Headline Nusantara   2024/10/31 11:58 WIB

Pemerintahan Prabowo Berencana Hidupkan Kembali Transmigrasi, 'Tetapi Mengapa Masih Ada Orang yang Mencemaskannya?'

Pemerintahan Prabowo Berencana Hidupkan Kembali Transmigrasi, 'Tetapi Mengapa Masih Ada Orang yang Mencemaskannya?'
Potret seorang perempuan asli Papua di Wamena yang tengah mengumpulkan hasil kebunnya.

NUSANTARA - Rencana pemerintahan Prabowo Subianto menggelar lagi program transmigrasi ke Papua memicu kecemasan sekaligus kemarahan di kalangan orang asli Papua.

Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman, pada hari pertamanya bekerja membuat klaim bahwa proyek transmigrasi dapat membuat tingkat kesejahteraan orang Papua sejajar dengan warga di wilayah barat Indonesia.

Klaim ini serupa dengan yang dipaparkan pemerintahan Orde Baru.

Namun selama bertahun-tahun, klaim tersebut telah diragukan bahkan dibantah ahli ekonomi, antropolog, termasuk kelompok pendamping yang menyebut transmigrasi justru meminggirkan orang-orang asli Papua.

Dewan Gereja Papua, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih, dan sejumlah anggota DPD RI asal Papua adalah sebagian kelompok yang telah menyatakan penolakan mereka terhadap program transmigrasi ini.

BBC News Indonesia merangkum kisah dan respons warga Papua di tingkat akar rumput terkait proyek transmigrasi.

BBC News Indonesia juga berbicara dengan sejumlah pakar serta mengumpulkan arsip yang merekam bagaimana program transmigrasi ke Papua telah memicu polemik sejak puluhan tahun silam.

Cerita transmigran

Indah datang ke Kabupaten Sorong dua dekade lalu. Ketika itu perempuan asal Surabaya, Jawa Timur, tersebut baru saja lulus sekolah menengah atas.

Keinginan Indah untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi saat itu pupus. Keluarganya tak bisa lagi menanggung biaya sekolah.

Di tengah kebimbangan, seorang saudara dekat menghubunginya. Di ujung telepon, kerabat Indah itu memintanya datang ke Sorong.

Tak berpikir lama, Indah menyambut ajakan tersebut. “Saya nekat karena mencari masa depan,” ujarnya.

Di Sorong, Indah membantu saudaranya itu menjaga sebuah kios yang menjual aneka bumbu dan bahan masakan.

Kini, di usianya yang ke-41 tahun, Indah telah memiliki kiosnya sendiri.

“Saya senang mencari nafkah di sini. Hidup saya ada perubahan,” kata Indah.

“Biar kecil, kios ini usaha yang saya punyai sendiri,” tuturnya.

Program transmigrasi ke Papua pertama kali dijalankan pemerintah pada 1966. Saat itu, Papua telah empat tahun berada di bawah administrasi Indonesia, usai Perjanjian New York.

Transmigrasi itu berlangsung tiga tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) kontroversial yang mengesahkan integrasi Papua ke Indonesia.

Sorong adalah salah satu daerah awal yang menjadi tujuan program transmigrasi ke Papua. Pemerintah pusat menempatkan kelompok transmigran pertama ke Sorong pada periode 1976-1977.

Kala itu, setidaknya 217 orang dari 60 keluarga yang berasal dari Jawa Timur ditempatkan di Klasaman. Distrik ini kembali menjadi tempat penampungan transmigran pada tahun berikutnya.

Pada 1979, pemerintah membuka empat satuan permukiman transmigran baru di Aimas, yang berada di sisi selatan Klasaman. Aimas ditargetkan dapat menampung 5.000 keluarga atau belasan ribu transmigran dalam kurun empat tahun.

Petak-petak tanah yang disediakan untuk para transmigran di Aimas semula berstatus tanah ulayat, yang diwariskan secara turun-temurun sesuai ketentuan adat.

Namun pemerintah mengubah status tanah tersebut menjadi tanah milik negara, sebelum mengubahnya lagi sebagai tanah hak milik para transmigran.

Indah bukanlah peserta program transmigrasi yang digelar pemerintah Orde Baru ke Sorong. Dia yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain dengan biaya dan kemauannya sendiri.

Saat dia tiba di Sorong tahun 2003, daerah itu telah dihuni oleh ribuan warga non-Papua.

Kedatangan sebagian besar dari mereka ke Sorong berlangsung dalam gelombang transmigrasi berbeda—terakhir pada Program Pembangunan Lima Tahunan (Pelita VI) Orde Baru di paruh kedua dekade 1990-an.

Seperti Indah, Syaiful juga bukan peserta transmigrasi pemerintah. Tahun 2000 dia memutuskan merantau secara mandiri ke Sorong untuk menjadi pekerja di sektor budidaya mutiara.

Laki-laki berumur 43 tahun itu berganti-ganti mata pencaharian setelah tak lagi bekerja di perusahaan mutiara. Namun dia tetap tinggal di Sorong.

Sekarang Syaiful hidup di Aimas. Dia membuka sebuah kios pangkas rambut—sumber penghasilan bagi istri dan anaknya yang tinggal di Surabaya.

Syaiful telah menghabiskan setengah usianya di Sorong. Logat bicaranya terdengar seperti campuran antara Papua dan Jawa.

“Kalau saya bilang saya adalah orang Papua, tapi saya tidak lahir di sini. Orang nanti juga akan bilang ‘coba tunjukkan kartu identitasmu’,” ujarnya.

Indah dan Syaiful merantau ke Sorong saat program transmigrasi pemerintah ke Papua dihentikan.

Penghentian program itu didasarkan pada UU Otonomi Khusus (Otsus) jilid pertama yang disahkan pada 2001.

Barnabas Suebu, saat menjabat Gubernur Papua, menegaskan penyetopan transmigrasi itu melalui Perda Provinsi Papua 15/2008.

Regulasi itu menyatakan, transmigrasi ke Papua dapat kembali dilakukan jika jumlah orang asli Papua telah mencapai 20 juta orang.

‘Memicu ketimpangan’

Selain Sorong, daerah di Papua lainnya yang menjadi tujuan transmigrasi selama Orde Baru adalah Distrik Oransbari dan Prafi di Manokwari; Grime, Nimbokrang, dan Genyem di Jayapura; Arso di Keerom, Kota Timika di Mimika; serta Nabire.

Di Merauke, 10 atau setengah dari total distrik ditetapkan menjadi lokasi transmigran oleh Soeharto melalui Keputusan Presiden 7/1978. Distrik yang paling banyak menampung transmigran, antara lain Semangga, Muting, Tanah Miring, dan Kurik.

Wilayah transmigrasi lainnya, antara lain Kampung Wimbro di Teluk Bintuni dan Distrik Yendidori di Biak Numfor.

Di berbagai daerah transmigrasi itu, pemerintah membangun infrastruktur dasar seperti jalan, sekolah, puskesmas, dan pasar, kata Dora Balubun, pendeta dari Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua.

Berdarah Maluku, Dora lahir dan besar di Papua. Leluhurnya pindah ke Papua pada era kolonial Belanda.

“Di tempat para transmigran tinggal, seluruh fasilitas tersedia. Jalannya mulus, bagus-bagus,” ujar Dora, yang pernah menjadi koordinator Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan GKI.

“Para transmigran juga difasilitasi dengan peralatan pertanian yang sangat modern, modern pada waktu tahun 80-an,” tuturnya.

Dora berkata, di banyak daerah yang bukan lokasi transmigrasi, warga asli Papua tak mendapatkan fasilitas dasar. Pemberdayaan warga untuk mengembangkan potensi ekonomi yang menghasilkan pendapatan pun, menurut Dora jarang dilakukan pemerintah.

“Jadi bagaimana mungkin kita mau mengatakan bahwa transmigrasi itu memberi kesejahteraan bagi warga asli Papua?” ujarnya.

Pada November 1986, Menteri Transmigrasi saat itu, Martono, berkata kepada sejumlah jurnalis dari media internasional bahwa proyek transmigrasi yang digelar pemerintah Orde Baru tidak akan menyasar daerah-daerah di kawasan pegunungan tengah Papua.

Merujuk indeks pembangunan manusia (IPM) yang disusun Badan Pusat Statistik, situasi yang kontras tampak pada daerah tujuan transmigrasi dan kawasan yang dihuni hampir sepenuhnya oleh penduduk asli Papua.

IPM tahun 2016, misalnya, menempatkan kabupaten dan kota yang dihuni para transmigran sebagai daerah dengan indeks tertinggi di Papua. Secara berturut-turut dari urutan pertama, daerah itu antara lain Kota Jayapura, Mimika, Biak Numfor, Kabupaten Jayapura, Merauke, dan Nabire.

Pada IPM 2023, enam daerah itu juga ada pada urutan teratas, ditambah Kota Sorong dan Manokwari.

“Di luar daerah itu, warga asli Papua tetap berkebun dengan apa yang ada pada mereka,” ujar Dora.

“Mayoritas masyarakat adat di sana masih tetap dalam kondisi sama. Mereka tidak punya kios, harus membayar ongkos kendaraan ke transmigran kalau hendak pergi menjual hasil kebun.

“Jadi secara ekonomi tidak ada perkembangan apa-apa untuk orang asing Papua,” kata Dora.

Bagaimana keluhan orang asli Papua di akar rumput?

Analisis tentang ketimpangan yang dikatakan Dora dialami oleh Adrianus Sedik, 46 tahun, laki-laki asli Papua di Sorong.

Adrianus berkata, di sektor ekonomi pemerintah memang telah berupaya untuk “memberi kemudahan bagi orang asli Papua”.

Namun menurutnya, sejumlah program itu belum dapat menyokong banyak orang asli untuk mendapat penghasilan di luar aktivitas menanam dan menjual hasil kebun.

“Warga non-Papua diberikan peluang besar untuk membangun usaha, antara lain dalam bentuk akses terhadap pinjaman modal yang lebih besar,” kata Adrianus.

Pengalaman Adrianus ini pernah diungkap oleh Kamar Adat Pengusaha Papua pada 2018. Organisasi itu menyebut bank “melakukan tebang pilih” saat meminjamkan modal pada pengusaha non-Papua.

Namun Bank Pembangunan Daerah Papua membuat klaim, mereka secara khusus telah menyalurkan pinjaman modal kepada perempuan asli Papua sejak 2021.

Program Percepatan Akses Keuangan Daerah (Papeda) itu diklaim tanpa bunga dan dapat diakses tanpa jaminan. Walau begitu, program tersebut hanya mencakup 10 daerah—mayoritas kawasan yang pernah menjadi lokasi transmigrasi.

Menurut Adrianus, karena akses yang minim untuk mengembangkan bisnis, bahkan yang berskala kecil, banyak warga asli Papua yang menganggap profesi pegawai negeri sipil (PNS) sebagai satu-satu jalan memperbaiki kesejahteraan.

“Makanya ketika orang asli Papua diberi kesempatan, hampir semuanya mau menjadi PNS,” kata Adrianus.

Pada rekrutmen CPNS tahun 2024, sejumlah provinsi di Tanah Papua menetapkan kuota 80% untuk pendaftar berstatus orang asli Papua. Kebijakan ini, antara lain disusun oleh Papua Selatan dan Papua Barat Daya.

Namun harapan besar orang asli Papua untuk meningkatkan kesejahteraan melalui rekrutmen tersebut, seperti kata Adrianus, tetap memicu ketidakpuasan terhadap kuota itu.

Sekelompok warga yang berkumpul di Forum Pencari Kerja Orang Asli Papua, misalnya, berunjuk rasa di Sorong pada April lalu. Mereka mendesak pemerintah provinsi mengubah kuota CPNS untuk orang asli Papua menjadi 100%.

“Kami orang asli Papua berada dalam kondisi terjepit. Tanah adat yang sebenarnya harus dipertahankan pun akhirnya kerap terpaksa kami jual,” kata Adrianus tentang ketimpangan dan dampak lain akibat transmigrasi.

‘Orang asli Papua bisa jadi minoritas’

Gebby Mambrasar, warga asli Papua di Sorong, juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana transmigrasi. Dia berkata, jumlah warga non-Papua kini telah melampaui penduduk asli Papua—setidaknya di Sorong.

”Kami belum sejahtera, masih menderita di atas kekayaan alam kami. Terus pemerintah mau datangkan transmigran untuk apa lagi,” ujarnya.

“Coba lihat antrean di SPBU, orang asli Papua mungkin hanya satu orang, tapi pendatang ada belasan bahkan puluhan,” kata Gebby.

Perbandingan jumlah penduduk asli Papua dan non-Papua muncul dalam riset yang dilakukan akademisi University of Sydney, James Elmslie.

Merujuk hasil sensus penduduk yang dilakukan BPS pada tahun 1971 dan 2000, James menyimpulkan bahwa setiap tahun pertumbuhan penduduk asli Papua lebih rendah ketimbang penduduk non-Papua. Komparasinya, tulis James, 1,84% berbanding 10,82%.

Setidaknya pada tahun 2000, orang asli Papua telah menjadi kelompok minoritas di kota-kota besar seperti Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Biak Numfor.

Perhitungan itu dilakukan Rodd McGibbon, dalam risetnya yang diterbitkan oleh lembaga riset berbasis di Australia, Lowy Institute.

Menurut data yang dihimpunnya dari statistik BPS, 86% orang asli Papua menetap kawasan pedesaan dan pegunungan.

“Hari lepas hari, bulan lepas bulan, tahun lepas tahun, penduduk dari kelompok Nusantara sudah terlalu banyak,” kata Gebby Mambrasar.

“Jadi saya tidak setuju mereka datang dalam bentuk apapun, dengan klaim pembangunan atau apapun,” ujarnya.

Transmigrasi seperti apa yang diwacanakan pemerintahan Prabowo?

Pemerintah berencana “merevitalisasi 10 kawasan transmigrasi yang sudah ada di Papua. Ini dikatakan Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman Suryanagara, dihadapan Komisi V DPR, Senin (29/10).

Dalam rapat kerja di parlemen itu, Iftitah membuat klaim bahwa program transmigrasi yang sedang digagas pemerintah tidak bertujuan memindahkan kemiskinan dari tempat lama ke tempat baru.

“Kami ingin sungguh-sungguh bekerja dengan segenap hati untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan rakyat," ujarnya.

Rencana revitalisasi kawasan transmigrasi sebelumnya telah beberapakali dipublikasi oleh pejabat tinggi di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).

Terdapat setidaknya 619 kawasan transmigrasi yang akan direvitalisasi pemerintah.

Secara umum, kata Iftitah Sulaiman, pemerintah akan melibatkan para transmigran dalam beragam proyek-proyek ekonomi, termasuk mengejar swasembada pangan.

“Agar ikut serta memberikan kontribusi kepada pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

Selain itu, Iftitah membuat klaim keberadaan para transmigran juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar mereka.

Sebelumnya, Agus Harimurti Yudhoyono yang kini menjabat Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, menyebut pemerintah berencana memberikan insentif agar masyarakat tertarik mengikuti program transmigrasi.

Salah satu itu insentif itu, kata Agus, adalah lahan bagi para transmigran. Agus berkata, pemerintah juga akan memastikan bahwa para transmigran mendapatkan pekerjaan dan penghasilan di tempat tinggal baru mereka.

"Harus ada insentif yang baik, dalam arti masyarakat bisa bersemangat untuk pindah ke suatu lokasi yang jauh dari tempat tinggal atau kampung halamannya karena ada harapan baru,” kata Agus kepada pers di Jakarta, 23 Oktober lalu.

"Membangun harapan itu adalah tugas negara, tugas pemerintah termasuk kementerian transmigrasi," ujarnya.

Merujuk UU 29/2009 tentang transmigrasi, para transmigran berhak mendapatkan lahan usaha dan lahan tempat tinggal beserta rumah berstatus hak milik.

Mereka juga berhak mendapat sarana produksi dan bantuan pangan dari pemerintah untuk jangka waktu tertentu.

Menteri Desa PDTT sebelumnya, Abdul Halim Iskandar, menyebut Merauke merupakan salah satu contoh sukses program transmigrasi.

Halim mengutarakan itu saat memimpin seremoni peringatan Hari Bakti Transmigrasi ke-72, 12 Desember 2022, di Merauke.

Berkat transmigrasi, kata Halim, Merauke kini ”setara dengan Semarang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Oleh karena itu pula, Halim menyebut Merauke kini dipilih sebagai ibu kota Provinsi Papua Selatan yang baru dibentuk.

Klaim keberhasilan yang diutarakan Halim itu bertolak belakang dengan riset dan pengalaman banyak orang asli Papua, yang menganggap kemajuan wilayah transmigrasi justru menimbulkan ketimpangan.

‘Mengulang pola lama’

Menjalankan lagi program transmigrasi ke Papua merupakan sebuah kemunduran dalam melihat pembangunan, kata Naomi Marasian, Direktur Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat, yang berbasis di Jayapura.

Cara pandang itu, menurut Naomi, lekat dengan Orde Baru dan telah menimbulkan beragam persoalan untuk orang asli Papua.

“Pemimpin negara ini seperti tidak memperbarui pengetahuan dan tidak melihat persoalan mendesak yang dihadapi Papua. Mereka masih pakai pola-pola lama,” ujar Naomi.

Menurut Naomi, pembangunan orang asli Papua semestinya difokuskan pada kultur dan potensi di daerah mereka. Memberikan akses modal dan peningkatan keterampilan, kata Naomi, harus menjadi strategi utama pemerintah.

“Hari ini kan orang asli Papua bertanya-tanya mengapa hutan mereka diberikan kepada orang lain dan bukan mereka sendiri yang mengelola,” kata Naomi.

“Seharusnya kan pemerintah berdayakan orang asli Papua untuk terlibat di dalam proses pembangunan itu, bukan malah dibatasi dan dijadikan penonton di tanahnya sendiri,” tuturnya.

Bagaimana pro-kontra saat Orde Baru?

Isaak Hindom, Gubernur Papua periode 1982-1988, pernah menyatakan optimismenya terkait manfaat masa depan dari program transmgirasi ke Papua kepada Peter Hastings, yang saat itu merupakan editor isu luar negeri di surat kabar Sydney Morning Herald, 18 April 1984.

Transmigrasi, kata Isaak, adalah jalan menuju pembangunan. Dalam lima tahun, atau akhir 1989, Isaak bilang akan ada 700 ribu transmigran di Papua.

Namun angka itu dianggap terlalu berlebihan oleh Peter Hastings, yang memperkirakan jumlah realistis transmigran dalam kurun waktu itu tak mencapai setengah yang disebut Isaak.

Menteri Transmigrasi, Martono, pada November 1986 bilang bahwa “pemerintah tidak akan menghancurkan alam atau budaya orang-orang asli” yang tinggal di Papua. Martono mengutarakan ini kepada sejumlah jurnalis dari media internasional yang dia ajak berkunjung ke permukiman transmigran.

Bank Dunia, yang mendonorkan dana US$600 juta selama satu dekade sejak 1970-an, membuat klaim bahwa bantuan yang mereka kucurkan untuk program transmigrasi penting bagi masa depan Indonesia.

Walau begitu, merujuk surat mereka kepada Survival International pada Juli 1986, Bank Dunia mengakui terdapat persoalan lingkungan dan konflik sosial terkait program transmigrasi ke Papua.

Di Merauke, pada 7 Mei 1994, Soeharto pernah secara khusus berbicara panjang lebar mengenai proyek transmigrasi yang dijalankannya.

Perkataan Soeharto kala itu serupa dengan sejumlah klaim yang dipaparkan pejabat yang bekerja di urusan transmigrasi.

“Kewajiban para transmigran tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk mengajak penduduk asli sehingga mereka bisa menambah produksi, yang berarti pula menambah penghasilannya,” kata Soeharto.

“Memang ada beberapa negara besar melontarkan kritik, seolah-olah transmigrasi ini akan menyisihkan orang-orang penduduk asli sehingga kehidupan mereka terdesak oleh si pendatang

“Di Indonesia tidak ada acara demikian, bahkan sebaliknya kami perlu bisa mengangkat penduduk asli agar bisa mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam meningkatkan berbagai produksi usahanya,” ujar Soeharto.

Di luar klaim pembangunan, Peter Hastings menilai terdapat aspek politis di balik program transmigrasi ke Papua saat itu. Menurutnya, batas-batas wilayah transmigrasi yang akan mempersulit Organisasi Papua Merdeka.

Kampung-kampung para transmigran, kata Hastings, dibangun sepanjang jalan Trans Papua yang pada 1980-an telah diwacanakan.

Ketika itu, jalan tersebut akan dibangun dari Jayapura menuju selatan hingga Merauke dan dari Jayapura ke arah barat (Pegunungan Tengah).

“Batas-batas permukiman, jalan trans, dan jalan di tingkat distrik secara jelas didesain menjadi cordon sanitaire (penyangga) yang strategis untuk menghambat operasional gerilyawan OPM dan simpatisan mereka,” tulis Peter.

Analisis mengenai siasat politik di balik proyek transmigrasi ini juga ditulis oleh Peter Hiett, jurnalis surat kabar The Guardian, peserta tur media massa yang digagas pemerintah Indonesia pada 1986.

Bersama konsultan hubungan masyarakat (humas) asal Amerika Serikat, Hiett diajak ke permukiman transmigran di Koya Barat, Jayapura, dan Semangga di Merauke.

“Pada hari kunjungan kami ke Koya Barat, seorang laki-laki tewas ditembak dan satu orang lain terluka akibat serangan panah, sekitar 100 meter dari pos polisi,” tulis Hiett.

“Meski otoritas membantah, serangan tadi kemungkinan besar dilakukan OPM yang memusatkan aktivitas mereka di perbatasan Papua Nugini,” tulisnya.

Merujuk pakar dan kelompok sipil, Hiett menulis bahwa permukiman transmigran merupakan lokasi strategis militer, yaitu di sekitar perbatasan Papua Nugini.

Satu lokasi transmigrasi lainnya adalah Timika, daerah di mana penambangan emas oleh Freeport-MacMoran—kini PT Freeport Indonesia—berlangsung sejak 1974.

Menurut laporan jurnalistik Greg Roberts dari surat kabar The Sydney Morning Herald pada Januari 1996, saat itu telah terdapat 13-16 ribu warga pendatang yang telah menempati tujuh permukiman transmigran di Timika.

Permukiman itu, tulis Greg, membentang seluas 15 ribu hektare, di kawasan yang dulunya merupakan hutan hujan tropis.

John Rumbiak, pendamping warga dari Yayasan Pengembangan Desa Masyarakat, yang diwawancara oleh Greg, menuduh aparat pemerintah kerap memperdaya orang asli Papua agar bersedia menyerahkan tanah ulayat menjadi lahan transmigrasi.

“Mereka (orang asli Papua) dijanjikan infrastruktur jalan, sekolah, dan apapun yang membuat mereka bersedia meneken perjanjian,” kata John.

Tidak seluruh transmigran yang dikirim ke Papua pada dekade 1980-an mendapatkan permukiman yang layak. Di Distrik Semangga, Merauke, misalnya, transmigran saat itu harus beradaptasi dengan daerah yang didominasi air payau serta situasi iklim yang minim hujan.

Sementara di Koya Barat, Jayapura, transmigran kala itu diserahi daerah subur yang memungkinkan mereka memproduksi beras, singkong, jagung, dan kacang-kacangan.

Persamaan di antara para transmigran itu, menurut pengamatan jurnalis dari the Associated Press, adalah hibah berupa rumah kayu berisi dua kamar dan lahan seluas dua hektare. (*)

Tags : Pangan, Papua, Ekonomi, Hak asasi, Hak minoritas, Prabowo Subianto, Hukum, Indonesia, Perempuan,