Linkungan   2025/07/26 14:24 WIB

Pemilik Hutan Tanaman Industri Mulai Hadapi Berbagai Kesulitan, 'yang Seharusnya Dibantu Kemenhut'

Pemilik Hutan Tanaman Industri Mulai Hadapi Berbagai Kesulitan, 'yang Seharusnya Dibantu Kemenhut'

PEKANBARU - Pemilik Hutan Tanaman Industri (HTI) mulai menghadapi berbagai kesulitan. Sejumlah 118 pemegang HTI ini akan dievaluasi Kementerian Kehutanan (Kemenhut). 

"Kemenhut melakukan bedah kinerja 118 pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Industri pada tahun ini."

"Ini hasil evaluasi HTI di empat provinsi, kami akan lanjutkan bedah kinerja 118 unit HTI. Supaya jelas mana yang bisa lanjut dan mana yang tidak," kata Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut Bambang Hendroyono yang dikonfirmasi lewat ponselnya, Jumat (25/7).

Bambang Hendroyono mengatakan pada workshop Peningkatan Kinerja Pembangunan Hutan Tanaman Melalui Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan bedah kinerja terhadap 252 unit HTI kemarin sudah dilakukan. Hasilnya, pada tahun ini, sebanyak 134 HTI di Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Jambi telah diaudit Kemenhut.

Bambang Hendroyono mengakui, hanya 23 unit HTI yang statusnya layak dilanjutkan (LD), 52 unit layak dilanjutkan dengan catatan (LDC), 48 unit dilanjutkan dengan pengawasan (LDP), dan 11 unit layak untuk dievaluasi (LE).

Bambang Hendroyono menuturkan beberapa indikator yang dievaluasi dalam bedah kinerja HTI, yakni realisasi tata batas konsesi, rencana kerja umum (RKU), rencana kerja tahunan (RKT),jumlah tenaga teknis bersertifikat, realisasi penanaman, dan sertifikasi PHPL dan SVLK.

Selain untuk mengukur kinerja HTI, evaluasi juga dilakukan untuk memetakan potensi dan orientasi industri HTI di Tanah Air yang luas arealnya telah mencapai 13,2 juta hektare dan luas tanaman 5,1 juta hektare.

"Bedah kinerja ini juga bisa memetakan HTI ini mendukung industri mana, apakah pulp dan kertas, atau energi wood pelet, furnitur, woodworking, atau panel," katanya.

Bambang Hendroyono menambahkan perusahaan HTI harus menggandeng masyarakat sebagai mitra usaha.

Kemitraan tersebut nantinya akan menjadi salah satu bagian dalam RKU perusahaan HTI.

"HTI tidak akan berhasil tanpa kemitraan dengan masyarakat, karena ini bisa meminimalisir konflik sosial. Paling tidak 10% dari luas konsesi," imbuh Bambang Hendroyono.

Ketua bidang Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna menyebutkan, hasil bedah kinerja HTI menunjukkan bahwa operasional HTI menghadapi banyak persoalan.

Buktinya, hanya 23 unit berada dalam status hijau.

"Kalau memang melanggar hukum, tidak menjalankan RKU silahkan dicabut izinnya. Namun, setelah dicabut harus dialihkan kepada pengelola yang betul," katanya.

Nana Suparna mengimbau agar kementeri-an/lembaga bersinergi untuk memberikan dukungan kepada industri kehutanan. Pasalnya, masalah yang dialami HTI tidak dapat hanya dituntaskan oleh Kemenhut.

"Soal HTI itu tidak hanya menyangkut Kemenhut, tapi juga kebijakan perdagangan, perindustrian, tumpang tindih lahan BPN, ekonomi, soal hukum, konflik. Ke depan instansi terkait harus punya keprihatinan yang sama dan solid," tutur Nana Suparna.

Sebelumnya, Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin mengatakan pengelolaan HTI secara profesional harus didukung oleh teknologi dan SDM yang handal. Dengan demikian, pemanfaatan lahan menjadi optimal dan tetap mengusung prinsip kelestarian.

"Kami pakai teknologi ekohidro di lahan gambut untuk mengontrol jumlah dan tinggi muka air sehingga pertumbuhan tanaman bisa optimal, meminimalkan subsidensi, dan bahaya kebakaran," ungkap Kusnan Rahmin. 

Dilapangan pemilik hak atas (HTI) mulai menghadapi berbagai kesulitan, kata Dahrul Rangkuti, Aktivis Eka Nusa menilai.

"Beberapa masalah yang muncul di perusahaan HTI antara lain konflik sosial dengan masyarakat sekitar, tantangan dalam pengelolaan lahan, serta masalah keuangan dan operasional perusahaan," katanya.

"Seringkali terjadi konflik antara perusahaan pemegang izin HTI dengan masyarakat sekitar terkait klaim lahan, akses terhadap sumber daya alam, dan dampak lingkungan dari kegiatan HTI itu," tambahnya. 

Menurutnya, perusahaan harus memastikan bahwa lahan HTI dikelola dengan baik, termasuk pemeliharaan tanaman, pencegahan kebakaran hutan, dan pengelolaan limbah.

"Jika tidak dikelola dengan baik, lahan HTI bisa terbengkalai dan menjadi lahan yang tidak produktif, bahkan bisa dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kegiatan yang tidak sesuai," sebutnya.

Perusahaan HTI juga sering menghadapi tantangan dalam hal pendanaan, fluktuasi harga komoditas, serta biaya operasional yang tinggi.

Beberapa perusahaan HTI juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban finansial dan operasional mereka, termasuk pembayaran pajak dan upah pekerja. 

"Selain itu perubahan kebijakan dan regulasi terkait kehutanan juga dapat memberikan dampak terhadap kegiatan HTI. Perusahaan perlu beradaptasi dengan perubahan ini dan memastikan bahwa kegiatan mereka sesuai dengan aturan yang berlaku," imbuhnya. 

Perusahaan HTI juga perlu melakukan penyelesaian konflik. Sering melakukan dialog dan negosiasi dengan masyarakat untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan terkait pengelolaan lahan dan sumber daya alam. Melakukan pengelolaan lahan yang baik, termasuk pemeliharaan tanaman, pencegahan kebakaran hutan, dan pengelolaan limbah yang berkelanjutan. Mencari cara untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya produksi. 

"Perusahaan juga harus bisa memastikan bahwa kegiatan HTI nya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu pemerintah juga harus memberikan dukungan finansial, memfasilitasi penyelesaian konflik, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif," terangnya. (*) 

Tags : hutan tanaman industri, hti, pemilik hti mulai hadapi berbagai kesulitan, kemenhut evaluasi perusahaan hti,