Sorotan   2021/11/26 22:0 WIB

Perburuan Harta Karun Diduga Benda Cagar Budaya, Arkeolog: 'Ini Tidak Bisa Dibiarkan'

Perburuan Harta Karun Diduga Benda Cagar Budaya, Arkeolog: 'Ini Tidak Bisa Dibiarkan'
Abdul Azis Baraja menemukan keris yang diduga berasal dari Kerajaan Majapahit di Sungai Brantas, Jawa Timur. (Foto ABDUL AZIS BARAJA)

"Perburuan harta karun yang diduga benda cagar budaya sulit dihentikan meski ada aturan yang melarang"

ika terus dibiarkan, akan sulit bagi para arkeolog untuk meneliti serta mengungkap peradaban besar di Indonesia yang terjadi di masa lampau.

Bagaimana kerja mereka dalam pemburuan harta karun Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan ke mana benda-benda itu dibawa, lalu apa rasanya menemukan harta karun ini?

"Ada sensasi tersendiri saat ketemu barang-barang itu. Ada kepuasan. Sebuah prestasi bisa mendapatkan [harta karun] yang orang lain belum tentu bisa dapat. Saya bangga dong," kata Asmadi.

Perasaan itulah yang menuntun Asmadi menyelami Sungai Musi sedalam 35 meter selama hampir dua tahun demi memburu harta karun yang ia yakini peninggalan Kedatuan Sriwijaya --kerajaan maritim terbesar pada abad ke-7.

Pemuda kelahiran Pulau Kemaro ini adalah generasi pertama dari keluarganya yang berprofesi sebagai penyelam Sungai Musi.

"Orangtua saya pedagang ikan di pasar. Dulu dilarang menyelam sama orangtua tapi lama-lama saya nyelamaja, hahaha..." kata pria 26 tahun ini tertawa mengingat tingkah lakunya.

Di pulau yang terletak di tengah Sungai Musi ini, hampir 70% penduduknya merupakan penyelam. Karena Sungai Musi menjadi jalur kapal pembawa kayu, maka warga pulau terbiasa menyelam untuk mengambil kayu-kayu yang terbawa aliran sungai dan dijual ke siapapun yang membutuhkan.

Namun, kejadian menggemparkan pada 2006 mengubah arah para penyelam. Kala itu, kelompok penyelam dari kawasan Tangga Buntung menemukan arca perunggu berlapis emas. Temuan itu kemudian dijual ke luar negeri senilai Rp1 miliar. 

"Setelah itu banyak yang menyelam mencari harta karun."

"Tiap hari saya lihat banyak temuan. Kayaknya asyik, menantang, bisa dapat emas, porselen, koin-koin. Istilahnya 'wah enak nih berburu harta karun'."

Asmadi belajar menyelam secara otodidak. Awalnya ia masih ciut untuk terjun ke Sungai Musi.

Di kapal milik pamannya, ia hanya membantu penyelam mengayak butiran emas dari tumpukan pasir yang disedot dari selang berdiameter empat inci.

Sebulan kemudian, dia mencoba memberanikan diri menyelam. Ia ingin merasakan asyiknya menangkap benda-benda berharga dari dasar sungai. Harta karun pertama yang berhasil didapat Asmadi adalah piring seladon dari keramik dengan hiasan ikan di bagian tengah.

Piring itu, kata Asmadi, dijual dengan harga Rp50.000 ke pembeli lokal dari Palembang. Padahal di beberapa situs jual-beli, barang antik itu dilego mulai dari Rp3 juta sampai Rp30 juta.

"Dulu kan sama-sama nggak tahu harga, jadi dibeli segitu."

Untuk memperoleh benda-benda berharga itu, nyawa jadi taruhan. Asmadi harus turun ke dasar sungai sedalam 35 meter tanpa bisa melihat apapun karena air yang sangat keruh.

Maka tiap kali menyelam, dia selalu pasrah jika bertemu hewan buas atau terjadi kecelakaan yang tak disengaja.

"Ya kalau mati, sudah takdirnya."

Di dasar sungai, ia bisa bertahan antara dua hingga tiga jam. Ia memberi kode berupa tarikan selang kompresor ke salah satu tim di atas kapal jika ingin ditarik ke permukaan.

Hasil temuan dalam sehari itu, dijual. Uangnya dibagi rata ke setiap orang. Tapi khusus bagi pemilik kapal, dapat dobel untuk operasional.

Akan tetapi, angan-angan menjadi kaya raya tak pernah jadi kenyataan.

"Setiap orang punya mimpi itu. Kaliaja dapat emas banyak... bisa kaya... memang angan-angan itu ada dulu."

"Tapi dari dulu menyelam, nggak terlalu menghasilkan. Hahaha... karena meskipun dapat benda seharga Rp25 juta tetap dibagi lima orang."

Awal tahun 2020, Asmadi memutuskan berhenti menjadi penyelam lantaran nyaris tutup usia gara-gara seutas tali melilit selang kompresornya sehingga udara tidak mengalir dan air memenuhi maskernya.

"Mau lepas masker dan cepat-cepat naik, tapi nggak bisa. Sudah pasrah saja saya. Tapi tiba-tiba tali itu lepas sendiri. Udara masuk dan saya bisa napas lagi."

"Rasanya takut kalau kejadian lagi, ada sedikit trauma."

"Setelah itu pelan-pelan berhenti menyelam," ujar Asmadi yang kini menjadi kolektor dan ingin mendirikan galeri di Pulau Kemaro yang berisi benda-benda atau temuan dari Sungai Musi.

Pemburu harta karun kerajaan di Tanah Jawa

Di Pulau Jawa, ada pemburu harta karun kawakan. Namnya, Abdul Azis Baraja. "Saya sudah 37 tahun mencari benda-benda kuno dan bersejarah," katanya.

Abah, begitu ia disapa kerabatnya, sudah tertarik pada barang-barang tua sejak kecil. Setiap kali menemukan benda 'aneh' langsung dibawa pulang.

Tapi keseriusan berburu harta karun, dimulai setelah bisnis furniturnya bangkrut. Dalam perenungannya di sekitaran hutan dekat desa, ia menemukan fosil dan uang kuno.

Diboyonglah benda itu ke orang yang paham sejarah. Ternyata barang itu disebut memiliki nilai sejarah.

"Dari situ saya mulai belajar," imbuhnya. 

Tak terhitung sudah berapa banyak sungai dan hutan yang ia sisir demi mencari harta karun peninggalan era kerajaan atau kolonial.

Mulai dari Kerajaan Kahuripan, Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa. Lantas bergeser ke Kalimantan, Bali, hingga Sumbawa.

Pokoknya setiap kali ia mendengar di lokasi tersebut ada jejak kerajaan, maka tanpa ragu langsung dijelajahi.

"Hampir seluruh Indonesia ini banyak [barang-barang] peninggalan. Tapi paling banyak dari Kerajaan Majapahit."

Dalam berburu, Abah hanya memakai kacamata menyelam dan besi yang ujungnya dibuat runcing. Sering juga, dia hanya mengandalkan tangan untuk mengeruk dasar sungai.

Bermacam benda, mulai dari ukiran, arca, perhiasan, pernah ia dapatkan. Kalau dihitung kira-kira mencapai ratusan ribu. Namun yang paling berharga adalah perhiasan dengan batu permata.

"Kalau keris sudah ribuan saya temukan. Kalau ditotal semua mungkin sudah ada ratusan ribu. Seperti pedang, tombak, senjata, trisula, tameng."

Dan, setiap kali menemukan harta karun, Abah senang bukan kepalang.

"Sueneeenggg. Sesusah apapun hidup di kota begitu masuk hutan sangat gembira luar biasa," katanya sumringah.

Beberapa temuannya ia berikan cuma-cuma ke siapapun yang memiliki ketertarikan yang sama pada benda purba ini. Entah itu keluarga, teman, museum, bahkan kolektor.

Khusus kepada kolektor, Abah tidak mematok harga jika ada yang mau membeli. Dia menyerahkan besaran nilainya, asalkan sepadan dengan benda tersebut, serta tidak diperjual-belikan ke pihak lain di kemudian hari. 

"Memang dia nguri-uri [ingin merawat dan menjaga] serta cinta terhadap budaya bangsa kita."

Di usianya yang hampir menginjak 70 tahun, ia memutuskan membagikan ilmu berburu harta karun kepada anak muda. Sudah ratusan orang dilatih bagaimana cara mencari benda-benda kuno dan berharga itu.

Abah pun mempersilakan jika temuan itu akhirnya dijual demi menghidupi keluarga.

"Saya sudah lelah, sangat lelah... pikiran dan tenaga sangat lelah."

Mengapa perburuan harta karun terus terjadi?

Arkeolog Dwi Cahyono mengatakan fenomena perburuan benda-benda yang memiliki nilai sejarah sudah terjadi sejak lama. Dari yang memakai alat-alat sederhana yaitu kayu dan besi, hingga menggunakan metal detektor.

"Kalau dulu mereka masih pakai besi yang dimodifikasi kayak bor. Tapi sekarang tidak, perangkat teknologi mereka sudah canggih," ujar Dwi Cahyono.

Hanya saja sepanjang pengamatannya, pemerintah tidak terlalu serius mengurusi persoalan ini.

Bahkan konten video di media sosial berisi barang-barang hasil temuan para pemburu terus bermunculan. Padahal hal itu bisa memicu orang lain untuk melakukan perburuan yang sama.

Itu mengapa pemerintah, katanya, harus sesering mungkin menggelar pertemuan juga pendekatan dengan para pemburu --menjelaskan pentingnya benda-benda itu dilaporkan ke pihak terkait untuk mengungkap sebuah peristiwa sejarah.

"Karena itu saya belum melihat upaya yang dilakukan untuk paling tidak membuat sebuah pertemuan dengan mereka. Sosialisasi bahwa memburu tidak diperkenankan."

"Kalau dibiarkan terus, makin lama [barang-barang bersejarah] itu akan habis."

Yang jadi persoalan pula juga, sambung Dwi, pemerintah maupun aparat tidak bisa bertindak selama benda atau situs tersebut belum ditetapkan sebagai cagar budaya.

Sehingga masyarakat yang menyaksikan operasi perburuan pun, kerap membiarkan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya disebutkan benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

Pasal 23 ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang menemukan benda yang diduga benda cagar budaya, bangunan yang diduga bangunan cagar budaya, struktur yang diduga struktur cagar budaya, dan/atau lokasi yang diduga situs cagar budaya wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, kepolisian, dan/atau instansi terkait paling lama 30 hari sejak ditemukannya.

Ayat 2 berbunyi temuan yang tidak dilaporkan oleh penemunya dapat diambil alih oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Kemudian Pasal 26 mengatakan, setiap orang dilarang melakukan pencarian cagar budaya atau yang diduga cagar budaya dengan

Penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air, kecuali dengan izin pemerintah atau pemerintah daerah.

Dwi Cahyono resah jika perburuan benda-benda bersejarah itu terus dibiarkan, maka hampir mustahil bagi para arkeolog untuk meneliti serta mengungkap peradaban besar di Indonesia yang terjadi di masa lampau.

"Ini tidak bisa dibiarkan."

Apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Direktur Perlindungan Kebudayaan Kemendikbud-ristek, Fitra Arda, mengatakan pemerintah serius memecahkan masalah ini meski sulit, akunya. Sebab para pemburu mencari barang-barang yang diduga cagar budaya untuk 'mencari makan'.

"Ini yang harus diselesaikan, mereka harus dicarikan jalan keluar," kata Fitra Arda.

Dalam setiap pertemuan dengan pemerintah daerah, dia selalu menyarankan agar pemda membantu mencari mata pencaharian baru bagi para pemburu agar meninggalkan aksinya.

Baginya, itu adalah satu-satunya cara untuk menghentikan perburuan.

Sebab ia mengeklaim, sosialisasi kepada masyarakat sekitar lokasi situs yang diduga cagar budaya dan perangkat desa, sudah sering dilakukan. 

Pemburu harta karun seperti Abdul Aziz Baraja maupun Asmadi, mengaku tahu aturan dalam UU Cagar Budaya yang mengharuskan mereka melaporkan barang temuan ke pihak berwenang di pemda.

Beberapa kali, kata Abah, dirinya melaporkan benda-benda tersebut ke dinas, termasuk lokasinya.

Tapi dia kadang jengkel, karena dinas tak kunjung mendatangi tempat itu sehingga sering kali situs tersebut rusak.

"Kalau hilang atau rusak, saya marah juga, jengkel. Kok enggak diperhatikan. Sampai ada banjir, saya gimana ya... sakit hati, kenapa barang bernilai itu tidak diperhatikan."

Sementara Asmadi berkata, pemburu di Sungai Musi sangat jarang ada melapor ke dinas untuk mendata temuan mereka karena keterbatasan waktu dan jauhnya tempat tinggal mereka ke kota.

Kalau mau, katanya, pihak dinas yang mendatangi tempat mereka.

"Kalau mau mendata silahkan datang ke sini. Kalau penyelam yang datang, susah". (*)

Tags : Arkeologi, Cagar Budaya, Harta Karun, Sorotan, Indonesia,