Tidak seharusnya pengukuhan suatu kawasan hutan yang menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Frasa 'ditunjuk dan atau' tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Sadino.
Tanpa Pengukuhan Tak Ada Kawasan Hutan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan merupakan hasil pengukuhan dengan melalui proses penunjukan kawasan hutan. Serta penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tanpa proses itu maka tidak bisa disebut kawasan hutan.
Ini disampaikan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Sudarsono Soedomo saat menjadi saksi ahli persidangan kasus dugaan korupsi lahan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Dr Budi Mulyanto mengingatkan dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan, dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan.
"Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat," katanya.
Menurut Prof Budi, tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis oleh karena itu batas harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie.
"Persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia," tegasnya.
Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari KLHK. Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut," jelas Prof Budi.
Padahal, lanjutnya, sejak zaman Belanda sudah ada pengakuan atas hak-hak pribumi, namanya Indonesisch bezitsrecht, artinya adalah bahwa hak atas tanah masyarakat pada zaman penjajahan diakui sebagai bagian dari hak azasi manusia (HAM).
Budi juga menyarankan ke depan perlu ada satu lembaga yang diberi otoritas untuk mengatur pemanfaatan tanah, bentuknya bisa lembaga, kementerian atau Kemenko dengan otoritas penuh dari Presiden.
Menurut dia, idealnya penyelesaian tata ruang dan batas kawasan hutan dilakukan dengan terlebih dulu mengeluarkan semua tanah yang telah memiliki legalitas.
Karena hak atas tanah pada prinsipnya adalah bersifat final, dan dalam prosesnya telah mengikuti ketentuan perundangan yang sudah ada dan pastinya melibatkan instansi pemerintahan terkait.
Kebijakan ini, tambahnya, perlu disepakati sebagai bentuk saling menghormati antara institusi pemerintahan dan masyarakat. "Selama ini, ego sektoral antara institusi pemerintahan mendominasi dan kerap menempatkan masyarakat termasuk pelaku usaha sebagai obyek kesalahan. Ke depan hal seperti ini harus dihindari," katanya.
Selain itu, Prof Budi kembali mengingatkan soal HGU adalah Hak Atas Tanah (HAT) dan bukan izin, yang didasarkan pada Undang-Undang No. 5/1960 beserta peraturan-peraturan turunannya. Lantaran merupakan HAT atau Right, HGU mempunyai kewenangan konstitusional yang diikuti untuk harus melaksanakan berbagai peraturan-perundangan yang berlaku dan tanggung jawab.
Menurut Budi Mulyanto, untuk mendapatkan HGU, perusahaan perkebunan harus melalui proses perizinan panjang, salah satunya pelaksanaan izin lokasi yakni pembebasan lahan/tanah.
"Jika sudah mendapat HGU, apalagi kalau lahan tersebut sudah menjadi kebun yang bagus dan ditanami, sebaiknya tidak boleh diganggu gugat. Terus apa artinya kemudahan usaha dan membuka lapangan kerja seperti tujuan UU Cipta Kerja atau Perpu No. 2 tahun 2022 kalau yang sudah punya HGU juga diklaim kawasan hutan," pungkasnya.
Budi Mulyanto menambahkan, selama ini orang mengira dengan penunjukan saja suatu daerah atau lahan telah menjadi kawasan hutan. Padahal, masih harus melalui proses pengukuhan yang dimuali dengan penunjukan kawasan hutan, penataan batas, pemetaan dan penetapan.
"Pemerintah lupa bahwa menunjuk tanpa dilanjutkan sampai penetapan melalui pengukuhan kawasan hutan adalah bersifat inferatif yang harus dijalankan pemerintah. Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hanya menunjuk terus disebut sebagai kawasan hutan adalah tindakan yang otoriter," katanya.
Padahal, tanpa ada proses yang lengkap penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka pengukuhan kawasan hutan belum selesai. Karena pengukuhan kawasan hutan adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang kawasan hutan itu sendiri.
Menurutnya, pengukuhan dengan tahapannya merupakan bentuk pelaksanaan administrasi pemerintahan. Jika tidak dijalankan dan telah ada ketentuan hukum lain, maka status menunjuk kawasan hutan posisinya sangat lemah dan menyimpan potensi konflik.
Pelepasan kawasan hutan, lanjutnya, tentunya atas lahan kawasan hutan yang sudah dikukuhkan, bukan kawasan hutan yang baru dalam proses penunjukan. Penentuan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai Pasal 15 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
"Seringkali salah difahami seolah Hak Atas Tanah seperti HGU mesti ada pelepasan kawasan hutan. Padahal kalau RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan hutan," katanya.
Misalnya, Hak Atas Tanah seperti HGU di Riau dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Bagaimana produk Hak Atas Tanah pemerintah malah tidak diakui, padahal produk tersebut diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku berarti sah menurut hukum. Juga tidak ada pencabutan izin dan dibatalkan oleh pengadilan.
Budi Mulyanto menambahkan, dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan, dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan.
"Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat," katanya.
Menurut Prof Budi, tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis oleh karena itu batas harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie.
"Persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia," tegasnya.
Dia menyebutkan, dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari KLHK. Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut," pungkasnya. (rilis)
Tags : Pakar Hukum Dr Sadino SH MH, Pakar Hukum Nilai Pelaku Usaha Perkebunan Sawit Wajib Lindungi, Pemerintah Lindungi Pelaku Usaha Perkebunan Sawit, Pemerintah Beri Izin Lokasi Sesuai RTRW,