PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] mengkritisi rencana pemerintah yang ingin melegalkan atau memutihkan kasus perambahan kebun sawit yang berada di area hutan dengan mengabaikan unsur pidana.
Sementara dikalangan korporasi berpendapat, kebijakan itu seharusnya hanya dikenakan kepada petani, bukan korporasi.
Sedangkan kalangan dewan meragukan KLHK soal pemutihan kebun sawit di kawasan hutan ini. Dewan menilai pihak KLHK kurang jujur dan masih sembunyi-sembunyi.
"Kebun Sawit di Kawasan Hutan akan diputihkan."
"Saya masih ingat waktu itu saya tanyakan berapa banyak kebun ilegal di Indonesia. Saudara Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] [Bambang] mengatakan; 'iya infonya 3,2 juta ha'," kata Ketua Komisi IV DPR RI Sudin dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Eselon I KLHK, Senin (7/2/2023) kemarin.
Sudin mengaku sedikit kecewa, karena melihat KLHK kurang jujur soal data perkebunan ilegal di kawasan hutan yang mendapat pemutihan atau menjadi legal.
Berdasarkan laporan awal KLHK, terdapat 3,2 juta hektare perkebunan ilegal di kawasan hutan. Namun, dari jumlah itu, pihaknya menemukan jutaan hektare perkebunan masih dibiarkan beroperasi. Salah satunya berada di Riau.
Tetapi Ir. Ganda Mora M.Si, Ketua Yayasan SALAMBA mengkritik kebijakan ini, justru sebaiknya korporasi bukan mendapat pemutihan melainkan dapat membayar denda atau hukuman pidana dan perdata.
"Jadi seolah pemerintah mencari jalan pintas atas persoalan lama itu," sebutnya.
“Saya lihat sih, pilah dan pilih itu penting. Cuma kalau perusahan yang mencari untung lewat proses melanggar hukum itu kan harus dibedakan,” ujar Ganda Mora menilai, Rabu (12/7).
Terdapat 3,3 juta hektare kebun sawit di Nusantara yang berada di lahan yang sebenarnya adalah areal hutan. Diduga, mayoritas kebun ini dibuka dan dikelola oleh korporasi sawit besar.
Menurutnya, membuka kebun sawit di lahan hutan tentu melanggar hukum. Namun, UU Cipta Kerja yang disahkan pada November 2020 memuat pasal yang menyatakan bahwa tindakan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran administratif.
"Sanksi yang dijatuhkan bukan pidana, tetapi bisa juga denda," katanya.
Ketua Tim Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, Luhut Binsar Panjaitan memastikan kebijakan itu dalam keterangan kepada media, Jumat (23/6).
“Kita mau apain lagi, masak kita copotin. Ya kan enggak,” kata Luhut terkait kebun sawit yang masuk area hutan.
Tetapi Ketua Komisi IV DPR RI Sudin berpendapat, ketentuan pemutihan perkebunan ilegal mengacu pada mekanisme keterlanjuran dalam UU Cipta Kerja pasal 110 dan pasal 110B.
Pekebun akan diberi sanksi administratif dan waktu untuk mengurus beberapa persyaratan agar menjadi perkebunan legal.
Sementara itu, untuk menjadikan perkebunan ilegal menjadi legal, pemerintah harus melakukan pelepasan hutan.
"Pulang dari Riau, gubernurnya mengatakan, perkebunan ilegal yang ada di Riau luasannya kurang lebih 1,8 juta ha dan tidak tersentuh, belum tersentuh," imbuhnya.
Selain di Riau, pihaknya juga menemukan pembiaran perkebunan ilegal di Kalimantan Tengan seluas 830 hektare.
Sudin lantas mempertanyakan status perkebunan tersebut kepada Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan [PKTL], Ruandha Agung Sugardiman.
"Saya tanya dirjen planologi, dari 830 ribu ha di Kalteng, ada kah yang sudah diputihkan? saya mau tanya. Jawab!" ujarnya.
Ruandha pun menjawab pertanyaan tersebut. Ia mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum melepas kawasan hutan. Ratusan perusahaan itu pun, kata Ruandha, masih dalam proses permohonan pemutihan.
"Kami sedang proses ini untuk pelepasan jadi belum ada yang dilepaskan. Jadi masih dalam proses permohonan. Masih dalam proses," jawab Ruandha.
Sudin pun langsung menimpali Ruandha. Ia bertanya, apakah Ruandha bisa mempertanggungjawabkan pernyataannya itu. Ia meminta agar Ruandha jujur soal data pemutihan perkebunan ilegal di kawasan hutan.
"Anda mempertanggungjwabkan pernyataan anda apabila saya menemukan yang sudah lepas bagaiamana? kita harus jujur terbuka ini. Saya enggak mau ada sembunyi sembunyi data," ucap dia.
"Saya tidak menyalahkan siapa pun. Saya ingin pengusaha tidak boleh dirugikan, tapi yang lebih tidak boleh dirugikan lagi adalah pemerintah," imbuhnya.
Rundha pun mengulang jawabannya. Ia menegaskan bahwa pelepasan hutan masih dalam proses, belum ada yang perkebunan yang mendapat pemutihan.
Tak puas dengan jawaban Ruandha, Sudin pun kembali mencecarnya.
"Saya tanya ada belum yang sudah pelepasan? saya tau ada permohonan, 5 tahu lalu pun ada. Yang saya tanyakan sudah ada belum yang dilepaskan [kawasan hutan]?" tanyanya.
"Data detail rincinya kita cek lagi," jawab Ruandha.
Sudin meminta data itu dibuka pada rapat kerja berikutnya. Ia meminta KLHK jujur meskipun banyak pihak menekan.
"Saya ingin terbuka. Jangan kita memperkaya orang yang sudah kaya dengan jalan yang kurang baik dan tidak benar," ucapnya.
"Saya tau anda semua ada yang menekan. Ada yang coba coba bermain. Saya bukan enggak tahu. Yang saya minta adalah kejujuran, bagaimana sih cara memperbaiki negara ini," imbuhnya.
Kembali disebutkan Ganda Mora, kebun sawit di area hutan adalah persoalan lama yang bahkan sudah dibahas sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemerintah sendiri terlihat memang berniat menyelesaikan persoalan tersebut dengan penegakan hukum. Khususnya untuk perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu merambah hutan, menggarap sawit terlebih dahulu meski tanpa mengurus atau mengantongi izin.
Sebagai informasi, para aktivis lingkungan mencatat ada 222 perusahaan sawit ilegal yang beroperasi di dalam kawasan hutan akan mendapatkan 'pengampunan dosa' atau pemutihan dari pemerintah.
Dengan kata lain, perusahaan itu bakal tetap beroperasi meskipun tak memenuhi ketentuan.
Pengampunan dosa itu diberikan melalui mekanisme keterlanjuran yang diatur dalam Undang-Undang Cipa Kerja [Ciptaker].
Sebanyak 222 entitas perusahaan perkebunan sawit dengan total luasan 765 ribu hektar akan mendapatkan 'pengampunan dosa' dari negara melalui mekanisme keterlanjuran yang diatur dalam pasal 110A dan 110B UU Ciptaker.
Dalam UU Ciptaker pasal 11OA dan Pasal 110B diterapkan mekanisme keterlanjuran dan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan atau ilegal.
"Hanya saja dalam masalah ini, saya menduga justru dilontarkannya wacana pemutihan terkesan seperti jebakan batman," ungkap Ganda Mora.
Menurutnya, jembakan Batman terjadi, manakala Luhut Binsar Pandjaitan tidak lagi duduk jabatan sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi [Menko Marves], maka pejabat selanjutnya akan 'menebang habis'.
Ketika Jokowi berkuasa, aturan hukum mengenai hutan diperbaiki dengan terbitnya PP 104/2015, dan diperbaiki kembali melalui kebijakan moratorium sawit lewat Inpres 8/2018. Lewat UU Cipta Kerja Tahun 2020, pemerintah benar-benar akan menyelesaikan persoalan. Namun ternyata hanya dengan pemutihan lahan.
“Itu kan menurut kita, posisinya pemerintah itu dalam kerangka tertentu, terlihat kayak enggak punya cara lain selain pemutihan. Cuma kalau kita lihat kasus-kasus yang lain, sebenarnya bisa kok,” lanjut Ganda Mora.
Selain itu, Ganda mora menilai, bahwa menurutnya pemberlakukan pemutihan seperti kayak tebang pilih.
"Ini yang menurut saya tidak baik karena kita sebenarnya sudah punya Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Harusnya pemerintah konsisten saja dengan ini,” tegasnya.
"UU Cipta Kerja yang menjadi landasan hukum kebijakan ini masih berpotensi membawa masalah. Saat ini, proses judicial review belum usai di Mahkamah Konstitusi. Dengan memakainya sebagai dasar hukum, seolah-olah pemerintah menjawab masalah dengan masalah baru."
"Sebaiknya, sebelum ada kepastian hukum terkait UU ini, pemerintah tidak membuat kebijakan yang bersifat strategis."
Tetapi Ganda Mora menilai, sebaiknya juga dipikirkan mekanisme jangka menengah, di mana kebun sawit pelan-pelan dikembalikan menjadi hutan, bisa diterapkan.
“Jadi diperbaiki pelan-pelan atau ditransfer ke BUMN. Sebenarnya kalau pemerintah kreatif dan cerdik, ada jalan keluar,” ucapnya.
Dengan kebijakan pemutihan saat ini, kata Ganda, dikhawatirkan korporasi akan memanfaatkan. Mereka akan membuka kebun di area hutan, karena tahu bahwa sanksi yang dikenakan hanya denda. (*)
Tags : lahan kebun sawit ilegal, pemerintah ingin memutihkan kasus perambahan area hutan, area hutan jadi kebun sawit, aktivis nilai korporasi digiring masuk jebakan batman, yayasan sahabat alam rimba,