Headline Nasional   2022/08/02 17:35 WIB

Kisah Pekerja Migran Indonesia, Aktivis: 'Masih Hadapi Kisih-kisih Menyakitkan'

Kisah Pekerja Migran Indonesia, Aktivis: 'Masih Hadapi Kisih-kisih Menyakitkan'

JAKARTA - Aktivis tenaga kerja migran menilai dibukanya kembali penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia mulai Senin (01/08) sebagai implementasi dari nota kesepahamahan, masih menyimpan lubang-lubang yang berpotensi terjadinya eksploitasi dan praktik perdagangan manusia.

Pemerintah Indonesia secara resmi membuka perekrutan dan penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia, setelah sempat dibekukan sekitar dua minggu.

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan pernyataan bersama terkait implementasi dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) tentang Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia, April lalu.

Di tengah kritik tersebut, pemerintah menilai, MoU itu merupakan jalan terbaik dalam rangka kehadiran negara untuk memberikan perlindungan bagi PMI.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah PMI di Malaysia mencapai 1,6 juta pekerja prosedural. Sementara itu, jika dijumlah dengan pekerja unprosedural, mencapai lebih dari dua juta orang.

Bahkan menurut catatan Kemlu, terjadi peningkatan keberangkatan PMI ilegal, hingga 146% dari tahun 2020 ke tahun 2021.

‘Ditahan dua bulan’  

Di tengah semangat perekrutan dan penempatan PMI ke Malaysia yang dibuka Senin 1 Agustus 2022, salah seorang pekerja, Maria Oktaviana Leoklaran mengaku ditahan hingga dua bulan di rumah agensi penyalur tenaga kerja di Johor Baru, Malaysia.

Ia bersama tiga perempuan PMI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah memperpanjang paspor tidak juga dipulangkan oleh agensi. Padahal, kata Maria, mereka telah mengeluarkan uang hingga Rp20 juta.

“Alasannya agen macam-macam, dari bilang imigrasi belum buka, minta uang untuk tiket dan imigrasi, hingga suruh kami ikut jalur gelap. Kami tidak mau lah,” kata Maria sdirilis BBC News Indonesia, Senin (01/08).

“Agen mau tunggu orang masuk dulu dari Indonesia, baru kami boleh balik ke Indonesia, selalu banyak alasan,” tambahnya.

Maria bersikukuh ingin pulang karena selama lima tahun bekerja di Malaysia tidak diizinkan memegang telepon dan merindukan keluarganya di Atambua.

Namun jalan untuk pulang ke kampung halaman, ujarnya, begitu sulit dilakukan akibat tidak adanya prosedur jelas yang harus dilalui.

"Tidak ada masalah gaji, kekerasan, paling kata-kata kasar dari agen. Kami mau pulang, saya rindu rumah,” ujar yang bekerja sebagai pengurus orang tua di Malaysia.

‘Lubang eksploitasi’

Maria merupakan salah satu contoh dari PMI yang belum mendapatkan hak-hak dan perlindungan sebagai pekerja di Malaysia, walau MoU telah ditandatangani.

Ketua Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Kepulauan Riau yang aktif memperjuangkan hak PMI, Chrisanctus Paschalis Saturnus mengatakan, MoU Indonesia-Malaysia masih menyimpan banyak lubang.

“Banyak lubang (MoU) yang memberi peluang bagi para mafia perdagangan manusia untuk mengeksploitasi PMI,” kata Paschalis.

Beberapa poin yang ia soroti dalam MoU itu di antaranya adalah tidak diketahuinya siapa yang mengawasi Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau One Channel System, tidak adanya kebebasan memiliki telepon dan paspor bagi PMI, serta perlindungan kesehatan tidak yang rinci.  

Masih menyoroti MoU itu, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Boby Anwar Maarif mengatakan, kedua negara juga tidak melibatkan masyarakat sipil ketika konflik dan rujuk terjadi antara majikan dan pekerja.

Hasilnya, ujarnya, pemenuhan hak-hak para PMI masih akan melewati jalan berliku.

Pentingnya sistem informasi terpadu

Bobby juga menambahkan, selain MoU, pemerintah Indonesia juga harus segera membangun sistem informasi terpadu bagi PMI.

Ketiadaan sistem saat ini, katanya, menjadi sumber persoalan terbesar, terutama dalam memarakkan praktik perdagangan manusia dan penempatan PMI unprosedural.

“Penempatan ke Malaysia banyak melalui jalur-jalur tikus, dilakukan oleh para calo. Mengakhiri itu dengan cara membangun sistem informasi terpadu,” katanya.

“Contoh baik seperti sistem pembelian tiket yang dulu semua lewat calo. Begitu sekarang lewat aplikasi, praktik calo bisa diakhiri. Jadi, kalau tidak diintegrasikan, calon PMI akan mencari jalan lewat calo, akan ada lagi unprosedural, dideportasi lagi, tidak akan tuntas,” katanya.

Gabriel Goa dari Jaringan Nasional Anti TPPO dan Zero Human Trafficking Networking menambahkan, MoU hanya akan menjadi tulisan di atas kertas, jika tidak dilakukan perbaikan di sektor hulu.

Gabriel mencontohkan, sesuai UU nomor 18 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, setiap calon PMI wajib menjalani persiapan kompetensi dan kapasitas hingga mendapatkan Sertifikat melalui Balai Latihan Kerja Luar Negeri(BLKLN).

Sementara, ujarnya, di NTT hanya ada empat BLKN di Kota Kupang, padahal ada 21 kabupaten yang menjadi kantong migrasi di NTT.

“Faktor-faktor sulit seperti ini, walaupun ada MoU, membuat mereka memilih jalur tikus, dan perdagangan manusia. Jangan hanya perbaikan di hilir saja, di SPSK, tapi juga di hulunya dengan mempersiapkan para calon PMI,” katanya.

Pemerintah: MoU, kehadiran negara dalam perlindungan

Direktur Bina Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Kementerian Ketenagakerjaan, Rendra Setiawan mengatakan MoU Indonesia-Malaysia itu merupakan salah satu keputusan terbaik yang dilakukan dalam memberikan perlindungan kepada PMI.

“Ketika suatu negara tidak memiliki aturan tertulis yang melindungi pekerja asing, kita wajib memiliki perjanjian kerja sama tertulis. Perjanjian ini menjembatani dan jalan terbaik bagaimana kita dapat memastikan kehadiran negara dalam memberikan perlindungan,” kata Rendra menjawab kritik atas MoU itu seperti dirilis BBC News Indonesia. 

Rendra menjelaskan, banyak perbaikan yang dilakukan dalam MoU tersebut. Di antaranya adalah disepakati bahwa penempatan PMI ke Malaysia wajib melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK).

Kemudian, tambahnya, setiap kontrak kerja wajib disahkan oleh surat dari perwakilan RI sebelum diterbitkannya visa kerja di Malaysia.

“MoU juga mengatur jam kerja, gaji, cuti, jam istirahat dan hal lain terkait kondisi kerja layak. Lalu, ada juga evaluasi MoU ini melalui indikator kinerja utama,” katanya.

Rendra berharap, melalui MoU ini dapat mengurangi eksploitasi dan praktik perdagangan manusia PMI di Malaysia.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Fadjar Dwi Wisnuwardhani mendorong pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan BP2MI melakukan pengawasan ketat atas implementasi MoU tersebut.

Dengan begitu, tambahnya, ada kepastian bagi semua pihak terutama calon PMI untuk dapat kembali bekerja di Malaysia.

Poin penting dalam MoU

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, terdapat poin-poin penting dalam MoU Indonesia dan Malaysia, di antaranya adalah SPSK menjadi satu-satunya kanal legal dalam perekrutan dan penempatan PMI domestik ke Malaysia.

Kemudian, penempatan PMI domestik melalui agensi perekrutan Indonesia dan Malaysia yang terdaftar, sehingga tidak ada lagi perekrutan langsung. Dan, setiap PMI hanya akan bekerja di satu tempat atau rumah.

Lalu, setiap PMI bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaanya, dan memiliki skema asuransi ketenagakerjaan serta kesehatan Malaysia dengan biaya ditanggung pemberi kerja.

Mengenai gaji, MoU juga menjelaskan bahwa besaran upah minimum sebesar Rp5,1juta.

Terakhir, proses penempatan PMI domestik akan terus dimonitor dan dievaluasi secara berkala oleh kedua pemerintah.

Pemerintah Indonesia, sejak 13 Juli lalu telah memberhentikan penempatan PMI menyusul pelanggaran yang dilakukan Malaysia terhadap MoU yang ditandatangani 1 April 2022, yaitu masih digunakannya kanal perekrutan selain SPSK, yaitu Sistem Maid Online (SMO).

Dengan sistem SMO, PMI dapat mengubah visa kunjungan menjadi visa kerja di Malaysia.

Kemudian, pemerintah Indonesia dan Malaysia kembali bertemu untuk melakukan penandatanganan Join Statement, Kamis (28/08),  terkait implementasi dari nota kesepahaman (MoU) tentang Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia.

"Kedua pihak menyetujui dimulainya kembali perekrutan dan penempatan PMI di Malaysia mulai 1 Agustus 2022, bergantung pada efektif tidaknya implementasi dari komitmen yang dibuat dalam MoU," kata Menaker Ida.

"Kedua belah pihak juga berkomitmen untuk memfasilitasi kerja sama antara lembaga jaminan sosial di Malaysia dan Indonesia dalam rangka memperkuat pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia," pungkasnya.

Ida menambahkan, MoU Indonesia-Malaysia akan menjadi tolak ukur bagi pembuatan nota kesepahaman dengan negara tujuan lain, seperti Brunei Darussalam, Taiwan, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, dan lainnya. (*)

Tags : Penyiksaan, Pekerja migran, Hak asasi,