INTERNASIONAL - Ibu kota Kamboja, Phnom Penh, sudah menetapkan zona-zona merah—kawasan yang harus menerapkan karantina wilayah alias lockdown lantaran lonjakan jumlah kasus Covid-19.
Namun warga yang tinggal di zona merah itu mengaku makanan dan bantuan sangat langka, ungkap jurnalis Kiana Duncan. Somal Ratanak sudah menghabiskan hampir semua gajinya saat lingkungan tempat dia tinggal di Phnom Penh memberlakukan lockdown pada 12 April lalu. Wilayah itu akhirnya dinyatakan sebagai zona merah - sehingga dia tidak bisa keluar rumah atau pergi bekerja sebagai kasir.
Somal kini tidak tahu dari mana lagi harus mendapat makanan. Awal bulan ini, dia memang menerima paket bantuan dari pemerintah berupa bahan makanan seperti beras, mie, kecap, dan ikan kalengan. Namun paket bantuan itu tidak menentu datangnya sehingga tidak bisa diandalkan. Akibatnya, Somal mengaku, harus "makan jauh lebih sedikit dari sebelumnya."
Dia tidak sendiri. Pengetatan terkini dari pemerintah untuk mengatasi lonjakan kasus Covid-19 pada akhir Februari lalu itu menyebabkan puluhan ribu warga terkungkung di rumah, sementara persediaan makanan menipis. Meski dikenal sebagai salah satu negara yang menerapkan pembatasan ketat dan jumlah kasus yang relatif rendah tahun lalu, Kamboja kini justru menghadapi sekitar 400 kasus penularan baru dalam sehari.
Total jumlah kasus sudah mendekati 20.000 dengan setidaknya 131 kasus kematian. Rumah-rumah sakit di Kamboja sudah kelebihan kapasitas, sehingga pemerintah membuat rumah sakit darurat di stadion dan pusat-pusat kesehatan. Tidak sedikit warga yang memerlukan perawatan medis terpaksa diminta menjalani karantina di rumah.
Sebagai langkah mencegah penularan yang lebih luas, pemerintah kian memperketat mobilitas warga, termasuk lockdown total dan pengkategorian wilayah berdasarkan zona berwarna.
Tinggal di zona merah
Diperkirakan 120.000 orang tinggal di zona-zona merah di Phnom Penh, menurut data Center for Alliance of Labor and Human Rights (Central). Zona-zona merah ini memiliki angka penularan Covid yang tinggi sehingga wilayahnya ditutup dengan barikade dan diawasi oleh tentara.
Phnom Penh kini menerapkan zona merah di empat kawasan dan semua wilayah di kawasan itu dikenai lockdown hingga 19 Mei. Warga yang berada di zona merah itu dipaksa tetap tinggal di rumah. Setiap pelanggar diancam dengan penahanan, denda, hingga kekerasan. Ini yang membuat sejumlah lembaga bantuan prihatin atas pelanggaran HAM.
Aturan dan ketentuan dari para pejabat pun seringkali berbeda satu sama lain. Pelaksanaan sanksi yang tidak konsisten ini membuat warga dilanda kebingungan. Ada yang bisa keluar rumah untuk mencari makanan dan layanan kesehatan darurat, namun banyak pula yang tetap tidak boleh keluar.
Kementerian Perdagangan telah menambah dua kali lipat armada bus dan penjual sayur untuk menjual makanan ke pelosok-pelosok wilayah saat banyak pasar dan toko tutup - namun hanya sedikit warga yang mampu membeli, bahkan untuk sekadar kebutuhan pokok.
Penduduk yang tinggal di zona-zona merah pun dihadapkan pada kenaikan harga bahan pokok hingga 20% saat pendapatan mereka menurun, ungkap Central. Para LSM pun dilarang memasuki zona merah - sehingga kian menyulitkan upaya memberi bantuan bagi warga yang membutuhkan.
Deputi Direktur Regional urusan Kampanye dari Amnesty International, Ming Yu Hah, menilai respons pemerintah sejauh ini serampangan. Paket bantuan pemerintah, contohnya, hanya diberikan secara sporadis - hanya menjangkau sebagian kecil sasaran penerima di zona-zona merah.
Mulanya ada iklan bantuan langsung tunai sebesar 300.000 riel (sekitar Rp1 juta) per keluarga untuk membeli kebutuhan pangan selama kurang lebih dua pekan. Keputusan ini kemudian berubah. Pemerintah memutuskan memberi bantuan dalam bentuk barang kebutuhan pokok. Namun, menurut pengamat, nilai paket bantuan itu lebih kecil dari Rp1 juta.
Lebih dari 20.000 keluarga sudah menerima paket bantuan itu, ungkap pemerintah, namun masih lebih banyak lagi yang belum mendapatkannya. "Pemerintah harus memastikan akses yang memadai untuk makanan bergizi, layanan kesehatan, dan bantuan sosial mendasar bagi warga Kamboja yang sangat membutuhkan di masa sulit ini," kata Naly Pilorge dari Kelompok HAM Kamboja, Licadho.
Chhai Boramey, pegawai kasino yang kini terkurung di zona merah, mengaku keluarganya masih belum mendapat bantuan apapun dari pemerintah. "Tiga anggota keluarga kami kini tak punya pekerjaan," kata Boramey, yang keluarganya beranggotakan delapan orang. Kami masih harus bayar kontrakan, tagihan listrik, dan utang. Kami sudah tidak sanggup beli makanan yang harganya sudah naik."
Akhir April lalu, ratusan warga di dua lokasi di distrik Stung Meanchey - yang termasuk zona merah - mulai berunjuk rasa atas kurangnya pasokan pangan di daerah mereka. Namun unjuk rasa seperti itu malah dicela oleh media dan para pejabat lokal, dan muncul selentingan bahwa aksi-aksi itu sengaja dibuat oleh kelompok oposisi.
Amnesty International, sama seperti lembaga lain yang bergerak di sektor nirlaba, telah menerima banyak laporan bahwa warga yang protes lewat media sosial atau aksi di jalan sudah diancam tidak bakal menerima bantuan. Namun, lambatnya pemberian bantuan malah membuat mereka makin lapar. "Saya sebenarnya takut untuk protes," kata Boramey. "Tapi karena tidak ada makanan, saya harus protes". (*)
Tags : Penderitaan Warga Kamboja, Zona Merah, Bantuan Langka dan Makanan Menipis,