PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Pemuda Melayu Riau Indonesia [PMRI] mendesak agar PT Pertamina Hulu Rokan [PHR] segera memindahkan kantornya dari Jakarta ke Provinsi Riau.
"PHR tidak hanya mengambil kekayaan alam Riau saja."
"Jangan hanya ingin mengambil kekayaan sumber daya alam Riau saja. Karena itu adalah perbuatan yang sangat maruk dan tak berpendidikan," kata Ketua PMRI, Khoirul Basar pada media, Selasa (9/7).
PMRI juga meminta Presiden Jokowi mengingatkan secara keras PT Pertamina [Persero] untuk peduli dengan kondisi ekonomi masyarakat di Bumi Lancang Kuning.
Pernyataan dan sikap PMRI tersebut merespon pemberitaan media ini yang mempertanyakan alasan PHR memilih berkantor di Jakarta yang dalam beberapa bulan ke depan tak lagi menjadi ibu kota negara.
Khoirul yang merupakan mantan Presiden Mahasiswa Universitas Riau ini menegaskan, setelah 3 tahun lamanya PT PHR mengelola Blok Rokan, namun tak memberikan dampak positif terhadap ekonomi daerah. Yang terjadi justru sebaliknya, keberadaan PHR hanya menguntungkan segelintir elit-elit kekuasaan dan elit ekonomi.
"Ekonomi Riau tidak tumbuh, justru sebaliknya lesuh. Kehadiran PHR tidak memberikan multiplier effect terhadap ekonomi daerah. Salah satunya dampak dari keberadaan kantor PHR di Jakarta," kata Khoirul Basar.
"Padahal, wilayah operasional PHR yang terbesar ada di Blok Rokan Provinsi Riau. Tidak ada alasan yang bisa diterima dengan akal sehat sehingga PHR harus berkantor di Jakarta," sebutnya.
Khoirul meminta agar Presiden Jokowi tidak hanya sekadar mengambil alih pengelolaan Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia [CPI] lalu menyerahkan begitu saja kepada PT Pertamina melalui cucu perusahaannya bernama PT Pertamina Hulu Rokan [PHR].
Sikap Presiden Jokowi yang lebih konkret yakni memerintahkan direksi Pertamina (Persero) untuk memindahkan kantor PT PHR ke Riau.
"Kami berharap di akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi dapat memastikan Blok Rokan yang dikelola PT PHR benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Riau. Sudah terlalu lama kekayaan minyak Bumi Riau hanya dijadikan komoditi bagi elit-elit dan oligarki tertentu di Jakarta," kata Khoirul.
Menurutnya, sikap manajemen PT PHR yang justru berkantor di Jakarta sama saja dengan menjauhkan kepentingan daerah dalam pengelolaan kekayaan sumber daya alamnya.
"Daerah dijadikan sebagai penonton. Masak urusan kantor saja dibikin ribet. Kenapa mesti berkantor di Jakarta?" kritik Khoirul.
Khoirul meyakini, pemindahan kantor PT PHR ke Riau akan membawa dampak yang signifikan terhadap ekonomi daerah.
Kegiatan perkantoran PHR yang dipusatkan di Riau akan membuat orang ramai berdatangan ke Riau, sehingga geliat ekonomi daerah menjadi hidup.
"Para pebisnis migas dan jasa penunjang migas harusnya datang ke Riau, bukan justru terbang ke Jakarta. Itu sama saja dengan membawa uang dari Riau ke Jakarta," kata Khoirul yang juga merupakan Ketua Bidang Organisasi dan Kaderisasi DPW Solidaritas Merah Putih [Solmet] Provinsi Riau.
"Masak yang ditinggalkan di Riau cuma limbah minyak saja? Kapan sektor jasa perhotelan, UMKM dan ekonomi masyarakat bisa hidup lagi dari sektor migas," tanya dia.
Ia juga meminta pemerintah daerah di Riau segera bersikap dan menuntut PHR agar "berkandang" di Riau.
Apalagi Pemprov Riau dan jajaran pemda kabupaten/kota di Riau berkepentingan langsung dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah [PAD] dari sektor pajak daerah.
Dengan pemindahan kantor PT PHR ke Riau, maka dipastikan potensi pajak daerah bisa didulang lebih besar.
Selain itu, pemindahan kantor PT PHR ke Riau juga akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal dalam mengatasi laju pengangguran.
"Agar pemerintah daerah di Provinsi Riau benar-benar memiliki akal sehat untuk segera mendesak PHR berkantor di Riau. Negeri ini punya banyak petuah, nasihat, petatah dan petitih dari para pendahulu. Ayo segera bersikap," kata Khoirul.
Sebelumnya, saat mendapatkan gelar kehormatan adat dari Lembaga Adat Melayu Riau [LAMR] pada 15 Desember 2018 silam, Presiden Jokowi berjanji akan memberikan kesempatan yang besar kepada Riau dalam pengelolaan Blok Rokan.
“Saya sudah menyampaikan kepada Pertamina, jangan dikelola sendiri. Libatkan yang namanya daerah sebesar-besarnya. Kalau daerah mampu memegang lebih besar, kenapa tidak? Kalau daerah siap memiliki yang lebih besar kenapa tidak? Tetapi skema dan mekanismenya nanti akan segera kita atur untuk ini," kata Presiden Jokowi yang disematkan gelar Datuk Seri Setia Amanah Negara oleh LAM Riau.
Pidato Jokowi tersebut terkait dengan keputusan politik pemerintahannya yang merebut pengelolaan Blok Rokan dari tangan kontraktor asing PT Chevron Pacific Indonesia [CPI].
Blok Rokan adalah hamparan ladang minyak terbesar di Indonesia yang telah menghasilkan miliran barel minyak bumi dari perut Bumi Lancang Kuning.
Jauh sebelumnya, blok minyak ini digarap oleh PT Caltex Pacific Indonesia [Caltex], yang dulunya merupakan raksasa perusahaan migas asal Amerika Serikat. Sejarah mencatat, Blok Rokan sebelumnya dikelola perusahaan asing lebih dari 90 tahun lamanya.
Diambilalihnya Blok Rokan dari tangan asing, populer dengan jargon Blok Rokan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Blok Rokan kembali ke ibu kandung, bukan lagi ibu tiri.
Jargon ini kerap digembar-gemborkan saat PT Pertamina [Persero] melalui cucu perusahaannya PT Pertamina Hulu Rokan [PHR] secara resmi mengelola Blok Rokan pada 9 Agustus 2021 silam.
PHR mendapat hak kelola Blok Rokan selama 20 tahun ke depan. Itu artinya, masa konsesi PHR berakhir pada tahun 2041 mendatang.
Memasuki tahun ketiga pengelolaan Blok Rokan oleh PHR, tanda-tanda "ketimpangan" antara harapan dan janji manis itu sepertinya makin jelas terasa.
Arus ekspansi dan mobilisasi anak cucu cicit perusahaan BUMN ke Blok Rokan, disebut-sebut telah membuat keterpurukan yang serius terhadap pelaku usaha [kontraktor] migas dan jasa pendukung di Riau. Keluhan ini bahkan sudah disuarakan sejak tiga tahun lalu, namun saat ini makin parah tanpa pembenahan.
Janji negara untuk menaik-kelaskan kontraktor lokal, sepertinya jauh panggang dari api. Jangankan untuk naik kelas, bertahan saja sudah morat-marit dan setengah mati.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan tak mungkin kontraktor lokal segera turun kelas dan tenggelam ditimpa oleh anak cucu cicit perusahaan plat merah yang bercokol makin kuat di Blok Rokan.
Faktanya, kondisi ironi tersebut sudah terjadi. Para kontraktor lokal menjerit tanpa akhir. Mereka sudah jadi penonton di daerahnya sendiri. Mau melawan, tapi takut dan tak berdaya.
Pola baru pengelolaan Blok Rokan dari sebelumnya menggunakan sistem production sharing contract [PCS] cost recovery menjadi gross split, kerap dijadikan alibi dan pembenaran untuk melakukan kebijakan bisnis tersebut.
Konon katanya, prinsip ekonomi klasik 'mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya serendah-rendahnya' makin ekstrem diterapkan oleh PHR di Blok Rokan.
Dalih lain yang dipakai yakni Sinergi BUMN. Apa-apa itu harus BUMN atau setidaknya perusahaan swasta harus "menginduk" ke BUMN, termasuk dengan pola konsorsium. Padahal, jauh sebelumnya kontraktor swasta sudah menjadi pemain lama di bisnis tersebut.
Desakan agar PHR memindahkan kantor mewahnya di Jakarta ke Riau sudah disuarakan oleh eks Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok setahun lalu. Ahok pada Selasa 18 Juli 2023 tahun lalu meledakkan emosinya karena mengetahui kalau PHR dan anak perusahaan Pertamina lainnya berkantor di Jakarta, padahal wilayah kerjanya ada di daerah.
"Kita bicara Hulu Rokan, PHR. Masak kantor pusatnya ada di gedung mewah di Kuningan, terus sewa lagi. Kenapa enggak pakai kantor yang ada di Rokan?," kata Ahok kala itu.
Ahok tampaknya agak geram plus kecewa, manakala jargon efisiensi BUMN yang kerap didengungkan, dalam praktiknya justru berujung pada pemborosan keuangan korporasi.
Ibarat punya rumah sendiri, tapi PHR yang merupakan anak usaha PT Pertamina Hulu Energi [PHE] itu justru memilih 'ngekost' alias ngontrak di rumah orang lain.
"Prinsipnya, ngapain kamu punya rumah, tapi rumah kamu dibiarin, kamu tinggalin. Terus kamu sewa rumah, lucu enggak? Kamu kerjanya deket rumah kamu dong. Itu saja logikanya," kata Ahok lagi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyebut kalau anak perusahaan Pertamina, seperti PT Kilang Pertamina Balikpapan dan PHR menyewa kantor di Jakarta seharga Rp 382 miliar. Itu belum termasuk biaya operasional.
Kantor mewah PHR yang dimaksud Ahok berada RDTX Place. Bangunan elit bertingkat ini terletak di Jalan Prof DR Satrio, Nomor 17, Karet Kuningan, Jakarta Selatan. Jelas, ini lokasinya di salah satu kawasan elit ibukota negara Jakarta.
Namun, hingga Ahok mundur dan menanggalkan jabatan strategisnya di Pertamina, kantor pusat PHR tetap masih berada di Jakarta hingga saat ini. Pernyataan Ahok kini dianggap hanya angin lalu. (*)
Tags : Blok Rokan, PHR, Pertamina Hulu Rokan, Jokowi, Khoirul Basar,