AGAMA - Perbedaan awal dan akhir puasa Ramadan adalah persoalan yang sudah lama ingin diselesaikan oleh pemerintah, astronom, dan pemuka agama Islam.
Itu kembali terjadi tahun ini, ketika sebagian umat Islam di Indonesia memulai puasa Ramadan pada tanggal 3 April, per keputusan pemerintah; sedangkan sebagian lagi melaksanakannya sehari lebih awal. Namun ada kemungkinan Idul Fitri akan dirayakan pada hari yang sama, yaitu tanggal 2 Mei.
Perbedaan tersebut berpangkal pada kriteria yang digunakan ormas-ormas Islam dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadan, berdasarkan dalil agama serta data-data astronomi.
Sebuah kriteria baru yang dikeluarkan oleh kementerian agama diharapkan dapat menjadi titik temu antara ormas-ormas Islam, dan menyeragamkan awal puasa dan lebaran di masa depan.
Pada tahun 1996, Kementerian Agama mulai melibatkan ilmuwan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) ke dalam tim hisab-rukyat yang bertugas menentukan awal dan akhir bulan Ramadan, yaitu bulan saat umat Islam diwajibkan untuk berpuasa.
Salah satu ilmuwan tersebut adalah Thomas Djamaluddin, yang kelak akan menjadi kepala Lapan.
Thomas sudah menekuni persoalan ini sejak ia masih mahasiswa di jurusan astronomi Institut Teknologi Bandung.
"Saya belajar dalil-dalilnya ke dosen syariah di Unisba. Dari situ saya sering diminta untuk membuat jadwal salat. Termasuk ketika saya kuliah di Jepang," kata Thomas dirilis BBC News Indonesia.
Untuk panduan beribadah, umat Islam menggunakan kalender hijriah yang berdasarkan pergerakan bulan.
Awal dan akhir bulan ditentukan dengan keberadaan hilal, yaitu bulan sabit pertama setelah posisi Bumi dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari Bumi — disebut juga dengan ijtimak atau konjungsi.
Hadits atau perkataan Nabi Muhammad menyuruh umat Islam untuk berpuasa ketika melihat hilal dan berbuka, atau berlebaran, ketika melihat hilal. Jika hilal tidak terlihat, maka bulan Syaban (bulan dalam kalender hijriah sebelum Ramadan) digenapkan 30 hari.
Pada dasarnya, terdapat dua metode yang digunakan untuk melihat hilal — metode perhitungan atau hisab dan pengamatan langsung atau rukyat. Kedua metode ini sejatinya tidak bisa dipisahkan.
Pangkal perbedaan, kata Thomas, ada pada kriteria yang dijadikan rujukan.
Sebagian ormas Islam menggunakan kriteria wujudul hilal yaitu tepi atas bulan masih berada di atas ufuk ketika matahari terbenam. Dalam kondisi tersebut, hilal dianggap sudah muncul meskipun tidak terlihat.
Sedangkan pemerintah dan beberapa ormas Islam menggunakan kriteria imkanur rukyat yaitu bulan harus berada di ketinggian yang memungkinkan hilal untuk dilihat — memahami hadits Nabi Muhammad secara literal. Selama bertahun-tahun, ketinggian tersebut adalah dua derajat. Di bawah dua derajat, cahaya hilal dianggap tidak bisa mengalahkan cahaya matahari senja atau syafak sehingga tidak kelihatan.
Pada sidang Isbat (penentuan) awal Ramadan 1443 H, 1 April lalu, disebutkan bahwa perhitungan (hisab) menentukan posisi hilal di seluruh Indonesia sudah di atas ufuk, dengan ketinggian hilal 1–2 derajat.
Namun, dari tim pemantauan Kemenag di 101 lokasi di 34 provinsi di Indonesia, tidak ada satu pun yang melaporkan telah melihat hilal. Akibatnya, 1 Ramadan ditetapkan jatuh pada hari Minggu, 3 April.
Menurut Thomas Djamaluddin, baik kriteria wujudul hilal maupun imkanur rukyat 2 derajat memiliki kelemahan secara astronomi.
"Wujudul hilal dalam konsep astronomi tidak dikenal karena hilalnya itu tidak akan terlihat. Jadi yang wujud itu sesungguhnya bulannya; bulan dengan posisi masih menyembul di atas ufuk. Sedangkan dua derajat, itu pun secara astronomi terlalu rendah [untuk hilal dapat dilihat]," kata Thomas.
Maka dari itu, ia berusaha mencari suatu kriteria alternatif.
Pada 2010, melalui sebuah makalah yang diterbitkan Lapan, Thomas mengusulkan kriteria baru untuk melihat hilal, yaitu ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Makalah tersebut juga ia muat di blog pribadinya.
Kriteria ini dianggap bisa menjadi titik temu dari perbedaan selama ini antara pemerintah dan ormas Islam.
Setelah disosialisasikan dan dikaji selama lebih dari satu dekade, pada Desember 2021, kriteria tersebut disepakati dalam forum menteri-menteri agama Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura atau MABIMS. Indonesia memutuskan untuk mulai menerapkan kriteria tersebut pada tahun 2022.
Thomas mengatakan kriteria baru tersebut ia rumuskan berdasarkan data-data astronomi global dan kajian dari berbagai jurnal astronomi. "Secara global dari data-data, itu menunjukkan tidak ada hilal yang teramati, yang sahih, yang ketinggiannya di bawah 3 derajat. Sehingga itu diusulkan untuk menjadi kriteria baru," ujarnya.
"Makna fisisnya, bahwa dengan syarat tersebut, hilal yang sangat tipis itu diharapkan bisa mengalahkan cahaya syafak yang masih cukup terang. Dengan tinggi 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat, kontras hilal dan cahaya syafak memungkinkan hilal dapat di-rukyat," ia menambahkan.
Menurut Thomas, untuk membuat kriteria yang dapat menjadi titik temu, harus menggunakan data astronomi yang sahih dan rujukan dalil-dalil agama.
"Tidak bisa sepenuhnya astronomi, tetapi kalau sepenuhnya menggunakan dalil agama juga tidak akan mempersatukan. Oleh karena itu kemudian diintegrasikan," kata Thomas.
Penetapan kriteria baru tiga derajat adalah bagian dari upaya menyeragamkan kalender hijriah terutama tiga bulan terpenting bagi umat Islam — Ramadan (bulan puasa), Syawal (Idul Fitri), dan Dzulhijah (Idul Adha).
Kementerian Agama (Kemenag) telah membentuk tim unifikasi kalender hijriah yang beranggotakan perwakilan dari ormas-ormas Islam.
"Kalender kan kita buat, bahkan sampai 10 tahun yang akan datang itu sudah bisa kita buat dengan menggunakan kriteria ini sehingga ada kesamaan. Jadi Kementerian Agama sudah melangkah sejak awal untuk berusaha [menyeragamkan]," kata Adib, Direktur Urusan Agama Islam Kemenag.
Namun, belum semua ormas Islam menerima kriteria baru ini. Muhammadiyah, misalnya, bersikeras menggunakan kriteria wujudul hilal dan menganggap kriteria yang ditetapkan MABIMS bersifat terlalu lokal.
Akibat menggunakan kriteria baru ini, kritik Muhammadiyah, selama Ramadan umat Islam Indonesia akan melaksanakan semua ibadahnya sekitar 12 jam lebih lambat dari Muslim di Amerika dan Eropa.
Sekretaris divisi hisab dan Iptek Majelis Tarjih Muhammadiyah, Rahmadi Wibowo S., mengatakan lewat pesan WhatsApp kepada BBC bahwa kriteria tiga derajat berpeluang lebih besar untuk menciptakan perbedaan daripada kriteria sebelumnya. Muhammadiyah kini mengarah kepada penyatuan kalender hijrah global, yang diharapkan memberikan solusi atas perbedaan puasa Arafah.
Meski mulai berpuasa pada hari yang berbeda, ada kemungkinan umat Islam akan merayakan lebaran pada hari yang sama yaitu tanggal 2 Mei.
Posisi bulan pada tanggal 29 Ramadhan atau 1 Mei di wilayah Indonesia, tulis Thomas Djamaluddin dalam blognya, diperkirakan berada pada batas kriteria baru MABIMS yaitu tinggi 3 derajat dan elongasi sekitar 6,4 derajat.
Namun, masih ada potensi perbedaan karena hilal diperkirakan akan sangat sulit dirukyat, salah satunya karena kemungkinan mendung dan hujan di lokasi rukyat. Jika itu terjadi, pengamal imkan rukyat mungkin akan menggenapkan Ramadan menjadi 30 hari, sehingga Idul Fitri jatuh pada 3 Mei. Sementara pengamal wujudul hilal akan merayakannya pada 2 Mei.
Bagaimanapun, umat Islam berharap Idul Fitri dapat dirayakan secara bersama-sama. Keseragaman itu penting, menurut Thomas, karena puasa dan lebaran tidak hanya peristiwa agama, tapi juga peristiwa budaya sehingga berdampak pada kegiatan mudik, cuti, dan sebagainya.
"Jadi ini masalah kenyamanan beribadah dan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat. Ini yang membutuhkan keseragaman penentuan kalender Islam. khususnya untuk tiga bulan utama — Ramadan, Syawal, dan Zulhijah," kata Thomas. (*)
Tags : Islam, Muslim, Astonomi, Puasa, Indonesia, Ramadan, Sains,