JAKARTA - Pemerintah disebut mengambil "jalan pintas" untuk menggenjot industri elektronik domestik dengan membatasi impor 78 produk elektronik berbeda, termasuk AC, televisi, mesin cuci, kulkas, dan laptop.
Pakar bilang ini membuat konsumen menjadi korban, karena produk yang beredar di pasaran dikhawatirkan akan berkualitas rendah atau berharga selangit.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai pembatasan impor produk elektronik adalah "jalan pintas" yang diambil pemerintah di tengah ketidakmampuan untuk membangun industri elektronik domestik yang kompetitif.
"Kemenperin itu mencari jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut dengan menutup kompetisi yang ada," kata Andry, Kamis (11/04).
Dasar kebijakan pembatasan impor ini adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/2023 yang mulai diimplementasikan 10 Maret silam.
Kementerian Perindustrian baru mendiseminasikan tata cara penerbitan dokumen pertimbangan teknis, yang dibutuhkan untuk mengurus persetujuan impor produk elektronik, pada 8 April. Dari sana, publik ramai membahasnya.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kementerian Perindustrian, Priyadi Arie Nugroho, berharap kebijakan ini dapat mendorong pertumbuhan industri elektronik domestik, termasuk memicu pemain lokal untuk meningkatkan kapasitas pabrik dan membuat produk dengan jenis yang lebih beragam.
Namun, Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) mengatakan pembatasan impor saja tidak cukup untuk meningkatkan daya saing industri.
Semua bermula dari rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, pada 6 Oktober 2023.
Saat itu, Presiden Joko Widodo meminta para menteri terkait untuk memperketat impor delapan komoditas berbeda: mainan anak-anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil jadi, obat tradisional dan suplemen kesehatan, serta tas.
Alasannya, barang impor disebut telah membanjiri pasar tradisional dan lokapasar daring atau e-commerce, membuat pasar-pasar tradisional sepi hingga memicu PHK di pabrik-pabrik tekstil.
Neraca dagang produk elektronik pun tercatat defisit pada 2023. Maksudnya, nilai impornya lebih besar dari ekspor.
Karena itu, pemerintah memutuskan memperketat impor 655 barang yang masuk ke delapan kategori komoditas tersebut. Ini termasuk 78 produk elektronik dengan kode pos tarif (HS) berbeda.
Bagaimana cara memperketatnya? Dengan memindahkan wewenang pengawasan produk impor dari luar perbatasan ke area perbatasan, tepatnya ke kawasan pabean yang dikendalikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan.
Sebagai catatan, kawasan pabean adalah tempat pemungutan bea masuk dan keluar.
Dengan memindahkan wewenang tersebut, pelaku usaha yang ingin mengimpor 655 barang yang terdampak itu harus memiliki persetujuan impor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan dan laporan surveyor yang menyatakan kesesuaian barang yang diimpor.
Sebagai catatan, individu atau badan usaha bisa mengimpor sejumlah barang tanpa harus membayar pajak atau bea impor asalkan tidak untuk kegiatan usaha.
Barang-barang bebas bea impor ini termasuk barang kiriman pekerja migran Indonesia, barang pindahan seseorang yang pulang ke Indonesia setelah lama menetap di luar negeri, atau barang pribadi penumpang.
Namun, ada pula batasannya. Misal, untuk barang pribadi penumpang, alas kaki dibatasi dua pasang, tas dibatasi dua, pakaian dibatasi lima, serta produk elektronik dibatasi lima unit dengan total nilai maksimal US$1.500 (sekitar Rp24,2 juta) per penumpang.
Dasar kebijakan pembatasan impor ini adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/2023. Ia terbit pada Desember tahun lalu, tapi implementasi kebijakannya dijadwalkan pada 10 Maret 2024.
Karena diseminasi yang tak memadai soal kebijakan ini, ia baru ramai diperbincangkan belakangan, khususnya setelah barang kiriman buruh migran Indonesia di luar negeri tertahan di kawasan pabean.
Pembatasan impor produk elektronik juga sebenarnya telah dibahas dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3/2024, yang bersama lampirannya memiliki total 1.346 halaman.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6/2024 pun telah terbit pada 1 Februari, yang membahas tata cara penerbitan pertimbangan teknis - dokumen yang dibutuhkan untuk mengurus persetujuan impor produk elektronik di Kementerian Perdagangan.
Namun, karena Kementerian Perindustrian baru mendiseminasikan tata cara penerbitan pertimbangan teknis itu pada 8 April, publik baru ramai membahasnya.
Produk elektronik apa saja yang kena imbasnya?
Ada 78 produk elektronik dengan kode pos tarif (HS) berbeda yang impornya dibatasi.
Ini termasuk beberapa jenis pompa air, kipas, televisi, AC, kulkas dan mesin cuci.
Ada pula laptop, dispenser air dengan fitur pemanas, setrika listrik, penanak nasi, pengeras suara, pemutar piringan laser (laser disc), kamera perekam video, monitor dan proyektor, kabel serat optik, dan beberapa tipe lampu sorot.
Untuk dapat mengimpor barang-barang tersebut, pelaku usaha mesti mengurus dokumen pertimbangan teknis terlebih dahulu di Kementerian Perindustrian.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian lantas akan mempertimbangkan apakah menyetujui atau menolak permohonan itu.
Pertimbangannya berdasarkan data kebutuhan produk elektronik si pelaku usaha, realisasi impor dan/atau produksi pelaku usaha, serta neraca pasokan dan permintaan produk elektronik nasional.
"Nanti di internal Direktorat Jenderal Ilmate akan melakukan penyusunan neraca tersebut, dan untuk menyusun neraca penyediaan dan permintaan tersebut, Dirjen dapat melibatkan lembaga independen," kata Putra Ananta Silalahi, staf Biro Hukum Kementerian Perindustrian.
Bila Direktur Jenderal Ilmate menyetujui dan menerbitkan pertimbangan teknis, pelaku usaha dapat menggunakannya untuk mengurus persetujuan impor di Kementerian Perdagangan.
Pembatasan impor ini adalah yang pertama kalinya diterapkan untuk produk elektronik.
Priyadi Arie Nugroho, Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kementerian Perindustrian, berharap kebijakan ini dapat mendorong pertumbuhan industri elektronik domestik, termasuk memicu pemain lokal untuk meningkatkan kapasitas pabrik dan membuat produk dengan jenis yang lebih beragam.
Contohnya industri AC lokal, yang kata Priyadi sebenarnya mampu memproduksi 2,7 juta unit AC pada 2023, tapi realisasinya saat itu hanya 1,2 juta unit.
Di saat yang sama, impor AC tahun itu menyentuh 3,8 juta unit.
Produsen komponen elektronik lokal, yang biasanya hanya memasok komponennya ke perusahaan lain, juga diharapkan dapat bekerja sama dengan para pemegang merk internasional yang belum memiliki lini produksi di dalam negeri.
"Terbitnya kebijakan tata niaga impor produk elektronik ini bukan berarti bahwa pemerintah anti-impor, namun lebih kepada menjaga iklim usaha industri di dalam negeri tetap kondusif terutama bagi produk-produk yang telah diproduksi di dalam negeri,” kata Priyadi.
Bagaimana reaksi masyarakat?
Winda Ayu Charmila, penulis lepas yang berdomisili di Jakarta, adalah salah satu yang mempertanyakan kebijakan pemerintah untuk membatasi impor produk elektronik.
Laptop adalah alat produksi utamanya dalam mencari nafkah. Karena itu, ia rela membayar lebih untuk laptop, asalkan produknya awet dan bisa diandalkan.
Sejak 2019, ia menggunakan MacBook Air dan hingga saat ini pun kondisinya disebut masih baik, termasuk baterainya.
Masalahnya, bila impor laptop dibatasi, ia khawatir produk lokal yang beredar di pasaran tidak sebaik produk luar negeri.
Selain itu, karena pasokan barang impornya terbatas, harga laptop produksi luar negeri bisa jadi melonjak.
"Untuk yang budget-nya terbatas, pilihannya juga jadi terbatas," kata Winda.
Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus membangun industri domestik dengan tingkat kompetisi yang sehat alih-alih mencari gampangnya dengan membatasi keran impor.
"Seharusnya bangun persaingan yang sehat aja," kata Winda.
"Dengan harga yang bersaing, kalau produknya bagus juga orang pasti akan beli."
Sikap Winda sejalan dengan komentar sejumlah warganet di media sosial, terutama X (dulu Twitter).
Ada yang mempertanyakan daya tahan dan harga produk elektronik lokal. Ada yang bilang seharusnya jangan ada pembatasan sebelum ada produk alternatif yang setidaknya bisa setara dengan barang impor.
Di sisi lain, ada pula pengguna X yang bisa menerima pembatasan impor barang tertentu, misalnya AC impor yang dianggap kerap boros energi. Namun, kalau kebijakan ini memicu kenaikan harga signifikan, ia pun tak setuju.
Krisna Gupta, peneliti di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai industri lokal lebih siap memproduksi barang elektronik untuk konsumen kelas menengah ke bawah.
Karena itu, ia yakin pabrik lokal bisa memenuhi permintaan barang-barang seperti AC atau kulkas yang masuk kategori low-end atau memiliki harga terjangkau.
"Indonesia ini market-nya mostly adalah orang yang menengah ke bawah. Jadi, mereka pakai AC yang bukan menggunakan inverter, AC yang PK kecil," kata Krisna.
"Yang kayak gini-gini harusnya permintaannya bisa terlayani. Tentu saja pertanyaannya, harganya berapa? Bisa nggak menyaingi produk serupa? Tapi kalau pertanyaannya apakah bisa bikin? Bisa."
Lain halnya dengan produk-produk elektronik mahal atau high end yang berteknologi mutakhir dan memiliki kompleksitas tinggi. Menurut Krisna, produk macam ini sulit diproduksi sendiri di dalam negeri.
Andry Satrio Nugroho, Kepala Center of Industry Trade and Investment INDEF, juga mengatakan hal senada.
Menurutnya, langkah pemerintah membatasi impor akan mengeliminasi kompetisi. Tanpa ada kompetisi, sulit muncul inovasi produk dan harga pun berpotensi dimainkan sendiri oleh pemain yang ada.
"Awalnya kita punya pasar yang persaingannya cukup besar, yang kita harapkan harga itu bermain di situ," kata Andry.
"Ini sekarang karena tidak cukup besar pemainnya, pemainnya hanya di dalam negeri, dan pastinya dari segi kualitas tidak cukup baik, jadi masyarakat akan menikmati produk dengan kualitas yang tidak cukup baik, tetapi harganya mahal."
Mengapa pemerintah mengambil 'jalan pintas'?
Andry Satrio Nugroho dari INDEF menilai pembatasan impor produk elektronik adalah "jalan pintas" yang diambil pemerintah di tengah ketidakmampuan untuk membangun industri elektronik domestik yang kompetitif.
Ada sejumlah hal yang disebut membuat investor enggan membangun pabrik produk elektronik di Indonesia, salah satunya adalah tingginya biaya produksi, entah biaya impor bahan baku, biaya tenaga kerja, ataupun biaya energi.
Selain itu, urusan birokrasi yang rumit di Indonesia pun disebut sebagai faktor lain.
"Kemenperin itu mencari jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut dengan menutup kompetisi yang ada," kata Andry.
Beda halnya dengan Vietnam, tambahnya, yang berhasil menarik banyak produsen elektronik untuk berinvestasi di negaranya. Itu bisa terjadi karena biaya produksi di sana kompetitif dan iklim investasinya baik, katanya.
"Industrial policy [di Vietnam] menurut saya bukan sekedar populis, seperti yang kita saksikan pada hari ini di Indonesia di mana lebih banyak ada larangan dan pembatasan. Mereka lebih kepada bagaimana bisa mendorong ekspornya," kata Andry.
Krisna Gupta dari CIPS menambahkan, tingkat suku bunga yang relatif tinggi di Indonesia juga membuat kredit jadi mahal. Lalu, ada pula masalah ketidakpastian kebijakan.
"Jadi sebenarnya macam-macam permasalahannya yang berujung ke manufaktur kita tidak kompetitif. Akhirnya ya sudah, jalan singkat menurut pemerintah adalah diblokir, dikurangi impornya," kata Krisna.
"Akhirnya merembet ke final goods-nya yang perlu untuk dilindungi."
Pemerintah berharap dapat memancing para produsen elektronik asing untuk membangun pabrik di Indonesia.
Namun, kata Krisna, itu butuh waktu. Dan, selama masalah-masalah yang ada belum ditangani dengan baik, sulit bagi Indonesia untuk menyaingi negara-negara seperti China dan Vietnam untuk menjadi magnet investasi asing.
Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) pun mengatakan pembatasan impor saja tidak cukup untuk meningkatkan daya saing industri.
"Masih ada masalah-masalah rumit lainnya seperti lemahnya hilirisasi industri bahan baku dan komponen inti," kata Daniel Suhardiman, Sekretaris Jenderal Gabel.
Karena itu, kata Krisna, sekarang bolanya ada di pemerintah; apakah mereka bisa mengelola impor dengan bijak, menyelesaikan permasalahan domestik sehingga menarik investasi asing, serta memastikan investor yang sudah ada di Indonesia tidak merugi.
"Ini kan sebenarnya minjem waktu dari konsumen. Ini kan membuat konsumen sekarang menderita supaya konsumen berikutnya bisa punya karya anak bangsa yang bagus," kata Krisna.
"Masalahnya, itu bisa terjadi nggak?"
Yang dikhawatirkan, pembatasan impor ini justru berujung pada hadirnya "pasar gelap" untuk menyelundupkan barang-barang elektronik dari luar negeri, kata Andry dan Krisna.
Selain itu, bisa jadi ada retaliasi dari negara-negara yang biasa mengekspor barang elektronik ke Indonesia.
"Kita takutkan juga nanti ada bentuk-bentuk retaliasi perdagangan akibat adanya kebijakan ini," kata Andry.
"Kita misalnya cukup besar mengekspor CPO. Negara-negara pengimpor bisa saja menolak dari kita gitu. Itu yang menurut saya jadi kontraproduktif nanti akhirnya". (*)
Tags : Industri elektronik, Ekonomi, Indonesia, Perdagangan, Biaya hidup,