LINGKUNGAN - Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] mengkritisi rencana pemerintah yang melegalkan atau memutihkan kasus perambahan kebun sawit yang berada di area hutan dengan mengabaikan unsur pidana.
"Mereka berpendapat kebijakan itu seharusnya hanya dikenakan kepada petani, bukan korporasi."
“Saya lihat, pilah dan pilih itu penting. Cuma kalau perusahan yang mencari untung lewat proses melanggar hukum itu kan harus dibedakan,” kata Ketua Yayasan Salamba, Ir Marganda Simamora SH M.Si dalam pengamatannya, tadi ini menyampaikan melalui mesin elektroniknya Whats App [WA], Senin (25/3/2024).
Ia mengatakan pemerintah mencari jalan pintas atas persoalan lama itu.
Terdapat 3,3 juta hektare kebun sawit di Nusantara yang berada di lahan yang sebenarnya adalah areal hutan.
Diduga, mayoritas kebun ini dibuka dan dikelola oleh korporasi sawit besar. Membuka kebun sawit di lahan hutan tentu melanggar hukum.
Namun, UU Cipta Kerja yang disahkan pada November 2020 memuat pasal yang menyatakan bahwa tindakan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran administratif. Sanksi yang dijatuhkan bukan pidana, tetapi hanya denda.
Marganda Simamora mengakui, kebun sawit di area hutan adalah persoalan lama yang bahkan sudah dibahas sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemerintah sendiri terlihat memang berniat menyelesaikan persoalan tersebut dengan penegakan hukum.
Khususnya untuk perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu merambah hutan, menggarap sawit terlebih dahulu meski tanpa mengurus atau mengantongi izin.
Namun, persoalan itu tidak pernah diselesaikan karena SBY hanya membuat PP 60/2012 sebagai dasar hukum kebijakan.
Regulasi tersebut mengatur mengenai perubahan PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Dalam catatan SALAMBA, aturan hukum mengenai hutan diperbaiki dengan terbitnya PP 104/2015, dan diperbaiki kembali melalui kebijakan moratorium sawit lewat Inpres 8/2018.
Nampaknya, lewat UU Cipta Kerja Tahun 2020, pemerintah benar-benar akan menyelesaikan persoalan. Namun ternyata hanya dengan pemutihan lahan.
“Itu kan menurut kita, posisinya pemerintah itu dalam kerangka tertentu, terlihat kayak enggak punya cara lain selain pemutihan. Cuma kalau kita lihat kasus-kasus yang lain, sebenarnya bisa kok,” lanjut Marganda Simamora.
Marganda Simamora menunjuk kasus di Register 40, Kabupaten Padang Lawas, Sumatra Utara sebagai salah satu contoh.
Pada 2007, Mahkamah Agung memutuskan kebun sawit seluas 47 ribu hektare di hutan Register 40 Padang Lawas, Sumatra Utara, disita negara. Pengelolanya adalah pengusaha Darius Lungguk Sitorus, selaku Direktur Utama PT Torganda.
Selain itu, Marganda Simamora juga menyebut kasus minyak goreng tahun 2022 juga menempatkan tiga grup usaha sawit besar, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Artinya, pendekatan hukum bisa diterapkan dalam kasus-kasus terkait sawit.
“Menurut saya ini kan seperti kayak tebang pilih. Ini yang menurut saya tidak baik karena kita sebenarnya sudah punya Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Harusnya pemerintah konsisten saja dengan ini,” tegasnya.
Tindakan khusus, seperti kehutanan sosial, sebaiknya hanya dikenakan kepada petani kecil yang hanya mengelola lahan terbatas.
Ia pun mengingatkan, UU Cipta Kerja yang menjadi landasan hukum kebijakan ini masih berpotensi membawa masalah.
Saat ini, proses judicial review belum usai di Mahkamah Konstitusi.
Dengan memakainya sebagai dasar hukum, Marganda Simamora melihat pemerintah seolah menjawab masalah dengan masalah baru.
Sebaiknya, sebelum ada kepastian hukum terkait UU ini, pemerintah tidak membuat kebijakan yang bersifat strategis.
Dia juga menyebut, mekanisme jangka benah, di mana kebun sawit pelan-pelan dikembalikan menjadi hutan, bisa diterapkan.
“Jadi diperbaiki pelan-pelan atau ditransfer ke BUMN seperti kasus Padang Lawas. Sebenarnya kalau pemerintah kreatif dan cerdik, ada jalan keluar,” ucapnya.
Dengan kebijakan pemutihan saat ini, kata Marganda Simamora, dikhawatirkan korporasi akan memanfaatkan.
Mereka akan membuka kebun di area hutan, karena tahu bahwa sanksi yang dikenakan hanya denda.
Tetapi sampai saat ini, setidaknya BPKB telah memiliki beberapa temuan mulai dari masalah periijinan lahan, kebun plasma, kapasitas produksi hingga produk turunan kelapa sawit atau CPO. Presiden pun membentuk Satgas khusus, di mana Luhut duduk sebagai ketua pengarah.
Perbaikan utama yang dilakuan Satgas adalah untuk memperbaiki tata kelola sektor hutan yang nantinya pengelolaan industri kelapa sawit di Indonesia dapat lebih optimal dan berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut data 2021, Indonesia memiliki lahan tutupan kelapa sawit total seluas 16,8 juta hektare. Dari jumlah itu, 10,4 juta hektare dikelola korporasi dan perusahaan plat merah, sisanya ada di tangan petani sawit rakyat.
Dari total luasan itu, 3,3 juta hektare ternyata berada dalam kawasan hutan. UU Cipta Kerja yang disahkan 2020 lalu, ternyata memuat jalan keluar penyelesaian kebun sawit di area hutan dengan penerapan sanksi administrasi dan denda.
Dikritik abis abisan sejak awal
Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] juga mengritik habis habisan, seperti pada Pasal 110 A dan 100 B, UU Cipta Kerja memberi kesempatan bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha dalam kawasan hutan, mengurus perizinan.
Waktu yang diberikan adalah 3 tahun sejak UU itu berlaku, atau akan berakhir pada November 2023. Sanksi yang dikenakan bagi pengusaha yang melanggar bukan pidana, tetapi administratif.
Jadi SALAMBA melihat, pemutihan lahan tidak mungkin di lakukan itu namanya melegalkan hampir semua lahan korporasi yang melanggar hukum, "kalau untuk masyarakat 5- 10 Ha mungkin dapat di tolerir tetapi kalau pemutihan lahan dengan dalil peningkatan pajak adalah hanya sebagai modus."
"Kami dari aktivis lingkungan menyebut sebagai rencana kejahatan lingkungan yang justru menguntungkan korporat dan sarat muatan kepentingan politik sesaat, dan prosesnya tidak seperti apa yang disebut oknum pejabat yang ingin melegalisasi sawit di kawasan hutan menjadi APL seketika, justru sebagai stimulan perambahan berikutnya," ungkapnya.
SALAMBA menilai ini sebagai pengampunan kejahatan kehutanan. SALAMBA mencatat, pada Maret 2023 lalu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Surat Keputusan XI berisi data kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa izin.
Ada 890 subjek hukum, dengan rincian korporasi sawit 531 unit, korporasi pertambangan 175 unit dan selebihnya adalah individu, koperasi, dan kelompok tani. Ini melengkapi rilis sebelumnya, di mana KLHK mengidentifikasi 1.192 Subjek hukum, dengan rincian 616 korporasi sawit, 130 korporasi pertambangan, dan 241 subjek hukum individu dan kelompok dengan aktivitas perkebunan sawit, dan 205 unit kegiatan lainnya.
SALMBA menghubungkan proses ini berketepatan saat jadwal pemilu yang saat itu sedang bergulir.
Batas tenggang waktu tersebut sesuai dengan masa pendaftaran presiden, gubernur, bupati dan wali kota. Konsolidasi kepentingan antar-partai politik akan dilakukan.
“Sehingga tidak berlebihan, jika kita sebut 110A dan 110B ini merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Marganda Simamora. (*)
Tags : kebun sawit, pemutihan kebun sawit, kebun sawit di area hutan untungkan korporasi, lembaga sawit watch sorot kebun sawit,