Headline Sorotan   2021/09/12 15:14 WIB

Suku Orang Laut Ini Berasimilasi dengan Budaya Melayu, Tapi Berakhir 'Terlupakan dan Kehilangan Bahasanya'

Suku Orang Laut Ini Berasimilasi dengan Budaya Melayu, Tapi Berakhir 'Terlupakan dan Kehilangan Bahasanya'
Pemukiman Orang Laut terakhir Singapura, di Pulau Seking, dihancurkan pada 1993 dan pulau itu bergabung dengan Pulau Semakau menjadi tempat pembuangan sampah.

"Seiring berjalannya waktu, suku Orang Laut telah berasimilasi dengan budaya Melayu dan kehilangan bahasanya. Tapi keturunan pengembara laut ini menghidupkan kembali budaya mereka melalui makanan"

unjungan ke apartemen mendiang bibinya Asnida Daud selalu menjanjikan sajian yang menggiurkan, dengan seluruh anggota keluarga duduk bersila di lantai dan makan dengan tangan seperti biasa. Asnida terus membuat makanan dengan satu-satunya cara yang dia tahu. Ini dilakukan Asnida bertahun-tahun setelah bibinya pindah ke apartemen kecil di Clementi, sebuah kawasan perumahan di barat daya Singapura, jauh dari desa di tepi Pulau Sudong, tempat dia dulu tinggal,

Asnida memasak untuk membangkitkan nostalgia terhadap pantai pasir putih dan cara hidup riang Orang Laut. Bintang utama beragam hidangan itu biasanya asam pedas (sup ikan asam dan pedas) yang dibuat dengan Ikan Pari. Ini adalah teman sempurna untuk sepiring nasi putih lembut. "Pedasnya sampai membuat keringatmu menetes ke nasi saat makan, tapi kamu tidak bisa berhenti makan," kata Asnida.

Pulau Sudong sekarang merupakan daerah pelatihan militer. Ini adalah pulau di lepas pantai selatan Singapura yang pernah menjadi rumah bagi Orang Laut (bahasa Melayu untuk "manusia laut"). Merekalah penduduk asli dan diyakini sebagai penduduk pertama Singapura. Penyebutan paling awal tentang kelompok pengembara laut ini berasal dari sebuah buku seorang pelancong China ke Singapura pada abad ke-14, ratusan tahun sebelum kedatangan Inggris pada 1819.

Suku Orang Laut Singapura termasuk Orang Seletar yang tinggal di hutan bakau dekat Sungai Seletar, Orang Biduanda Kallang dari Sungai Kallang, Orang Gelam di akhir Sungai Singapura, dan Orang Selat dari Kepulauan Selatan. Ada juga komunitas Orang Laut lainnya yang tinggal di rumah perahu di laut di bagian selatan Semenanjung Malaysia dan Kepulauan Riau di Indonesia.

Ibunya Asnida adalah Orang Laut, yang seperti suku Orang Galang di Indonesia, mereka pernah tersohor sebagai pendayung bagi Sultan Palembang. Dan ketika saya berbincang dengan Asnida, yang kini menjadi pendidik dan pembela pelestarian warisan Orang Laut, saya bisa merasakan kegembiraannya saat mengingat kenangan manis memakan asam pedas semasa remaja. Dia mengatakan kepada saya bahwa yang menonjol dari asam pedas di pulau utama, karena dibumbui dengan lada hitam yang dihancurkan menggunakan batu giling tradisional. Asam pedas buatan bibinya terkenal di kalangan penduduk Pulau Sudong, kata Asnida.

Orang Laut secara tradisional hidup dari laut. Mereka mencari makan dan berburu di hutan bakau, memancing di sungai dan laut, lalu beralih ke tanaman dan makanan laut saat mengobati penyakit dan cedera. Mereka harus berpikir keras, mengetahui apa yang harus dicari saat air pasang atau surut. Makanan lebih dari sekedar rezeki tetapi cara hidup. Namun seiring waktu, dengan pembongkaran desa mereka dan perpindahan ke perumahan umum dari tahun 1960-an hingga 1990-an karena industrialisasi Singapura, Orang Laut menjadi terbiasa dengan perkotaan.

Sebagian besar mereka lantas diidentifikasi sebagai Melayu, sebuah kelompok etnis di Singapura yang mencakup masyarakat adat termasuk orang-orang dari Kepulauan Indonesia. Mereka belakangan juga menganut Islam. Demikian pula masakan Orang Laut, yang dicirikan oleh makanan laut segar yang diperoleh dengan metode penangkapan ikan tradisional dan dimasak sederhana dengan bumbu.

Berbagai hidangan itu kini hilang dalam variasi makanan Melayu yang lebih luas, bahkan terkadang tidak diketahui oleh keturunan Orang Laut itu sendiri. Hidangan beraroma seperti sotong hitam (cumi dimasak dengan tinta cumi), siput sedut lemak (siput laut dalam kuah kelapa) dan asam pedas mudah ditemukan di warung nasi padang di Singapura.

Namun tradisi masakan Melayu secara umum cenderung tidak memperhitungan variasi masakan yang ada di seluruh Kepulauan Melayu, termasuk masakan Orang Laut. Akibatnya, asal-usul hidangan Orang Laut tidak dipertanyakan dan kisah-kisahnya tidak terungkap. Firdaus Sani cemas warisan budaya yang kaya ini akan hilang. Generasi keempat Orang Laut ini lalu memutuskan membuka Orang Laut Singapore tahun lalu, sebuah bisnis pengiriman makanan rumahan yang berfungsi ganda: sebagai inisiatif untuk membagikan budaya sekaligus penghormatan atas cara hidup tradisional komunitasnya. "Banyak makanan kami yang hilang dimakan waktu atau dianggap tidak unik," katanya.

"Pencarian saya adalah untuk membagikan masakan Orang Laut kepada dunia dan membantu budaya ini menemukan tempatnya di peta makanan Singapura," kata Firdaus.

Saat tumbuh dewasa, Firdaus tidak mengerti mengapa sotong hitam buatan keluarganya terasa berbeda dari yang dijual di warung makan Melayu. Akhirnya ia mengetahui bahwa keluarganya menggunakan Nos. Ini adalah cumi-cumi yang lebih lebar dan panjang ketimbang cumi-cumi biasa. Nos juga menghasilkan tinta paling banyak. Keluarga Firdaus mengetahui ini saat mereka tinggal di Pulau Semakau, sebuah pulau yang tidak jauh dari Pulau Sudong. Saat itu Semakau belum diubah pemerintah Singapura menjadi pusat tempat pembuangan sampah. "Meskipun kami memiliki sedikit akses untuk memancing di saat ini, kami mengenali makanan unik yang membentuk masakan kami seperti ikan buntal dan siput ranga (keong laba-laba), seekor moluska yang hanya bisa mencari makan saat air surut," kata Firdaus.

"Kami mencoba mempertahankan masakan kami dengan menggunakan metode memasak tradisional serta menghormati pilihan bahan dalam resep kami, bagaimana makanan harus disiapkan untuk dimasak dan mengapa beberapa binatang laut harus dimasak dengan cara-cara tertentu," ucapnya.

Di keluarga Firdaus, ikan buntal dimasak dengan gaya "kerabu". Ikan itu direbus, dicampur dengan kangkung dan serai lalu ditumis dengan pasta cabai kering, bawang putih, terasi, bawang merah dan lada hitam. Persiapan memasaknya memakan waktu sekitar satu hari, dimulai dengan menguliti ikan, membagi bagian yang dapat dimakan dan membuang racunnya.

Setiap bagian dapat dikonsumsi kecuali kulitnya. Usus dibersihkan secara menyeluruh kemudian dikepang agar tidak pecah selama proses perebusan yang akan berlangsung selama berjam-jam. Setelah direbus, tulangnya dibuang dan bagian seperti jeroan dan insang diiris tipis-tipis untuk dimasak. Karena standar keamanan pangan Singapura yang ketat membuat Firdaus hampir tidak bisa menjual hidangan ikan ini. Dia hanya menawarkan hidangan tradisional lainnya seperti sotong hitam dan gulai nenas (nanas dalam kaldu udang) yang dimasak oleh ibu dan bibinya.

Makanan mereka dijual dalam sepaket menu, yang terdiri dari lima atau enam hidangan. Setiap pesanan dilengkapi dengan kartu pos berisi foto keluarga lama dan catatan yang menjelaskan hidangan dan detail anekdot kehidupan di Pulau Semakau, sehingga memberikan konteks pada masakan Orang Laut. Dengan perpindahan dan asimilasi yang mengarah pada dekulturasi, tidak ada tempat fisik yang tersisa atau bahasa untuk mendefinisikan identitas budaya Orang Laut. Tampaknya makanan mereka mungkin salah satu dari sedikit hal yang tersisa untuk diteruskan. "Hanya tersisa keturunan Orang Laut di Singapura hari ini," kata antropolog Vivienne Wee seperti dirilis BBC News Indonesia.

Dia selama bertahun-tahun melakukan penelitian lapangan ekstensif terhadap masyarakat adat di Singapura dan Kepulauan Riau. "Tidak ada lagi konteks kesukuan. Generasi muda hanya memiliki ingatan generasi tua," ujarnya.

Itu benar untuk Asnida, yang ingat melihat mendiang neneknya menghancurkan rempah-rempah dengan batu giling ketika dia baru berusia empat tahun. Hari ini batu giling yang sama tergeletak di rumah ibunya sebagai pusaka keluarga yang berharga. Dia memiliki kenangan makan telur belangkas rebus (kepiting tapal kuda) yang pekat dengan tekstur dan rasa yang mirip dengan kuning telur asin dan siput ranga, yang direbus dengan air panas yang dituangkan ke dalam cangkang, pada kunjungannya ke Pulau Sudong.

Asnida juga ingat pernah mempelajari masakan Orang Laut yang dianggap memiliki manfaat kesehatan. Bibinya, misalnya, menyajikan bubur dengan timun laut yang bergizi setelah Asnida melahirkan. Sementara itu, mendiang nenek buyut Firdaus yang seorang bidan kerap membuat salad teripang mentah dengan buah cermai, asam jawa, cabai kering, terasi, dan kelapa goreng. "Makanan Orang Laut bukan hanya tentang kelangsungan hidup, tetapi salah satu cara nyata untuk mengekspresikan identitas kami," kata Asnida.

"Hidangan kami mencerminkan pengetahuan dan pengalaman orang-orang kami. Misalnya, penggunaan asam jawa dalam asam pedas bukanlah suatu kebetulan. Asam jawa memiliki sifat antibakteri, dan rasanya yang manis dan asam melengkapi rasa ikan, sumber utama protein Orang Laut."

Bagi Mohamed Shahrom Bin Mohd Taha, cara hidup Orang Laut mengisyaratkan bagaimana kita bisa hidup lebih berkelanjutan juga. "Makanan adalah hadiah dari laut. Hormati laut dan jangan memancing secara berlebihan," kata guru sejarah yang kakek neneknya Orang Laut, dari suku Orang Biduanda Kallang dan Bintan Penaung itu.

"Hari ini kami sangat terputus dari rantai makanan kami. Saya tidak memancing tetapi saya membawa anak-anak saya berjalan-jalan di pasang surut, dan liburan kami dihabiskan di laut."

Mendalami pengetahuan Orang Laut melalui makanan bukan hanya cara bagi keturunan Orang Laut untuk berhubungan kembali dengan masa lalu. Ini juga bisa menjadi wahana bagi warga Singapura untuk mengatahui lebih banyak tentang peran Orang Laut dalam sejarah, di luar narasi nasional yang menekankan masa lalu kolonial Singapura. "Kuliner Singapura bukan hanya tentang kategori luas makanan China, Melayu, dan India," kata penulis buku kuliner Singapura, Pamelia Chia.

"Kita perlu merayakan keragaman kuliner kita, dan variasi kecil yang bisa dimiliki suatu hidangan yang sama ketika dimasak oleh komunitas yang berbeda. Mengingat bahwa Orang Laut adalah penduduk asli Singapura, kisah mereka, termasuk masakan mereka, adalah suatu hal yang lebih penting untuk diceritakan karena hal itu menangkap momen dalam waktu di dalam sejarah Singapura."

Dan sepertinya warga Singapura sangat ingin mempelajari lebih banyak. Sejak Orang Laut Singapore diluncurkan pada Agustus 2020, pesanan mingguan meningkat lebih dari tiga kali lipat, sebagian karena larangan makan di tempat. Kedutaan Besar Estonia di Singapura baru-baru ini memesan untuk presiden Estonia yang untuk pertama kalinya berkunjung ke Singapura. Dalam upayanya untuk mempopulerkan masakan Orang Laut, Firdaus juga menjadi suara yang blak-blakan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat pribumi Singapura, yang paling baru dalam potensi pembatasan mencari makan di laut.

Dia sekarang mengabdikan dirinya penuh waktu untuk Orang Laut Singapura, dengan mimpi menerbitkan buku dan membuka ruang yang tidak hanya menyajikan makanan Orang Laut, tetapi juga berbagi cerita dan tradisi. Ini adalah tambahan tepat waktu untuk makanan lokal, mendorong makan bersama dengan orang-orang terkasih ketika banyak yang merasakan efek isolasi sosial saat pandemi berlangsung - dan memulai percakapan yang sudah lama tertunda tentang Orang Laut Singapura, satu kali makan pada satu waktu.

Negara yang maju dengan 'memaksa' warganya

Singapura berkembang dengan pesat dari hampir tidak ada apa-apa dalam 50 tahun. Dan warga negara ini dibangun, sebagian, karena dorongan. "Kopi lah," kata seorang pria tua Singapura, sambil bersandar di meja kafe. Pekerja di kios itu menyerahkan kantong berisi kopi tebal dan lembut yang dipermanis dengan susu kental. "Apakah ada orang yang pernah meminta pilihan yang lebih sehat?" Saya bertanya kepada wanita di belakang meja kasir. Dia tertawa. "Lebih baik," katanya, menyiratkan bahwa orang adalah makhluk yang memiliki kebiasaan.

Saat saya berkeliling pasar, udara penuh dengan bau mie kuah, babi panggang dan sate manis, saya memperhatikan ada stiker bundar merah di berbagai kios. "Pilihan lebih sehat tersedia di sini", tulis di satu stiker. "Kami menggunakan minyak yang lebih sehat", tulis stiker lain.

Itu adalah bagian dari Program Makanan Sehat yang dicanangkan Badan Promosi Kesehatan dengan memberikan pendanaan kepada penyedia makanan dan minuman jika mereka memberikan opsi yang lebih sehat kepada konsumen. Itu adalah sebuah indikasi yang sederhana, meski tidak signifikan, dari 'paksaan' pemerintah terhadap warganya untuk membuat pilihan yang lebih baik.

Sejak negara di ujung selatan Semenanjung Melayu itu melewati usia 50 tahun, pemerintahnya sangat semangat melihat ke luar, untuk belajar dan berkolaborasi dengan negara lain untuk membentuk masa depannya. Salah satu strateginya adalah berkolaborasi dengan Tim Wawasan Perilaku (Behavioral Insights Team) dari pemerintah Inggris, yang dijuluki "Unit Dorong" yang menggunakan "teori dorongan".

Konsep 'dorongan' didasarkan pada gagasan bahwa orang dapat membuat pilihan yang lebih baik setelah didorong dengan kebijakan sederhana sambil tetap mempertahankan kebebasan memilih mereka. Teori dorong banyak digunakan pemangku kebijakan di seluruh dunia saat ini, namun Singapura sebenarnya telah menggunakan strategi serupa jauh sebelum itu menjadi populer.

Dan untuk mengerti mengapa, Anda harus melihat kembali ke sejarah negara tersebut. Singapura dikenal sebagai lambang keteraturan dan efisiensi dan, yang lebih penting, tempat permen karet dilarang. Saat ini, negara itu menjadi salah satu pusat keuangan dunia tapi predikat tersebut diraih dengan susah payah. Setelah diusir dari Federasi Malaysia dan menyusul kemerdekaannya pada tahun 1965, Singapura ditinggalkan dengan banyak masalah sosial ekonomi.

Seiring dengan pengangguran, kurangnya pendidikan dan perumahan sub-standar, Singapura juga negara yang kekurangan sumber daya alam dan tanah. Pria yang mengemban tugas berat ini adalah mendiang Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dia menyadari bahwa Singapura harus berubah agar bisa berkembang. "Kami tahu bahwa jika kami sama seperti tetangga kami, kami akan mati. Karena kami tidak dapat menawarkan apa yang mereka tawarkan, jadi kami harus menghasilkan sesuatu yang berbeda dan lebih baik dari pada yang mereka miliki. Itu berarti tidak korupsi. Itu berarti efisien, itu berarti meritokratis, itu berhasil," katanya seperti dirilis New York Times.

Dan untuk membuatnya berhasil, pemerintah harus mengambil kendali untuk mengembangkan masyarakat dengan memenuhi kebutuhan material masyarakat. Mereka membangun perumahan sosial bertingkat yang disebut HDB, industrialisasi, dan masuknya investasi asing yang menciptakan lapangan kerja. Perlahan, bangsa ini mulai terbentuk.

Sejumlah kampanye publik diciptakan untuk meletakkan fondasi sekaligus menciptakan rasa identitas sosial pada masyarakat yang beragam dan multikultural. Kampanye awal adalah tentang memperbaiki kebersihan dan higienitas lingkungan. "Keep Singapore Clean" (Jaga Kebersihan Singapura) dan "Plant Trees" (Tanamlah Pohon) adalah slogan umum yang mempelopori kampanye-kampanye tersebut.

Kampanye lain fokus pada keluarga berencana yang mendesak orang untuk "Stop at 2" (Dua anak cukup). Seiring semakin makmurnya Singapura, Kampanye Kesopanan Nasional dilaksanakan sekaligus mendorong orang berbicara bahasa Mandarin untuk menciptakan masyarakat yang lebih kohesif, tenggang hati dan beradab. Pada tahun 1986, Lee Kuan Yew mengatakan, "Saya sering dituduh mencampuri kehidupan pribadi warga negara. Ya, jika saya tidak melakukannya, jika saya tidak pernah melakukannya, kami tidak akan berada di sini hari ini..."

"Kami tidak akan mengalami kemajuan ekonomi, jika kami tidak melakukan intervensi atas hal-hal yang sangat pribadi - siapa tetangga Anda, bagaimana Anda hidup, kebisingan yang Anda buat, bagaimana Anda meludah, atau bahasa apa yang Anda gunakan. Kami memutuskan apa yang benar."

Strategi ini berhasil dalam kurun waktu 50 tahun, dan ekonomi Singapura telah menjadi salah satu yang paling inovatif dan ramah terhadap bisnis di dunia. Tapi meski Singapura masih menyukai kampanye publik, negara ini beralih ke pendekatan yang lebih tidak menyolok yang mempengaruhi perilaku penghuninya. Memaksa penduduk bukanlah unik ke orang Singapura saja. Lebih dari 150 pemerintahan di seluruh dunia telah mencoba pemaksaan sebagai pilihan yang lebih baik.

Sebuah pusat medis di Qatar, misalnya, berhasil meningkatkan pengambilan skrining diabetes dengan menawarkan untuk menguji orang selama bulan Ramadan. Karena orang sedang berpuasa, kerumitan karena harus tidak makan sebelum pengujian telah dihapus. Itu nyaman dan tepat waktu, dua komponen kunci untuk sebuah dorongan yang sukses.

Kota-kota di Islandia, India dan Cina telah mencoba 'zebra cross terapung' - ilusi optik tiga dimensi yang membuat penyeberangan terlihat seperti mengambang di atas tanah yang dirancang untuk mendesak pengemudi melambat. Kemudian, untuk membuat orang membayar pajak di Inggris, orang-orang dikirimi sepucuk surat yang mengatakan bahwa mayoritas pembayar pajak membayar pajak mereka tepat waktu yang hasilnya sangat positif. Menggunakan norma sosial membuat orang ingin menyesuaikan diri.

Di Singapura beberapa dorongan yang Anda temukan sangat sederhana. Sampah sampah ditempatkan jauh dari halte bus untuk memisahkan perokok dari pengguna bus lainnya. Tagihan listrik dan air menampilkan perbandingan konsumsi energi Anda dengan tetangga Anda. Gym luar ruangan dibangun di dekat pintu masuk dan keluar dari kompleks HDB sehingga mudah digunakan, tersedia dan cukup menonjol untuk secara konsisten mengingatkan Anda.

Stasiun kereta api memiliki panah hijau dan merah di peron yang menunjukkan di mana Anda harus berdiri untuk mempercepat proses naik-turun ke kereta. Jika Anda memilih untuk melakukan perjalanan di luar waktu puncak (sebelum 07.00), tarif Anda dikurangi. Dan dengan enam dari 10 orang Singapura makan di pujasera empat kali atau lebih dalam seminggu, membuat orang makan lebih sehat juga menjadi prioritas.

Selain Program Makanan Sehat, beberapa tempat menjual makanan sehat lebih murah. Jika Anda memutuskan untuk memakan bihun goreng di Rumah Sakit Khoo Teck Puat, misalnya, Anda harus membayar lebih untuk itu. Tantangan Langkah Nasional (National Steps Challenge), yang mendorong peserta untuk berolahraga dengan menggunakan loket 'langkah bebas' dengan imbalan uang tunai dan hadiah, sangat sukses sehingga nama programnya telah menjadi merek dagang.

Bentuk program yang dijadikan permainan ini adalah salah satu cara yang lebih berhasil dalam melibatkan pengguna dalam mencapai tujuan. Antrean panjang untuk mengumpulkan pelacak kebugaran gratis menunjukkan popularitas program. Dan bukan hanya dengan cara nyata saja dorongan ke warga ini diberikan. Warga negara membayar program tabungan wajib yang disebut Central Provident Fund dengan tingkat pengembalian yang tinggi.

Ini dapat diakses untuk perawatan kesehatan, perumahan dan pensiun sebagai cara membuat orang menabung dalam jangka panjang karena bukti telah menunjukkan bahwa orang berpikir terlalu pendek dalam hal pembiayaan masa depan mereka. Dan ketika pemerintah bertujuan untuk meningkatkan populasi sebanyak 30% pada tahun 2030, Skema Bonus Bayi diciptakan demi mendorong orang tua memiliki lebih banyak anak dengan menawarkan insentif tunai.

Diperkenalkan pada tahun 2001, skema ini berarti bahwa semua warga Singapura yang memiliki bayi mendapat hadiah uang tunai dan juga uang yang dimasukkan ke Akun Perkembangan Anak (Child Development Account, CDA) yang dapat digunakan untuk membayar perawatan anak dan perawatan kesehatan. Semakin banyak anak yang Anda miliki, semakin banyak uang yang Anda dapatkan. Ssejak Maret 2016 Anda mendapatkan hadiah uang tunai sebesar SG$8.000 (Rp80 juta) untuk anak pertama Anda dan hingga SG$10.000 (Rp100 juta) untuk anak ketiga dan berikutnya, serta uang ke CDA Anda.

Jadi apakah orang suka didorong? Adakah perbedaan budaya dalam cara orang bereaksi karena diarahkan terhadap pilihan atau perilaku yang 'lebih baik'? Mengingat luasnya penggunaan wawasan perilaku internasional, hanya ada sedikit penelitian yang dilakukan mengenai apakah orang senang dengan hal itu. Penelitian yang tersedia dari Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menyetujuinya asalkan sesuai dengan nilai dan kepentingan mereka. Misalnya, ketika membuat konten kalori lebih mudah tersedia di restoran cepat saji atau ditanya apakah Anda ingin menjadi donor organ saat mendapatkan SIM, orang sangat mendukung.

Dalam sebuah penelitian yang melihat bagaimana orang-orang di Australia, Brasil, Kanada, Cina, Jepang, Rusia, Afrika Selatan, dan Korea Selatan bereaksi, hasilnya sebagian besar berkorelasi dengan hasil di Eropa dan Amerika Serikat dengan beberapa pengecualian. Cina dan Korea Selatan menunjukkan "tingkat persetujuan yang tinggi secara spektakuler" sementara Jepang menunjukkan "persetujuan yang jauh lebih rendah" sesuai dengan hasil dari Denmark dan Hungaria dalam sebuah studi di Eropa.

Meskipun tidak ada penelitian yang pasti mengenai mengapa hal ini terjadi, hal ini menyiratkan bahwa dukungan untuk dorongan ke warga lebih tinggi di negara-negara di mana isu yang ditangani menjadi perhatian langsung warga negara - polusi udara di Cina misalnya. Selain itu korelasi potensial juga ditarik antara dukungan untuk dorongan ke warga dan tingkat kepercayaan pada pemerintah. Hungaria, yang memiliki tingkat dukungan terendah untuk dorongan ke warga, juga memiliki tingkat kepercayaan yang rendah kepada pemerintahannya - hanya 28% menurut OECD. Cina, di sisi lain, memiliki sikap positif terhadap dorongan ke warga dan juga tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah.

Meskipun Singapura tidak termasuk dalam studi di seluruh dunia, tingkat kepercayaan pada pemerintah tinggi dan mungkin mengindikasikan bahwa dukungan untuk dorongan ke warga juga tinggi. Lantas apa masa depan untuk dorongan ke warga di Singapura? Menurut Innovation Lab - tim multi-disiplin dalam Divisi Layanan Publik yang merancang kebijakan dan layanan publik dari sudut pandang warga dan pemangku kepentingan - masa depan bersifat digital.

Penduduk asli Singapura berasimilasi dengan budaya Melayu, tapi suku Orang Laut ini semakin terlupakan dan kehilangan bahasanya. (Foto. Geoffrey Benjamin)

Seorang juru bicara mengatakan bahwa warga mengharapkan layanan publik mengejar atau bahkan lebih baik dari sektor swasta terkait layanan digital. Orang sudah menggunakan perangkat seperti chat bots dan realitas virtual di sektor swasta. Mereka ingin sektor publik mengikutinya. Sepertinya layanan publik mengacu pada pengalaman orang-orang di sektor komersial.

Cara kita terlibat dengan dunia menjadi lebih cepat, lebih berteknologi tinggi dan bisa dibilang lebih banyak tercabut dari dunia nyata. Anda hanya perlu melihat popularitas game Pokemon Go untuk melihat kehebohan di seputar realitas virtual. Maka pemerintah Singapura pun tidak mau ketinggalan. Ketika saya kembali ke kota metropolis yang mengkilap yang dikelilingi oleh logam berkilau dan kaca setinggi 30 lantai, mudah untuk melupakan bahwa lebih dari 50 tahun yang lalu, semua ini tidak akan ada di sini, bahkan tidak akan ada tanah di beberapa daerah.

Dan meskipun tidak semua orang menyukai kontrak sosial yang intim antara negara dan warga negara, tidak dapat disangkal bahwa Singapura telah menguasai takdirnya. Melalui dorongan ke warga dan 'pilihan arsitektur' yang hati-hati, 'Little Red Dot' (julukan Singapura) ini telah membuat jalannya sendiri. (*)

Tags : Suku Laut, Singapura, Sorotan, Kemajuan Pembangunan Singapura,