JAKARTA - Lembaga swadaya masyarakat [lsm] Pantau Gambut mendorong pemerintah menetapkan tanggap darurat nasional kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Mereka menyebutkan titik panas pada September 2023 sudah mencapai 47.760 titik. Jumlah ini menjadi titik panas terbanyak sepanjang tahun 2023.
"Pemerintah tidak boleh tutup mata pada kondisi ini. Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan seperti pembuatan status darurat nasional," kata Campaigner Pantau Gambut Abil Salsabila melalui keterangan tertulis, Jumat (13/10).
Pantau Gambut juga mengusulkan pemeriksaan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang bermasalah. Mereka pun mendorong pemerintah berkomitmen restorasi serta mengoreksi kebijakan yang mengancam ekosistem gambut.
Direktur Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata menyoroti kelambanan pemerintah menetapkan tanggap darurat. Dia berkata Pemprov Kalimantan Tengah belum melakukan hal itu meskipun sudah ada empat kabupaten/kota yang menetapkan status tanggap darurat karhutla.
"Padahal, beberapa daerah seperti Kotawaringin Timur telah meliburkan kegiatan belajar-mengajar dari tingkat taman kanak-kanak hingga SMA selama masa tanggap darurat," ujar Bayu.
Laporan para LSM tentang karhutla serupa dengan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB mencatat kenaikan jumlah titik panas di dua provinsi pada pekan pertama Oktober.
Jumlah titik panas di Kalimantan Tengah menembus 30.792 titik pada 1-7 Oktober. Pada 25-30 September, jumlah titik panas dj provinsi itu 25.950 titik.
Titik panas di Kalimantan Barat juga bertambah. Hotspot di Kalbar pada 1-7 Oktober mencapai 5.834 titik, naik dari 4.757 titik di pekan sebelumnya.
Karhutla membara salah satu penyebab karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] dinilai sudah melampaui wewenang terkait Hak Guna Usaha [HGU] sawit yang dijadikan kawasan hutan.
“Yang pertama kali kepada Pak David Kristian dari ATR BPN [Ketua Koordinator Subdirektorat Penetapan Hak Guna Usaha Kementerian ATR/BPN], Pak Menteri, Dirjen dan seluruhnya jangan merasa dibentur-benturkan kepada KLHK. Kalau kami pelaku sawit itu, menyampaikan keluhan-keluhan kalau HGU Kami, sertifikat hak milik kami, dimasukkan ke dalam kawasan hutan,” kata Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia [RSI] Kacuk Sumarto dalam diskusi Nagara Institute: "Menimbang Putusan Satuan Tugas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit Hitam atau Putih", di Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Pelaku usaha sawit meminta Kementerian ATR-BPN untuk membela produk hukumnya berupa HGU yang kini seolah-olah dibatalkan oleh Kementerian KLHK dan dimasukkan ke dalam kawasan hutan.
Hal itu merespon rencana pemerintah yang akan memutihkan atau melegalkan 2,2 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang selama ini berada di kawasan hutan.
Kacuk Sumarto mengatakan Kementerian ATR-BPN harusnya bertanggungjawab terhadap putusan hukum yang sudah dikeluarkan. Kacuk merasa kecewa jika ATR-BPN justru merasa kerap dibentur-benturkan dengan KLHK.
Ia yang juga Komisaris PT Paya Pinang Group itu menilai, dengan direncanakannya pemutihan terhadap 2,2 juta hektar sawit yang memiliki HGU itu, seharusnya Kementerian ATR-BPN protes. Pasalnya, keluarnya HGU sendiri turut dibidani oleh KLHK serta pemerintah daerah.
“Ini sebenarnya marwah dari kalian semua di ATR BPN yang sama sama lembaga negara dibatalkan, ini sama saja dilangkahi KLHK," kata dia.
Bagaimana anda punya produk hukum bernama HGU, dimana menurut UU Nomor 5 Tahun 1960 UUPA itu sudah ada panitia limanya, panitia B-nya. Disitu ada KLHK-nya juga,” jelasnya.
Artinya, Kementerian ATR-BPN produk hukumnya telah dibatalkan oleh KLHK tanpa lewat pengadilan.
“Anda jangan merasa dibenturkan, anda harus melawan. Ini bukan provokasi. Karena apa, kami bersama sama dengan ATR BPN, beberapa kali kami menggugat dan menang, bahwa HGU itu clean and clear,” tutur Kacuk.
Dia mencontohkan terkait hal tersebut, yaitu Putusan Mahkamah Agung Momor 03PHUM tahun 2013 itu menyatakan HGU inkrah bahwa HGU itu di luar kawasan hutan.
“Orang saksinya itu di depan saya Pak Sadino sendiri. Jadi jangan kecil hati, kalau kami datang, ‘wah Anda datang kemari mengadu domba, mengadu saya dengan KLHK’, itu pikiran yang keliru,” ungkapnya.
"Justru kami akan marah kalau Anda punya pikiran seperti itu. iyalah Anda harus bertanggungjawab karena mengeluarkan HGU dan anda harus bela," sambungnya.
Dari 3,3 juta hektar HGU di kawasan hutan, menurut data KLHK, hanya 237.000 hektar yang memiliki surat keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan 913.000 hektar masih proses penetapan SK. Namun, 2,2 juta hektar belum memiliki SK dan belum berproses.
“Tidak bisa SK yang bersifat penunjukkan itu untuk membatalkan HGU dalam kawasan hutan. Pola pikir yang salah,” tegas Kacuk. (*)
Tags : kebakaran hutan dan lahan, penyebab karhutla, kewenangan klhk soal hgu lampaui batas, tanggap darurat nasional karhutla, wewenang terkait hgu sawit lampaui batas,