JAKARTA - Pemerintah mengakui mayoritas perusahaan kelapa sawit yang “tidak memenuhi kewajiban penyediaan kebun masyarakat” atau yang dikenal dengan skema plasma.
"Peneliti mengingatkan pemerintah tidak 'setengah hati' tentang kewajiban perusahaan untuk menerapkan penyediaan kebun masyarakat."
“Kita mulai dari pencocokan lahan dulu karena kita harus tahu persis lahannya itu sebenarnya berapa, perusahaannya berapa yang punya lahan dan yang dipegang rakyat berapa. Data ini tidak ada,” kata Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembagunan (BPKP), Muhammad Yusuf Ateh dalam konferensi pers di Gedung Kemenko Maritim dan Investasi, Jumat (23/06).
Ateh mengatakan saat ini pemerintah, melalui satuan tugas tata kelola industri kelapa sawit, masih menghimpun data-data perusahaan, termasuk luasan lahan yang dimiliki.
Dari data awal yang dimiliki satgas, Ateh mengatakan hanya 581 perusahaan sawit dari total 2.864 yang memenuhi kewajiban penyediaan kebun masyarakat.
Langkah pendataan ini menjadi langkah awal pemerintah mendorong perusahaan untuk memenuhi kewajiban menyediakan kebun masyarakat, sebelum mengambil langkah lainnya. Dalam sejumlah aturan perusahaan wajib menyediakan plasma untuk masyarakat.
Namun, niat pemerintah “membenahi tata kelola sawit dari hulu ke hilir” itu ditanggapi “pesimistis” oleh pengamat, terlebih lagi hal ini dilakukan “menjelang tahun politik”.
“[Langkah ini] baik kalau itu benar-benar mengarah kepada upaya yang serius, tapi ini kan di tahun politik, kemudian tiba-tiba menyelesaikan yang seperti itu. Masalah ini kan sudah lama sekali dibahas, didiskusikan,” kata peneliti The Institute of Ecosoc Rights, Sri Palupi didepan media.
Sekarang masih ada masyarakat yang merasa terperangkap dalam skema eksploratif dengan pembagian keuntungan yang tidak proporsional, bahkan sampai menyebabkan mereka terlilit utang dari bank.
Namun, industri sawit di Indonesia secara umum membantah ada persoalan besar terkait plasma.
Sekitar tahun 1970-an, pemerintah Indonesia menerapkan inisiatif baru dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit, yaitu dengan skema kemitraan.
Skema kemitraan ini disebut ‘inti-plasma’, yang terinspirasi dari model sel biologis.
Kalau sebelumnya pengelolaan perkebunan sawit hanya dilakukan perusahaan swasta dan BUMN – eks nasionalisasi perkebunan kolonial – skema baru ini melibatkan masyarakat sekitar yang menyerahkan lahannya untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan.
Dalam skema ini perusahaan bertindak sebagai ‘inti’ dan masyarakat yang menjadi petani sebagai ‘plasma’.
Dalam beberapa aturan perundangan terkait plasma, disebutkan bahwa perusahaan perkebunan yang mendapatkan izin usaha wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar 20% dari luas lahan yang mereka dapatkan.
Dengan skema tersebut ‘inti’ diharapkan bisa membantu ‘plasma’, mempersiapkan dan membina plasma dalam memelihara, mengelola, dan menampung hasil kebun plasma.
Di dalam skema ini juga terdapat perjanjian bagi hasil, tapi sampai sekarang Sri Palupi menyebut pembagian hasil dalam skema plasma semakin mengecil.
Pada kenyataannya, banyak perusahaan yang tidak menerapkan skema ini di lapangan.
Tetapi kembali disebutkan peneliti dari lembaga riset The Institute of Ecosoc Rights, Sri Palupi, selama ini pemerintah sudah menyampaikan banyak janji untuk menyelesaikan masalah di industri sawit.
Namun, kata dia, semua itu dilakukan “setengah hati” dan berakibat tidak menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu, dia skeptis dengan upaya yang tengah dilakukan pemerintah saat ini untuk memperbaiki tata kelola sawit, termasuk di dalamnya soal kemitraan plasma.
Contohnya seperti penguatan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) yang disebutnya dilakukan dengan “setengah hati” karena “tidak ada transparansi dan pemantauan independen”.
Begitu juga ketika pemerintah memberlakukan kebijakan moratorium perkebunan kelapa sawit selama tiga tahun, dianggap Sri tidak sungguh-sungguh. Sebab, pemerintah tetap memberikan izin kepada perusahaan kelapa sawit selama masa penangguhan tersebut.
“Selama ini janji-janji yang terkait dengan itu kan setengah hati. Penguatan ISPO setengah hati, moratorium setengah hati. Sudah setengah hati masih ditimpali dengan UU Cipta Kerja, yang mempermudah beroperasinya mereka yang melakukan kejahatan lingkungan. Kalau memang serius mau menangani masalah, seharusnya sudah sejak dulu kan,” ujar Sri. (*)
Tags : penyediaan kebun plasma, perusahaan berkewajiban sediakan skema plasma, kewajiban perusahaan kebun sawit, menerapkan penyediaan kebun masyarakat, news,