Seni Budaya   2021/12/29 13:26 WIB

Perang Melawan Kebiasaan Meludah di Tempat Umum, Demi 'Menghindari Tuberkulosis-Covid'

Perang Melawan Kebiasaan Meludah di Tempat Umum, Demi 'Menghindari Tuberkulosis-Covid'
Ilustrasi bahaya meludah di tempat umum.

SENI BUDAYA - Raja dan Priti Narasimhan memulai perjalanan keliling India dengan membawa satu pesan: berhenti meludah di tempat umum.

Pasangan itu membawa pengeras suara dan menyuarakan pesan mereka dari dalam mobil yang dipenuhi slogan-slogan anti-meludah.

Jika Anda pernah mengunjungi India, Anda pasti mengerti apa yang dihadapi Raja dan Priti Narasimhan. Di India, air liur menghiasi jalanan.

Kadang-kadang polos dan berlendir, kadang-kadang berwarna merah seperti darah karena mengunyah sirih atau paan, campuran sirih dengan pinang atau tembakau. Air liur itu 'menghiasi' dinding-dinding, mulai dari yang sederhana sampai bangunan besar. Bahkan jembatan howrah yang bersejarah di kota Kolkata.

Pasangan itu berkeliling India untuk melindungi jalan-jalan, gedung-gedung, dan jembatan dari air liur masyarakat. Raja dan Priti tinggal di kota Pune, dan telah ditunjuk sebagai pejuang melawan momok meludah sejak 2010. 

Lokakarya, kampanye daring dan luring, upaya pembersihan bersama kotamadya setempat, semuanya sudah mereka lakukan. Raja bercerita, suatu hari mereka mengecat dinding di stasiun kereta api Pune yang dipenuhi noda paan, tapi dalam tiga hari, orang-orang sudah meludahinya lagi. "Tidak ada alasan untuk meludahi dinding!," kata Raja seperti dirilis BBC.

Namun, selama ini, orang-orang tidak peduli dengan teguran Raja dan Priti, beberapa bahkan marah. Raja ingat ada seorang pria yang bertanya kepadanya: "Apa masalahmu? Apakah bangunan ini milik ayahmu?"

Namun, gelombang Covid-19 yang melanda India telah mengubah beberapa hal, kata Raja. Beberapa orang yang terbiasa meludah bahkan telah meminta maaf.

"Ketakutan terhadap pandemi membuat mereka berpikir," katanya.

'Negara yang suka meludah'

Perjuangan India melawan kebiasaan orang-orang yang meludah di jalanan selalu setengah hati. Kota Mumbai pernah menerapkan tindakan keras.

Seorang pengawas memarahi orang agar tidak meludah, membuang sampah sembarangan, atau buang air kecil di tempat umum. Namun, pelanggaran meludah telah lama diabaikan.

Kemudian datanglah Covid, yang bisa menyebar lewat udara, ditambah lagi kebiasaan para laki-laki India yang suka meludah di mana saja sesuka mereka.

Pihak berwenang segera bertindak, menghukum orang yang suka meludah dengan denda yang lebih berat dan bahkan hukuman penjara, semuanya di bawah Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Bahkan Perdana Menteri Narendra Modi menyarankan warganya untuk tidak meludah di tempat umum - sesuatu yang "kami selalu tahu itu salah".

Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan situasi 2016 lalu, ketika menteri kesehatan, menjawab pertanyaan tentang ancaman meludah.

Waktu itu, dia mengatakan kepada parlemen: "Tuan, India adalah negara yang penduduknya suka meludah. Kita meludah saat bosan; kita meludah saat lelah; kita meludah saat marah atau kita meludah begitu saja. Kita meludah di mana saja dan kita meludah setiap saat, bahkan pada jam-jam yang tidak lazim."

Menteri kesehatan itu ada benarnya juga. Meludah adalah yang yang biasa terjadi di jalan-jalan India. Para laki-laki yang bersantai di sisi jalan, dengan santai menggerakkan kepala mereka beberapa inci, dan membuang air liurnya. Laki-laki yang mengendarai mobil, sepeda, dan becak tidak ragu-ragu untuk meludahi lampu lalu lintas.

Kebiasaan itu seringkali didahului dengan peringatan berupa suara serak yang unik saat mereka hendak mengeluarkan air liur yang bercampur dahak.

Dan kebiasaan itu sangat banyak dilakukan oleh laki-laki. Mereka merasa nyaman dengan tubuh mereka, kata kolumnis Santosh Desai, "dan segala sesuatu yang keluar dari tubuh."

"Mereka merasa tidak mementingkan diri sendiri dengan melepaskan diri di depan umum," katanya. "Jika saya tidak nyaman, saya akan segera bertindak, gagasan menahan diri sebenarnya tidak ada."

Meludah juga dianggap sebagai sesuatu yang 'keren' yang berkaitan dengan maskulinitas, kata Uddalak Mukherjee, editor asosiasi di surat kabar India Telegraph.

Tapi mengapa meludah di ruang publik?

Raja Narasimhan menemukan alasannya. Kebanyakan orang melakukannya karena marah atau hanya mengisi waktu luang karena mereka tidak punya hal yang lebih baik untuk dilakukan. Sebagian lagi merasa meludah merupakan hak, katanya.

Menurut sejarawan Mukul Kesavan, meludah juga berasal dari "obsesi orang India terhadap kotoran dan cara menghilangkannya".

Beberapa sejarawan percaya bahwa obsesi ini berhubungan dengan kasta atas dalam Agama Hindu, yaitu kemurnian tubuh bisa dijaga dengan membuang sesuatu yang kotor di luar rumah.

"Kebiasaan meludah tidak hanya terkait dengan kebersihan," kata Mukherjee. "Seorang sopir taksi pernah mengatakan kepada saya, 'Saya mengalami hari yang buruk dan saya ingin mengeluarkan keburukan itu.'"

Perang melawan orang-orang yang meludah

Ternyata, ada masa orang-orang di seluruh dunia meludah di mana-mana. Di India, meludah dirayakan di istana kerajaan, dan tempat ludah besar menjadi pusat perhatian di banyak rumah.

Di Eropa pada abad pertengahan, Anda bisa meludah saat makan, asalkan di bawah meja. Erasmus menulis bahwa "menghisap kembali air liur" adalah perilaku yang "tidak sopan".

Pada 1903, British Medical Journal menyebut Amerika sebagai salah satu "pusat meludah dunia".

Seorang pengawas kesehatan di Massachusetts, pada 1908, bertanya, "Mengapa penjahit meludahi lantai di setiap pabrik yang dikunjungi?" dan jawabannya, "Tentu saja mereka meludah di lantai. Anda berharap mereka meludah di mana? Di saku mereka?"

Keadaan di Inggris tidak lebih baik. Meludahi trem adalah hal yang biasa, sehingga akhirnya orang-orang didenda karena meludah dan komunitas medis menuntut undang-undang mengatur soal hal itu.

Penyebaran tuberkulosis lah yang akhirnya menghapus kebiasaan meludah di negara-negara Barat.

Tumbuhnya kesadaran akan teori kuman di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 memainkan peran penting, kata jurnalis Vidya Krishnan, penulis buku mendatang Phantom Plague: How Tuberculosis Shaped History.

"Kesadaran tentang bagaimana kuman menyebar memunculkan kebiasaan sosial baru. Orang-orang belajar untuk menutup mulut dan hidung ketika bersin dan batuk, menolak berjabat tangan, bahkan kebiasaan mencium bayi tidak lagi dilakukan. Kesadaran akan kebersihan juga menyebar ke luar."

Krishnan mengatakan peningkatan kesadaran menyebabkan "perubahan perilaku" pada laki-laki, karena "kebiasaan mereka meludah di tempat umum bisa menyebabkan penyakit menular seperti TB menyebar."

Namun India memiliki sejumlah kendala, kata Krishnan. Negara-negara bagiannya tidak pernah berusaha keras untuk mengakhiri kebiasaan itu. Meludah masih dapat diterima secara sosial, baik itu mengunyah tembakau, olahragawan meludah di depan kamera, atau penggambaran Bollywood tentang laki-laki yang meludah saat berkelahi satu sama lain.

Raja Narasimhan menyesalkan kurangnya tempat ludah modern. "Bahkan jika saya harus meludah, di mana saya harus meludah?" dia berkata.

"Waktu saya kecil, di Kolkata, saya ingat ada tempat ludah yang diikat ke tiang lampu berisi pasir. Tempat ludah itu hilang dan orang-orang meludah sembarangan."

Ada tantangan yang lebih besar. "Tidak ada perubahan perilaku skala besar atau intervensi kesehatan masyarakat yang dapat mengesampingkan kasta, kelas, dan gender," kata Krishnan.

"Di India, akses ke kamar mandi, air mengalir, dan pipa ledeng yang bagus semuanya merupakan hak istimewa."

Pakar kesehatan memperingatkan bahwa menghukum orang-orang tanpa berusaha memahami mengapa mereka meludah, tidak akan berhasil melawan kebiasaan tersebut.

Selama dua tahun pandemi Covid-19, semangat untuk menyembuhkan kecanduan khusus ini berkurang, tapi Raja dan Priti Narasimhan tidak gentar memerangi kebiasaan itu di jalan-jalan.

Kebanyakan orang tetap tidak menyadari bahwa kebiasaan meludah bisa berkontribusi dalam penyebaran Covid-19, kata mereka, dan setidaknya mereka bisa mengubah perilakunya sedikit, jika tidak bisa memperbaikinya.

"Tidak apa-apa jika kami dianggap membuang-buang waktu, kami akan mencoba," kata Raja Narasimhan. "Jika kami bisa membuat perubahan sikap pada 2% orang saja, itu berarti kita telah membuat perubahan". (*)

Tags : India, Virus Corona, Gaya hidup, Kesehatan, Seni budaya,