Seni Budaya   2023/12/28 13:20 WIB

Lynette Allen Cerita dari Kota Pesisir di Inggris ke Pegunungan di Indonesia, 'Hanya untuk jadi Tabib'

Lynette Allen Cerita dari Kota Pesisir di Inggris ke Pegunungan di Indonesia, 'Hanya untuk jadi Tabib'
Keluarga Lynette mengikuti upacara pemberkatan sebelum mereka membangun rumah mereka di Bali

LYNETTE ALLEN perempuan asal Essex Kota Pesisir di Inggris mengubah kehidupannya hijrah ke Indonesia hanya untuk jadi Tabib di Bali.

Dari kota pesisir di Inggris ke pegunungan di Indonesia, bagaimana seorang perempuan asal Essex mengubah kehidupannya, dari bekerja setiap pukul 9 pagi hingga 5 sore, menjadi seorang tabib di Bali?

Seperti dilrilis BBC Indonesia menggambarkan Lynette Allen yang tidak mudah untuk sekadar mengikuti sesi Zoom. Koneksi wi-fi di tempat dia tinggal, di kaki bukit di Pulau Bali, tidak cukup bagus.

Jadi, dia harus pergi ke kota terdekat yang berjarak dua jam perjalanan untuk mendapatkan koneksi yang lebih stabil. Tetapi setidaknya, ini menjadi kesempatan bagi Lynette sekalian menyesap kopi.

Dia kini tinggal di sebuah rumah kayu berukuran 6x6 meter bersama suaminya, Mark, serta anak perempuannya yang berusia 11 tahun, bernama Livvie. Di sekitar rumah mereka terdapat kebun pisang.

Ketika keluarga mereka pertama kali datang ke Bali, mereka tinggal "berpindah-pindah dari vila ke vila bagus yang memiliki fasilitas kolam renang".

Mereka akhirnya memilih untuk menetap, membeli lahan di Bali, lalu membangun rumah sendiri.

Kehidupan Lynette kini sangat berbeda dengan 10 tahun lalu, ketika dia harus bolak balik dari rumahnya di Dovercourt, Harwich, ke kantornya.

Seketika, semuanya berubah. Dia bercerai dengan suaminya saat itu, lalu bertemu dengan Mark yang kini menjadi suaminya. Mereka memiliki seorang bayi dan bertekad ingin mengubah hidup mereka.

"Di sana saya mempelajari semua hal yang sekarang saya lakukan," kata Lynette, yang kini berusia 50 tahun.

"Ketika di Spanyol, saya merasa terpanggil ke Bali. Saya bilang kepada Mark, 'Bisakah kita ke sana dan tinggal di Bali sesaat?' dan dia bilang, 'Bisa'. Jadi kami pergi ke sana."

Dia kini memiliki spesialisasi untuk pengobatan dengan tanaman, menggunakan kakao.

Keluarga Lynette membangun rumah mereka setelah sempat berpindah-pindah dari vila ke vila.

Dia menjalankan komunitas "sister circle", ruang bagi para perempuan untuk bertemu secara daring, berbagi cerita, terhubung satu sama lain, dan merayakan kehidupan.

Dia juga mengajarkan yang lainnya tentang "ritual, meditasi, dan membuat jurnal".

Lynette mengatakan dia mulai banyak berbicara Bahasa Indonesia belakangan ini.

"Saya bisa mengutarakan apa yang saya maksud. Saya bisa berkomunikasi menggunakan isyarat tangan untuk mengisi kekosongan," kata dia sambil tertawa.

Putrinya, Livvie, bersekolah di rumah. Sedangkan Mark sudah pensiun.

Beberapa bulan setelah kepindahannya, Lynette menyadari bahwa Bali tidak seindah itu bagi seluruh penduduknya.

Temannya memperkenalkan dia kepada seorang perempuan bernama Kim Farr, yang mengajak Lynette, mengunjungi rumah aman yang dikelola oleh badan amal di Bali, bernama Street Mums.

Rumah aman ini menyediakan tempat berlindung, makanan, layanan kesehatan dan pendidikan bagi perempuan dan anak-anak di wilayah Denpasar.

Lynette "takjub" dengan apa yang dia lihat.

"Saya masuk ke rumah aman, di sana ada sekitar 75 anak dan sekitar 25 ibu. Mereka semua korban penganiayaan, dan mereka telah diselamatkan," tutur dia.

"Livvie masih berusia tujuh atau delapan tahun saat itu. Saya sangat kepikiran, 'Betapa tidak beruntungnya mereka'."

Semakin lama Lynette menghabiskan waktu bersama keluarga-keluarga itu, dia merasa semakin prihatin.

Beberapa anak hidup "benar-benar melarat" di tempat pembuangan sampah.

Mereka tinggal di gubuk-gubuk seng di tempat pembuangan sampah, mereka tinggal di atasnya dengan bertelanjang kaki, mengais kaki mencari plastik dan barang-barang yang bisa mereka jual," kenang Lynette.

"Apa yang saya lihat benar-benar membuka mata."

Lynette merasa tidak bisa berhenti memikirkan nasib anak-anak tersebut, yang jauh dari tempat tinggal yang aman, bersih, untuk menyejukkan diri di tengah udara Bali yang panas dan lembab.

"Saya harus melakukan sesuatu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, lalu saya mulai mencari cara untuk bekerja dengan mereka dan saya telah bekerja untuk mereka selama empat tahun," ujar Lynette.

Badan amal ini mencoba menyediakan pakaian, buku, makanan bagi keluarga yang membutuhkan - apa pun yang diperlukan untuk memastikan anak-anak dapat bersekolah, bukan ke jalanan di kota-kota.

"Anak-anak dari wilayah pegunungan cenderung berasal dari daerah yang paling miskin. Orang tua mereka biasanya mengemis di jalanan ketika mereka masih kecil," kata Lynette.

"Mereka merasa tidak masalah mengirim anak-anak mereka ke kota untuk mengemis. Tapi itu membuat anak-anak mereka sangat rentan."

"Jadi apa yang dilakukan Kim adalah mencoba menjangkau keluarga-keluarga tersebut dan mencari cara agar kami bisa menjaga anak-anak tersebut tetap berada di rumah, daripada melakukan apa yang harus dilakukan oleh orang tua mereka di jalanan."

Lynette juga merupakan seorang penulis. Keuntungan dari buku-bukunya disumbangkan ke Bali Street Mums.

"Buku terakhir saya bisa membiayai remaja-remaja lokal untuk akhir pekan, dan selama di sana mereka membahas tentang 'Kehidupan seperti apa yang kamu inginkan?"

"Mereka akan membahas soal kesehatan seksual, kontrasepsi, tidak menikah muda, dan akan bersekolah."

Di dalam buku barunya ini, dia mengumpulkan 50 perempuan berusia di atas 50 tahun untuk menulis "nasihat paling menyentuh hati yang telah kami pelajari selama 50 tahun".

"Ini adalah buku yang penuh dengan nasihat dari para perempuan dari berbagai latar belakang. Ada pengacara, biksu, guru, nenek-nenek, hingga pengusaha."

"Kami telah mengumpulkan hampir £5.000 (Rp98,2 juta) untuk Bali Street Mums hanya dari buku tersebut sejak bulan Agustus."

Seorang perempuan asal Essex, Inggris, Lynette Allen menjalani hidup sebagai dukun dan menjalankan komunitas "sister circles" di Bali.

Tidak banyak yang berani mengubah hidupnya secara drastis seperti Lynette, tapi apakah dia menyesal pindah ke Bali?

"Tidak, saya tidak menyesalinya," tutur Lynette.

"Saya ingin bisa lebih dekat dengan keluarga saya. Ibu saya di Essex, di Dovercourt. Kakak saya di Cambridge."

"Tetapi semuanya tergantkan dengan situasi kami saat ini, pendidikan yang kami dapatkan untuk Livvie, buku-buku yang saya tulis untuk beramal."

"Dan Anda bisa membantu masyarakat Bali, £1 (Rp19.600), £2 (Rp39.200), atau £5 (Rp98.200) sudah cukup."

Lynette mengatakan akan selalu mengikuti intuisinya untuk mencari cara hidup yang berbeda.

"Saya berpikir, 'Tunggu, ayo mulai dari awal. Apa yang sebenarnya saya ingin lakukan?'" kata dia.

"Saya berharap putri saya akan tumbuh dewasa dengan kesadaran yang lebih baik, karena dia telah melihat kami memindahkan hidup kami ke sisi lain dunia". (*)

Tags : lynette allen, warga Inggris, lynette allen dari inggris ke pegunungan indonesia, lynette allen jadi tabib di bali, lingkungan, seni budaya ,