SUMATERA BARAT - Pemerintah Kota Padang berencana membangun kembali replika dari rumah singgah Bung Karno setelah rumah tersebut dirobohkan.
Arkeolog serta sejarawan menilai upaya itu tidak dapat menggantikan nilai sejarah dari bangunan cagar budaya yang “telanjur hilang”.
"Pemerintah robohkan rumah singgah Sukarno di Padang."
“Nasi sudah menjadi bubur, ini termasuk lenyapnya cagar budaya, lenyapnya bangunan bersejarah yang tidak tergantikan, sudah almarhum, sudah terlambat,” kata arkeolog Dwi Cahyono, Selasa (21/2).
Rumah singgah yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani nomor 12 itu, pernah ditinggali oleh proklamator Sukarno pada 1942 selama tiga bulan setelah bebas dari pengasingan di Bengkulu.
Sejarawan Fikrul Hanif Sofyan menyebut rumah itu adalah bagian dari "benang merah" dari ide-ide nasionalisme yang tercetus selama Sukarno singgah di Sumatra Barat, yang juga mengawali janji Jepang untuk "membantu kemerdekaan Indonesia".
Rumah itu dia sebut juga menjadi saksi hangatnya hubungan Sukarno dengan masyarakat Minang pada masa-masa awal perjuangan kemerdekaan.
Dibangun pada 1930, rumah itu masuk daftar bangunan bersejarah yang dilindungi berdasarkan Keputusan Walikotamadya Padang Nomor 3 Tahun 1998, lalu tercatat sebagai bangunan cagar budaya dengan nomor inventaris 33/BCB-TB/A/01/2007.
Sekitar tiga pekan lalu, pemilik rumah itu, Soehinto, merobohkannya setelah mengklaim Keterangan Rencana Kota (KRK) dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) membolehkan restoran dibangun di lokasi itu.
Dwi Cahyono menilai hal itu menunjukkan bahwa Pemkot Padang “kecolongan” dan upaya pelestarian bangunan cagar budaya “masih tercabik-cabik” karena semestinya rumah itu tidak boleh dirobohkan.
Namun Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang, Yovi Krislova, membantah pihaknya “kecolongan” dan sebagai solusinya, akan membangun kembali replika dari rumah ini.
Soehinto mengaku membeli rumah yang juga dikenal sebagai Rumah Ema Idham ini pada 2017 dari orang lain bernama Andreas Sofiandi.
Meski berstatus sebagai bangunan cagar budaya, rumah ini dimiliki oleh pribadi. Soehinto mengaku “tidak tahu” dan “tidak ada tanda-tanda” bahwa rumah itu merupakan bangunan cagar budaya.
“Kami ini kerja tentu ada dasar meminta KRK, keterangan rencana kota. Berdasarkan KRK, bahwasanya di sini bisa dibangun untuk restoran, kami lakukan karena kebetulan ada yang berminat membangun restoran di sini,” kata Soehinto seperti dirilis BBC News Indonesia.
Saat ini, Soehinto mengatakan tengah menunggu kepastian dari pemerintah terkait rencana pembangunan kembali replika dari rumah ini.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang, Yovi Krislova mengatakan pemilik yang baru ini “mungkin tidak mendapat informasi” bahwa rumah itu adalah cagar budaya.
Menurut dia, bangunan cagar budaya di Padang telah diberi label pada 1998.
“Pasca-gempa [tahun 2009] label ini banyak yang hilang dan banyak cagar budaya yang runtuh,” kata dia.
Rumah singgah Sukarno ini merupakan rumah hunian bergaya lokal seluas 290 meter persegi, yang berdiri di lahan seluas 800 meter persegi.
Hampir seluruh bangunan terbuat dari cor semen, namun beberapa bagiannya terbuat dari kayu seperti tiang serambi, kerangka atap, jendela, dan pintunya.
Menurut sejarawan Fikrul Hanif Sofyan, rumah ini menjadi saksi dari pergerakan awal Sukarno setelah dia bebas dari pengasingan Belanda di Bengkulu pada 1942.
Momen itu berawal ketika Belanda mulai terdesak oleh kehadiran tentara Jepang yang mulai menguasai wilayah Sumatra.
“Ketika Jepang merangsek masuk ke Sumatra, Belanda panik, khawatir kalau Bung Karno jatuh ke tangan tentara Jepang akan sangat berbahaya karena punya peran penting dalam menyatukan pergerakan,” kata Fikrul.
Belanda mulanya hendak membawa Sukarno ke Australia melalui Pelabuhan Emma Haven, atau yang kini dikenal sebagai Pelabuhan Teluk Bayur.
Kehadiran Sukarno di Sumatra Barat pada saat itu, menurut Fikrul pun "dinanti-nantikan" oleh masyarakat.
Namun kapal yang hendak membawa Sukarno ternyata rusak di bagian lambungnya, sedangkan pada saat yang sama, tentara Jepang telah masuk ke Sumatra Barat.
“Ini yang menyebabkan Bung Karno ditinggalkan di Padang, lalu dia tinggal di rumah Dokter Woworuntu, seorang dokter hewan,” jelas Fikrul, yang kemudian menambahkan bahwa belum jelas bagaimana Sukarno mengenal Dokter Woworuntu dan mengapa rumah itu akhirnya menjadi persinggahan Sukarno.
Sukarno menempati rumah itu bersama istrinya, Inggit Garnasih.
“Dari rumah inilah Bung Karno bersama beberapa tokoh pergerakan menyusun strategi perjuangan, termasuk bekerja sama dengan Jepang pada saat itu,” sambungnya.
Oleh Jepang, Sukarno dipandang sebagai perwakilan rakyat.
Sukarno ketika itu disebut meminta Jepang untuk membebaskan Chatib Sulaiman, yang merupakan tokoh pergerakan masyarakat lokal di Sumatra Barat, demi “merebut hati orang Minang” dan menjembatani kepentingan pemerintah Jepang dengan masyarakat pada saat itu.
Sukarno juga mencetuskan Komite Rakyat, untuk mengisi masa transisi setelah Jepang masuk dan tentara Belanda telah meninggalkan Sumatra Barat.
Dan pada masa transisi itu pula, bendera Merah-Putih sempat berkibar. Jepang memerintahkan penurunan bendera, dan Sukarno meminta Kapten Sakaguci --perwira Jepang di Padang-- untuk membatalkan perintah itu. Permintaan Sukarno ditolak.
Pada periode ini pula, Sukarno menemui Kolonel Fujiyama, komando militer Jepang yang bermarkas di Bukittinggi.
“Bung Karno bertanya yang intinya, ‘Maukah pemerintah tuan membantu saya untuk kemerdekaan Indonesia?’ Ini adalah pembicaraan serius Bung Karno dengan petinggi militer [Jepang] di Sumatra Barat. Di situ Bung Karno menyatakan mau saja membantu Jepang, asal Jepang membantunya untuk kemerdekaan Indonesia,” papar Fikrul.
Saat itu, Kolonel Fujiyama mengatakan apabila Sukarno “menjanjikan kerja sama yang mutlak” selama Jepang berkuasa, maka dia akan memberikan “janji tidak bersyarat untuk membina kemerdekaan Tanah Air [Sukarno]”.
“Jadi pada masa-masa awal kependudukan Jepang di Indonesia, itu sudah terlontar bahwa Jepang akan memberikan janji kemerdekaan itu kepada Indonesia. Ini yang menjadi titik krusial kenapa Bung Karno akhirnya luluh hatinya dan kemudian membantu Jepang dalam beberapa program termasuk romusha,” ujar dia.
Keberadaan Sukarno di Sumatra Barat pada saat itu, meski singkat, disebut Fikrul memiliki “peran signifikan” sebagai pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia. Namun dari sisi Dai Nippon, Sukarno pun dianggap berperan besar dalam program-program kekuasaannya karena dekat dengan masyarakat melalui pidato-pidatonya yang memukau masyarakat.
“Jadi kalau kembali ke persoalan rumah singgah itu, rumah ini menjadi bagian penting dalam persoalan nasionalisme dan bagaimana langkah-langkah proses kemerdekaan Indonesia itu sudah dimulai ketika Bung Karno berbicara dengan petinggi militer Jepang di Bukittinggi,” kata Fikrul.
“Keberadaan rumah itu menjadi benang merah bahwa Bung Karno itu pernah berdiam di sana, pernah menggelontorkan ide-ide tentang persoalan nasionalisme, Komite Rakyat yang menjadi pemerintahan sementara, hingga bagaimana Bung Karno mengajukan syarat ke Kolonel Fujiayama asalkan Jepang mau membantu kemerdekaan Indonesia,” sambung dia.
Pada masa-masa itulah hubungan hangat Sukarno dengan masyarakat Minang terukir sampai era 1950-an, meski hubungan itu berujung luka ketika Sukarno melancarkan operasi militer untuk menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada akhir 1950-an.
Menimbang nilai sejarah yang terkandung itu, Fikrul menyayangkan rumah tersebut dirubuhkan. Menurutnya, itu menunjukkan minimnya kepedulian dan pengawasan pemerintah terhadap bangunan cagar budaya.
Pada 2018, Fikrul menyebut pernah membahas rumah itu dengan Mahyeldi, Wali Kota Padang pada saat itu, yang kini menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat.
Pada saat itu, pemerintah Kota Padang dia sebut ingin membeli rumah tersebut ketika mendengar kabar bahwa rumah tersebut akan dijual.
“Pemkot waktu itu ingin membeli dengan alasan rumah itu adalah rumah bersejarah dan bagian dari cagar budaya, tapi saya enggak tahu setelah itu bagaimana, apakah ada tindak lanjut,” kata dia.
Arkeolog Dwi Cahyono menilai pemerintah Kota Padang telah “kecolongan” dan “sangat ceroboh”, sehingga bangunan itu terlanjur dirobohkan.
Sebagai bangunan cagar budaya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 telah mengatur bahwa tindakan yang mengubah bentuknya harus melewati mekanisme perizinan berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
“Semestinya [rencana merobohkan] itu terpantau lewat perizinan. Seharusnya tidak sampai kecolongan, penghancuran bangunan kan tidak tiba-tiba, tidak seperti dijatuhi bom yang langsung ambyar. Kenapa teman-teman di Padang tidak jeli?” kata Dwi.
Status bangunan yang dimiliki oleh pribadi pun, menurut Dwi, tidak bisa menjadi alasan pembenar atas terjadinya hal ini.
Pemerintah semestinya bisa memprediksi potensi alih fungsi bangunan cagar budaya yang berstatus sebagai milik pribadi berdasarkan mekanisme yang tercantum dalam Undang-Undang.
“Apapun yang direncanakan oleh pemilik, seharusnya melalui rekomendasi TACB dulu. Kalau ada rekomendasinya, baru perizinan bisa dikeluarkan karena kalau sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, itu tanggung jawab pemerintah,” kata dia.
“Kenapa mekanisme itu, urutan perizinan itu tidak dilalui?” tutur Dwi.
Kasus di Padang bukan kali pertama bangunan cagar budaya dirobohkan. Pada April 2022, tembok Keraton Kartasura di Sukoharjo, dibongkar oleh pemilik barunya untuk dibangun kos-kosan.
Lalu pada Januari 2023, Dalem Tumenggungan yang juga berstatus sebagai bangunan cagar budaya juga dirobohkan.
Menurut Dwi, ini membutikan bahwa upaya pelestarian cagar budaya “masih tercabik-cabik” dan “belum terlaksana dengan baik”.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang sejauh ini berencana untuk membangun kembali rumah singgah itu menggunakan anggaran dari pemilik tanah.
“Pemiliknya sudah bersedia membangun kembali dengan replika yang sama, kita buatkan rencananya histori Pak Sukarno di situ,” kata Yopi.
Dia juga berjanji “akan menata kembali” cagar budaya dan merevisi Surat Keputusan untuk mendata cagar-cagar budaya yang ada, termasuk memperbarui daftar bangunan yang sudah runtuh dan tidak dibangun lagi.
Pemkot Padang sejauh ini “tidak berencana menempuh jalur hukum” mengingat pemilik tanah telah menyatakan bersedia membangun kembali.
Namun solusi itu, disebut arkeolog Dwi Cahyono tidak menyelesaikan persoalan yang sudah muncul, karena rumah itu tidak bisa lagi disebut sebagai "bangunan cagar budaya".
Artinya, perobohan itu telah menghilangkan satu lagi bangunan cagar budaya yang semestinya dilestarikan.
“Itu hanya duplikat, tapi memang masih lumayan dibandingkan tidak ada sama sekali, sebagai memori bahwa dulu pernah ada ini. Meskipun nilai sejarahnya sudah terlanjur hilang.”
“Ini pengalaman sangat buruk, harus ada reaksi dari masyarakat, jangan sampai terulang lagi apalagi Padang itu jejak heritage-nya cukup kaya. Ini juga peringatan keras bagi pemilik bangunan cagar budaya, termasuk pemerintah yang menurut saya ini sudah sangat ceroboh,” kata dia. (*)
Tags : Rumah Singgah Sukarno, Pemerintah Robohkan Rumah Singgah Sukarno, Padang, Replika Rumah Singgah Sukarno Dibangun Kembali,