JAKARTA - Angka kematian petugas Pemilu 2024 telah mencapai setidaknya 100, sementara lebih dari 7.000 lainnya tercatat sakit yang berakhir bertumbangan [meninggal dunia].
Ini seperti mengulang apa yang terjadi saat pemilu 2019, meski sejumlah langkah pencegahan telah diambil.
Para pakar menyerukan agar evaluasi menyeluruh dilakukan, sembari menyerukan pemisahan antara pemilu di tingkat nasional dan lokal.
Pekan lalu, yang merupakan pekan pelaksanaan pemilu, tak hanya disesaki kisah kemenangan dan kekalahan para kandidat yang terlibat, tapi juga cerita pilu soal mereka yang mengorbankan nyawa demi mengawal pemungutan dan penghitungan suara.
Ada petugas yang meninggal di Jakarta Pusat karena kecelakaan saat mengantarkan logistik pemilu. Diduga karena kelelahan, ada yang keguguran di Pati, terkena stroke di Solo dan Bali, pun meninggal karena gagal jantung di Malang.
Data Kementerian Kesehatan hingga 17 Februari, pukul 18.00 WIB, mencatat ada 57 petugas pemilu yang telah wafat di sejumlah provinsi berbeda.
Ini mencakup anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), petugas perlindungan masyarakat (Linmas), saksi dan pengawas tempat pemungutan suara (TPS).
Angka dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat dan daerah, dinas kesehatan berbagai wilayah, serta laporan dari sejumlah media lokal dan nasional per 18 Februari, dan menemukan bahwa angka kematian petugas pemilu telah menyentuh setidaknya 100. Sementara itu, ada 7.163 petugas yang tercatat sakit.
Angka ini muncul hanya empat hari setelah pemungutan suara pada 14 Februari.
Sebagai perbandingan, sebulan setelah pemilu serentak pada April 2019, Kementerian Kesehatan merilis data yang menunjukkan ada 527 petugas pemilu yang meninggal dan 11.239 yang jatuh sakit.
Ini berbeda dengan data versi KPU per Oktober 2019, yang mencatat 894 petugas meninggal dan 5.175 lainnya sakit.
"Ini kan jadinya berulang ya," kata Neni Nur Hayati, direktur eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia.
"Ketika ada solusi juga ternyata tidak secara signifikan itu bisa menyelesaikan masalah."
Mengapa tragedi terulang kembali?
Sebelumnya, KPU telah mengambil sejumlah langkah untuk menekan risiko kecelakaan kerja saat pemilu serentak 2024.
Ini termasuk menetapkan batas usia baru yang berkisar 17-55 tahun bagi petugas KPPS dan mewajibkan calon petugas menyerahkan surat keterangan sehat, yang menunjukkan mereka tidak memiliki penyakit bawaan.
Akhirnya, banyak anak muda yang didorong maju untuk menjadi petugas pemilu 2024. Karena belum banyak pengalaman, ditambah dengan bimbingan teknis dari KPU yang tak memadai, para petugas muda ini kerap kebingungan dan kesulitan menjalankan tugas dengan baik di hari pemungutan suara, kata Neni Nur Hayati dari DEEP Indonesia.
Karena itu, tambahnya, waktu kerja para petugas KPPS jadi molor, bahkan banyak yang baru selesai menghitung suara pada dini hari.
"Teknisnya rumit di lapangan," kata Neni.
"KPPS juga tidak dibekali pengetahuan kepemiluan yang mumpuni."
Untuk menghadapi pemilu 2024, tujuh anggota KPPS wajib mengikuti bimbingan teknis atau bimtek. Menurut Neni, ini sudah lebih baik dibanding 2019, saat hanya ketua dan satu anggota KPPS yang mesti menjalani pembekalan.
Namun, saat diminta mengisi sejumlah sesi bimtek, Neni terkejut saat menemukan ada 1.000-2.000 anggota KPPS menjejali satu ruangan untuk mengikuti pembekalan.
"Jadi, bagaimana mau efektif?" katanya.
"Banyak banget yang pingsan waktu bimtek itu."
Ia mengusulkan agar ke depannya masa kerja para petugas KPPS diperpanjang, dengan sesi pembekalan dan simulasi pemilu yang lebih banyak dan efektif.
Untuk pemilu 2024, para petugas KPPS dikontrak satu bulan, dari 25 Januari hingga 25 Februari.
Total ada 5.741.127 anggota KPPS yang bertugas di 820.161 TPS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri.
Masalah lainnya, skrining kesehatan terhadap calon petugas KPPS pun tidak seketat itu.
Irwansyah di Jurangmangu Barat, Tangerang Selatan, misalnya, tetap lolos menjadi ketua KPPS untuk salah satu TPS setempat meski hasil tes kesehatannya menunjukkan ia mengidap diabetes.
Eti Rohaeti, petugas KPPS di Garut yang meninggal pada 17 Februari, juga tercatat memiliki hipertensi.
Anggota KPU Idham Holik mengatakan, ke depannya, pemeriksaan kesehatan calon petugas pemilu - khususnya KPPS - mesti lebih menyeluruh.
"Anggota KPPS diharapkan memiliki daya tahan tubuh yang kuat sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik tanpa terdampak akibat buruk dari kelelahan fisik yang ditimbulkan oleh proses penyelesaian pemungutan dan penghitungan suara yang begitu lama, sejak pagi sampai dini hari dan bahkan sampai keesokan harinya," katanya.
Siti Nadia Tarmizi, kepala biro komunikasi Kementerian Kesehatan, mengakui memang masih banyak petugas pemilu berusia lebih dari 55 tahun dengan penyakit bawaan yang "tidak terkontrol" dengan baik.
"Petugasnya yang [harus] tahu sinyal-sinyal kesehatan tubuhnya dan memastikan dirinya sehat," kata Siti seperti dirilis BBC News Indonesia.
Siti menambahkan para petugas mesti rutin berobat atau tidak menunda memeriksakan diri ke dokter.
"[Jangan] kita mengabaikan batas kemampuan kesehatan tubuh kita."
Di sisi lain, Khoirunnisa Nur Agustyati, direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan seharusnya ada tenaga kesehatan di lapangan yang senantiasa berjaga dan siap membantu bila ada petugas pemilu yang sakit, apalagi mempertimbangkan beban kerja tinggi yang dihadapi para petugas.
"Memang beban kerjanya besar sekali," kata Khoirunnisa.
Hasil riset Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta menunjukkan, di hari pemilu 2019, secara median para petugas di lapangan bekerja selama 20-22 jam.
Ini belum menghitung 7,5-11 jam yang mereka habiskan untuk mempersiapkan TPS, serta 8-48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan.
Untuk pemilu 2024, para petugas di lapangan juga menghadapi jam kerja panjang karena sejumlah hambatan teknis, termasuk kurangnya surat suara, hasil penghitungan suara yang tidak sesuai dengan jumlah surat, serta Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU yang kerap tidak bisa diakses, kata Khoirunnisa.
"Karena ujung tombak penyelenggaraan pemilu itu KPPS, kalau misalnya ada hambatan, pasti KPPS-nya duluan yang bakal kena," ujarnya.
Santunan bagi keluarga korban
Sebagai anggota KPPS Desa Barieh di Pidie, Aceh, Abdurrahman kerap bekerja keras hingga larut malam mempersiapkan pemilu.
Pada 10 Februari, hanya empat hari sebelum pemungutan suara, Abdurrahman mendadak sakit sepulangnya dari sawah.
Tak lama, ia wafat, meninggalkan istri dan tiga anak laki-laki.
"Tiba-tiba pulang dari sawah dia sakit," kata Habibah, istri Abdurrahman.
Habibah berharap ada santunan dari pemerintah, apalagi melihat kerja keras suaminya dalam persiapan pemilu.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan jumlah santunan untuk para petugas ad hoc pemilu, termasuk anggota KPPS, yang meninggal dunia sebesar Rp36 juta. Ini belum termasuk biaya pemakaman senilai Rp10 juta.
Sementara itu, bila mengalami cacat permanen saat bekerja, petugas pemilu akan mendapat Rp 30,8 juta.
Santunan untuk mereka yang mengalami luka sedang dan berat masing-masing sebesar Rp8,25 juta dan Rp16,5 juta.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, pencairan santunan bisa dilakukan setelah ada proses verifikasi dokumen.
"Misalnya, surat kematian atau surat keterangan dokter atau surat rawat inap," kata Hasyim.
Seruan evaluasi pemilu serentak
Bila ingin ada perubahan untuk pemilu ke depan, perlu ada evaluasi menyeluruh dan perubahan model pemilu di Indonesia, kata Khoirunnisa Nur Agustyati dari Perludem.
"Kalau mau ada perubahan, harus direformasi total," kata Khoirunnisa.
"Nggak bisa lagi pemilu dengan model lima kotak suara seperti ini. Nggak sehat."
Undang-Undang No. 7/2017 mengatur pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali secara serentak, yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pada 2021, empat petugas pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat mengajukan permohonan uji materi UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka meminta ketentuan soal pemilu serentak dengan lima kotak suara sekaligus dibatalkan, apalagi mempertimbangkan banyaknya korban jiwa pada pemilu 2019.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah memisahkan pemilu legislatif daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR dan DPD.
Namun, Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan tersebut.
Argumen soal beban kerja tinggi para petugas pemilu di lapangan disebut terkait dengan manajemen pemilu yang menjadi tanggung jawab penyelenggara.
Karena itulah, pemilu presiden dan legislatif tetap berlangsung serentak pada 2024.
"Karena sistem pemilihan kita yang kompleks dan rumit, menurut saya harusnya dipisahkan, pemilu yang nasional ya nasional, yang lokal ya lokal. Itu akan lebih memudahkan," kata Neni Nur Hayati dari DEEP Indonesia.
Risiko berjalannya pemilu serentak seperti di 2024 adalah para pemilih kerap hanya fokus pada kandidat presiden dan wakil presiden, sehingga para calon anggota legislatif atau caleg pun jadi terlupakan, tambah Neni.
Akhirnya, saat masuk ke bilik TPS, pemilih bingung menghadapi banyaknya pilihan caleg dan cenderung memilih selebriti yang wajahnya dirasa familier.
"Padahal, sebetulnya secara kapasitas, secara politik gagasan, mereka [caleg artis] sama sekali kurang. Ini yang sebenarnya sangat disayangkan," kata Neni.
"Karena masyarakat bingung, ya sudah akhirnya masyarakat coblos saja yang mereka tahu, yang mereka kenal."
Maka, Khoirunnisa dan Neni sama-sama mendorong revisi UU No. 7/2017 tentang pemilu. Menurut mereka, ini harus dilakukan segera, mumpung masih ada lima tahun sebelum pemilu selanjutnya pada 2029.
Apalagi, pembahasan revisi UU bisa berlangsung tahunan, kata Khoirunnisa.
Sementara itu, untuk pemilu selanjutnya, anggota KPU Idham Holik berharap setidaknya proses penghitungan suara di TPS dapat dibagi ke dua panel berbeda sehingga prosesnya bisa lebih cepat.
Dengan begitu, bakal ada anggota KPPS di satu panel yang menghitung perolehan suara calon presiden dan wakil presiden serta anggota DPD, serta anggota di panel lain yang menjumlah suara calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Namun, Khoirunnisa menilai ide ini sulit diterapkan. Apalagi, hanya ada satu pengawas dan saksi partai politik yang bertugas di tiap TPS, sehingga sulit untuk mengawasi proses penghitungan di dua panel berbeda.
"Jadi ya memang desain keserantakannya yang menurut saya perlu diubah untuk bisa meminimalisir petugas kelelahan itu," tegasnya. (*)
Tags : pemilu serentak, pemilu 2024, kesehatan petugas kpps, petugas kpps bertumbangan, kesehatan petugas kpps terganggu, petugas kpps banyak yang sakit dan meninggal dunia,