NUSANTARA - Program pembagian alat penanak nasi (rice cooker) gratis oleh pemerintah mulai bergulir pertengahan Desember lalu.
Proyek ini menargetkan sekitar 500 ribu rumah tangga dari kelas ekonomi bawah di 36 provinsi. Anggaran yang disiapkan sekitar Rp347 miliar.
Sejak awal program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini dipertanyakan banyak kalangan, terutama soal klaim pemerintah bahwa pembagian alat masak bisa mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik dan menekan subsidi elpiji.
Di tengah isu pengelolaan sektor energi, program ini menuai persoalan lain: sebagian warga merasa berhak menerima rice cooker gratis, tapi tak masuk dalam daftar penerima bantuan.
Herlina, warga Kota Makassar, Sulawesi Selatan, berharap namanya tercantum sebagai penerima alat penanak nasi gratis dari Kementerian ESDM.
Perempuan berumur 39 tahun itu tidak bekerja, sementara suaminya berprofesi sebagai tukang becak motor.
“Bantuan rice cooker itu baik untuk saya sebagai rakyat miskin. Setidaknya itu bisa mengurangi pengeluaran saya untuk membeli elpiji,” ujarnya, Rabu (20/12).
Dalam sebulan, Herlina membeli dua tabung elpiji tiga kilogram. Dia harus menebusnya dengan harga sekitar Rp60 ribu. Nominal itu, bagi Herlina, cukup besar karena penghasilan suaminya tidak menentu.
Namun harapan Herlina menerima alat penanak nasi gratis belum akan terwujud. Tidak pernah ada petugas kelurahan yang datang dan mendaftarkan namanya sebagai penerima bantuan tersebut.
Herlina bercerita bagaimana dia belum lama ini pernah dua kali menerima bantuan sosial berupa beras. Beras itu kemudian ditarik karena otoritas lokal menganggap bantuan beras itu salah sasaran.
Tahun lalu Herlina mengajukan diri untuk menerima bantuan produktif usaha mikro. Bantuan ini bagian dari stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Nominal yang disediakan pemerintah pusat untuk penerima bantuan ini sebesar Rp2,4 juta.
“Saya menerima bantuan itu, tapi uangnya ditarik lagi sama pemerintah,” ujar Herlina. “Alasan mereka, saya tidak layak menerima bantuan dari negara”.
“Padahal kalau dilihat mata kepala, suami saya hanya tukang bentor. Kalau dapat penumpang, kami bisa bisa makan. Kalau tidak, ya tidak bisa makan,” ucapnya.
Di Kota Serang, Banten, warga bernama Susilawati juga berharap tercatat sebagai penerima alat penanak nasi. Namun dia juga yakin tidak akan masuk dalam program Kementerian ESDM ini.
”Saya sudah punya rice cooker, elpiji juga punya. Dalam sebulan saya beli satu elpiji seharga Rp25 ribu,” kata Susilawati.
”Kalaupun dapat rice cooker, saya pasti akan tetap membeli elpiji karena gas itu kan buat memasak lauk,” tuturnya.
Program ini didasarkan pada Peraturan Menteri ESDM 11/2023 yang diteken 26 September lalu. Regulasi ini mengatur dua syarat penerima alat penanak nasi.
Syarat pertama, penerima alat masak ini harus berstatus pelanggan PT PLN dengan golongan tarif rumah tangga kecil.
Tegangan yang terpasang di rumah mereka harus 450, 900 atau 1.300 volt-ampere (VA). Selain itu, mereka harus berdomisili di daerah dengan jaringan tenaga listrik rendah, yang terlayani selama 24 jam.
Syarat kedua, sebagaimana tertuang pada pasal 3: calon penerima tidak memiliki alat penanak nasi listrik.
Di Banten, yang akan menerima rice cooker adalah orang-orang yang namanya tercantum dalam program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL).
Ini adalah program perluasan akses listrik dari Kementerian ESDM untuk masyarakat “kurang mampu“ yang belum menjadi pelanggan PLN.
Penjelasan itu diutarakan Riki Andriana, Kepala Bidang Infrastruktur Energi dan Kelistrikan Dinas ESDM Provinsi Banten.
Riki berkata, nama warga yang masuk dalam dua proyek ESDM ini merujuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Data yang disusun oleh Kementerian Sosial ini biasanya menjadi basis pemberian bantuan sosial untuk kelompok miskin.
“Data itu sudah diverifikasi. Sudah akurat,” ujarnya, Selasa (19/12).
Bedanya, kata Riki, dalam pembagian penanak nasi, aparat desa kembali memverifikasi apakah orang-orang dalam data tersebut belum memiliki alat masak itu.
“Yang sudah memiliki alat masak listrik tidak masuk sebagai penerima,” ucapnya.
Bukan hanya di Banten, Kementerian ESDM sejak awal menyebut salah satu sumber data penerima rice cooker memang DTKS.
Di tingkat lokal, kepala desa atau lurah akan melakukan verifikasi ulang. Hasil pengecekan akhir oleh pejabat lokal itulah yang akan menjadi patokan Kementerian ESDM.
“Datanya berdasarkan validasi kepala desa atau lurah. Mereka melampirkan surat pernyataan tidak memiliki alat memasak berbasis listrik yang ditanda tangani calon penerima,” kata Kepala Bidang Ketenagalistrikan Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Selatan, Irma Azikin.
Irma berkata, provinsinya mendapat kuota 24 ribu alat penanak nasi. Jumlah itu akan disebar ke penerima di 24 kabupaten dan kota.
Pembagian alat masak ini, kata Irma, akan dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama Desember ini, dia memperkirakan baru ada sekitar 500 alat penanak nasi yang bisa didistribusikan ke penerima di Sulawesi Selatan.
“Distribusi bantuan ini melalui jasa ekspedisi, langsung dikirim ke calon penerima,” kata Irma.
Adapun di Banten, calon penerima alat penanak nasi berkisar 19 ribu orang. Pada tahap awal, Desember ini, pengiriman baru akan menyasar sekitar 5.000 orang, kata Riki Adriana.
Secara nasional, dari total sekitar 500 ribu penerima, Desember ini baru ada 53.161 orang yang akan menerima alat penanak nasi.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jisman Hutajulu, mengutarakan hal itu 12 Desember lalu, saat dia menghadiri seremoni perdana pembagian rice cooker di Kelurahan Pulo Gebang, Jakarta Timur.
Jisman berkata, distrubusi alat penanak nasi akan dilakukan oleh PT Pos Indonesia. Seluruh alat penanak nasi, kata dia, ditargetkan tuntas dibagikan pada pekan ketiga Januari 2024.
"Keterbatasan waktu dalam pelaksanaan program yang baru dimulai pertengahan Oktober 2023, pemenuhan kelengkapan persyaratan usulan calon penerima, serta kondisi geografis dan cuaca dalam pelaksanaan verifikasi lapangan, merupakan tantangan tersendiri dalam penyelesaian program di tahun anggaran 2023," kata Jisman.
Terdapat lima perusahaan yang lolos dalam proses pengadaan alat penanak nasi, yaitu Cosmos, Maspion, Miyako, Sanken, dan Sekai.
Penanak nasi listrik yang dibeli ESDM dari lima korporasi ini berkapasitas 1,8 sampai 2 liter.
Jisman berkata, lima korporasi pemilik merek itu dipilih karena memenuhi syarat yang ditentukan Menteri ESDM, yaitu hemat energi dan mencantumkan label Standar Nasional Indonesia.
Selain itu, kata Jisman, produk dari lima merek itu juga memenuhi batas komponen produksi dalam negeri.
Program pembagian alat penanak nasi ini sejak awal diklaim Kementerian ESDM untuk mengatasi tiga persoalan sekaligus.
Pertama, kelebihan pasokan listrik yang dialami Indonesia. Kedua, menekan impor elpiji yang biaya subsidinya membebani anggaran negara. Dan isu ketiga, mengenai transisi Indonesia menggunakan energi bersih.
Menurut data Kementerian ESDM, hingga tahun 2022 Indonesia telah kelebihan pasokan listrik setidaknya enam gigawatt. Pasokan listrik berlebih ini berpusat di Jawa, Bali, dan Sumatra, salah satu karena program 35 ribu megawatt.
Program ini yang mendorong pemerintah membangun sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru.
Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam sejumlah kesempatan menyebut pemerintah berupaya meningkatkan permintaan listrik masyarakat. Caranya, antara lain, menggenjot penggunaan kendaraan listrik dan kompor listrik.
Pemerintah mendorong publik membeli mobil listrik dengan menjanjikan berbagai insentif dan membangun stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Adapun, pemerintah membatalkan program pembagian kompor listrik.
Saat ini, merujuk sejumlah riset, konsumsi listrik per kapita di Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara-negara ASEAN. Konsumsi listrik pun terpusat di Jawa, Bali, dan Sumatra.
Konsumsi listrik per kapita di Indonesia sepanjang tahun 2022 adalah 1.173 kilowatt per jam (kWh). Jumlah ini hampir setengah di bawah konsumsi listrik per kapita di ASEAN yang mencapai 3.672 kWh.
Dalam Permen ESDM 11/2023, pemerintah secara terang-terangan menyebut bahwa pembagian alat penanak nasi dilakukan untuk “meningkatkan konsumsi listrik per kapita”.
Di sisi lain, pembagian rice cooker digadang-gadang pemerintah menjadi solusi impor elpiji yang membebani APBN.
Isu elpiji ini berulang kali diangkat oleh Presiden Joko Widodo. Pada awal 2022, Jokowi menyebut impor elpiji mencapai Rp80 triliun. Dari angka itu, kata dia, pemerintah harus menanggung Rp60-70 triliun dalam bentuk subsidi.
Jokowi menyebut pemerintah ingin segera mengurangi jumlah impor elpiji yang disebutnya “hanya menguntungkan negara lain” tersebut.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, 82% rumah tangga di Indonesia memasak menggunakan elpiji pada tahun 2021.
Tahun lalu, merujuk data ESDM, Indonesia mengimpor 6,7 juta ton elpiji. Ini adalah rekor impor elpiji terbesar dalam satu dekade terakhir.
Proyek pembagian rice cooker disebut pemerintah sebagai cara mendorong publik beralih ke teknologi berenergi bersih. Dalam bidang energi, peralihan dari penggunaan sumber energi kotor ke listrik disebut sebagai elektrifikasi.
Elektrifikasi, menurut Putra Adhiguna, Direktur Energy Shift Institute, adalah “proses yang sehat dan tengah terjadi di berbagai belahan dunia”.
“Dalam mentransfer energi, listrik lebih efisien dari sumber energi lainnya,“ kata Putra.
“Contohnya, satu liter bensin ketika digunakan di mobil, sumber energi yang terpakai hanya 30%. Sementara jika listrik digunakan di mobil, 90% sumber energinya akan terpakai, misalnya saat mengisi daya mobil listrik.“
Meski begitu, Putra menyebut program elektrifikasi di Indonesia seperti mendorong pemakaian rice cooker tak bisa dilepaskan dari persoalan mendasar: perencanaan dan tata kelola sektor ketenagalistrikan.
Kelebihan pasokan listrik akibat pembangunan PLTU yang berbasis batu bara merupakan dampak dari dua persoalan tersebut.
“Elektrifikasi di dunia sedang berlangsung, itu mengapa kita melihat banyak kendaraan listrik di China dan Eropa. Mereka sadar pentingnya bergeser dari minyak dan gas,“ ujar Putra.
“Tapi di Indonesia, kalau orang bicara soal listrik, isunya sudah bercampur antara “kelebihan pasokan” dan“ transisi energi”. Ini membuat kebingungan publik: ‘sebenarnya tujuan akhir pemerintah apa?‘“ kata Putra.
Putra juga menyoroti tujuan proyek alat penanak nasi untuk menekan impor dan subsidi elpiji.
Dari segi tata kelola, Putra menyebut pemerintah semestinya menyadari bahwa progam peralihan dari bahan bakar minyak tanah ke elpiji akan memicu impor besar-besaran.
Di sisi lain, merujuk banyak kritik yang selama ini muncul, subsidi triliunan rupiah untuk mengendalikan harga elpiji impor tidak tidak tepat sasaran karena turut dinikmati masyarakat mengengah ke atas.
“Pertanyaan mendasar untuk program rice cooker: kalau benar ditujukan untuk menekan impor dan subsidi, bagaimana keseriusan pemerintah mengendalikan kendali subsidi ini?“ ujar Putra.
“Masalah utama elpiji adalah subsidi yang tidak terkendali dalam distribusinya. Tapi pemerintah tiba-tiba membuat program rice cooker, padahal bukan itu masalahnya."
"Jangan sampai kita seolah-olah sudah beralih ke rice cooker, tapi masalah besar soal rantai suplai elpiji masih tidak terselesaikan,” kata Putra.
Menurut Putra, banyak pihak perlu mengawasi program pembagian alat penanak nasi, terutama dalam tahap pengadaan dan distribusi.
“Penganggaran program ini harus dipastikan benar dan jelas,” ujar Putra.
“Sekarang masih tanda tanya, apakah betul butuh anggaran sekitar Rp600 ribu per rumah tangga untuk rice cooker,“ ucapnya.
Penerima alat masak ini, kata dia, harus dipastikan kelompok orang yang benar-benar memerlukannya.
Terkait pengawasan ini, Putra menyebut pemerintah juga harus secara terbuka mempublikasikan evaluasi pembagian rice cooker dari segi pencapaian target.
“Seperti apa konsumsi listrik rumah tangga itu setelah menerima rice cooker. Data ini yang harus dipaparkan pemerintah dalam tiga sampai enam bulan ke depan,” ujar Putra.
Evaluasi terbuka ini disebut Putra penting. Alasannya, ada potensi bahwa asumsi dasar yang digunakan pemerintah membuat program ini ternyata tidak akurat.
“Pemerintah harus bisa membuktikan, kalau rumah tangga A mendapat rice cooker, konsumsi listrik rumah tangga itu naik,” tuturnya.
“Kalau pemerintah tidak memberi pembuktian, akan selalu muncul pertanyaan yang sama saat pemerintah menggulirkan program lain: ‘apa prioritasnya, apakah anggarannya sesuai, apakah ada kepentingan lain di balik program itu’.
“Kita sudah melihat keraguan publik semacam itu dalam proyek kompor listrik dan kendaraan listrik,” kata Putra. (*)
Tags : program penanak nasi, pemerintah luncurkan bantuan penanak nasi, alat penanak nasi, program penanak nasi untuk 36 provinsi ,