Nasional   2025/01/20 11:52 WIB

Pemerintah akan Buat Aturan Baru untuk Batasi Anak pada Media Sosial yang Mulai Diterapkan 2025 Ini

Pemerintah akan Buat Aturan Baru untuk Batasi Anak pada Media Sosial yang Mulai Diterapkan 2025 Ini
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyampaikan keterangan kepada wartawan usai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/1/2025).

JAKARTA - Peneliti dari Monash University Indonesia, Ika Idris, menyarankan pemerintah untuk menitikberatkan aturan pembatasan media sosial kepada platform digital ketimbang usia pengguna.

Salah satunya bisa dengan "memaksa" platform untuk menyediakan saluran khusus bagi anak-anak seperti yang dilakukan YouTube Kids.

Sebab, berdasarkan pengamatannya, anak-anak yang paling banyak mengonsumsi media sosial berasal dari kalangan keluarga kurang mampu yang menganggap konten-konten di media sosial adalah sarana hiburan murah di tengah keterbatasan ekonomi.

Seorang ibu di Jakarta, Ayu Poernamaningrum, juga bilang akan sulit melarang sepenuhnya anak-anak bermain media sosial—apalagi sejak pandemi Covid-19. Karena pada saat itu, media sosial menjadi tempat bermain sang anak termasuk ketika berinteraksi dengan teman-temannya.

"Karena rata-rata mereka main media sosial ketika pandemi dan itu sudah menjadi dunia mereka," ujarnya.

Adapun seorang ibu di Yogyakarta, Nur Wahyuni, setuju sekali dengan rencana pemerintah membatasi umur pengguna media sosial. Gara-gara tak kenal waktu bermedia sosial, fokus belajar anaknya jadi berkurang dan susah untuk konsentrasi.

"Jadi kalau dibatasi bagus, biar enggak kebablasan," ucapnya.

Pendapat tersebut mengemuka setelah Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Meutya Hafid, mengatakan bahwa pemerintah memiliki wacana untuk membatasi bermain media sosial (medsos) sesuai umur. Sehingga nantinya seseorang yang masih di bawah umur tak bisa mengakses medsos. Aturan ini mirip seperti yang sudah diterapkan di Australia.

"Pada prinsipnya gini, sambil menjembatani aturan yang lebih ajeg, pemerintah akan mengeluarkan aturan pemerintah terlebih dahulu (mengenai batas usia mengakses medsos) sambil kemudian kajian perlindungan anaknya lebih kuatnya lagi, karena harus melibatkan DPR itu akan kita siapkan," kata Meutya di hadapan wartawan seusai bertemu Presiden Prabowo, Senin (13/01).

Lalu, aturan seperti apa yang cocok diterapkan di Indonesia?

Ayu Poernamaningrum punya anak perempuan berusia sembilan tahun bernama Akira.

Di saat anaknya kelas 2 Sekolah Dasar, ibu pekerja ini menghibahkan handphone bekasnya demi bisa berkomunikasi sesering mungkin.

Tapi meskipun kini anaknya punya ponsel sendiri, Ayu menerapkan banyak aturan. Misalnya telepon pintar itu tidak boleh dibawa ke sekolah, sesudah pulang sekolah harus makan, tidur siang, dan membaca buku.

Akira baru bisa berselancar di media sosial ketika malam hari dan dibatasi paling lama tiga jam.

"Jadi saya melarang, tapi enggak terkesan dilarang banget," ujar Ayu kepada BBC News Indonesia.

Di telepon pintar itu, ada beberapa aplikasi yang biasa dimainkan: YouTube, WhatsApp, TikTok, dan Zepeto.

Untuk aplikasi YouTube dan TikTok, pakai akun pribadinya. Sedangkan WhatsApp dan gim online Zepeto dibuatkan akun pribadi Akira.

Di YouTube, kata Ayu, anaknya suka sekali menonton video-video pendek—yang membuatnya sangat khawatir. Sebab beberapa penelitian yang dia baca, kebanyakan nonton video pendek secara berlebihan bisa menurunkan daya ingat dan konsentrasi.

"Dia suka nonton konten ABG pacaran, gosip, kriminal... itu kan bahaya, makanya saya larang. Kalau nonton idol K-pop enggak apa-apa deh."

Di TikTok, Akira bermain-main dengan membuat konten joget yang sedang tren atau bikin video berdua dengan ibunya.

Dan untuk mencegah ada komentar negatif, Ayu membatasi fitur kolom komentar hanya untuk orang-orang yang berteman di TikTok.

"Kalau sekarang Akira sukanya konten-konten DIY [do it yourself] atau k-pop idolanya New Jeans sama Enhypen."

Sedangkan di aplikasi gim Zepeto, Ayu malah ikutan bermain bersama anaknya. Tujuannya tak lain supaya bisa memantau siapa saja teman-teman sang anak dan mencegah adanya orang tak dikenal mengincar Akira.

Selain itu demi keamanan, Ayu juga mematikan fitur chat (percakapan online).

"Soalnya di Zepeto itu bisa chat-chatan sama pemain lain dan orang yang enggak dikenal, bahaya kan. Jadi orangtua harus ikut main, menyelami," ucapnya sambil tertawa.

Ayu bilang media sosial sudah seperti dunia sendiri bagi anak-anak zaman sekarang sehingga sulit sekali untuk melarang sepenuhnya.

Itu mengapa perempuan berusia kepala tiga ini mengaku tak pernah melepaskan matanya dari sang anak tiap kali Akira berselancar di media sosial maupun gim online. Setiap video atau status yang ingin diunggah pun, harus berdasarkan persetujuannya.

Kini, kalau pemerintah berencana ingin membuat aturan membatasi usia pengguna media sosial, Ayu sedikit ragu bakal berhasil.

Sebab anak-anak akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya.

"Di rumah misalnya anak lihat orangtua main handphone terus, ya dia akan menyontoh hal yang sama. Memang harus pengawasannya diperketat."
'Saya setuju sekali anak-anak dibatasi'

Di Yogyakarta, Nur Wahyuni memiliki anak berusia delapan tahun yang sudah akrab dengan media sosial TikTok.

Perempuan 35 tahun ini memberikan ponsel ke putrinya yang duduk di kelas 3 Sekolah Dasar untuk memudahkan komunikasi. Sebab dia dan sang suami sama-sama bekerja.

Jika ada keadaan mendesak atau darurat, maka anaknya atau orang di rumahnya bisa lebih mudah menghubungi dia.

"Anak saya mulai pegang handphone sejak dia masuk SD. Soalnya enggak ada telepon rumah. Dia di rumah sama neneknya, jadi saya kasih handphone kalau kenapa-kenapa," ujarnya.

Wahyuni bercerita, anaknya kemungkinan tahu aplikasi TikTok karena pengaruh teman-temannya. Sebab meskipun tak punya akun pribadi, tapi sang anak bisa mengakses secara langsung.

Bedanya, dia tak bisa mengunggah konten video.

Konten-konten yang biasa dilihat anaknya, kata Wahyuni, adalah video berisi kreator berjoget dan lagu-lagu. Selain itu video yang disukainya yakni kreator yang membagi-bagikan uang.

Sampai-sampai, putrinya hafal beberapa nama pemengaruh di TikTok dan kerap menghabiskan waktu di depan layar. Bahkan gara-gara itu, membuat anaknya tak keluar kamar seharian.

Khawatir dengan kondisi tersebut, dia membuat aturan hanya membolehkan bermain media sosial di akhir pekan.

"Saya bikin aturan sampai dua kali. Sebelum aturan pertama itu, sama sekali bablas, itu waktu dia awal-awal masuk SD."

Aturan itu, sambungnya, merupakan hasil diskusi dengan suami. Sebab pasangan ini merasa penggunaan media sosial yang berlebihan berdampak buruk pada putrinya.

Fokus belajar jadi berkurang dan susah untuk konsentrasi. Saat dipanggil pun, anaknya tak langsung merespon.

Kini, selain membatasi Wahyuni juga membuat sang anak sibuk dengan aktivitas lain. Ia memasukkan bocah itu mengaji dan les di luar waktu sekolah.

Adapun soal rencana dari pemerintah membatasi usia penggunaan media sosial, Wahyuni bilang sangat mendukung.

"Kalau saya setuju banget soalnya anak kecil ini pintar kalau pakai media sosial dan orangtua enggak semuanya bisa pakai handphone atau memantau."

"Jadi kalau dibatasi bagus, biar enggak kebablasan."

Siapa pengguna terbanyak internet di Indonesia?

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, proporsi individu yang paling banyak mengakses internet berdasarkan kelompok umur adalah usia 25 tahun ke atas yang mencapai 60,36%.

Kemudian disusul kelompok umur 19-24 tahun dengan 13,74%.

Selanjutnya kelompok umur 5-12 tahun sebesar 12,27%.

Peneliti dari Monash University Indonesia, Ika Idris, juga menemukan bahwa anak-anak yang terpapar media sosial itu mayoritas dari keluarga kurang mampu.

Bagi mereka, media sosial merupakan "sarana hiburan yang murah di tengah keterbatasan ekonomi," kata Ika.

Berpijak pada fakta tersebut, menurut dia, pemerintah harus memikirkan betul-betul rencana pembatasan penggunaan media sosial yang tepat dan sesuai konteks anak-anak di Indonesia.

Jangan sampai penerapannya menimbulkan protes dari masyarakat.

"Apalagi orangtua sudah terbiasa menemani anaknya dengan media sosial," ujarnya.

Untuk konteks di Indonesia, dosen senior Monash University Indonesia ini menyarankan pemerintah agar menitikberatkan aturan pembatasan penggunaan media sosial kepada platform digital ketimbang membatasi usia pengguna.

Sebab di masing-masing aplikasi, katanya, pihak pengelola media sosial sudah membuat panduan atau aturan soal usia pengguna. Meskipun ada yang mengakali dengan memakai akun si orangtua.

Tapi, pemerintah bisa "memaksa" platform untuk menyediakan saluran khusus bagi anak-anak seperti yang dilakukan YouTube Kids.

"Jadi ada alternatifnya, bukan hanya melarang."

"Sementara perpustakaan terbatas dan anak-anak ini tidak ada akses menghabiskan waktu luangnya."

Kalau membuat saluran khusus anak dirasa berat, maka platform harus lebih ketat lagi membuat fitur yang bisa menangkal anak-anak mengonsumsi konten berbahaya di usia mereka.

"Misalnya ketika anak pakai handphone ibunya untuk berselancar di media sosial, ada algoritma yang bisa mendeteksi kejanggalan pencarian dari kebiasaan si pengguna."

"Platform bisa mengirimkan semacam pop up atau peringatan kepada pengguna."

"Maka tantangannya lebih bagaimana mengatur platform."

Di sisi lain, menurut Ika, pemerintah juga harus secara bersamaan membangun kesadaran di masyarakat bahwa konten-konten seperti perundungan, pornografi, atau yang berbau kekerasan berbahaya dikonsumsi anak-anak.

Literasi tentang bahaya konten-konten itu bisa disampaikan di sekolah, kelompok perkumpulan ibu-ibu, atau kegiatan keagamaan.

Intinya, kata Ika, membuat komunitas masyarakat sadar bahwa bahaya media sosial adalah tanggung jawab bersama.

Seperti apa aturan pembatasan media sosial versi pemerintah?

Ide pembatasan pengguna media sosial muncul usai Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, berdiskusi dengan Presiden Prabowo Subianto yang membahas strategi pemerintah melindungi anak-anak di ruang digital.

Meutya berkata ada kemungkinan pemerintah menyusun draf Peraturan Pemerintah terlebih dahulu seiring mengkaji regulasi yang lebih kuat.

"Kami pelajari dulu betul-betul, tetapi pada prinsipnya sambil menjembatani aturan yang lebih ajeg, pemerintah akan mengeluarkan aturan pemerintah terlebih dahulu [mengenai batas usia penggunaan medsos]," kata Meutya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/01), melansir Antara.

Ia menambahkan pemerintah juga akan melibatkan DPR untuk bersama-sama menentukan rumusan aturan yang tepat.

"Sekali lagi, kami keluarkan aturan sambil bicara dengan DPR apa aturan, undang-undang seperti apa yang bisa kita keluarkan untuk melindungi anak-anak kita," tuturnya.

Anggota Komisi I DPR, Amelia Anggraini, menyatakan mendukung wacana pemerintah membuat aturan pembatasan usia pengguna media sosial, khususnya bagi anak-anak.

Legislator dari fraksi Partai NasDem ini mendorong agar aturan ini segera disusun.

Sementara itu, Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria, bilang pihaknya saat ini sedang mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Termasuk di antaranya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komnas Perempuan dan Anak.

Kendati dia mengimbau orangtua dan keluarga untuk lebih aktif dalam mengawasi penggunaan media sosial oleh anak-anak mereka di rumah.

"Terus aktif memantau misalnya apakah akunnya juga dipakai untuk mengakses konten-konten yang itu bisa harmful, bisa berdampak buruk untuk sekolah di anak-anak," ucap Nezar melansir Antara.

Seperti apa aturan bermedia sosial di negara lain?

Di Australia, pemerintahnya mengambil langkah tegas dengan membatasi umur pengguna media sosial. Negara itu menetapkan usia 16 tahun sebagai batas minimum untuk mengakses media sosial mulai Januari 2025.

Peraturan tersebut juga mencakup verifikasi usia pengguna dengan teknologi biometrik atau sistem berbasis data pemerintah.

Selain itu platform media sosial yang melanggar bakal dikenakan denda hingga US$49,5 juta (setara Rp330 miliar).

Perdana Menteri Anthony Albanese menyatakan aturan ini bertujuan melindungi anak-anak dari bahaya penggunaan media sosial, seperti kecanduan, paparan konten berbahaya, dan dampak pada kesehatan metal.

Namun, banyak anak dan aktivis milenial menilai larangan ini terlalu keras, mengingat media sosial juga memiliki manfaat, seperti mempermudah belajar dan menjalin hubungan.

Di Norwegia, pemerintahnya melarang anak-anak di bawah usia 13 tahun mengakses media sosial. Meskipun baru-baru ini mereka mengumumkan rencananya untuk menaikkan batas usia mengakses menjadi 15 tahun.

Pemerintah setempat juga berencana untuk memperkenalkan langkah-langkah lain guna memastikan larangan baru tersebut berjalan sukses.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah persyaratan rekening bank sebagai bentuk verifikasi akun.

Di Prancis, pemerintahnya memberlakukan aturan bahwa anak-anak di bawah usia 15 tahun memerlukan izin orang tua untuk membuat akun media sosial.

Regulasi ini bertujuan meningkatkan pengawasan orang tua terhadap aktivitas digital anak-anak mereka.

Pemerintah Prancis juga memberikan sanksi kepada platform yang tidak mematuhi aturan, yakni berupa denda dalam jumlah besar.

Di Inggris, pemerintahnya kemungkinan bakal melarang penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur 16 tahun.

Menteri Sains dan Teknologi Inggris, Peter Kyle, berkata akan melakukan apapun yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak agar aman di dunia online.

Di Jerman, remaja berusia antara 13 dan 16 tahun memerlukan izin orangtua mereka untuk menggunakan media sosial.

Meskipun peraturannya cukup sederhana, perlu dicatat penggunaan media sosial di Jerman relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.

Temuan dari Pew Research Center menunjukkan 79% orang Jerman berusia di bawah usia 40 tahun menggunakan media sosial.

Di Florida, Amerika Serikat, juga ada aturan pembatasan media sosial. Mulai 1 Januari 2025, anak-anak di bawah umur 14 tahun dilarang memiliki akun media sosial.

Namun, anak-anak usia 14-15 tahun masih dapat memiliki akun media sosial dengan persetujuan dan sepengetahuan orangtua.

Aturan ini bertujuan bertujuan untuk melindungi anak-anak dari paparan konten yang tidak sesuai usia mereka.

Setiap perusahaan media sosial dapat didenda US$10.000 (setara Rp155 juta) untuk setiap pelanggaran jika tidak mau menghapus akun anak-anak sebagaimana diminta orangtua atau wali mereka.

Florida berharap, kebijakan ini dapat menjadi model bagi negara bagian lain untuk menerapkan langkah serupa demi melindungi generasi muda.

Di China, pemerintahnya membuat aturan dengan membatasi jam dan durasi penggunaannya.

Anak-anak dilarang menggunakan perangkat digital antara pukul 22.00 hingga 06.00, langkah yang dirancang untuk memastikan mereka mendapatkan waktu istirahat yang cukup.

Selain itu, penggunaan perangkat digital juga dibatasi hingga maksimal dua jam per hari untuk remaja berusia 16-18 tahun.

Aturan ini dibuat untuk mengurangi kecanduan digital yang semakin mengkhawatirkan.

Dengan membatasi waktu penggunaan, pemerintah berharap bisa membantu anak-anak fokus pada kegiatan produktif lainnya, seperti belajar atau berinteraksi secara langsung dengan keluarga dan teman.

Selain pembatasan waktu, pemerintah China juga mengawasi ketat konten yang tersedia untuk anak-anak.

Platform digital diwajibkan untuk menyediakan konten yang sesuai usia dan menghapus konten yang tidak pantas dalam waktu singkat.

Peraturan ini menempatkan tanggung jawab besar pada perusahaan teknologi untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan sehat.

Di Vietnam, pemerintahnya menetapkan berbagai aturan, termasuk pembatasan waktu bermain gim online hingga verifikasi identitas pengguna.

Pengguna hanya diperbolehkan bermain gim maksimal tiga jam per hari. Selain itu, platform diwajibkan memverifikasi identitas pengguna untuk menghindari penyalahgunaan akun anonim.

Pemerintah Vietnam juga mengatur fitur live streaming agar hanya dapat diakses oleh akun yang telah diverifikasi. Kebijakan ini menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan keamanan digital di negara tersebut. (*)

Tags : Media sosial, Teknologi, Politik, Kesehatan mental, Hukum, Indonesia, Anak-anak, Kesehatan,