JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan dan pakar hukum perburuhan meminta perusahaan aplikasi memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerjanya meskipun status mereka mitra atau pekerja di luar hubungan kerja.
Pakar perburuhan dari UGM, Nabiyla Risfa Izzati, mengatakan tunjangan hari raya tak bisa dipandang sempit sebatas aturan hukum saja. Tapi itu adalah hak pekerja yang semestinya diberikan terlepas apakah orang tersebut mempunyai hubungan kerja atau tidak.
Apalagi keberadaan mereka, sambung Nabiyla, telah menggerakkan ekonomi digital di Indonesia dan jumlahnya terus bertambah.
Menanggapi hal ini Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza R. Munusamy, berkata pihaknya menyediakan insentif khusus hari raya Idulfitri yang akan diberikan kepada para mitra di hari pertama dan kedua lebaran. Namun dia tidak menjelaskan bentuk insentif tersebut.
Sementara itu, seorang pengemudi ojek daring menyatakan sebagai ujung tombak ekonomi digital sudah sepantasnya mereka menerima THR.
Pengemudi ojek online di kawasan Jakarta Pusat, Afung, mengaku senang sekaligus gundah tiap kali jelang hari raya Idulfitri.
Senang karena jelang Lebaran biasanya pesanan berupa barang yang harus diantar ke rumah konsumen bakal membludak, tapi di sisi lain dia merasa jerih payahnya tak dihargai.
Ia bercerita sudah tujuh tahun bekerja sebagai mitra pengemudi di salah satu perusahaan aplikasi terbesar di Indonesia, namun tak pernah sekalipun mendapatkan insentif atau uang penghargaan atas loyalitasnya selama ini.
Sementara tiap kali Idulfitri, dia selalu berharap menerima tunjangan layaknya pekerja lain di Jakarta.
"Harusnya [dapat THR] karena misalnya nih saya sudah tujuh tahun lebih kerja di sini. Tidak pernah dapat masalah, barang yang dikirim enggak pernah hilang semahal apapun. Harusnya orang kayak saya dong yang diperhatikan," ujar Afung seperti dirilis BBC News Indonesia.
"Apalagi sekarang harga-harga kebutuhan sehari-hari makin mahal," sambungnya.
Afung hanya punya satu aplikasi dan menjadi tumpuannya mencari duit.
Ia bercerita pesanan yang masuk ke telepon genggamnya tak pasti. Ada kalanya ramai, tapi kadang sepi.
Dia masih ingat di pekan lalu, selama tiga hari berturut-turut sama sekali tak dapat satupun pesanan penumpang maupun antar barang.
Afung mengaku tak tahu pasti apa penyebabnya, apakah karena sinyal atau sistem pesanan si aplikasi yang bermasalah.
"Siang ini baru dapat dua penumpang... minggu lalu tiga hari berturut-turut kosong. Minggu sebelumnya lagi cuma dapat Rp300.000 padahal wajarnya Rp600.000."
Yang bikin tambah jengkel, potongan untuk aplikasi belum juga turun alias masih 20%. Padahal ketentuan Kementerian Perhubungan, biaya sewa penggunaan aplikasi sebesar 15%.
"Dikurangin kek 5% atau 10%, itu aja enggak mau. Enggak mau rugi [aplikasi]. Padahal kita yang cari pesanan, kasih pemasukan ke mereka, modal pribadi."
Tapi Afung masih menaruh harapan pendapatannya meningkat di hari raya kali ini. Sebab kebiasaan dari tahun ke tahun, dua minggu jelang Lebaran pesanan yang masuk bisa tiga atau empat kali lipat dari biasanya.
"Pesanan antar barang banyak kalau sudah mau lebaran. Mungkin kurirnya ada yang mudik kan, jadi pesanan paker dari e-commerce masuk."
Pengemudi ojek daring lainnya, Vicky, juga berharap menerima tunjangan hari raya dari perusahaan aplikasi tempatnya bekerja.
Bapak dua anak ini mengaku bergabung dengan salah satu aplikator terbesar di Indonesia sejak 2018. Selama itu, akunnya tak pernah dibekukan.
"Memang kita sudah dibayar oleh konsumen, tapi [kalau dapat THR] bakal membantu banget pengemudi yang istilahnya lagi susah," ucap Vicky.
"Cuma saya yakin enggak bakalan [dikasih THR]. Tinggal pemerintahnya kuat enggak melawan perusahaan aplikasi itu."
Kini Vicky hanya bisa berusaha bagaimana mendapatkan pesanan lebih banyak. Meskipun tak memasang target, namun setidaknya setiap hari bisa membawa pulang uang Rp100.000-Rp200.000.
"[Pesanan] pasti lebih banyak, soalnya aktivitas tambah banyak kayak pengantaran paket... biasanya yang non-muslim kadang kasih bingkisan ke teman-temannya. Biasanya seminggu sebelum Lebaran, mulai banyak orderan."
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Kemnaker, Indah Anggoro Putri, sebelumnya mengatakan pengemudi ojek daring dan kurir berhak mendapatkan THR keagamaan.
Dia merujuk pernyataanya pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan nomor 2 tahun 2024 tentang pelaksanaan pemberian THR keagamaan bagi pekerja/buruh di perusahaan.
Di Surat Edaran tersebut tertulis bahwa THR keagamaan bagi pekerja merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja/buruh dan keluarganya dalam menyambut hari raya keagamaan.
Lebih rinci, berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan dan Permen Ketenagakerjaan nomor 6 tahun 2016 tentang THR maka pemberian THR merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.
Pemberian THR tersebut, menurut surat itu, dilaksanakan dengan ketentuan THR diberikan kepada:
Tunjangan tersebut wajib dibayarkan paling lama tujuh hari sebelum hari raya.
Pakar hukum perburuhan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izzati, mengatakan kalau membaca surat edaran itu maka sebetulnya tidak ada perubahan berarti dari surat yang diterbitkan tahun sebelumnya.
Isi surat tersebut, katanya, "tidak mencerminkan pernyataan bahwa pekerja di luar hubungan kerja seperti pengemudi ojek daring atau kurir logistik bisa mendapatkan THR."
Sebab yang diatur hanya pekerja kontrak, karyawan tetap, dan pekerja harian lepas.
"Jadi soal ruang lingkup dan siapa yang bisa mendapatkan THR, sama saja aturannya seperti yang sudah-sudah. Di mana pengemudi ojek online tidak masuk kriteria itu. Saya melihat pernyataan Ibu Dirjen misleading, memberikan harapan palsu," jelas Nabiyla.
Kendati demikian, Nabiyla berkata pengemudi ojek online semestinya bisa mendapatkan THR karena bagaimanapun itu adalah hak pekerja pada umumnya.
Terlepas apakah pekerja tersebut mempunyai hubungan kerja atau tidak.
"Maka pemberian THR harus dilihat dalam karakterisasi mereka sebagai pekerja dan itu adalah hak pekerja mendapatkan tunjangan hari raya di Indonesia."
Nabiyla juga menjelaskan, pemberian THR merupakan bagian penting dari perlindungan pekerja. Ketika mereka tidak mendapatkan, maka situasi pekerja semakin berbahaya.
Apalagi menurutnya, keberadaan bisnis seperti Gojek atau Grab sudah bertahun-tahun di Indonesia. Yang artinya dari kacamata ekonomi digital sudah bisa dibilang "suistain".
Itu mengapa dia menilai perusahaan aplikasi seharusnya memberikan THR.
"Karena ini soal kemauan pemberi kerja. Kebijakan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja sangat mungkin dilakukan. Selama ini mereka mengeklaim sudah memberikan insentif-insentif, tapi kita tidak tahu apakah benar dilakukan."
"Sayangnya selama bukan kewajiban, maka pekerja tidak bisa menuntut platform memberikan insentif lebaran atau THR."
Nabiyla mendesak Kemnaker untuk segera menggolkan peraturan yang melegalkan status mereka sebagai tenaga kerja di luar hubungan kerja, bukan lagi mitra.
Dengan begitu hak-hak mereka memperoleh jaminan keselamatan kerja bisa diperoleh. Termasuk tunjangan hari raya.
"Kita sudah terlalu dalam berada di kekosongan hukum soal hubungan kemitraan yang bermasalah. Bahwa mereka tidak punya perlindungan apapun."
Meski belum terdapat data pasti, laporan Fairwork Indonesia menyebutkan terdapat lebih dari 2,5 juta pekerja gig berbasis sepeda motor dan seperlima dari populasi Indonesia pernah menggunakan salah satu dari layanan besar berbasis sepeda motor.
Laporan lain menunjukkan jumlah total pengemudi ride-hailing (berbagi tumpangan) di semua platform di Indonesia mencapai empat juta pada tahun 2020.
Angka itu, menurut Fairwork Indonesia, mewakili 5% dari angkatan kerja Indonesia --jumlah yang sangat besar dengan mayoritas pekerja tinggal di perkotaan.
"Bayangkan sudah jumlah pekerjanya terus bertambah, tapi pemerintahnya malah tidak peduli," tutur Nabiyla.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, mengakui Surat Edaran teranyar itu memang tidak memuat kewajiban pemberian THR kepada pengemudi ojek daring.
Sebab yang diatur hanya pekerja kontrak, karyawan tetap, dan pekerja harian lepas. Intinya pekerja yang mempunya hubungan kerja, kata Dita.
Tapi terlepas dari itu, dia menilai pekerja seperti pengemudi ojek daring maupun kurir semestinya menerima tunjangan.
"Kasihan kan mereka enggak dapat. Kami tiap tahun terus mengimbau perusahaan aplikator untuk memberikan THR kepada para ojolnya, apapun bentuknya, berapa jumlahnya, dan bagaimana mekanismenya silakan disepakati bersama," jelas Dita.
"Ya paling tidak nilainya sesuai kepantasan."
Dita mengeklaim pihaknya telah melakukan pendekatan kepada sejumlah perusahaan aplikasi maupun jasa kurir agar mau memberikan tunjangan atau insentif.
Toh, katanya, jelang Idulfitri perusahaan-perusahaan itu akan mendapatkan pemasukan lebih besar karena banyaknya pengantaran dan pesanan.
"Masak sih enggak mau berbagi? Ini ada jutaan keluarga mau mudik pakai motor, masak enggak bantu?"
Menanggapi hal ini, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza R. Munusamy, mengatakan sesuai dengan Permenaker nomor 6 tahun 2016 tentang THR Keagamaan, Grab Indonesia akan memberikan tunjangan hari raa kepada pekerja yang mempunyai hubungan kerja konvensional dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Namun, sambungnya, dalam semangat kekeluargaan di bulan yang baik ini, Grab menyediakan insentif khusus hari raya Idulfitri yang akan diberikan kepada para mitra di hari pertama dan kedua Lebaran.
Hal ini, sebutnya, juga sesuai dengan imbauan dari Kemnaker bahwa bentuk, besaran, serta mekanisme tunjangan hari raya dapat diberikan dalam berbagai bentuk dan disesuaikan oleh masing-masing aplikator.
Hanya saja, dia tidak menjelaskan dengan rinci bentuk insentif khusus yang diberikan kepada mitra pengemudinya.
Pada tahun lalu, Kementerian Ketenagakerjaan sudah merampungkan Permenaker tentang perlindungan tenaga kerja luar hubungan kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi.
Aturan tersebut akan menjadi standar baku untuk menyusun perjanjian kerja atau kontrak antara platform dengan pengemudi atau kurir.
Semisal pengaturan jam kerja yang tidak boleh melebihi 12 jam tiap hari, pengemudi ojol berhak atas libur dan waktu istirahat.
Kemudian pengemudi ojol mesti didaftarkan sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan untuk memberikan perlindungan.
Alasannya kata sumber tersebut karena diklaim akan membuat usaha kecil dan menengah atau UMKM tidak bertumbuh lantaran harga produk yang dijual bakal lebih mahal. (*)
Tags : Bisnis, Ekonomi, Teknologi, Aplikasi, Transportasi, Pekerjaan, Indonesia, Penganggura, E-commerce,