"Bagaimana cara meningkatkan keamanan pembangunan Bandara Internasional tanpa dituduh mengganggu lingkungan dan tidak dilatari sebagai komoditas politik?"
etelah beberapa perbaikan kecil selama puluhan tahun, teknologi baru yang inovatif telah siap dan hadir untuk mengubah pos pemeriksaan keamanan di bandar udara agar lebih efisien dan efektif.
Bayangkan. Ketika pergi ke bandara untuk bepergian dengan pesawat, bisa dilihat dan bergeser dari beranda untuk meletakkan tas yang sudah diperiksa, lalu langsung menuju pintu masuk, lolos dari antrian pemeriksaan dengan mesin sinar A di pos keamanan.
K8ni sudah hadir teknologi bandara yang sangat canggih akan membaca wajah dan tanda-tanda vital dan memindai tas penumpang dengan mulus, semuanya berlangsung tanpa mengorbankan keamanan - teknologi yang dapat memperingatkan pihak berwenang akan adanya wisatawan yang mencurigakan dan perlu diperiksa lebih lanjut.
Bagi banyak wisatawan yang tidak dicurigai, satu-satunya hambatan adalah berusaha menghindar dari penjual roti kayu manis.
Masa depan itu mungkin tidak terlalu lama lagi.
Karena teknologi di bandara belum berubah secara mendasar sejak tahun 1980an, Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (AS) misalnya; telah melakukan percobaan teknologi pengenalan wajah dan pemindaian biometrik yang dapat mendeteksi kedatangan wisatawan yang mencurigakan tiba di negara itu.
Berjalan terus dari beranda ke pintu gerbang, persis seperti dalam film Total Recall, barangkali akan menjadi kenyataan dalam lima sampai 10 tahun kedepani, kata Steve Karoly, pejabat asisten administrator yang memimpin inovasi bagi US Transportasion Security Administration (TSA).
Tempat-tempat pemeriksaan di bandara merupakan suatu keseimbangan yang konstan antara keamanan dan kecepatan.
Para penumpang harus mendapatkan penerbangan mereka, tetapi kepastian keamanan harus didapatkan. Selain itu, mesin-mesin juga dibutuhkan untuk mencegah alarm palsu dengan membedakan antara ancaman yang nyata dan hal-hal yang menyerupai ancaman, semuanya tanpa melanggar privasi para wisatawan.
Contohnya: madu dan bahan peledak cair mungkin akan tampak mirip pada level molekul, kata Mark Laustra, wakil presiden pengembangan bisnis global di Analogic Corporation, salah satu pabrik pembuat alat pemindai koper yang ditemukan di pos pemeriksaan bandara.
Calon penumpang berjalan menuju gerbang keberangkatan di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (23/1).
Dan pabrik-pabrik itu akan mendapatkan perubahan besar di pasaran.
Apa perubahan dalam waktu dekat?
Pemindai koper dengan sinar X yang sudah kuno akan segera digantikan oleh CT scanner yang lebih canggih, yang berarti barang-barang bawaan tersebut dapat bergerak mulus bagi sebagian besar penumpang.
CT scanner sudah digunakan untuk memeriksa tas-tas yang lebih besar, tetapi beberapa perusahaan tengah membuat alat itu menjadi lebih kecil dan lebih murah untuk digunakan pada tas-tas tangan, kata Karoly.
TSA bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ini untuk menguji alat-alat pemindai baru ini di bandara, tambah Karoly.
Analogic mempunyai satu alat miliknya sendiri yang disebut ConneCT, yang sekarang sedang dalam proses perizinan.
TSA berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan dari negara-negara lain untuk mempercepat proses perizinan teknologi baru itu. Sejumlah bandara di Eropa menggunakan CT scanning untuk barang-barang bagasi, ditambah dengan perangkat yang dirancang untuk mendeteksi cairan-cairan berbahaya, gel, dan aerosol.
Dengan mempelajari bagaimana teknologi ini digunakan di mana-mana, TSA dapat menemukan cara terbaik untuk membawa teknologi ini ke Amerika Serikat.
"Melalui kemitraan internasional kami, TSA menghindari usaha penggandaan dan secara efektif memajukan investasi di bidang kemampuan screening di Amerika Serikat," kata Karoly.
Bagi Laustra, hal ini merepresentasikan suatu "lompatan kuantum": bahwa para penumpang saat ini tidak harus mengeluarkan barang-barang seperti laptop atau cairan dari tas mereka di tempat pemeriksaan.
Tetapi Karoly melihat melampaui "lompatan kuantum" - keamanan bandara secara keseluruhan mulai bergeser dari pos-pos pemeriksaan.
Tidak ada pos-pos pemeriksaan lagi?
Saat ini, TSA mulai memandang keamanan sebagai suatu ekosistem yang berawal bahkan sebelum seorang penumpang tiba di bandara dan berakhir ketika si penumpang tiba di tempat tujuannya. TSA dan rekanan mereka masih berusaha mencari tahu seperti apa privasi seseorang dengan teknologi baru ini, kata Karoly.
Meskipun kemajuan teknologi yang cepat itu mengubah hubungan para penumpang dengan pihak keamanan bandara, pada dasarnya tugas TSA tetap sama.
"Kadang-kadang orang lupa bahwa kami bertugas membuat mereka aman," kata Karoly.
"Pos pemeriksaan yang terdapat di sana, ada karena alasan tertentu. Saya pikir kami akan terus melakukan pekerjaan kami untuk membuat (para penumpang) merasa aman di bandara dan di dalam pesawat."
Instansi dari tempat-tempat seperti Eropa dan Israel tampaknya akan mengembangkan dan mengadopsi teknologi itu lebih cepat.
"Pihak pengelola mengetahui bahwa proses akuisisi, serta proses kematangan teknologi kami, tidak harus secepat yang mereka butuhkan," kata Karoly.
Sehingga dibentuklah TSA's Innovation Task Force, yang dirancang untuk bekerja dengan perusahaan-perusahaan swasta, seperti pabrik-pabruk atau bahkan perusahaan-perusahaan penerbangan, untuk suatu pendekatan "kewirausahaan" pada teknologi keamanan baru.
Sejak pembentukannya di bulan Februari, Innovation Task Force telah melahirkan banyak kekaguman.
Misalnya dengan mengambil jalur screening otomatis. Pada bulan Maret, perwakilan Delta berkolaborasi dengan TSA Innovation Task Force untuk menguji teknologi itu, yang telah digunakan di Eropa selama lima tahun, kata Karoly.
Di bulan Mei, jalur-jalur tersebut dipasang untuk diujicobakan di Hartsfield-Jackson Atlanta International Airport. Lebih banyak inovasi yang akan hadir; di bulan November, American Airlines mengumumkan dua jalur baru untuk pemeriksaan koper otomatis di O'Hare Airport, Chicago, bertujuan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan para wisatawan untuk menunggu tas-tas mereka sebanyak 30 persen.
Tetapi apakah itu di Amerika Serikat atau tempat lainnya, meningkatkan infrastruktur keamanan di bandara merupakan tugas yang menakutkan?
Perubahan di seluruh dunia
TSA beroperasi di sekitar 440 bandara di Amerika Serikat dengan menggunakan lebih dari 13,000 buah peralatan keamanan yang dirancang untuk mendeteksi ancaman-ancaman dari seseorang atau dari barang bawaan, kata Karoly.
Ketika sebuah alat berhenti bekerja, yang terjadi setiap 10 sampai 15 tahun, TSA di bandara setempat harus memilih dari dari daftar teknologi baru untuk diperiksa dan dievaluasi oleh lembaga itu.
Semua alat yang berasal perusahaan-perusahaan manufaktur yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun mengembangkan alat-alat yang memenuhi persyaratan teknologi TSA dan standar pendeteksi, yang merinci bagaimana teknologi seharusnya bekerja.
(Karoly tidak dapat menawarkan rincian-rincian ini karena alasan keamanan, tetapi menyebutkan bahwa alat-alat tersebut harus dapat mendeteksi barang-barang peledak).
Proses pemeriksaan berlangsung sepanjang tahun; jumlah yang pasti dari teknologi yang disetujui bervariasi.
Di masa lalu, satu-satunya teknologi yang dapat disetujui oleh TSA harus melalui proses standarisasi formal.
Perusahaan-perusahaan manufaktur mengirimkan surat aplikasi dan contoh alat mereka ke fasilitas riset TSA di Atlantic City, New Jersey. Di sana, TSA memastikan bahwa mesin-mesin itu memenuhi standar untuk mendeteksi ancaman dan untuk dioperasikan oleh manusia, semuanya sambil bekerja sama dengan perusahaan manufaktur untuk penyesuaian dan pengembangan. Akhirnya, teknologi itu diujicobakan di beberapa bandara di seluruh negeri.
Seluruh prosesnya, dari uji coba sampai persetujuan, biasanya berlangsung selama sekitar tiga tahun, meskipun kadang-kadang hampir selama satu dekade, kata Laustea; Karoly memperkirakan rata-rata sekitar lima tahunan.
Teknologi pemeriksaan - sesuatu seperti Explosives Trace Detector yang membutuhkan satu contoh dari tas dan tangan, atau alat penghisap rokok yang sekarang sudah tidak digunakan lagi, atau alat sinar X seukuran mobil, yang disebut CTX 5500, tempat di mana para penumpang meletakkan tas-tas mereka sebelum diperiksa - ada di dalam daftar mereka, sehingga ketika ada alat yang harus diganti setiap kurang lebih sepuluh tahun, TSA di bandara tertentu dapat memilih teknologi yang tepat untuk menggantikannya berdasarkan faktor-faktor seperti kinerja dan biaya.
Antara inovasi dan adopsi, penundaan ini menjelaskan mengapa membutuhkan waktu beberapa tahun untuk menemukan teknologi yang paling baru di bandara setempat.
Tetapi dengan persyaratan teknologi standar seperti ini, TSA tidak mendorong perusahaan-perusahaan untuk berpikir kreatif tentang bagaimana meningkatkan keamanan.
"Teknologi tidak berubah banyak sejak tahun 1980an, ketika kami melindungi pesawat dari pembajakan," kata Laustra.
Misalnya, banyak bandara masih menggunakan sistem sinar X dua dimensi untuk memindai barang bawaan, yang terbatas untuk mengetahui jenis bahan peledak, dan berjalan begitu saja melewati deteksi metal bukan teknologi gelombang milimeter yang lebih maju untuk memindai tubuh para penumpang.
"Kami melihat perubahan kecil secara bertaham, tetapi tidak berupa lompatan kuantum," tambah Laustra.
Ketika TSA menyetujui sebagian teknologi, hal itu memberikan lampu hijau secara otomatis di beberapa negara lain.
"Banyak pemerintah lain di dunia ini, terutama di Asia, tergantung pada TSA. Hal ini benar-benar merupakan standar emas dalam hal pengujian dan evaluasi," kata Laustra.
Terlepas di mana Anda berada di dunia ini, navigasi di bandara-bandara akan semakin mudah - tetapi harga roti kayu manis tetap mahal.
Kondisi lingkungan bandara internasional dalam negeri
Ada banyak hal permasalahan kondisi bandara internasional di dalam negeri yang masih dituduhkan mengganggu lingkungan kini menjadi pertimbangan.
Di bawah terik matahari, Sukasih dan anak perempuannya menanam bawang merah seraya berpeluh di Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain bawang merah, di lahan pertaniannya itu Sukasih menanam berbagai macam sayur mayur dan buah-buahan. Dia juga menanam padi di lahan pertaniannya yang lain.
"Sudah puluhan tahun kami bertani," kata Sukasih.
Sukasih sedang menanam bawang merah di lahannya. Dia tidak mau menjual tanahanya dan memilih mempertahankan lahan pertaniannya.
Panas semakin menyengat. Caping yang dikenakannya dilepas. Keringat yang membasahi wajahnya dilap menggunakan lengan kaos yang dipakainya. Tak ada jeda lama, dia dan anaknya terus menanam sampai selesai.
Sukasih adalah perempuan petani dari Kecamatan Temon. Di daerahnya itu, banyak petani lain yang sudah menjual lahan mereka dan angkat kaki demi pembangunan bandara berkelas dunia, New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Namun Sukasih tetap bertahan, dia tidak mau menjual lahan pertaniannya.
"Saya tetap akan bertani dan mempertahankan pertanian," ujar Sukasih, kepada wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan.
Sukasih tidak sendirian. Masih ada sekitar 80 kepala keluarga dari 37 rumah di Desa Glagah dan Palihan Kecamatan Temon yang tidak mau menjual tanah mereka.
Padahal, dari 645,63 hektare yang diperlukan untuk pembangunan bandara, 603,94 hektare di antaranya merupakan wilayah Desa Glagah.
Wijianto, penduduk Desa Glagah yang juga menolak proyek bandara, mengemukakan alasan mengapa dia dan kepala keluarga lainnya berkeras tidak mau pindah.
Lahan pertanian di Desa Glagah, menurutnya, teramat subur. Kondisi itu bisa dinikmati warga setelah bertahun-tahun mengolah tanah pasir.
"Sebelum pembangunan, tempatnya luar biasa. Tanah pasir tapi bisa dikelola masyarakat menjadi subur. Prosesnya juga lama, tanahnya dikasih pupuk kandang dan dicoba ditanami cabai. Ternyata bisa menghasilkan. Setiap hari bisa berton-ton. Duitnya jutaan. Benar-benar bisa menghidupi anak dan istri," papar Wijianto.
Lelaki beranak satu itu kini memiliki sekitar 2.000 meter persegi lahan pertanian. Sebanyak 1.000 meter persegi dia tanami padi, dan sisanya ditanami sayur-mayur dan palawija.
Hasil pertanian mereka bisa mencukupi kebutuhan masyarakat Kulonprogo, dan luar kota. Bahkan, hasil buah-buahannya dijual sampai luar Pulau Jawa.
Penolakan sejumlah warga desa dapat dipahami Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta, Halik Sandera.
Dia menyebut pembangunan bandara Kulonprogo akan menimbulkan pencemaran yang berpengaruh pada lahan pertanian.
"Produktivitas dan kualitas pangan menurun karena terpapar polusi udara," ujarnya.
Penurunan produktivitas lahan pertanian praktis akan berdampak pada ketersediaan pangan di Yogyakarta.
"Konsepnya Kota Bandara, itu kan akan berkembang pesat. Iotu pasti akan menghilangkan lahan warga yang sebagian besar lahan pertanian. Tidak hanya keterancaman petani dan lahan pertanian, tapi juga akan ada keterancaman ketersediaan pangan di Yogyakarta," terang Halik.
Habitat burung langka terancam
Lepas dari dampaknya terhadap lahan pertanian, proyek pembangunan juga dikhawatirkan berimbas pada habitat sejumlah spesies burung langka.
Pasalnya, sebagaimana diterangkan Imam Taufiqurrahman, selaku direktur Yayasan Kutilang Indonesia, lokasi Bandara NYIA berada di antara muara Sungai Progo di timur dan muara Sungai Bogowonto di barat yang menjadi jalur habitat burung langka dan pergerakan burung migran.
Imam merujuk Cerek Jawa (Charadrius javanicus), burung pesisir penetap yang langka, bukan migran. Spesies ini berbiak di Muara Progo, bertelur di bentang pasirnya. Populasinya kecil dan terancam punah.
Selain Cerek Jawa, Imam menemukan habitat burung lokal lainnya, seperti Berkik Kembang Besar (Rostratula benghalensis), Gagang Bayam Timur (Himantopus lecocephalus), dan Dara Laut Jambul (Thalasseus bergil).
Seekor burung gajahan nampak sedang berjalan mencari makan di muara sungai Progo, di Pantai Trisik.
Untuk nama burung yang terakhir ini, menurut Imam, populasinya besar di Pantai Trisik tapi tidak berbiak di sana. "Paling dekat dia di Karimun Jawa lokasi biaknya," katanya.
Tak hanya burung lokal, muara Sungai Progo di Pantai Trisik dan wilayah sekitarnya menjadi tempat transit burung-burung pantai migran di Indonesia, seperti Kedidi Putih (Calidris alba) yang jumlahnya mencapai 2.000-an ekor dan burung Trinil Semak (Tringa glareola) sampai 1000-an ekor.
Dari beragam jenis burung migran yang singgah di pantai sekitar lokasi Bandara NYIA, Imam menemukan sejumlah spesies yang secara global dinyatakan terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Sebut saja burung Gajahan Timur (Numenius madagascariensis), burung Kedidi Besar (Calidiris tenuirostris), dan burung Biru Laut Ekor Hitam (Limosa limosa).
Burung-burung migran itu, menurut Imam, berasal dari daerah Siberia, Mongolia, Asia Utara dan sekitarnya dengan tujuan Papua, Selandia Baru, dan Australia. Mereka bergerak melintasi Indonesia yang merupakan lintasan antar benua bagi habitat tertentu burung migran (East Asia Australasia Flyway).
Setiap tahun burung-burung ini melakukan migrasi untuk menghindari musim dingin dan mencari makan.
Dalam pengamatan intens yang dilakukan sejak 2007, Imam menemukan 44 jenis burung pantai, 41 di antaranya adalah burung migran.
Imam mengkhawatirkan habitat burung-burung itu akan terancam seiring dengan pembangunan bandara yang lokasinya berada di jalur migrasi para burung.
"Mancing saja bisa ganggu burung, apalagi skalanya besar (pembangunan bandara) pasti ada gangguan. Perubahan habitat, lahan, pasti ada jenis burung tergusur, pindah. Itu mengubah keragaman," katanya.
'Tidak berpengaruh'
Hasto Wardoyo, Bupati Kulonprogo, menyatakan telah mengkaji terkait persoalan lahan pertanian dan burung migran.
Menurutnya, selama ini keberadaan burung migran tidak dominan dan tidak berpengaruh pada pembangunan Bandara NYIA.
"Muara Bogowonto tidak ada burung migran. Yang ada mungkin agak ke barat. Jadi pengaruhnya praktis tidak ada. Kalau Trisik kan jauh dari aiport," tegasnya.
Hasto mengaku tetap optimistis Bandara NYIA bisa selesai sejak pada Maret 2019.
Salah satu langkah yang akan dia lakukan adalah dengan terus membujuk warganya yang tidak mau menjual lahan pertaniannya agar mau melepasnya. Dia berjanji akan mengupayakan kawasan baru untuk mencetak sawah. "Kita akan mencetak sawah baru, sekitar 350 hektare," janjinya.
Akan tetapi janji yang diberikan Hasto Wardoyo tidak mempan. 80 kepala keluarga di Desa Glagah dan Palihan, Kecamatan Temon, tetap akan meneruskan menanam di lahan mereka sendiri dan tidak akan pindah.
Sekitar 80 kepala keluarga di Desa Glagah dan Palihan menolak menjual lahan mereka untuk pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA).
"Kami tetap akan bertani di sini, tidak mau pindah. Pak Jokowi yang katanya suka blusukan, lihatlah kami. Kami semua itu warga Indonesia. Kita punya hak hidup dan bertani," kata Daliyah, salah seorang petani yang menolak menjual lahannya.
Jumlah bandara internasional akan dikurangi
Sisi lainnya Pemerintah mengumumkan rencana untuk merampingkan jumlah Bandara Internasional dari 32 bandara menjadi hanya 14 sampai 15.
Tetapi Pengamat menilai ini langkah tepat, sebab tak sedikit bandara yang menyandang status internasional tapi kurang menguntungkan bagi perekonomian negara.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pada Pada Kamis 2 Februari 2023 telah mengumumkan rencana pemerintah untuk memangkas jumlah bandara internasional.
Hal tesebut dilakukan, kata Erick, untuk "menekan jumlah wisatawan domestik yang berwisata ke luar negeri".
"Bandara internasional diharapkan harus berpihak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dan tetap menjaga pariwisata internasional dan domestik," kata Erick Thohir di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jumlah bandara internasional di Indonesia yang sekarang 32, lanjut Erick, akan dipangkas menjadi "14-15 bandara" saja.
Pengamat Penerbangan Alvin Lie menilai keputusan pemerintah sudah tepat. Sebab menurutnya, banyak bandara yang didirikan namun kurang menarik minat wisatawan asing.
“Bandara-bandara internasional itu hanya memfasilitasi orang Indonesia ke luar tapi tidak mendatangkan warga dari negara lain ke Indonesia, jadi secara ekonomi itu tidak menguntungkan Indonesia,” ujar Alvin pada media.
Sementara, juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan rencana untuk memangkas jumlah bandara internasional masih dalam tahap pembahasan.
Pada Juli 2019, Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati berhenti melayani penerbangan reguler berjadwal karena sepi penumpang.
Beberapa menyebut bandara tersebut ‘mangkrak’ dan ‘sulit terjangkau’ aksesnya, seperti yang dikisahkan seorang warganet di Twitter.
Sesampai di Bandara Kertajati, ia mengatakan tidak menemukan angkutan umum maupun taksi. Alhasil, ia terpaksa jalan kaki melewati pesawahan dan perkebunan agar dapat sampai rumah.
“Maksa bangun tapi belum siap infrastruktur,” katanya.
Kemudian, seorang pelaku perjalanan lain menyebut Bandara Kertajati bagaikan ‘bengkel’ karena suasananya yang sepi.
Ia hanya melihat satu penumpang lain di gerbong kereta menuju bandara selain dirinya sendiri.
Ada juga seorang warganet yang mengatakan ia pernah mengalami pemadaman listrik saat berada di Bandara Kertajati.
Ia mengaku kaget karena itulah pertama kalinya dia mengalami mati lampu di sebuah bandara.
Pakar penerbangan Alvin Lie mengatakan bahwa Bandara Kertajati sempat ‘mati suri‘. Kini, bandara tersebut mencoba dibangkitkan lagi dengan penambahan rute umroh dan haji.
"Memang Kertajati itu sudah susah, konektivitasnya susah. Sudah pernah dipaksakan beberapa airline diwajibkan terbang ke sana. Setelah terbang dua minggu, tiga minggu, berhenti karena enggak ada penumpang,” katanya.
Selain isu konektivitas, sambung Alvin, Bandara Kertajati juga menjadi opsi kedua bagi pelaku perjalanan. Sebab, ekosistem sekitar bandara dan jumlah rutenya yang terbatas membuat warga Bandung lebih memilih melakukan perjalanan ke Jakarta dan terbang dari Bandara Internasional Halim Perdanakusuma atau Bandara Soekarno-Hatta.
“Warga Bandung itu daripada terbang dari Kertajati mending ke Jakarta.
“Pilihan rutenya banyak, pilihan airline-nya banyak, jadwalnya banyak,” ujar Alvin.
Dian Nurrahman, VP Corporate Secretary and General Administration BIJB Kertajari Majalengka, menyampaikan Bandara Kertajati berencana membuka 12 rute domestik dan internasional.
Ini akan dilakukan setelah Tol Cisumdawu selesai dibangun pada Februari ini, kata dia.
Tol Cisumdawu, yang memiliki panjang sekitar 60,3 kilometer, akan menghubungkan beberapa daerah antara lain: Cileunyi, Sumedang, dan Dawuan.
“Tentu kami berharap 12 penerbangan tambahan ini dapat terealisasi. Dukungan dari banyak pihak sangat dibutuhkan," kata Dian seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (25/1).
'Masih dalam pembahasan'
Juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan bahwa rencana untuk memangkas jumlah bandara internasional dari 32 menjadi 15 bandara masih dalam tahap pembahasan.
“Rencana itu masih kita bahas bersama stakeholders. Untuk saat ini ketentuan bandara sebagai entry point internasional masih merujuk ke Surat Edaran,” kata Adita.
Adita merujuk pada Surat Edaran Nomor 89 Tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Luar Negeri Dengan Transportasi Udara Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam surat tersebut, terdapat 16 Bandara Internasional yang melayani penerbangan rute internasional, yakni:
Status bandara internasional hanya ‘prestasi politik’ semata
Pakar penerbangan Alvin Lie mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemerintah daerah mengajukan agar pemerintah mendirikan bandara di daerah mereka agar turis asing dapat langsung berkunjung dan menikmati budaya lokal.
Namun, menurut Alvin, sebagian besar dari bandara-bandara tersebut hanya melayani segelintir penerbangan internasional.
"Padahal begitu status itu diubah ke internasional, ada beban biaya tetap pada pemerintah,” ujar Alvin.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Bandara Internasional Yogyakarta dan Bandar Udara Internasional Pulau Lombok hanya melayani dua penerbangan internasional ke Singapura dan Kuala Lumpur.
Sementara, Bandar Udara Internasional Minangkabau, Bandara Udara Internasional Sam Ratulangi di Manado, dan Bandara Internasional Hang Nadim di Batam malah hanya punya satu rute internasional, Malaysia atau Singapura saja.
“Dengan jumlah penerbangan yang cuma satu atau dua penerbangan saja dan jumlah penumpangnya tidak banyak itu tidak sepadan dengan biaya-biaya dan implikasi organisasi yang menjadi beban pemerintah," tukas Alvin.
Mantan anggota Ombudsman itu menjelaskan bahwa bukan hanya biaya pembangunan bandara yang bisa mencapai miliaran hingga triliunan yang tinggi. Biaya perawatan dan biaya operasional yang disedot oleh aktivitas bandara meski sedikit pesawat yang terbang tentu sangat besar.
"Biaya perawatan bandara tidak murah karena bandara itu harus disertifikasi standar keselamatannya, permukaan landasan pacu tidak boleh ada aspal yang mengelupas. Kemudian alat pandu navigasinya itu harus semuanya berfungsi. Biaya-biaya operasional seperti pelayanan navigasi itu juga harus ada, jadi tidak sekadar membangun,” katanya.
Lebih dari itu, ia menilai bahwa pembangunan bandara lebih dilatari sebagai komoditas politik.
Sebab, didirikannya bandara internasional di suatu daerah seakan-akan menaikkan standar wilayah tersebut karena bisa menghadirkan akses bagi warganya yang ingin terbang ke luar negeri sekaligus mendatangkan turis asing.
"Saya menduga, banyak kepala daerah yang menjadikan bandara sebagai prestasi politik, pokoknya bangun punya bandara, setelah jadi bandara tidak ada penerbangan di sana. Setelah punya bandara enggak bisa menghidupi bandaranya. Tidak ada penerbangan yang datang."
Menurut Alvin, seharusnya kata internasional itu sendiri dihapus sehingga semua bandara sama-sama dapat melayani rute domestik maupun internasional, tanpa harus dibeda-bedakan.
"Kata internasional itu dikejar sebagai gengsi. Coba saja, Bandara Silangit, dulu dipaksakan jadi internasional. Dulu beberapa kali penerbangan sepi kan, enggak ada penerbangan lagi, tapi yang penting ada kata internasionalnya di sana,” ujarnya.
Alvin mengatakan bahwa salah satu faktor yang menjadikan bandara internasional semakin marak di masyarakat adalah sifat Presiden Joko Widodo yang terlalu membanggakan bandara internasional. Pasalnya, ia seringkali berkunjung ke daerah dan meminta dibangun bandara internasional.
“Jadi ketika presiden datang, ini harus dibuka rute internasional, dibuka. Dan itu pun yang menggunakan jasanya orang kita yang ke sana (luar negeri), bukan orang Singapura yang datang ke Indonesia,“ kata Alvin.
Terakhir kali Presiden Jokowi meresmikan bandara adalah saat perluasan Bandara Komodo di Labuan Bajo, Juli 2022.
Kala itu, ia memuji keindahan alam yang ada di daerah tersebut dan sekitarnya, serta menyuarakan harapannya agar semakin banyak wisatawan dalam negeri maupun luar negeri yang berkunjung.
"Labuan Bajo ini komplet, budaya ada, pemandangan sangat bagus, pantainya cantik, dan di dunia yang enggak ada, enggak ada di tempat lain itu ada yaitu komodo yang ada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca.
"Kekuatan inilah yang harus kita pakai untuk mensejahterakan rakyat kita di sini," ujar Jokowi pada upacara peresmian Bandar Udara Komodo Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, pada 21 Juli 2022.
"Kita harapkan dengan tambahannya turis baik dari mancanegara maupun wisatawan nusantara Labuan Bajo menjadi makin dikenal dan yang paling penting bisa mensejahterakan masyarakat kita utamanya khususnya masyarakat Nusa Tenggara Timur," tambahnya.
Bandara internasional mayoritas melayani WNI daripada WNA
Data dari Kementerian Perhubungan menunjukan bahwa pelaku perjalanan udara sepanjang 2022 masih didominasi oleh warga negara Indonesia (WNI) sebesar 53%, dibandingkan warga negara asing sebanyak 47%.
Kantor Imigrasi Bandara Internasional Soekarno-Hatta mencatat bahwa WNI mencakup 70% dari pelaku perjalanan sepanjang 2022, yani sebanyak 2,52 juta penumpang.
Sedangkan, jumlah WNA hanya 30% dari total pelaku perjalanan pada 2022. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak masyarakat Indonesia yang berpergian ke luar negeri dibandingkan turis asing berkunjung ke Indonesia, kata Alvin Lie.
Seorang warga yang sedang mencari rumput melintas areal lahan yang sekarang sudah kosong, di Desa Glagah, Temon, Kulonprogo, Yogyakarta.
"Kenyataannya pengguna bandara-bandara internasional itu, bahkan ada yang 90% itu WNI, jadi bandara-bandara internasional itu hanya memfasilitasi orang Indonesia ke luar,” kata Alvin.
Dia mengatakan, dari 32 bandara internasional yang kini beroperasi di Indonesia, hanya ada satu bandara yang jumlah penumpang asingnya lebih banyak daripada penumpang Indonesia, yakni Bandara I Gusti Ngurah Rai di Bali.
Data dari dari Kantor Imigrasi Bandara Ngurah Rai menunjukkan bahwa jumlah WNI yang berangkat per Juni 2022 sebanyak 13.348 orang. Sedangkan, jumlah WNA yang datang ke Bandara Ngurah Rai sebanyak 182.380 orang.
Untuk ke depannya, Alvin mengatakan bahwa setiap pemerintah daerah yang ingin memiliki bandara internasional, perlu membuat proposal promosi daerah tersebut ke luar negeri, lengkap dengan rencana implementasi dan anggaran.
Hal ini dilakukan supaya dapat memastikan akan ada minat bagi wisatawan asing untuk terbang langsung ke daerah tersebut melalui bandara internasional.
“Saran saya bagi daerah-daerah yang menginginkan bandaranya itu menjadi bandara internasional harus mengajukan rencana pemasaran wisatanya di luar negeri. Kalau tidak ada itu dan tidak melaksanakan itu, lebih baik enggak usah di-internasional-kan,” tutur Alvin. (*)
Tags : Bandara internasional, Pemerintah akan Kurangi jumlah bandara internasional, Pendirian Bandara Sekadar untuk Prestasi Politik, Pesawat, Transportasi,