Riau   2024/05/04 14:36 WIB

Usaha Produksi Arang Gila-gilaan Sudah Menghancurkan Hutan Mangrove di Bengkalis, 'Jadi Timbulkan Dilema Lingkungan dan Lapangan Kerja'

Usaha Produksi Arang Gila-gilaan Sudah Menghancurkan Hutan Mangrove di Bengkalis, 'Jadi Timbulkan Dilema Lingkungan dan Lapangan Kerja'
Hutan Mangrove terus terusik

"Usaha produksi arang menggurita, tapi juga mengancam kelestarian hutan mangrove sebagai penahan ombak yang menggerus pantai"

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Penebangan hutan bakau yang marak terjadi seperti di Desa Kadur, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis harus segera dihentikan.

"Usaha produksi arang kini terus mengancam kelestarian lingkungan sebagai penahan derasnya ombak yang menggerus pantai."

"Usaha produksi arang berbahan dari kayu mangrove sudah gila-gilaan, tapi menjadikan kelestarian hutan mangrove terancam punah," kata Nanda, Koordinator Lapangan Kajian Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] pada media, Kamis.

Ia menyebut, kayu mangrove dijadikan bahan bakar pembuatan arang yang kemudian diekspor ke Malaysia.

"Kami melihat sebagian hutan mangrove di sepanjang pesisir Teluk Rhu, Kecamatan Rupat Utara, perlahan gundul akibat eksploitasi sumber daya alam yang dilandasi oleh seorang pengusaha berinisial Akop yang bersembunyi di balik topeng koperasi.

“Diperkirakan ribuan ton per tahun hasil pembakaran kayu bakau akan dijual oleh sekelompok pengusaha lokal ke negara tetangga Malaysia, hal ini jelas sangat merugikan daerah,” kata Pemerhati Lingkungan Riau, Nanda.

Permintaan tinggi usaha arang kian menjanjikan

Nanda, mengatakan, pihaknya telah meminta kepada penegak hukum untuk segera menangkap oknum pengusaha yang sudah merusak hutan bakau yang diduga berlindung di balik koperasi Mekar Sari itu.

"Kita tahu bahwa manfaat hutan mangrove dapat memberikan perlindungan terhadap risiko kerusakan akibat badai," sebutnya.

Menurutnya, hutan mangrove dapat menopang dataran lumpur dengan baik dan hutan mangrove juga merupakan daerah penyangga yang dapat melindungi daratan dari kerusakan akibat angin dan gelombang.

“Selain itu, hutan mangrove juga memiliki manfaat sebagai habitat biota laut dan sebagai penyerap karbon,” jelas Nanda.

"Ketika hutan mangrove rusak, maka fungsi ekosistem akan terganggu," sambungnya.

Nanda berharap penegak hukum mengindahkan hal ini agar segera diambil tindakan terhadap apa yang saat ini menimbulkan keresahan masyarakat.

Jika hal ini terus dibiarkan, Walhi akan melakukan aksi dan melaporkan hal ini secara resmi agar permasalahan yang saat ini menimbulkan keresahan di masyarakat Rupat Utara dapat diproses oleh penegak hukum, jelasnya.

Saat dikonfirmasi melalui telepon genggam sarana elektronik WhatsApp [WA], Akop sebutan pengusaha lokal Arang tidak membalas konfirmasi yang dikirimkan hingga berita ini diturunkan.

Tetapi Lembaga Melayu Riau [LMR] dihubungi yang peduli terhadap lingkungan mengatakan bahwa kegiatan ini sudah berlangsung lama dan masih berlangsung hingga saat ini.

“Kami prihatin dengan penebangan bakau sehingga cuaca di pulau Rupat, Bengkalis menjadi sangat panas," kata H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Ak, Ketum LMR yang juga putera kelahiran Bengkalis ini.

Pabrik arang briket di Bengkalis, Riau.

"Kami berharap Kapolda Riau mengambil tindakan tegas agar perdagangan arang ini dihentikan demi keselamatan hutan di Rupat,” ujarnya yang peduli dengan kampung halamannya itu.

"Sebagai warga Bengkalis, saya minta Kapolda Riau segera mengusut tuntas masalah ini," katanya.

Hal sama juga disebutkan Ketua Aliansi Tokoh Masyarakat Peduli Pulau Rupat, H Said Amir Hamzah.

Ia merasa gerah lihat parapengusaha dapur arang dilingkungan daerah Bengkalis.

"Keberadaan Dapur Arang yang ada di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, mendapat perhatian tokoh masyarakat setempat."

"Dapur Arang yang didominasi para pengusaha besar itu diproduksi secara besar-besaran, dan juga diduga tidak memiliki izin," sebutnya.

Menurut H. Said Amir Hamzah, produksi Arang yang bahan bakunya dari kayu Bakau (hutan mangrove,red) tersebut secara tidak langsung telah merusak lingkungan sekitar.

"Miris kita melihat. Hutan mangrove dibabat untuk kepentingan pengusaha. Sementara upaya untuk revitalisasi tidak ada," ucap Amir Hamzah.

"Ini yang membuat masyarakat tempatan kelimpungan. Pasalnya, areal tempat mereka mencari ikan sudah tak ada lantaran hutan disekitar lepas pantai dirusak," sambungnya.

Menurutnya, beberapa desa seperti Suka Damai, Titi Akar, Hutan Samak, tumbuhan mangrovenya sudah rusak. Sementara, mangrove merupakan tempat berkembang biaknya habitat laut.

"Mereka [nelayan] menggantungkan hidup dari mencari ikan."

Amir Hamzah berharap agar tim Kemenko Polhukam turun ke Rupat untuk menyelesaikan persoalan yang telah menggangu kehidupan sosial masyarakat desa.

Pulau Rupat merupakan salah satu pulau kecil terluar yang berada di Provinsi Riau yang juga termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) melalui Keputusan Presiden no 6 tahun 2017 tentang penetapan pulau-pulau kecil terluar.

"Dulu hutan mangrove disini sangat luas, sekarang tinggal sekitar 5-6 Ha saja. Ini semua akibat tidak adanya upaya peremajaan," sebutnya.

"Sudah dibabat dan dibiarkan tumbuh sendiri. Menjelang tumbuh, kayu yang ada sudah habis," ketusnya.

Salah satu pengusaha disebutkan Amir Hamzah seperti A Thian, memiliki lahan seluas 100 Ha2. Oknum ini dikatakannya mempunyai LSM sebagai backup dari semua aktifitas yang dilakukannya.

"Itu baru satu orang. Investigasi kami, banyak pengusaha lainnya yang memiliki lahan disana. Padahal sebagian besar lahan di Rupat merupakan hutan lindung yang tak boleh diganggu," tukasnya.

Parahnya, kata Amir, produksi Arang yang dilakukan sampai puluhan ton. Artinya, dapur arang yang mereka buat dalam kapasitas sangat besar. Sementara rakyat biasa disana hanya memproduksi belasan ton saja.

"Apa tak rusak ekosistim mangrove dibuatnya. Sementara upaya pelestarian hutan tidak dlakukan. Makanya kita minta pihak terkait untuk meninjau kembali izin usaha mereka. Dalam waktu dekat Kita akan sampaikan persoalan ini ke Kemenko Polhukam," pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Tokoh Masyarakat Kabupaten Bengkalis, Azmir. Dia mengatakan aktifitas para pengusaha Dapur Arang saat ini sudah tidak terkendali (Open access).

"Siapa saja bisa melakukan penjarahan mangrove. Ini akibat regulasi yang semuanya diatur oleh pemerintah pusat," ucap Azmir.

"Yang jadi persoalan sekarang, apakah para pengusaha arang ini memiliki izin dalam pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku utamanya," kata Azmir.

Usaha arang gunakan bahan baku Mangrove.

Dia juga menyebutkan, jika masalah ini tidak ditata ulang dengan baik, maka kerusakan lingkungan akan semakin parah. "Saat ini saja, nelayan sudah sulit untuk meningkatkan hasil tangkapan karena tempat ikan dan udang bersarang sudah habis dibabat oleh pengusaha," kata Azmir.

Azmir jebolan Fahutan UGM ini meminta perhatian pusat untuk turun dalam rangka menata kembali tata ruang agar kerusakan ekosistim tidak semakin parah.

"Jika open akses ini terus berlangsung kita khawatir ekosistim laut akan semakin hancur akibat hantaman abrasi yang sangat luar biasa. Bahkan kemungkinan besar berpotensi menenggelamkan pulau pulau kecil terluar yang ada disana," kata Azmir yang mengkhawatirkan. (*)

Tags : usaha dapur arang, produksi arang dari kayu mangrove, bengkalis, produksi arang merusak hutan mangrove, hutan mangrove di bengkalis, riau, hutan mangrove terancam punah, lingkungan, alam,