Politik   2024/02/19 13:57 WIB

Penyatuan Dua 'Dinasti' Prabowo-Gibran di Pemilu 2024 Sangat Dikhawatirkan, Pengamat: 'Kisahnya Sama Seperti di Filipina'

Penyatuan Dua 'Dinasti' Prabowo-Gibran di Pemilu 2024 Sangat Dikhawatirkan, Pengamat: 'Kisahnya Sama Seperti di Filipina'
Setelah hasil hitung cepat Pilpres 2024 menunjukkan keunggulan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sejumlah pengamat mulai menyoroti kekuatan aliansi ini ke depannya.

JAKARTA - Perkawinan dua "dinasti" yang diwakili Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mirip dengan penyatuan dua dinasti di Filipina.

Di sana, Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr berkongsi politik dengan Sara Duterte, anak eks presiden Rodrigo Duterte. Sara kemudian menjadi wakilnya. Bagaimana pola seperti ini bisa lentur dan bertahan ketika situasi dan kepentingan politik mulai berubah?

Jawabannya: Tidak menutup kemungkinan koalisi Prabowo-Gibran akan "pecah kongsi", kata pengamat.

Kerentanan kerja sama politik Prabowo-Jokowi itu, demikian pengamat, mengingatkan "perkawinan dua dinasti" di Filipina, antara Presiden "Bongbong" Marcos dan wakilnya, Sara Duterte, yang kini retak dan di ambang perpecahan.

Situasi politik yang berubah, yakni ketika Jokowi tak lagi berkuasa, akan menjadi batu sandungan koalisi dua dinasti ini nantinya, tambah pengamat. 

"Meski praktik selama ini Prabowo menunjukkan loyalitas yang besar dan konsisten pada Jokowi, tapi itu ketika Jokowi berkuasa. Saat Jokowi tidak berkuasa, bisa saja situasinya berubah," kata dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini.

Bagaimana kemiripan keduanya?

Sejak lama, sosok Prabowo dan Bongbong memang selalu memicu kontroversi karena rekam jejak keluarga mereka yang terkait dengan kediktatoran.

Mereka mewarisi banyak hal dari kediktatoran itu, mulai dari privilese, jabatan, kekayaan, hingga sifat-sifat otoriter.

Beberapa pengamat menganggap sifat itu tak mudah diubah, sehingga publik harus berhati-hati.

Prabowo merupakan menantu diktator yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, Soeharto. 

Sepanjang masa kepemimpinan Soeharto, karier militer Prabowo melejit, tapi kontroversi terus membayanginya.

Di akhir Orde Baru, ia dituduh terlibat dalam penculikan aktivis, yang beberapa di antaranya belum diketahui keberadaannya hingga saat ini.

Sementara itu, Bongbong adalah putra dari diktator yang berkuasa di Filipina selama hampir 21 tahun hingga 1986, Ferdinand Marcos.

Di bawah kepemimpinan Marcos, Bongbong sempat menempati berbagai posisi strategis, termasuk gubernur kawasan Ilocos Norte.

Selama Bongbong berkuasa, terjadi setidaknya dua pembunuhan di luar hukum di daerah Ilocos Norte, sebagaimana dilaporkan Rappler.

Setelah kejatuhan Soeharto dan Marcos, Prabowo dan Bongbong juga sempat "mengasingkan diri" keluar negeri.

Prabowo "berlindung" di Yordania sekitar 3 tahun, sementara Bongbong berdiam di Amerika Serikat selama 5 tahun.

Sepulangnya ke tanah air masing-masing, mereka kembali terjun ke dunia politik. Selama menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan, mereka tak pernah sepi kontroversi.

Bongbong beberapa kali dikaitkan dengan kasus korupsi, sementara sikap temperamental dan meledak-ledak Prabowo kerap menjadi sorotan.

Ambisi menduduki takhta tertinggi

Di tengah berbagai kontroversi, mereka sama-sama memendam ambisi duduk di istana kepresidenan. Keduanya sudah kenyang menelan kekalahan.

Prabowo pertama kali membidik kursi istana pada Pemilu 2009 lalu, dengan menjadi cawapres untuk Megawati Soekarnoputri.

Pada Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo maju menjadi capres, tapi lagi-lagi kalah dari Jokowi.

Sementara itu, Bongbong pertama kali mencalonkan diri sebagai wakil presiden dalam pemilu 2016. Di Filipina, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan terpisah.

Kala itu, Bongbong kalah tipis dari cawapres Leni Robredo. Politikus perempuan itulah yang akhirnya menjadi wapres di masa kepresidenan Rodrigo Duterte.

Karena pemilihan presiden dan wakilnya terpisah, wapres di Filipina bisa menjadi oposisi dari presidennya, seperti Robredo terhadap Duterte.

Namun ada kalanya, capres dan cawapres berkampanye bersama sebagai pasangan, walau pemilihannya tetap dilakukan secara terpisah.

Dalam pemilu berikutnya pada 2022, Bongbong memilih untuk menyatukan kekuatan dengan putri Duterte, Sara Duterte, sebagai cawapres.

Layaknya Jokowi di Indonesia, Duterte juga disebut-sebut ingin melanggengkan kekuasaannya dengan mencalonkan Sara sebagai cawapres.

Berkat popularitas Duterte yang juga masih menjulang, Sara pun keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara gemilang di angka 61,53 persen.

Suara Bongbong juga disebut-sebut terdongkrak karena popularitas Duterte, walau pada akhirnya raihan suaranya lebih kecil dari Sara, yaitu 58,77 persen.

Kampanye Bongbong dan Sara yang sangat ramah anak muda, dengan berbagai gimik di media sosial, juga dianggap sebagai salah satu faktor kunci kemenangan mereka.

Kendati demikian, sejumlah pengamat sebenarnya sudah mewanti-wanti bahwa Bongbong masih punya naluri otoriter.

Benar saja, Bongbong mulai menunjukkan jati dirinya. "Bulan madu" perkawinan kedua dinasti itu pun tak bertahan lama.

Di akhir 2023, cekcok Duterte-Bongbong mengemuka dan kian parah hingga koalisi tersebut di ambang perpecahan.

Akar masalahnya, Bongbong ingin mengubah konstitusi Filipina yang membuka jalan untuk perpanjangan masa jabatan presiden. Ia berdalih perubahan itu diperlukan agar dapat menarik investor asing demi menggenjot perekonomian.

"[Konstitusi perlu diubah] demi dunia yang terglobalisasi," kata Bongbong pada Desember 2023, seperti dikutip Reuters.

Sejak saat itu, Duterte dan keluarganya terus melontarkan kritik secara terang-terangan. Mereka menganggap Bongbong berkhianat.

Bongbong dianggap hanya menunggangi popularitas Duterte agar dapat menjadi presiden. Habis manis, sepah dibuang.

Duterte pun mengancam bakal menggulingkan Bongbong.

Apakah perpecahan serupa dapat terjadi pada Prabowo-Gibran?

Sejumlah pihak khawatir kejadian serupa dapat menimpa Jokowi dan Gibran.

Pasalnya, beberapa pakar memperingatkan bahwa Prabowo juga tidak pernah berubah walau dalam masa kampanye terakhir, ia mengemas diri dengan citra "gemoy".

"Dorongannya, nalurinya, adalah menjadi xenofobia, menjadi pemimpin otoriter. Saya khawatir dia tidak berubah. Karakternya tidak berubah," ucap peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono.

Sejumlah pengamat pun curiga Prabowo hanya memanfaatkan popularitas Jokowi untuk dapat memenuhi ambisinya menjadi presiden, yang sudah tertunda bertahun-tahun.

Ketika sudah berkuasa, Prabowo mungkin saja menganggap Jokowi tak lagi penting, kemudian malah menjalankan agendanya sendiri.

"Dalam masa pemerintahan yang berjalan lima tahun, kemungkinan atau peluang itu bisa saja terjadi, apalagi kalau ada realisasi komitmen yang tidak sesuai kesepakatan mereka," ujar dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini pada media.

Titi menggarisbawahi bahwa Prabowo juga merupakan ketua umum Partai Gerindra, entitas yang tentu punya kepentingan sendiri.

"Sangat mungkin kepentingan Prabowo atau Gerindra tidak sejalan dengan kepentingan politik Gibran atau Jokowi sebagai pihak yang punya saham bagi kemenangan Prabowo," tutur Titi.

"Meski praktik selama ini Prabowo menunjukkan loyalitas yang besar dan konsisten pada Jokowi, tapi itu ketika Jokowi berkuasa. Saat Jokowi tidak berkuasa, bisa saja situasinya berubah."

Senada, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, juga menganggap potensi keretakan tetap ada walau aliansi Prabowo-Jokowi sampai saat ini masih kuat.

"Tinggal tunggu berapa lama bulan madu dua kubu ini bertahan," ucap Adi.

"Meski harus diakui sampai hari ini keduanya sangat terlihat akur dan harmonis, tapi dalam politik, apa pun bisa terjadi. Jokowi dan PDIP saja bisa pisah jalan setelah 23 tahun bersama."

Di sisi lain, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menganggap iklim politik Indonesia dan Filipina berbeda.

"Di sana kan Duterte itu walau bagaimana pun nuansanya masih sosialis. Bongbong Marcos kapitalis, jadi mungkin masih ada sense ideologi kiri dan kanan," kata Firman kepada BBC News Indonesia.

"Nah, kalau di Indonesia kan tidak ada ideologi seperti itu. Tidak kuat. Bisa bersatu karena kekuasaan, jadi saya kira akan langgeng-langgeng saja ini kelihatannya."

Firman berkaca pada rekam jejak pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang tetap solid walau ada beberapa sandungan.

"Malah akan bertukar nantinya, akan seperti memberikan tongkat estafet. Sekarang Prabowo dapat tongkat estafet. Nanti dikasih ke Gibran untuk lima tahun berikutnya," ucapnya. (*)

Tags : Prabowo-Gibran, Pemilu 2024, Penyatuan Prabowo-Gibran, Prabowo-Gibran Dua Dinasti,