Nusantara   2021/01/17 22:5 WIB

Pengamat Penerbangan: Boeing Sriwijaya Air Tidak Antisipasi dan Perjalanan Janggal 

Pengamat Penerbangan: Boeing Sriwijaya Air Tidak Antisipasi dan Perjalanan Janggal 
Petugas menata serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta - Pontianak yang jatuh di perairan Pulau Seribu, di Dermaga JICT, Jakarta, Senin (11/1/2021).

JAKARTA - Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan prosedur operasional fitur yang otomatis mengatur hidung pesawat, Manoeuvring Characteristics Augmentation System (MCAS), tidak dicantumkan dalam manual pilot.

Dugaan Gerry, Boeing tidak ingin pilot-pilot yang menerbangkan Boeing 737 Max menganggap pesawat jenis ini beda dengan Boeing 737 generasi sebelumnya. "Mereka (pilotnya) juga bingung ini diapakan lagi? Kejadian ini dan di Ethiopia sepertinya sama," ujar Gerry dirilis BBC News Indonesia, Selasa (12/1).

Gerry menjelaskan fitur itu akan berfungsi otomatis ketika sensor angle of attack (AOA) pesawat menunjukkan sudut yang berbahaya.  AOA adalah sudut antara sayap pesawat dan aliran udara yang melewati sayap. Jika sudut ini terlalu besar maka pesawat bisa kehilangan daya angkat. Fitur yang disebut MCAS itu seharusnya secara otomatis mendorong hidung pesawat turun. Caranya, adalah dengan menggerakan roda yang ada di sayap belakang pesawat.

Dalam kasus Boeing 737 MAX, fitur MCAS membuat roda stabilizer bergerak lalu mati secara berulang-ulang, tanpa ada input dari sang pilot. Teorinya, kata Gerry, pilot akan mematikan suplai tenaga pesawat ketika roda pesawat bergerak secara tidak wajar secara kontinyu, tanpa perintah sang pilot, suatu keadaan yang disebut 'runaway stabilizer'.

Namun, dalam kasus ini, roda bergerak, lalu mati secara berulang-ulang, membuat sang pilot tidak tahu apakah yang terjadi adalah fenomena runaway stabilizer, karena hal itu tidak tercantum dalam manual mereka. "Cara penanganannya tidak diantisipasi dengan baik oleh Boeing. Pilotnya tidak mengerti itu kenapa," ujarnya. 

Kalau dari segi kesalahan pilot, Gerry menganggap hal itu bisa diperdebatkan. Banyak pula pilot-pilot dari luar negeri yang berbahasa Inggris juga tidak paham mengenai sistem MCAS itu. Ia mengatakan tidak boleh ada satu sistem di pesawat, dalam hal ini fitur penyelamat MCAS, yang bekerja berdasarkan satu input saja, dalam hal ini input sensor AOA yang ada. Dalam pesawat itu, tidak ada ada metode untuk beritahu pilot bahwa input itu salah. "Akar permasalahannya dari desainnya itu," ujarnya. 

Seperti pesawat Sriwijaya PK-CLC sempat dikandangkan sembilan bulan dan keluar dari jalurnya saat terbang menuju Pontianak pada Sabtu siang, 9 Januari 2021. Data ini didapatkan dari hasil rekam jejak penerbangan yang dirilis Flightradar24.com. Situs pelacak penerbangan ini mengombinasikan data dari Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B), Multilateration (MLAT), dan data radar.

Ketiganya diagregasi dan dikombinasikan dengan jadwal dan status penerbangan dari maskapai dan bandara untuk menghasilkan rekam jejak. Dari data tersebut, seorang pengamat penerbangan menduga pesawat Sriwijaya PK-CLC hendak berpindah jalur dan sang pilot mengalami disorientasi. Kedua hal itu diduga membuat pesawat oleng dan terjun bebas dalam kondisi mesin masih hidup. Meski demikian, data dan dugaan ini perlu diteliti lebih jauh dan dicocokkan akurasinya dengan data rekam penerbangan dari pesawat (FDR) yang kini tengah diteliti Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Pesawat keluar jalur

Merujuk data Flightradar24, sejak kembali aktif mengudara pada 19 Desember 2020, pesawat PK-CLC terbang dengan rute yang sama sebanyak sembilan kali. Peta di bawah menggambarkan tiga penerbangan terakhir Jakarta-Pontianak, yakni pada 3 Januari 2021, 9 Januari 2021 saat pagi hari pukul 05.14 WIB dan siang hari pukul 14.36 WIB.  Apabila digabungkan dengan data prosedur keberangkatan (Standard Instrument Departure) yang dirilis Kementerian Perhubungan, tampak dua jalur yang biasa ditempuh oleh pesawat.

Jalur pertama seperti yang tergambar pada rekam penerbangan 9 Januari pagi hari (garis berwarna biru). Setelah lepas landas dari bandara, pesawat akan diarahkan menuju titik yang disebut Winar dan belok ke kanan, ke titik Arjuna. Dari Arjuna, dia kemudian bergerak ke timur laut (pada peta, ke arah serong atas kanan) menuju Pontianak. Pada beberapa kondisi, pesawat bisa diarahkan ke titik Abasa, jalur pintas. Perjalanan ini nampak pada penerbangan 3 Januari (garis berwarna hijau), yang menjadi pilihan jalur kedua.

Sesuai prosedur, perpindahan jalur ke titik Abasa biasa terjadi jika cuaca baik, tidak ada awan tebal, dan kondisi lalu lintas di udara cenderung sepi sesuai arahan Air Traffic Controller (ATC). Setelah dari Abasa, dia akan bergerak menuju destinasi. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kondisi cuaca kala pesawat terbang sedang hujan dan disertai petir dengan jarak pandang sejauh 2 kilometer. Meski demikian, cuaca ini dikategorikan layak terbang atau mendarat.

Upaya perpindahan jalur ke Abasa diduga dilakukan oleh sang pilot pada penerbangan 9 Januari siang hari, sebelum kecelakaan terjadi. "Diarahkan ke jalur pintas itu bukan masalah dan wajar, tapi belum sampai (jalur pintas), dia terus oleng dan jatuh," ujar pengamat penerbangan Gerry Soejatman. Pada peta tersebut, fase oleng dan jatuh tampak saat pesawat sempat kehilangan arah saat menuju Abasa.

Alih-alih berbelok ke arah timur laut posisi titik Abasa, ia justru sempat berbelok ke arah barat jalur normal dan kemudian tak lama kembali ke timur, dan jatuh. Pada saat membelok ini, ketinggian pesawat menurun dari 3.322 meter di atas permukaan laut (mdpl), ke posisi 2.476 meter dalam waktu 10 detik.

Dugaan disorientasi

Dari data yang sama, apabila digambarkan dalam bentuk tiga dimensi seperti video di bawah menggunakan data ketinggian pesawat, maka akan tampak arah jalur pesawat yang tak beraturan saat oleng dan jatuh. Gerry memperkirakan, sang pilot mengalami disorientasi. Meski demikian, ia menjelaskan, hal ini bersifat dugaan dan perlu dicocokkan dengan data penerbangan dari pesawat. Terlebih, kecelakaan pesawat tidak hanya terjadi karena satu faktor penyebab. "Ada kemungkinan disorientasi atau human factors. Tapi saya juga tidak bisa memastikan kapan disorientasi dimulai," kata Gerry.

"Analogi disorientasi itu kalau jalan di ruangan gelap dan mata ditutup, kita berpikir ini tegak tapi ternyata miring, berpikir naik tapi ternyata turun. Sekalipun pilot senior bisa disorientasi."

Mengutip laman Federation Aviation Administration, disorientasi ruang terjadi karena ketidakmampuan tubuh untuk mengidentifikasi kondisi sekitar saat terbang. Gangguan sistem keseimbangan tubuh bisa terjadi karena adanya gangguan sensor dan ilusi. Tiga rangsangan sensorik yang berperan membentuk keseimbangan tubuh di antaranya penglihatan, saraf vestibular di telinga bagian dalam, dan proprioception atau persepsi rangsangan untuk mengetahui posisi tubuh.

Orientasi ruangan saat terbang sulit dicapai, tergantung dari arah, kekuatan, dan frekuensi stimulus ketiga sensor. Jika ketiganya tidak bekerja dengan baik, maka akan terjadi konflik sensorik yang menyebabkan otak tidak bisa mengidentifikasi arah dan posisi. "Itu kenapa saat terbang harus mengandalkan instrumen dan manual," katanya.

Statistik FAA menunjukkan sebanyak 5% hingga 10% kecelakaan pesawat terjadi karena disorientasi dan mayoritas mengakibatkan korban jiwa. Disorientasi pernah dialami sang pilot Ethiopian Airlines 409 tipe Boeing 737-800 yang jatuh di Beirut, Lebanon pada 2010 silam. Merujuk laporan investigasi yang diterbitkan, pada saat kejadian malam hari, situasi cuaca sedang tidak mendukung dengan awal tebal yang menyebabkan langit terlihat hitam pekat.

Mulanya, sudut kemiringan pesawat terlalu ke kanan pada saat terbang sesaat setelah lepas landas. Kemudian, alarm berbunyi agar menstabilkan kondisi. Pilot menggeser ke kiri untuk menyeimbangkan, tapi kemudian justru sudut kemiringan yang diambil melebihi batas dan pesawat tidak seimbang. "Ethiopian Airline 409 ini jatuhnya sama (dengan Sriwijaya PK-CLC). Setelah take-off, dia belok ke kanan, itu mulai disorientasi, kemudian belok ke kiri," katanya.

Jatuh ke laut saat mesin belum mati

Si burung besi yang berusia 26 tahun ini tercatat terjun bebas dari puncak ketinggian 3.322 mdpl hingga 76 mdpl sebelum akhirnya hilang kontak. Pada saat menyentuh air, diduga mesin pesawat belum mati sehingga masih mengirimkan data koordinat, ketinggian, dan kecepatan. Data radar (ADS-B) yang diperoleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dari Airnav Indonesia juga menunjukkan demikian. "Dari data ini kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," merujuk rilis Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono.

Seberapa cepat pesawat terjun bebas? Menilik data Flightradar24, kecepatan vertikal (vertical speed) pesawat puncaknya hingga -30.000 kaki per menit (fpm). Angka minus dalam data tersebut, menunjukkan pesawat terjun bebas. Saat terjadi puncak kecepatan vertikal, pesawat berada di ketinggian 8.125 kaki atau sekitar 2.476 mdpl, pada pukul 14:40:16 WIB.

Secara matematis, dengan kecepatan tersebut, ia hanya membutuhkan 16 detik untuk menyentuh air. Tapi, kenyataannya, baru 11 detik dia sudah hampir jatuh ke laut, berada di ketinggian 76 mdpl. "Kalau misal sampai secepat itu, sepertinya dia jatuh ke laut dengan tenaga. Kalau mesin mati, dia tidak bisa turun secepat itu," kata Gerry.

Yang perlu dicermati dari data tersebut, pesawat sempat mengirimkan data radar dengan kecepatan vertikal bernilai positif, 20.000 fpm, setelah terjun bebas. Nilai positif bisa diartikan posisi pesawat menanjak. Tapi, dalam konteks pesawat PK-CLC, belum tentu pesawat sempat menanjak setelah terjun bebas. "Vertical speed itu penghitungan berbagai variabel yang dikirim pesawat. Kalau setelah jatuh itu ada nilai positif 20 ribu, itu sudah melebihi batas kemampuan alat itu memberikan angka yang akurat, sehingga tidak mungkin climbing (naik)," kata Gerry.

"Dugaannya, ada serpihan pesawat yang mental (dan mengirimkan data). Tapi masa sampai kecepatan 20 ribu? Itu yang harus diteliti."

Kejadian serpihan pesawat yang terpental kemudian mengirim data pernah dialami Air France 447 yang melayani rute Rio de Janeiro, Brasil menuju Paris, Prancis pada 2009 silam. "Saat dia jatuh kena air, dia masih mengirim data Cabin Pressurization (tekanan udara di kabin). Kondisi pesawat saat itu sudah terbelah, listrik putus, tapi alat belum mati karena antena belum kehabisan listrik. Pas dicek dengan FDR (data penerbangan), dia sudah pecah pada saat mengirim data," katanya.

Dikandangkan sembilan bulan

Terlepas dari berbagai anomali, menurut Gerry, temuan ini hanya berupa dugaan dari data. Seluruh dugaan ini perlu diteliti mendalam dengan data rekam penerbangan yang dimiliki pesawat, FDR. Lantas, bagaimana rekam jejak penerbangan si pesawat?

Pesawat ini dikandangkan selama sembilan bulan, sejak 23 Maret 2020 hingga 18 Desember 2020. Sejak mulai beroperasi setelah absen beroperasi, pesawat ini telah melakukan perjalanan selama 144 jam 20 menit selama sebulan terakhir.  Dari data Flightradar24.com, sejak 23 Oktober 2020 hingga 18 Desember, mesin pesawat sempat dipanaskan selama 10 kali; empat kali di bengkel Merpati Maintenance Facility di Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, dan enam kali diterbangkan di sekitar bengkel hingga Jalan Raya Juanda.

Sehari sebelum penerbangan komersial pertama dilakukan setelah dikandangkan, pesawat ini sempat terbang rendah pada ketinggian 60 meter, pada 18 Desember 2020 sekitar pukul 18:00 WIB. Penerbangan pertama setelah lama absen beroperasi adalah pada 19 Desember, dari Surabaya menuju Jakarta, menempuh perjalanan selama 1 jam 9 menit. Keesokan harinya, pada Desember 2020, pesawat ini mulai sibuk terbang melayani enam rute: Jakarta-Pontianak-Jakarta-Pangkal Pinang-Jakarta-Yogyakarta-Jakarta. Selama sebulan terakhir, pesawat ini melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pontianak sebanyak 9 kali dan Pontianak ke Jakarta sebanyak 11 kali.

'Pesawat laik terbang'

Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson dan Kementerian Perhubungan melalui rilis resmi menjelaskan pesawat jenis Boeing 737-599 itu disebut laik terbang dan memiliki Seritifkat Kelaikudaraan atau Certificate of Airworthiness yang berlaku hingga 17 Desember 2021. Jefferson juga menjelaskan Sriwijaya Air telah menjalani audit keamanan dan keselamatan yang diselenggarakan oleh BARS (Basic Aviation Risk Standard) yang independen serta berlaku secara internasional sejak bulan Maret 2020.

Audit yang dilakukan BARS meliputi "keselamatan, kualitas sistem manajemen, manual operasi, lisensi dan data pelatihan awak penerbangan serta pengawasan terhadap pesawat dan suku cadang". Terkait dengan temuan perubahan jalur dan dugaan disorientasi, BBC sudah berusaha menghubungi Sriwijaya melalui telepon seluler atau surat elektronik.Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Jauwena, Senior Corporate Communication Theodora Erika dan Vice President Corporate Secretary Air Adi Wili, untuk menanggapi temuan tersebut dalam rilisnya menyebutkan harapannya agar proses investigasi yang dilakukan KNKT segera diungkap, "dan menjadi panduan dunia aviasi ke depannya, sehingga bisa menghentikan seluruh spekulasi yang beredar di masyarakat." 

Investigasi KNKT

Pada Selasa (12/1), tim gabungan telah menemukan FDR dari pesawat PK-CLC di perairan Laut Jawa dan masih terus mencari Cockpit Voice Recorder (CVR). Dua benda ini yang akan dijadikan sumber analisis penyebab kecelakaan. "Data-data yang beredar (luas di media sosial) harus divalidasi, harus dicek sumber dan kebenarannya. Data yang beredar belum divalidasi. KNKT hanya akan memberikan pernyataan berdasarkan hasil pemeriksaan Black Box," kata Soerjanto.

Dalam waktu 30 hari, KNKT akan memberikan laporan awal investigasi. Dalam laporan, tim akan mengungkap penyebabnya jatuh, sumber masalah, dan pemeliharaan pesawat.

Persiapan terbang saat pandemi

Pandemi berdampak pada industri aviasi, termasuk pesawat dikandangkan dan sejumlah kru penerbangan tidak terbang. Selama pandemi, federasi penerbangan IATA telah mengimbau maskapai penerbangan untuk mengidentifikasi risiko dan mengecek pesawat yang akan kembali beroperasi setelah lama dikandangkan.

Beberapa risiko yang muncul di antaranya bisa dari beragam faktor, misal kondisi pesawat, bandara, dan faktor manusia, mulai dari pilot hingga kru penerbangan. Dalam bagan analisis risiko penerbangaan saat pandemi yang dibuat oleh IATA, masalah faktor manusia juga menjadi pertimbangan, seperti kelelahan, kehilangan konsentrasi, stress, dan lemas.

Selain itu, potensi untuk berkurangnya keahlian, keterampilan soal keselamatan, dan kepercayaan diri saat penerbangan selama masa pandemi juga bisa terjadi. Terlebih, jika beban kerja berlebihan menghantui. Mitigasi yang dapat dilakukan di antaranya dengan memberikan pelayanan dukungan mental serta memberikan pengarahan dan komunikasi rutin kepada awak kabin dan kru pesawat yang akan bertugas terkait prosedur penerbangan.

Selain itu, maskapai juga diminta untuk memberikan pelatihan kepada para pimpinan untuk menerapkan pendekatan berbasis empati untuk mengelola tim dan performa selama pandemi. (*)

Tags : Pengamat Penerbangan, Boeing Sriwijaya Air,