"Perbatasan harus menjadi etalase atau jendela terhadap dunia luar, namun seperti wilayah Rupat Utara Kabupaten Bengkalis masih ada persoalan pelik terkait ekonomi diperbatasan dengan Malaysia itu"
adirnya Peraturan Presiden (Perpres) pembentukan Badan Pengelolaan/Pengambangan Perbatasan disambut baik masyarakat. Sebab persoalan perbatasan menyangkut masalah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI] dan masyarakat daerah perbatasan mempunyai hak yang sama atas pembangunan.
"Perbatasan harus menjadi etalase atau jendela terhadap dunia luar, dan bukan sebagai halaman belakang yang kumuh," ujar H Darmawi Werdana Zalik Aris SE, Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Indonesian Corruption Investigation [ICI] dalam pembicaraannya yang dirinya mengaku baru usai melihat wilayah Kecamatan Rupat Utara kabupaten Bengkalis, Riau itu, Rabu [4/8/2021] ini.
Darmawi menambahkan, ada persoalan pelik terkait perbatasan Indonesia. Ada indikasi bahwa pemindahan patok perbatasan bukan hanya dilakukan oleh warga negara tetangga, melainkan oleh warga Indonesia sendiri. Alasannya, kata Darmawi, tindakan itu karena masyarakat yakin akan hidup lebih layak jika wilayahnya menjadi bagian wilayah negara tetangga. "Seperti di Rupat Utara itu," terang putera kelahiran Bengkalis ini.
Darmawi mengusulkan cara mengatasi masalah-masalah perbatasan ini. Untuk perbatasan laut, peningkatan kinerja patroli perbatasan mungkin cukup. Tapi untuk wilayah perbatasan darat atau pulau-pulau terdepan, perlakuannya tidak cukup hanya dengan patroli, melainkan harus melibatkan warga setempat. Sementara untuk perbatasan darat, Darmawi mengusulkan pemerintah perlu membangun jalan raya dan mengkombinasikannya dengan pengembangan perkebunan dan lain-lain sehingga daerah perbatasan itu dapat berkembang dan masyakat pun dapat hidup layak.
"Sedangkan wilayah perbatasan laut dapat dikembangkan dengan cara mengembangkan sumber daya laut di sekitar pulau-pulau terdepan," jelas mantan akademis dari Universitas Indonesia [UI] ini menambahkan, jika saran di atas dijalankan dengan baik, maka terhadap wilayah-wilayah perbatasan bukan saja aman, tetapi masyarakatnya dapat hidup lebih sejahtera selain itu pemerintah juga akan memperoleh keuntungan dari geliat ekonomi yang akan muncul.
'Pulau Rupat Malaysia nya Riau'
Mengutip seperti disebutkan Sekretaris Camat Rupat Utara, Ahmad Tarmizi, menurutnya, Rupat salah satu pulau terluar Indonesia yang berada di Provinsi Riau. Menjadi satu dari sekian tapal batas, Rupat juga dijuluki Malaysia dari Riau. Pulau Rupat juga bertetangga dengan kota Dumai yang identik dengan sejumlah perusahaan minyak dan gerbang masuk dari Selat Malaka, Malaysia. Pulau Rupat berjarak sekitar satu setengah jam perjalanan darat dari Kota Pekanbaru dan setengah jam perjalanan laut dari Dumai.
Namun kenyataannya, Pulau Rupat berjarak lebih dekat dari Malaysia ketimbang Dumai. Dari Kecamatan Rupat Utara misalnya, jarak menuju Port Dickson di Malaysia hanya 38 Km. Saat hari cerah, traveler bahkan dapat melihat Port Dickson dari Teluk Medang di Rupat Utara. "Akibat jarak yang dekat itu lah, budaya dan identitas Malaysia cukup bercampur di Pulau Rupat. Saking lekatnya, Pulau Rupat juga dijuluki Malaysia dari Riau," kata Sekretaris Camat Rupat Utara, Ahmad Tarmizi.
Ahmad Tarmizi juga menyinggung tentang sejarah Kerajaan Melayu Tua yang sudah 500 tahun lebih yang meliputi Pulau Sumatera dan Malaysia. Bagaimana di sana (Rupat-red) ada tradisi yang khas, notabene juga ada di Malaysia sana karena budayanya sama, ujarnya.
Menurutnya, Pulau Rupat merupakan bagian dari Kerajaan Melayu Tua yang dahulu daerahnya meliputi Malaysia. Maka ada kesamaan budaya di Rupat dan Malaysia. Karena kedekatan jarak, tak sedikit masyarakat Rupat yang punya saudara di Malaysia. “Memang kebetulan juga, Pulau Rupat ini pulau terluar dan keluarga masyarakat ini banyaknya juga tinggal di Malaysia. Mereka kadang-kadang hanya pulang acara keluarga, tapi tetap sebagai WNA,” ungkap Ahmad.
Tak heran kalau budaya di Pulau Rupat dan Malaysia begitu mirip. Yang paling lumrah, tak jarang kita menjumpai warga setempat yang bicara dengan bahasa melayu. Fakta menarik lainnya, dahulu uang Ringgit Malaysia banyak beredar di Pulau Rupat setelah sistem barter memudar. Namun, itu adalah bagian dari masa lalu Pulau Rupat yang perlahan mulai hilang. “Kalau dulu macam tak ada batas. Dulu kita bawa kelapa ke perbatasan Malaysia di laut itu langsung barter gula makanan lain sembako lainnya dan waktu itu memang masih berlaku dua mata uang, ringgit dan rupiah,” cerita Ahmad.
Sekarang dengan semakin ketatnya aturan perbatasan dan keimigrasian, praktek transaksi uang Ringgit Malaysia di Rupat mulai memudar. Seiring dengan dibukanya Tol Permai, perlahan kegiatan wisata mulai bangkit di Pulau Rupat. “Sekarang Rupat memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa menjanjikan untuk menambah perkembangan Pulau Rupat sendiri. Salah satunya dari sektor pariwisata yang mulai berkembang dengan beberapa destinasi wisata dan masyarakatnya juga membuka diri untuk perkembangan tersebut dan menyambut baik adanya BRI,” kata tokoh masyarakat Rupat Usman, yang juga mantan anggota DPRD Bengkalis [tahun 1980] ini.
Usman menceritakan Pulau Rupat merupakan bagian terluar dari Provinsi Riau. Rupat terletak di Kabupaten Bengkalis terdiri dari Rupat Utara dan Rupat Selatan hanya dibatasi Selat Malaka dengan negara Malaysia. Selain jauh dari ibu kota provinsi, untuk mencapai Pulau Rupat harus melakukan penyeberangan sungai Pakning dengan kapal fery dan melewati Selat Malaka dengan kapal motor cepat dan disambung kapal tongkang nelayan.
Ciri khas Pulau Rupat banyak kapal nelayan yang digunakan untuk menangkap ikan sebagai mata pencaharian penduduk setempat. Selain itu, banyak motor tanpa plat nomor. Untuk diketahui, motor-motor tersebut berasal dari Malaysia. Namun polisi setempat mengaku tidak bisa mengambil tindakan hukum karena hal tersebut telah berlangsung sejak lama.
Kembali disebutkan H Darmawi Werdana Zalik Aris, kehidupan penduduk pulau yang tiga kali lebih luas dari Singapura itu lebih banyak didominasi budaya Malaysia. "Disamping kultur yang sama kita juga ada bahasa yang sama. Tidak ada perbedaan antara melayu Malaysia dengan melayu Bengkalis," ujarnya.
Untuk perniagaan dan alat tukar masyarakat Rupat selain menggunakan rupiah juga menggunakan ringgit Malaysia. Bahkan informasi dan hiburan yang didapat hanya dari Malaysia. "Sedari dulu warga diwilayah itu hanya menerima informasi dari Malaysia, hiburan Malaysia, TV Malaysia, radio Malaysia, berita Malaysia," jelasnya.
Darmawi menambahkan, karena informasi yang didapat hanya seputar Malaysia maka penduduk tidak terlalu mengenal pejabat pemerintahan negeri ini. Itu lah sebabnya, kata dia diharapkan pemerintah provinsi dapat memperhatikan hal ini. Karena menurut Darmawi dapat menimbulkan kerawanan bagi kesatuan bangsa nantinya. "Ada kesamaan antara Pulau Rupat dengan Malaysia. Lagu melayu, baju melayu. Ini kesamaan, tapi dari sisi lain dapat menimbulkan kerawanan pertahanan," jelasnya kembali menimpali kesamaan budaya antara Pulau Rupat dengan Malaysia bukanlah ancaman, meski demikian, langkah preventif tetap harus dilakukan.
Destinasi wisata
Pulau Rupat memiliki pantai pesona yang memanjang dari timur ke barat dan berhadapan langsung dengan Tanjung Rusa di Port Dickson, Malaysia. Dari pantai Rupat Utara, bisa melihat kapal-kapal nasional dan internasional yang melintas. Hal ini didukung keadaan laut yang memiliki kedalaman 10 hingga 30 meter. Pasir putih sepanjang 17 kilometer dengan kondisi pantainya yang sangat bersih menambah pesona boleh dikatakan mirip dengan Pantai Sanur di timur Bali dengan pasir putih yang terbentang luas, sehingga bisa dimanfaatkan untuk voli pantai dan cocok untuk berjemur, berenang, menyelam, bahkan berselancar.
Selain Pantai Rupat nan menawan, terdapat satu pantai lain di Pulau Rupat yang tak kalah memesona. Yaitu Pulau Beting Aceh. Pulau ini adalah pulau kecil unik dengan pasir pantai berbisik yang berbunyi jika disentuh. Saat air laut surut, pulau yang bersebelahan dengan Pulau Babi itu akan menciptakan daratan pasir seluas lapangan bola yang membelah laut.
Pulau Rupat Utara yang terletak di utara Pulau Rupat, Kecamatan Rupat Utara terdiri dari 5 desa yaitu Kadur, Tanjung Punak, Teluk Rhu, Titi Akar, dan ibu kota kecamatan Tanjung Medang. Sedangkan luas wilayah Kecamatan Rupat Utara adalah 628,50 Km dengan desa terluas yaitu Desa Titi Akar seluas 300,00 Km atau sebesar 47,73 persen dari luas Kecamatan Rupat Utara.
Pemkab Bengkalis kini sedang gencar mengupayakan program pengembangan wisata bahari dengan berbagai sarana penunjang seperti listrik, air bersih hingga keberadaan kamar mandi umum atau toilet dan penambahan gaezebo. Terutama di pantai tanjung lapin desa Tanjung Punak dan Teluk Rhu. Begitupun pemerintah Provinsi Riau telah sepakat dengan Pemkab Bengkalis, akan menjadikan Tanjung Medang sebagai pintu masuk wisatawan mancanegara, mengingat masyarakat Malaysia sering datang berkunjung ke kawasan tersebut. Selain berwisata mereka juga memancing.
Mengingat pernah disebutkan Bagus Santoso, yang sekarang terpilih menjadi Wakil Bupati Bengkalis memaparkan tentang Kecamatan Rupat Utara yang memiliki banyak potensi wisata unggulan yang bisa dikunjungi. Salah satunya yakni Pantai Pesona Pulau Rupat Utara yang merupakan objek pengembangan wisata pantai di Kabupaten Bengkalis. Pantai ini termasuk salah satu dari lima daerah unggulan wisata dalam MasterPlan Pariwisata Nasional untuk Propinsi Riau. Di antaranya Pulau Rupat, Candi Muara Takus, Istana Kesultanan Siak, Bukit 30 dan Kota Pekanbaru. Selain itu, Pulau Rupat Utara juga merupakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang tercantum dalam Peraturan Presiden (PP) nomor 50 Tahun 2011.
Kawasan konservasi perairan
Pulau Rupat memiliki kawasan konservasi perairan daerah di wilayah Rupat Utara, padang lamun ditemukan di muara tanjung medang dan di depan pulau Beruk dengan jenis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Namun belakangan kondisi lamun banyak yang mati dan akar-akarnya telah ditumbuhi oleh alga dan dominan sedimennya lumpur berpasir.
Selain itu mamalia laut hanya seperti pesut. Pesut yang banyak ditemukan di Utara Tanjung Medang, depan Kuala Simpur dan Kuala Titi akar bisa dilihat pada kondisi perairan sedang pasang pada pagi dan sore hari. Dugong dugon juga biasanya banyak beraktivitas di kawasan tersebut. Karena lamun-lamun yang menjadi makanan favoritnya tidak ada dan lamun-lamun yang tersedia banyak yang mati. Dugong tidak intens beraktivitas di kawasan Rupat Utara, melainkan dugong yang beraktivitas di kawasan lain.
Para nelayan mengakui meraka sangat jarang melihat dugong beraktivitas di wilayah Rupat Utara, kalau pun ada biasanya banyak beraktivitas disekitar Pulau babi. Di Rupat Utara juga terdapat 12 spesies yang terdiri dari 6 famili, dimana untuk Desa Titi Akar ditemukan spesies Xylocarpus granatum, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Scyphiphora hydrophyllaceae, Sonneratia caseolaris, S. alba dan Avicennia alba.
Sedangkan di Desa Suka Damai ditemukan spesies S. caseolaris, S. alba dan A. alba. Kemudian di Desa Tanjung Medang ditemukan S. hydrophyllaceae, R. apiculata, X. granatum, C. tagal, Lumnitzera racemosa, S. caseolaris, S. alba, A. alba dan A. marina, sedangkan di Pulau Babi ditemukan B. sexangula, X. granatum, R. mucronata, R. apiculata dan A. marina.
Hutan mangrove di Rupat Utara dominannya hidup pada substrat berlumpur, dikarenakan di Rupat Utara banyak ditemukan sungai-sungai yang bermuara ke laut seperti Sungai Titi Akar, Sungai Tanjung Medang maupun Sungai Simpur. Masyarakat Rupat Utara banyak memanfaatkan ekosistem mangrove untuk mencari lokan, siput gonggong, memancing ikan dan udang. Kemudian untuk kayu mangrovenya dimanfaatkan untuk keperluan carocok bangunan (spesies R. apiculata), pancang kapal dan jembatan/titi.
Aktivitas warga setempat yang ada disekitar ekosistem mangrove Rupat Utara adalah pelabuhan, perkebunan karet dan kelapa sawit, permukiman penduduk serta pembuatan batu bata tanah liat. Sementara biota asosiasi yang ditemukan di hutan mangrove Rupat Utara adalah gastropoda, bivalva, kepiting Uca sp., kepiting umang-umang dan ikan tembakul Periophthalmus sp.
Masyarakat Rupat Utara terdiri dari berbagai macam etnis yang didominasi oleh penduduk asli (suku akit) di desa Titi Akar, Jawa di Desa Sukadamai dan Melayu di Desa Tanjung Medang. Masyarakat Rupat Utara yang berada di 3 lokasi (Desa Titi Akar, Desa Sukadamai dan Desa Tanjung Medang) mayoritas adalah nelayan sebagai mata pencaharian utama, sebagian kecil dari mereka menjadikan berkebun sebagai petani karet sebagai pekerjaan sampingan.
Darmawi Werdana menceritakan kehidupan para nelayan di Rupat Utara. Masyarakat nelayan biasanya dengan menggunakan alat tangkap yang umum seperti gillnet, jaring batu, bubu dan rawai dengan hasil tangkapan berupa tenggiri, kurau, senangin, parang dan udang.
Nelayan dengan kapasitas kapal lebih dari 6 GT menangkap ikan diluar wilayah laut calon KKPD [Kawasan Konservasi Perairan Daerah], yaitu perairan arah Selat Malaka dan perbatasan Kabupaten Rokan Hilir. Sedangkan nelayan kecil dengan mesin kapal tempel dan sampan (alat tangkap rawai) melakukan penangkapan di area sekitar calon KKPD. Ada juga nelayan besar yang memiliki kapal diatas 6 GT. Kehidupan nelayan di Rupat Utara sangat bergantung pada toke sebagai pemilik modal, dari tokelah mereka mendapatkan kapal dan alat tangkap.
Pantauannya dilapangan selama ini, hasil perikanan Rupat Utara sebagian besar di ekspor ke negara tetangga (Malaysia) yang dilakukan oleh CV Mekar Raya dan CV Melayu Perkasa Mandiri. Sebagian besar masyarakat nelayan di Rupat Utara berpendidikan rendah [tamat SD dan tidak tamat SD] dan rata – rata memiliki anggota keluarga yang lebih dari 4 orang. "Yang menjadi masalah bagi penduduk Rupat Utara, ketika anak-anaknya ingin melanjutkan pendidikan kejenjang tingkat SLTA, sementara di wilayah kecamatan itu sampai hari ini belum ada sekolah tingkat SLTA," ujarnya.
Sebagian besar nelayan sudah paham akam manfaat konservasi perairan. Nelayan yang memiliki area tangkap diluar kawasan calon KKPD setuju dengan rencana pencadangan CKKPD [Calon Kawasan Konservasi Perairan Daerah], namum sebagian nelayan kecil yang beririsan daerah tangkapannya dengan CKKPD menyatakan keberatan dengan rencana tersebut. Mayoritas nelayan menyatakan akan mendukung apabila terdapat aktivitas eco-wisata di Rupat Utara.
Sebagian lagi nelayan masih menggunakan jaring batu yang merusak ekosistem perairan. Masyarakat masih melakukan pengambilan pasir laut untuk membangun rumah di sekitar perariran Beting Aceh. "Saya mendapat informasi dari nelayan Desa Titi Akar, bahwa PT Logomas (perusahaan pemegang ijin pasir laut yang perpanjangan ijinnya ditolak oleh Gubernur Riau) akan melakukan penambangan pasir kembali pada Bulan Agustus ini," kata dia.
Masyarakat nelayan Rupat Utara umumnya mengetahui batas negara antara Indonesia dan Malaysia, sebagian besar mereka menyatakan tidak pernah melanggar wilayah laut Malaysia. Isu tentang illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan dari negara tetangga bisa dikatakan jarang, dari informasi Polairud Rupat Utara selama 5 tahun terakhir hanya ditemukan satu kasus pelanggaran lintas batas oleh nelayan Malaysia di 2015 dan telah dipidanakan. Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa dalam 3 tahun terakhir pasokan barang seperti beras dan kebutuhan pokok lainnya mayoritas berasal dari Dumai bukan lagi dari Malaysia.
Sebagian transaksi keuangan di Rupat Utara menggunakan ringgit Malaysia, nelayan dibayar oleh toke dengan mata uang berupa Ringgit. 90% hasil perikanan Rupat Utara dikirim ke Malaysia melalui ekspor, berdasarkan informasi dari Unit Pelaksana Teknis Daerah [UPTD] Perikanan Rupat Utara, ekspor yang dilakukan oleh pihak eksportir yaitu, CV Mekar Raya dan CV Melayu Perkasa Mandiri adalah legal, dibuktikan dengan ijin ekspor dari Kantor Bea Cukai. Tetapi hasil curhatan para nelayan sendiri menyebutkan kondisi sekarang yang mereka alami di Pulau Rupat kapal yang digunakan sudah tidak layak lagi untuk digunakan.
Pulau Rupat memang memiliki kekayaan laut yang tak tertandingi sebut saja ikan senangin, ikan tenggiri, udang, hingga kepiting yang kerap ditangkap nelayan di pulau ini. "Kekayaan alam yang ada di Pulau ini bertolak belakang dengan perlengkapan melaut bagi sebagian nelayan di Pulau Rupat," kata Ketua Kelompok dari Nelayan Cabuk Dulkahar (62) yang menceritakan kendalanya sebagai nelayan kecil di perbatasan.
Selain itu kelompok nelayan ini masih menghadapi izin tangkap yang terbatas sehingga para kelompok nelayan harus lebih berhati-hati ketika melaut. "Surat izin tangkap itu sekitar 5-6 mil, ketika sudah dekat dengan perbatasan Malaysia kami mundur. Untuk polisi perbatasan ya ada tapi kan kami sudah ada surat-surat seperti pas kecil, izin tangkap jadi aman," ungkap Dulkahar.
Kendala lainnya yang dirasakan Dulkahar dan juga kelompoknya adalah alat-alat untuk menangkap ikan seperti jaring, safety coat, hingga kapal. Khusus untuk kapal, Dulkahar mengatakan kapal yang mereka gunakan selama ini sudah mulai lapuk dan tidak layak melaut karena terbuat dari kayu. Belum lagi bahan baku untuk memperbarui kapal yang sudah habis akibat kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2019.
"Kami meminta bantuan dan solusi ke pemerintah ini bagaimana solusinya untuk kondisi dan keadaan kami di sini agar kami tetap bisa menafkahi anak istri. Lebih perhatikan nelayan-nelayan kecil seperti kami. Kami memohon bantuan untuk dibantu dalam hal kapal yang mana kapal kami sudah tidak layak pakai untuk digunakan. Jadi jangan sampai kami ini nelayan berhenti (bekerja)," tutur Dulkahar.
Walaupun terkendala dengan kapal yang dimiliki, Dulkahar juga merasakan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah lewat bantuan-bantuan untuk meringankan keuangan dari kelompok nelayan yang dipimpinnya salah satunya KUR [Kredit Usaha Rakyat]. "Dulu ikan banyak namun harga murah sebagai contoh ikan senangin dulu perkilo hanya dihargai Rp 16.000-20.000. Pendapatan hanya sekitar Rp 1 juta per bulan," imbuhnya.
Ia pun merasakan KUR sangat membantu kini dalam melakukan pekerjaannya sebagai nelayan. Dari awalnya pendapatan mereka sekitar Rp 1 juta per bulan, kini mereka bisa mendapatkan Rp 3 juta per bulan. "Sekarang, Kami nelayan kecil ini untuk 1 kelompok ada 9 orang dan mendapat pinjaman KUR dari Bank BRI untuk kami gunakan membeli alat tangkap, beli jaring, kadang untuk kami perbaiki ketika mesin rusak," katanya.
Dulkahar pun mengatakan dirinya baru sekali meminjam KUR sebesar Rp 25 juta untuk 5 tahun. Ia menilai KUR sangat membantu dirinya karena bunga yang murah sehingga sangat membantunya sebagai nelayan kecil. "Harapan kami ya janganlah dihilangkan atau dihapuskan pinjaman KUR ini karena bunga yang sangat murah dan terjangkau bagi nelayan. Dari pinjaman Bank Rakyat Indonesia [BRI] sehingga kami bisa melaut dan bisa membuat anak-anak kami juga berkuliah. Kemudian kami bisa membeli kebun sedikit-sedikit untuk deres karet," tandasnya.
Ia juga mengatakan subsidi bunga kredit dan adanya kemudahan restrukturisasi kredit di masa pandemi yang diberikan oleh pemerintah melalui BRI sangat membantu Dulkahar dan juga kelompoknya dalam melakukan pekerjaan di masa sulit seperti saat ini. "Adanya kebijakan bunga di BRI yang disubsidi juga oleh pemerintah yaitu tadinya 12% menjadi 6% sangat membantu kami," pungkasnya.
Namun lain lagi disebutkan Peni (45), salah satu warga nelayan di pulau itu, Ia mengakui dampak mewabahnya corona juga berdampak hasil tangkapannya. Ia mengeluh lantaran hasil tangkapan ikan bersama dengan teman-temannya yang biasanya dikirim ke Malaysia, sejak sepekan terakhir sudah tidak ada permintaan. Nelayan khawatir situasi sulit ini justru semakin berkepanjangan.
Katanya, pemerintah tengah memberlakukan social distancing untuk mencegah penyebaran virus corona, aktifitas di sejumlah pelabuhan nelayan baik itu di Pelabuhan Perikanan Desa Tanjung Medang maupun pelabuhan tradisional yang tersebar di sejumlah desa di pesisir Kecamatan Rupat dan Rupat Utara masih tetap berjalan, namun merebaknya virus corona ini telah berdampak pada permintaan sejumlah komoditas tangkapan nelayan. Tidak adanya permintaan suplay ke hotel dan restoran di Malaysia, nelayan kini hanya menghandalkan konsumen lokal.
Peni asal kelurahan Batu Panjang, Kecamata Rupat itu juga mengakui saat ini untuk pengiriman ke luar Kecamatan Rupat sudah lesu. Selama ini hasil tangkapan nelayan mendapat permintaan tinggi, namun sejak sepekan terkahir sudah tidak ada permintaan lagi, “biasanya dibeli suplayer dari Malaysial untuk disalurkan ke hotel dan restoran di negara Malaysia tapi sekarang permintaannya sepi,” ujarnya.
Nelayan di Kecamatan Rupat kini hanya menghadalkan pasar local untuk menjual hasil tangkapan yang selama ini di drop dengan jumlah besar ke wilayah Malaysia. Selain nelayan, pelaku usaha dibidang perikanan seperti sped boat Rupat dumai juga menurutnya merasakan dampak corona ini. Menurutnya nelayan hingga kini tetap melaut namun untuk permintaannya turun drastis sehingga harga ikan anjlok. “Nelayan kesulitan jual, pengepul kesulitan menyalurkan hasil tangkapan yang di beli dari nelayan,” ujarnya.
Saat ini harga beli di tingkat nelayan tetap, namun dengan minimnya permintaan, diakuinya hasil tangkapan ditingkat pengepul dijual murah. “Dari belinya Rp 50 ribu sekarang terpaksa di jual sampai dibawah Rp 20 ribu. Ini juga nantinya akan berimbas pada harga beli di nelayan,” jelasnya.
Hingga kini menurutnya belum ada solusi atas persoalan dampak corona yang berpengaruh terhadap sektor perikanan tangkap ini. “Belum ada jalan keluarnya, pengepul berharap pembeli datang karena nelayan tetap melaut,” paparnya.
Menurutnya harus ada kontrol dari pemerintah terhadap persoalan ini. Terlebih menurutnya dengan kondisi cuaca, nelayan khususnya tradisional menggunakan jaring sekarang kesulitan untuk mendapatkan ikan. “Kami khawatir akan berdampak pada perekonomian nelayan,” tandasnya.
Jual ikan ke Malaysia
Sebagian besar masyarakat nelayan yang berada di Pulau Rupat, Kebupaten Bengkalis, Riau, menjual ikan hasil tangkapanya ke negeri jiran Malaysia. "Kita jual ikan ke Malaysia karena harganya yang lebih mahal dibandingkan dijual di negeri sendiri," kata Razwit, seorang warga Rupat yang mengaku telah lebih 20 tahun berprofesi sebagai nelayan di Pulau Rupat.
Ia mengaku sebagian besar hasil tangkapnya dijual ke Malaysia melalui salah satu penampung atau distributor yang berdomisili di wilayahnya. "Selisih harga yang ditawarkan cukup jauh, yakni Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilogramnya. Sebagai contoh, kalau orang kita (di Indonesia) membelinya dengan harga Rp20 ribu per kilo untuk jenis Ikan Todak, Malaysia sanggup beli dengan harga Rp23 ribu per kilonya," katanya.
Demikian juga dengan jenis ikan laut lannya seperti Kakap dan Senangin, dikatakan Raswit, juga berselisih harga antara Rp2.000 hingga Rp3.000 perkilogramnya. Razwit menguraikan, dalam sehari ia berhasil menangkap berbagai jenis ikan laut lebih dari 60 kilogram. Dimana dari hasil tangkapnya tersebut, hanya 20 persen yang disisihkan untuk diecer sendiri pada pasar di Pulau Rupat. "Selebihnya saya jual ke Malaysia," ucapnya.
Selain itu Ketua Kelompok Nelayan Tanjung Medang, Kecamatan Rupat Utara, H Samsul, membenarkan pernyataan Razwit. Bahkan menurut Samsul, penjulanan ikan hasil tangkap nelayan ke Malaysia tersebut sudah berlangsung sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. "Selain harganya yang lebih mahal, jaraknya juga relatif singkat. Hanya sekitar 40 menit jika kita menggunakan "speed boat" (kapal cepat)," katanya.
'Pulau yang rawan'
Perbatasan Indonesia-Malaysia diapit oleh sebuah pulau bernama Rupat yang memiliki kekayaan laut melimpah. Namun sayang, banyak yang dikeluhkan para nelayan. Jauh di perbatasan Indonesia dengan Malaysia, ada sebuah pulau dengan luas kurang lebih 1.500 km2 yang bernama Pulau Rupat. Pulau yang masuk pemerintahan Kabupaten Bengkalis, Riau ini banyak ditinggali oleh masyarakat yang notabene bekerja sebagai petani karet, kelapa sawit, dan juga nelayan.
Selain dikenal dengan destinasi wisata, Pantai persona di Pulau Rupat merupakan anugerah bagi masyarakat Kabupaten Bengkalis yang dikenal berjuluk Negeri Junjungan. Pantai yang landai, dikelilingi pohon kelapa, dan pasir putih inilah yang membuat masyarakat Bengkalis bangga. Umi Kalsum yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Bupati Bengkalis Bidang Hukum dan Politik Bengkalis pernah menyatakan, Pantai Persona di Pulau Rupat sudah ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai tujuan atau destinasi wisata bahari.
Umi Kalsum juga berharap, jangan sampai peluang yang ada tak dimanfaatkan oleh masyarakat Rupat untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Menurut dia, objek wisata Pantai Persona di Desa Teluk Rhu, Kecamatan Rupat Utara, memanjakan masyarakat dengan pemandangan laut yang indah. Masyarakat di sini masih kental dengan budaya lokalnya. Ini menjadi kearifan tersendiri dan menjadi daya tarik pengunjung luar Pulau Rupat.
Menurutnya, pengembangan sektor wisata harus didukung dengan kearifan lokal, seperti tradisi masyarakat setempat. Terlebih masyarakatnya sangat akrab dengan kehidupan pantai dan laut, sehingga menjadi modal penting dalam memajukan kawasan pariwisata pantai di daerah ini. Contohnya, lanjut dia, wisata di Bali. Wisata Pulau Dewata tetap eksis karena masyarakatnya dapat mempertahankan budaya dan tradisi mereka.
Diakunya, 4 tahun terakhir Pemkab Bengkalis terus membenahi sarana prasarana dan fasilitas pendukung untuk memperkokoh kedudukan pantai Rupat Utara sebagai salah satu destinasi wisata nasional, Seperti pembangunan jalan poros Pulau Rupat dari Batu Panjang-Pangkalan Nyirih melalui program proyek multiyears, kemudian dilanjutkan dari Pangkalan Nyirih menuju Tanjung Medang.
Seiring dengan waktu keindahan pantai pasir putih di Rupat Utara terjamah oleh para penambang Pasir Laut yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di pulau itu. Direktorat Polisi Air Polda Riau menangkap empat penambang pasir laut ilegal di perairan Rupat, Kabupaten Bengkalis. Perbuatan tersangka sangat merugikan masyarakat karena merusak lingkungan.
Kepala Polda Riau Irjen Agung Setya Imam Effendi menjelaskan, para tersangka menggunakan kapal dan membawanya ke perairan Injab, Kepulauan Rupat. Di lokasi ada perahu lain untuk membawa mesin alat hisap pasir. "Pasir tadi dipindahkan ke kapal dan dibawa ke sebuah lokasi penampungan untuk dijual," kata Agung didampingi Kabid Humas Komisaris Besar Sunarto dan Direktur Polisi Air Polda Riau Komisaris Besar Eko Irianto pada Rabu 30 Juni 2021 kemarin.
Agung mengatakan, masing-masing tersangka berinisial RS, AY, MA dan AD. Mereka dalam penambangan pasir ilegal ini punya peran tersendiri, mulai dari pemilik kapal, nahkoda dan pemilik mesin. "Ada juga yang memiliki kapal sebagai pembeli dengan harga Rp600 ribu sekali angkut," ucap Agung.
Agung menyebut aktivitas tersangka bisa merusak ekosistem laut. Apalagi dilakukan seenaknya karena hanya memikirkan keuntungan semata. Hingga kini, petugas masih mendalami sudah lama para tersangka melakukan penambangan pasir ilegal. Termasuk berapa banyak pasir yang sudah dikeruk para tersangka. "Namun pengakuannya baru sekali," kata Agung.
Dalam kasus ini, petugas menyita sejumlah kapal dan mesin alat hisap. Termasuk puluhan kubik pasir laut beserta uang hasil penjualannya. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara sebagaimana dirubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 56 KUHP. "Ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta," tegas Agung.
Kerawanan lainnya di Pulau Rupat, wilayah itu dihantui adanya bajak laut yang berakhir bisa menghambat program wisata yang telah dicanagkan pemerintah. Namun Gubernur Riau Saymsuar telah membantahnya adanya ancaman itu. Pada investor diyakinkan Gubri diperairan di wilayahnya aman dari bajak laut atau ancaman perompak untuk kapal pesiar.
Dia sendiri mengakui bahwa akan ada perusahaan pelayaran besar yang akan melewati dan singgah di daerah sana. Adalah kapal pesiar milik Genting Dream yang berencana singgah di perairan Provinsi Riau. Pelayaran yang dimaksud akan melalui Pulau Rupat dan sekitarnya. "Saat investor Malaysia itu berkunjung ke Riau lalu menanyakan soal keamanan. Dan di perairan Riau apakah ada bajak laut atau tidak," kata gubernur menceritakan seperti dirilis Antara, Jumat (2/7).
Dia mengatakan, investor Malaysia tersebut berminat mengelola kawasan wisata bahari di Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis. Direncanakan juga akan menjadi tempat beroperasi kapal pesiar Genting Dream Cruise singgah. Syamsuar menegaskan lagi bahwa perompak atau bajak laut sudah tak lagi ada di perairan Riau. Apalagi kini perairan di sana sudah dijaga ketat oleh TNI AL dan polisi air. "Saya bilang kepada investor bahwa bajak laut itu tidak ada. Apalagi angkatan laut dan ditpolair kita tetap melakukan pengawasan," katanya.
Syamsuar menjamin keamanan perairan di wilayahnya. Juga, ia meminta para pemimpin dan masyarakat di Kecamatan Rupat untuk membenahi potensi wisata di daerah itu termasuk menyiapkan beragam kesenian adat, kuliner serta minuman khas daerah bagi kapal pesiar. "Kapal pesiar dari Genting Dream biasanya mengangkut sedikitnya 5.000 penumpang. Jika mereka datang ke Rupat, tentu masyarakat harus mempersiapkan kulinner yang berlebih agar penumpang kapal pesiar tidak kehabisan makanan," katanya.
Kasus kehabisan makana pernah terjadi saat kapal pesiar singgah ke Natuna. Karena masyarakat setempat kurang persiapan, sehingga makanan di pulau itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan para penumpang kapal. "Di Natuna itu sempat kehabisan makanan. Apalagi jumlah pelancong yang dibawa kapal itu ribuan jumlahnya. Jadi ini jangan sampai terjadi. Begitu kapal pesiar datang kita sudah siapkan semuanya," katanya.
Gubernur Riau Syamsuar juga memaparkan untuk mendukung destinasi wisata, pemprov bersama Pemkab Bengkalis terus membanahi infratruktur, seperti upaya mengantisipasi abrasi di tiga pulau terluar di Provinsi Riau terus dilakukan, meski kini dalam kondisi pandemi COVID-19. Karena, kondisi abrasi apabila dibiarkan akan semakin parah dan mengancam kedaulatan negara.
Syamsuar menyampaikan ada tiga pulau terluar yang mengalami abrasi parah. Mereka berlokasi di pesisir Riau, yakni Pulau Bengkalis, Pulau Rupat, serta Pulau Rangsang di Kabupaten Kepulauan Meranti. "Kondisi yang ada pada tiga pulau terluar tersebut, terjadi abrasi sepanjang 167,22 kilometer. Penyebab abrasi yaitu, karena gelombang dan arus laut yang besar dari Selat Malaka," ujarnya dalam pernyataan pers di Pekanbaru.
Menurut dia, saat ini kondisi tiga pulau tersebut mengalami abrasi yang cukup tinggi sehingga dapat mempengaruhi mundurnya garis pantai terluar Provinsi Riau. "Kondisi ini akan mengakibatkan dampak pada mundurnya garis pantai, mempengaruhi Sumber Daya Alam pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), mata pencaharian masyarakat, infrastruktur jalan, rumah masyarakat, fasilitas umum dan fasilitas sosial terancam rusak," katanya.
Ia mengatakan, hilangnya pantai dengan tipikal lahan gambut yang tidak akan terbentuk kembali menyebabkan bergesernya garis pantai dan akan mempengaruhi geopolitik Indonesia. Apabila kondisi abrasi ini tidak tertangani, lanjutnya, maka akan memungkinkan tiga pulau terluar di provinsi Riau yang menjadi bagian dari NKRI akan hancur dalam kurun waktu yang tidak begitu lama. "Oleh karena itu, kami membutuhkan dukungan pemerintah pusat," katanya.
Syamsuar pada awal pekan lalu telah menyambangi Komisi V DPR RI untuk meminta komitmen wakil rakyat dalam mengatasi masalah abrasi tersebut. Rekomendasi penanganan abrasi yang disampaikan Gubernur Riau kepada Komisi V DPR RI adalah, pemulihan kawasan melalui teknologi rehabilitasi, pemulihan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat. Kemudian, pembangunan penanganan pantai pada pantai kritis sepanjang 139,85 kilometer yang dilakukan secara bertahap tahun 2021-2024, pengembangan ekosistem pesisir dan mangrove, restorasi lahan gambut pada daerah pesisir.
Ia mengatakan, dalam pertemuan dengan Komisi V DPR RI, Wakil Ketua Komisi V Nurhayati, menyatakan mendukung usulan Gubernur Riau. Sebabnya, masalah abrasi terkait dengan kedaulatan NKRI karena tiga pulau tersebut berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia. "Komisi V DPR RI akan melakukan rapat koordinasi bersama pejabat esselon I dan esselon II Kementerian terkait agar usulan dari Riau bisa direalisasikan pada tahun 2021. Intinya Komisi V DPR RI memberikan dukungan penuh," kata Syamsuar. (*)
Tags : Pulau Rupat, Bengkalis, Riau, Sorotan, Objek Wisata, Kehidupan di Perbatasan Rupat Utara, Rupat Utara dan Malaysia,