"Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendesak pemerintah dan DPR tidak “grusa grusu” mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas)"
oordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, menilai pemerintah tidak cukup melibatkan masyarakat dalam perancangan draf RUU tersebut, lantaran tak yakin dengan jaminan kesejahteraan yang dijanjikan.
P2G khawatir proses pembahasan dan pengesahan RUU Sisdiknas, yang sifatnya seperti Omnibus Law karena menggabungkan tiga undang-undang, akan berjalan seperti pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial.
“Kami menyebutnya ini RUU Roro Jonggrang. Minim partisipasi publik yang bermakna, ini seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan IKN [Ibu Kota Negara]. Kami khawatir seperti itu, minim partisipasi publik, pembahasannya cepat, tidak melibatkan stakeholder pendidikan secara tepat,” kata Satriwan didepan media, Kamis (1/9).
Kekhawatiran P2G salah satunya dipicu oleh hilangnya pasal-pasal yang merinci tunjangan profesi guru pada draf versi terbaru yang dirilis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada Agustus lalu.
Sedangkan pada draf yang beredar sejak April 2022, tunjangan profesi guru masih tercantum di dalamnya.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, telah membantah tudingan bahwa pembahasannya tak transparan, serta menjamin bahwa RUU Sisdiknas justru berdampak “sangat positif” bagi kesejahteraan guru.
Senada, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Iwan Syahril, mengklaim bahwa tunjangan guru tidak dihilangkan dan justru “meningkat secara masif”. Namun, kata dia, hal itu akan diatur dalam aturan turunan.
Meski begitu, P2G meminta agar jaminan terkait tunjangan itu tetap ada dalam naskah RUU Sisdiknas sehingga memberikan “kepastian hukum”.
“Kami justru meminta adanya kepastian hukum, alasan yang dikeluarkan Kemendikbud kan ‘tenang saja, nanti tetap dapat tunjangan’, tapi itu tidak ada di dalam RUU Sisdiknas,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, mengusulkan agar dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) Nasional untuk membuka ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat, di tengah penolakan yang dia sebut “kian kencang”.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya mengajukan agar RUU Sisdiknas masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2022.
Dituduh minim partisipasi publik
P2G menuding bahwa Kemendikbud Ristek belum cukup melibatkan organisasi-organisasi profesi dan masyarakat sipil dalam pembahasan naskah RUU Sisdiknas.
Menurut Satriwan, uji publik RUU Sisdiknas berlangsung pada Februari 2022, namun hanya selang enam bulan kemudian RUU yang sifatnya seperti Omnibus Law itu diajukan ke dalam prolegnas prioritas.
“Memang kami pernah diundang, tapi dari segi substansi terkesannya hanya formalitas, hanya diberi waktu lima menit menyampaikan masukan secara lisan. Proses di Kemendikbud saja belum melibatkan semua pihak, apalagi kondisinya masih pandemi,” kata Satriwan.
Dia khawatir proses pembuatan Undang-Undang yang mengabaikan aspirasi publik akan kembali terulang dalam hal ini, seperti yang sebelumnya terjadi pada UU Cipta Kerja dan UU IKN.
Keluhan itu diamini oleh Ketua Komisi Bidang Pendidikan DPR, Syaiful Huda, yang mengatakan Kemendikbud Ristek “terkesan berjalan sendiri dan tidak membuka ruang partisipasi publik" dalam proses penyusunan draf RUU Sisdiknas.
“Pakar-pakar yang diundang sebagian besar mengaku hanya disuruh mendengarkan poin-poin dalam draf RUU Sisdiknas, sehingga kesannya Kemendikbud Ristek hanya sosialisasi saja. Di samping itu memang belum ada grand design pendidikan yang disepakati sebagai pijakan dalam pembentukan UU,” tutur Huda.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjanjikan bahwa RUU Sisdiknas akan menyejahterakan guru.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan apabila pembahasannya minim melibatkan organisasi profesi, maka pembentukan Undang-Undang itu jauh dari amanat MK untuk menerapkan pelibatan masyarakat yang bermakna.
“Di titik itu memang pembahasan Undang-Undang ini jauh dari keputusan MK dalam pembahasan Undang-Undang,” jelas Feri.
Namun, Menteridikbud Ristek, Nadiem Makarim, membantah dan menyatakan bahwa pemerintah telah transparan.
“Sebuah mispersepsi bahwa ada ketergesa-gesaan, sedangkan semua transparan di web kita, sampai butir-butir apa langkah kita, turunannya, rencana kami,” kata Nadiem di hadapan Komisi Bidang Pendidikan DPR.
“Kami bukannya tergesa-gesa mendorong RUU Sisdiknas, tapi kami tergesa-gesa mendapat masukan masyarakat.”
Menghilangkan kewajiban sertifikasi
Pada draf RUU Sisdiknas pada April 2022, Kemendikbud menyertakan klausul-klausul rinci mengenai tunjangan profesi dalam pasal 118 ayat (2) hingga ayat (8).
Di situ, disebutkan bahwa tunjangan profesi untuk guru dan dosen diberikan kepada guru dan dosen yang memenuhi persyaratan, hingga nilainya yang sebesar satu kali gaji pokok.
Sedangkan pada draf versi Agustus 2022, rincian terkait jenis-jenis tunjangan itu dihapus. Pasal 105 hanya menyebutkan bahwa pendidik berhak memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun dalam ketentuan peralihannya, draf RUU ini memastikan bahwa guru dan dosen yang mendapat tunjangan profesi sebagaimana aturan sebelumnya akan tetap menerimanya, sepanjang memenuhi persyaratan.
Guru dan dosen yang masuk kategori ini juga akan tetap menerima penghasilan paling sedikit sama setelah RUU Sisdiknas disahkan.
Dalam penjelasannya, Kemendikbudristek menyatakan bahwa sistem pemberian tunjangan saat ini “tersandera oleh sertifikasi” apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Iwan mengatakan RUU Sisdiknas ingin menghilangkan kewajiban sertifikasi tersebut.
Menurut catatan Kemendikbud Ristek, terdapat 1,6 juta guru yang belum disertifikasi sehingga belum mendapatkan tunjangan profesi.
“1,6 juta guru itu tidak perlu lagi menunggu, bisa langsung mendapatkan peningkatan kesejahteraan. Kalau mengikuti proses yang sekarang enggak tahu kapan, sampai pensiun pun belum tentu dapat peningkatan kesejahteraan,” jelas Iwan melalui konferensi pers pada Senin lalu.
“Ini yang ingin kita perjuangkan. Mekanisme kalau andalkan sertifikasi, prosesnya akan lama sekali. Justru akan ada peningkatan penghasilan kalau prinsip ini kita sepakati,” kata dia.
Terkait sistem pengupahan pendidik, Iwan mengatakan untuk guru PNS akan mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, sedangkan untuk guru yang bukan PNS akan mengacu pada Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Ketentuan lanjutannya akan diatur melalui regulasi turunan, yang kata Iwan, “harus terus dikawal”.
Realita guru honorer: upah jauh dari layak
Rolly Ferdian Pratama, 33, dan Syahrial Tanjung, 31, telah menjadi guru honorer selama sepuluh tahun di salah satu sekolah negeri di Kabupaten Agam, Sumatra Barat.
Mereka hanya menerima upah sebesar Rp35.000 per jam pelajaran, yang apabila diakumulasikan dalam sebulan, besarannya hanya sekitar Rp800.000.
“Kalau melihat kecukupannya, ya nggak cukup. Jadi mencukupnya dengan pekerjaan sampingan, berkebun, supaya cukup,” kata Rolly yang merupakan tulang punggung keluarga dan harus menghidupi istri serta kedua anaknya.
Sedangkan Syahrial, harus mencari pekerjaan sampingan dengan mengajar di lembaga pendidikan nonformal.
“Tapi itu pun masih belum cukup, terkadang harus meminjam uang,” kata Syahrial, yang mengaku bahwa honornya terkadang dibayarkan sekaligus per tiga bulan.
Keduanya berharap bahwa RUU Sisdiknas yang sedang dibahas pemerintah dapat menjamin kesejahteraan yang lebih baik bagi mereka.
Syahrial ingin mendapat hak yang setara dengan rekan-rekan sesama gurunya yang berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN).
“Karena dari segi tugas itu sama saja, dari segi kewajiban sama tapi haknya saja yang beda,” tutur Syahrial.
Sedangkan Rolly berharap pemerintah dapat menetapkan standar minimum upah yang layak bagi guru honorer. Selama ini gaji mereka bersumber dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang kadang terkendala.
Kepastian hukum
P2G mendesak agar pasal-pasal yang merinci hak-hak pendidik, termasuk terkait tunjangan profesi, dikembalikan ke dalam draf RUU Sisdiknas.
“Kalau sudah dimasukkan ke dalam [draf RUU] baru kami tenang. Soal pernyataan Kemendikbud bahwa yang belum sertifikasi guru otomatis dapat tunjangan itu selama ini kan baru pernyataan saja, harus ada kepastian hukumnya,” ujar Satriwan.
Menurut dia, jaminan akan kesejahteraan itu seharusnya turut tercantum dalam draf RUU Sisdiknas, tidak hanya mengandalkan regulasi turunan berupa Peraturan Pemerintah yang penyusunannya lebih minim partisipasi publik.
“PP itu yang membuat kan internal pemerintah, pengawasan dari publiknya tentu relatif lebih minimalis ketimbang Undang-Undang, ruangnya makin sempit. Jadi kami khawatir, syukur kalau bisa konsisten dengan janjinya,” kata dia.
Selain itu, rencana pemerintah melimpahkan standar pengupahan terhadap guru ke UU ASN dan UU Ketenagakerjaan turut dipertanyakan.
Menurut Satriwan, klausul yang mengatur secara spesifik tentang tunjangan profesi guru tidak terdapat di dalam UU ASN.
Sedangkan rujukan upah bagi guru honorer dan swasta yang mengacu pada UU Ketenagakerjaan dianggap belum sepenuhnya menjamin. Sebab hubungan kerja antara guru dan yayasan pendidikan berbeda dengan buruh dan perusahaan.
Oleh sebab itu P2G mendorong agar pemerintah mengakomodasi standar pengupahan bagi guru honorer dan swasta yang menurut dia seharusnya turut diatur dalam RUU Sisdiknas.
Selama ini, pengupahan guru honorer misalnya, bergantung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Dana BOS itu tidak bisa dialokasikan seluruhnya untuk upah guru honorer, memangnya kebutuhan sekolah hanya untuk menggaji guru honorer? Tidak. BOS itu untuk sarana, fasilitas, belanja rutin, dan biaya lainnya,” jelas dia.
“Kalau punya niat mensejahterakan guru kenapa tidak memuat tambahan pasal terkait sistem pengupahan guru non-ASN? RUU Sisdiknas seharusnya mengatur itu, biar untuk guru swasta dan honorer itu ada standar pengupahannya.”
Kepala Badan Standar, Asesmen, dan Kurikulum Pendidikan Anindito Aditomo hingga kini belum memberikan respons. Sedangkan Inspektur Jenderal Kemendikbud Chatarina Girsang juga demikian. (*)
Tags : Hukum, Indonesia, Pendidikan,