PEREMPUAN-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sulit lepas dari hubungan pernikahan yang tidak sehat karena mengalami ketergantungan dengan pasangannya.
“Tuh kayak baba, jahat, pukul-pukul mama.”
Fara kaget mendapati kata-kata itu keluar dari mulut anaknya yang berusia 3,5 tahun, saat menonton film animasi. Tanpa dia sadari, ternyata putranya itu merekam semua kejadian di ingatan, ketika ayahnya memukul ibunya.
“Karena setiap ayahnya melakuin itu ke aku, dia merhatiin, tapi diam, dia langsung menyibukkan diri. Aku kira aman, ternyata dia merekam itu semuanya dan terpatri,” kata Fara seperti dilansir BBC News Indonesia.
Dia meminta namanya disamarkan.
Sebenarnya perempuan berusia 29 tahun itu selalu berusaha agar anaknya tidak menyaksikan pertengkaran dia dan suaminya. Namun, amarah suami yang tidak bisa dibendung dan selalu “berteriak-teriak”, membuat sang anak mau tak mau harus menjadi saksi.
Tadinya Fara berniat mempertahankan pernikahannya karena sang anak. Dia tidak mau anaknya yang masih kecil, tumbuh tanpa sosok ayah.
Namun celetukan spontan anaknya itu justru menjadi titik balik Fara.
Dia langsung memutuskan meninggalkan suaminya, pada usia pernikahan 4,5 tahun.
“Habis itu aku langsung packing. Sudah, sudah cukup … kalau aku mempertahankan, justru aku merusak mental anak aku.
"Aku nggak mau dia besar melihat 'oh begini toh cara memperlakukan perempuan, dengan cara yang kasar'.
Jadi, aku lebih milih menyelamatkan dia,” kata Fara yang tampak tegar menceritakan kisah yang pernah begitu menyakitkan buat dia.
‘Aku hancur banget, tapi masih sayang’
Pada usia pernikahan dua tahun, sebenarnya Fara sempat menggugat cerai suaminya.
Waktu itu dia baru tahu kalau suaminya kala itu, yang sekarang sudah menjadi mantan suami, menggunakan narkoba.
Fara dan suaminya bertemu karena perjodohan keluarga, setelah itu menjalani ta'aruf.
Berdasarkan perkenalan singkat mereka, setahu Fara, suaminya adalah orang yang baik dan taat pada agama.
Oleh sebab itu dia sangat kaget ketika mengetahui suaminya adalah pengguna narkoba, bahkan sudah sejak masih di bangku sekolah.
Ketika Fara memergoki suaminya memiliki narkoba, suaminya langsung murka. Mereka bertengkar. Tangan Fara diplintir. Itu kali pertama kekerasan fisik terjadi di rumah tangganya.
“Aku cerai secara agama, enam bulan,” ujar Fara.
Namun, setelah bercerai, dia mengaku hatinya tidak tenang. Apalagi ketika anaknya memanggil semua laki-laki di rumah Fara dengan sebutan “baba”.
“Di situ aku hancur banget, terus ngerasa masih sayang juga. Dia pun ngajakin rujuk waktu itu, mohon-mohon, sujud di kaki sampai nangis, mata merah, dia bilang bakal berubah. Akhirnya ya sudah, rujuk lagi.”
Fara berharap setelah kejadian itu hubungan pernikahan mereka akan semakin membaik karena ia mendambakan kehidupan pernikahan yang indah, bak kisah cinta di drama Korea.
Namun, fase rekonsiliasi itu tidak berjalan seperti yang diharapkan. Ibu dan kakak Fara marah besar karena dia kembali lagi dengan suaminya.
Janji-janji manis suami dan harapan-harapan Fara juga jauh panggang dari api. Suaminya semakin sering melakukan kekerasan fisik, seiring dengan kondisi rumah tangga mereka yang semakin memburuk.
Selain masih mengonsumsi narkoba, suami Fara juga judi bola. Situasi tambah sulit buat perempuan itu, ketika 70% keuangan rumah tanga dipegang oleh suaminya.
“Aku sampai kena tampar, kena dorong, kena toyor, kena plintir … Ketika dia kasar, besoknya dia langsung sujud di kaki aku, mohon-mohon minta maaf supaya aku enggak pergi ninggalin dia,” kata Fara.
Setelah lima kali mendapat kekerasan fisik dari suami, dan disadarkan oleh ucapan anaknya, akhirnya Fara kembali mengajukan cerai. Dia mendapat dukungan penuh dari keluarganya dan keluarga suaminya.
”Di awal aku enggak tegas, aku enggak bikin batasan. Kesalahan itu ada pada aku, karena sebagai korban terlalu bucin (budak cinta). Aku termakan oleh rasa cinta dan cara dia memanipulasi,” tutur perempuan yang memiliki satu anak itu.
‘Sabar atau bodoh?’
Jika Fara perlu waktu empat setengah tahun, Ema Nur Setiawati menghabiskan lebih dari 20 tahun untuk mengakhiri hubungan pernikahan dengan suami yang melakukan kekerasan ekonomi.
Ema mengaku sejak dia menikah, suami tidak pernah memberinya nafkah.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), apa yang dilakukan suami Ema termasuk penelantaran dalam rumah tangga.
Sebenarnya Ema tidak ingin mengakhiri pernikahannya karena dia merasa tidak perlu meminta uang kepada suami, selama gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun, lingkungan sekitarnya menilai tindakan suami Ema sudah kelewat batas, bahkan melanggar hukum.
”Makanya teman-teman saya bilang saya terlalu sabar, terlalu bodoh. ‘Apa enggak ada bedanya antara sabar sama bodoh?‘” kata Ema menceritakan kembali sambil tertawa.
Bagi dia kala itu, yang terpenting adalah anak-anaknya bisa bahagia dengan memiliki keluarga yang utuh dan harmonis dan kelak mereka bisa bangga dengan kedua orang tuanya.
"Saya nggak peduli suami saya sudah nggak cinta, suami saya punya istri 10, 12, saya nggak peduli. Yang penting waktu itu pikir saya, harus mempertahankan keluarga,” kata Ema.
Prinsip Ema itu bahkan tidak goyah, meski suaminya sempat mengajukan gugatan cerai karena ada perempuan lain.
Perempuan yang kini berusia 46 tahun itu malah mengajukan banding dan dia berhasil. Perceraian itu dibatalkan.
Dikriminalisasi suami
Sejak saat itu, kondisi rumah tangga Ema semakin memburuk, meski dia akhirnya berani melaporkan suaminya ke kepolisian atas dugaan KDRT dibantu oleh lembaga sosial setempat, LRC-KJHAM.
Awalnya Ema tidak ingin melaporkan suaminya karena dia tidak mau anak-anaknya menyalahkan dia jika suaminya terbukti bersalah dan menjadi narapidana.
Tak berapa lama setelah Ema melaporkan suaminya, dia mendapat tekanan. Dia malah dilaporkan balik ke polisi oleh suaminya dengan tuduhan melakukan pencurian di kantor suaminya, yang pada dasarnya juga kantor Ema.
Situasi benar-benar tidak mendukung Ema. Laporan suaminya berjalan lebih cepat dibandingkan laporan yang dia buat sebelumnya.
Bahkan Ema sempat menyandang status sebagai tersangka, meski akhirnya kasus itu dihentikan karena menurut polisi “tidak memenuhi unsur“.
Dan di tengah-tengah proses itu juga, Ema akhirnya bercerai dengan suaminya.
“Saya ngerasa, oh iya ya, nyatanya dia saya jaga juga tidak menghargai saya. Laki-laki mungkin kadang nggak ngerti, seorang perempuan mau menjaga, mau berkorban, menutupi aib, tapi malah dianya sendiri memutarbalikkan fakta, seolah-olah kita sebagai perempuan nggak ngurusin suami, yang zalim, yang jahat."
Makanya akhirnya pada titik tertentu saya sudah mengerti, sudah mulai muak. Kalau kesabaran perempuan itu sudah habis, apa boleh buat,“ ujar perempuan yang kini tengah menempuh pendidikan hukum, untuk membantu perempuan-perempuan lain agar tidak menjadi korban dari masalah serupa.
Terjebak dalam siklus kekerasan dan ketergantungan
Psikolog Kasandra Putranto mengatakan Fara dan Ema, serta korban-korban KDRT lainnya, terjebak dalam siklus kekerasan. Kasandra mengibaratkannya sebagai sebuah ikatan, yang akan semakin sulit diputus ketika ikatan itu bertambah banyak.
Fara tidak sadar terjebak dalam siklus itu, di mana ketika kekerasan terjadi, dia terus memaafkan, berharap pasangan bisa berubah, tapi ternyata tidak.
Begitu juga dengan Ema yang terus memaklumi situasi suaminya yang jelas-jelas sudah melanggar hukum.
“Pada kasus ada kejahatan saja orang bisa jadi berubah mendukung pelaku kejahatan, karena merasa pelaku kejahatan tidak sejahat itu, pelaku kejahatan juga baik.
Sementara yang menjadi korban itu sering kali punya harapan yang sia-sia, beranggapan bahwa dia itu sayang, cuma memang cara menyayanginya berbeda, sehingga terjebak dalam siklus kekerasan yang berulang-ulang,” kata Kasandra.
Korban KDRT, kata Kasandra, juga tidak semudah itu lepas dari pasangannya karena mereka memiliki ketergantungan, misalnya ketergantungan finansial. Korban yang bergantung secara finansial akan takut lepas dari pasangannya karena takut kehilangan sumber keuangannya.
“Ketergantungan finansial, sosial, emosional… belum lagi seksual… akhirnya menimbulkan ketakutan. Ketika takut, tidak berani mengambil risiko. Fear ini malah dimanfaatkan... misalnya kalau nanti cerai, nanti status saya menjadi janda dan lain sebagainya,” ujar Kasandra.
Ketakutan lainnya yang “menambah beban” para korban sehingga tetap memilih mempertahankan pernikahannya, yaitu ketakutan terhadap “omongan orang” atau bahkan tekanan keluarga.
Padahal menurut Kasandra kalau sudah ada unsur kekerasan di dalam hubungan pernikahan, “itu sudah bisa menjadi alasan yang kuat untuk memisahkan”.
Tak hanya ketakutan, para korban KDRT juga dihantui harapan-harapan mereka sendiri, yang tanpa disadari telah membelenggu mereka dalam kondisi hubungan yang tidak sehat. Itu biasanya terjadi pada masa rekonsiliasi atau honeymoon phase, kata Kasandra.
“Ya nanti habis ini bisa lebih sayang, bisa lebih harmonis. Padahal di dalam siklus, habis honeymoon phase itu kejadian lagi kekerasannya, nanti habis itu minta maaf lagi, minta maaf lagi, itu kan menjadi siklus yang berulang-ulang,” ujar dia. (*)
Tags : Pernikahan, Hak perempuan, Hukum, Indonesia, Kekerasan dalam rumah tangga, Perempuan,