ADA upaya membangun jembatan untuk mendamaikan dua pihak yang dulu berseteru terkait peristiwa Madiun 1948.
Inilah kisah Dahlan Iskan yang mendamaikan 'tokoh PKI' dan kerabat pesantren di Magetan. Ada pula kisah upaya 'menghapus stigma' tokoh PKI lainnya, Amir Syarifuddin.
"Ini tokoh PKI Madiun 1948, yang membunuh keluarga kita di Takeran, tapi bukan beliau yang membunuh ya..."
Dahlan Iskan, jurnalis senior, memperkenalkan seorang pria sepuh di hadapan belasan warga di Desa Takeran, Magetan, Jatim, akhir Agustus 2009 lalu.
Sebagian warga desa itu pernah menjadi santri di Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM). Di sinilah pertemuan itu digelar.
Pada peristiwa Madiun 1948, sebagian kiai dan santri pesantren itu menjadi korban penculikan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) — sebagian dibunuh dengan kejam.
Dalam tragedi 74 tahun silam itu, ribuan orang diperkirakan meninggal, tidak hanya orang-orang dari kelompok Islam, pamong praja atau masyarakat biasa, tetapi juga di pihak lawannya, yaitu pimpinan PKI dan pendukungnya.
Sejarah resmi kemudian mencatatnya sebagai pemberontakan Madiun 1948 oleh PKI, walaupun narasi tersebut masih diwarnai perdebatan di kalangan sejarawan — hingga kini.
Saat kecamuk itulah, Soemarsono, anggota PKI kelahiran 1921, pria yang dikenalkan oleh Dahlan Iskan itu tadi, berada di pusarannya.
Dia ditunjuk sebagai Gubernur Militer di Karesidenan Madiun oleh pemerintahan Front Nasional PKI saat peristiwa itu meletus.
Salah-satu sejarah gelap dalam sejarah kontemporer Indonesia ini masih menimbulkan trauma pada sebagian pihak.
Dalam perjalanannya, terkadang Peristiwa Madiun, dalam takaran tertentu, menjadi isu politik pada momen-momen tertentu, utamanya terkait pembunuhan massal setelah G30S 1965.
"Beliau ini tokohnya [Peristiwa Madiun 1948]," kata Dahlan, pemilik inisiatif pertemuan itu, seperti dirilis BBC News Indonesia.
Dulu, sosok Soemarsono dan barisan PKI merupakan musuh bebuyutan kerabat Dahlan.
Identitas 'masa lalu' Soemarsono itu diungkap Dahlan Iskan — kelahiran Magetan dan berkerabat dengan keluarga kiai PSM — di akhir pertemuan.
Peserta pertemuan itu, tentu saja, tercengang. Di hadapan mereka adalah sosok yang mewakili kubu 'musuh' mereka.
Dahlan kemudian mencoba mengingat lagi ucapan Soemarsono saat itu: "Memang saya tokoh waktu peristiwa 1948, tetapi saya tidak ke pesantren ini, tidak membunuh..."
"Kita tidak tahu, ternyata, [peristiwa Madiun 1948] berkembang sampai soal ke pembunuhan-pembunuhan seperti ini [yang menimpa kiai dan santri PSM]," tambah Soemarsono, seperti dikutip Dahlan.
Laporan majalah TEMPO (14 September 2009), menyebutkan, pria itu kemudian berujar bahwa "kita semua korban. Anda korban, saya pun jadi korban."
"Apa yang terjadi saat itu adalah tragedi, saya minta maaf," katanya.
"Ada 30.000 orang PKI yang mati di Madiun saat itu, tapi saya tidak mendendam," tambah Soemarsono. "Saya tidak mau mempersoalkan siapa yang salah. Semua sudah lewat."
'Tokoh PKI 1948' meminta maaf kepada kerabat pesantren di Magetan
Dahlan membenarkan Soemarsono mengutarakan kalimat "saya minta maaf" di hadapan peserta pertemuan, saat itu.
Suasana kemudian hening, seperti dilaporkan Tempo. Sisanya, demikian Dahlan, pertemuan itu berakhir "dengan baik, salaman, dan bercanda... santai sekali."
"Tidak ada terlontar kata-kata kebencian," ungkap Dahlan.
Usai pertemuan, Dahlan, Soemarsono dan peserta pertemuan menuju ke kompleks pemakaman di dekat lingkungan pesantren. Mereka merapalkan doa di sana.
Tentu saja, tidak semua pihak dapat menerima langkah 'perdamaian' Dahlan tersebut. Tidak lama setelah pertemuan itu, sekelompok orang menggelar unjuk rasa di depan Graha Pena, Surabaya — tempat Dahlan berkantor saat itu.
Dalam orasinya, mereka menuduh Dahlan hendak "memutihkan" PKI melalui tulisan-tulisannya di harian Jawa Pos. Orang-orang ini menuntut agar dia meminta maaf atas langkahnya tersebut.
Massa pendemo lantas membakar buku karya Soemarsono, Revolusi Agustus: Kesaksian Pelaku Sejarah, yang terbit pada November 2008.
Apa tanggapan Dahlan atas aksi tersebut? "Saya harus tetap menjaga akal sehat, bahwa masa lalu adalah masa lalu."
'Saya tidak lagi menempatkan Tragedi Madiun secara hitam-putih'
Pilihan Dahlan untuk menggelar pertemuan itu, tentu saja, tidaklah datang tiba-tiba.
Menggeluti dunia jurnalistik selama puluhan tahun, membuat pria 70 tahun ini, akhirnya, menempatkan tragedi itu "tidak hitam-putih".
Diakuinya peristiwa 74 tahun silam itu masih meninggalkan trauma berkepanjangan bagi sebagian pihak, karena mereka masih melihatnya dari kaca mata "sentimen keagamaan".
Dahlan justru memilih upaya untuk mendamaikan dua pihak yang dulu berseteru, alih-alih mewarisi dendam.
"Kita membaca semua itu [antara lain, membaca buku-buku dan penelitian terkait 'Madiun 1948'], sehingga saya tidak lagi melihat peristiwa Madiun secara hitam-putih."
Dahlan tidak memungkiri langkahnya mendatangkan 'tokoh PKI 1948' ke 'salah-satu lokasi target PKI' di Magetan, menimbulkan kemarahan sebagian pihak.
"Ketika saya membawa Soemarsono ke sana [Pesantren Sabilil Muttaqien di Magetan], ini seperti luka yang dikucuri jeruk nipis, bahwa itu sakit... tapi saya kira menyembuhkan," kata Dahlan kepada kami, Agustus lalu.
Dahlan mengharapkan pertemuan di Magetan itu agar "luka yang amat dalam" akibat tragedi Madiun 1948 itu "tidak terus menganga".
Apa kesaksian Soemarsono atas peristiwa Madiun 1948?
"Saya ini pelaku, saya saksi [peristiwa Madiun 1948]. Bahwa sampai kapan pun Peristiwa Madiun itu bukan suatu pemberontakan," kata Soemarsono dalam buku Revolusi Agustus: Kesaksian seorang pelaku sejarah (2008).
Setelah peristiwa Madiun meledak, Soemarsono ditunjuk sebagai Gubernur Militer di Karesidenan Madiun. Dia kemudian memimpin longmars dari kejaran tentara pemerintah.
Pernyataan Soemarsono ini bertentangan dengan catatan sejarah resmi, dan sebagian sejarawan lainnya, yang menyebutnya sebagai Pemberontakan PKI di Madiun 1948.
Untuk tahu duduk soal peristiwa itu, akunya, jangan rancu dan jangan jungkir balik. "Akibat dikatakan sebab, sebab dikatakan akibat."
Dalam buku itu, pria kelahiran Kutoarjo, Jateng, 22 September 1921, menganggapnya sebagai "teror putih" terhadap kaum kiri, melalui campur tangan Amerika Serikat, melalui pertemuan di Sarangan, Magetan — anggapan yang diragukan sebagian sejarawan lainnya.
Dia juga menolak peristiwa di Madiun 74 tahun silam itu adalah instruksi Komintern melalui kedatangan Musso.
Pidato Sukarno yang menyebut apa yang terjadi di Madiun sebagai 'kup' untuk mendirikan 'Negara Soviet Madiun', juga ditolak Soemarsno.
"Apa yang terjadi di Madiun adalah bentuk bentrokan bersenjata antar pasukan yang biasa terjadi saat itu di masa revolusi," tulis sejarawan Wilson, mengutip Soemarsono, dalam buku itu.
Dituduh sebagai pemberontak, dan pemerintahan Sukarno-Hatta akan "membasminya", yang kemudian memotivasi Soemarsono dkk dan pimpinan PKI untuk "mengerahkan semua kekuatan".
"Dalam artian kita tidak mau dibasmi," tulisnya di buku itu.
Setelah pasukan pemerintah berhasil mengalahkan kesatuan tentara pro-PKI, Soemarsono lolos dari penangkapan. Dia 'bersembunyi' di Pematangsiantar dan Medan.
Pada 1968, dia ditangkap di Jakarta dan ditahan di penjara Salemba, tanpa diadili, serta dibebaskan pada 1978.
Sejak 1987, Soemarsono bermukim di Australia. Dia meninggal dunia pada 8 Januari 2019.
'Dendam kesumat', peristiwa Madiun 1948 dan kekerasan massal setelah G30S 1965
Pondok pesantren Sabilil Muttaqien di Takeran, Magetan, menjadi saksi bisu dua peristiwa kekerasan yang sarat dendam.
Warisan kekerasan Madiun 1948, imbasnya dirasakan belasan tahun kemudian, saat orang-orang yang dituduh komunis diburu dan dibantai setelah G30S 1965.
Kiai Haji Sayyid Zuhdi, pemimpin pesantren Cokro Kertopati di Magetan, mewarisi cerita kekerasan peristiwa Madiun 1948, dan belasan tahun kemudian dia menyaksikan kekerasan 1965 di kampungnya.
"Pada 1965, anak-anaknya [kiai atau keluarga pesantren] beringas sekali. Semua yang [diduga] PKI disembelih," kata Zuhdi kepada kami.
Seperti balas dendam? Tanya saya. "Seperti balas dendam. Soalnya mereka tahu, bapaknya dulu diperlakukan seperti itu.
"Akhirnya semua emosi meluap. Putra-putra syuhada pada '48 menjadi beringas sekali," akunya. Kini Zuhdi memilih untuk menyudahi dendam itu dengan menggelar 'rekonsiliasi kultural' dengan keluarga keturunan eks PKI yang dulu adalah musuh ayahnya.
Apapun cerita Zuhdi dan dua peristiwa berbeda ini, sepertinya, mewakili sikap sebagian masyarakat Indonesia yang masih traumatik atas peristiwa 1948.
Dalam takaran tertentu, berbagai kisah tentang pembunuhan kiai dan santri di Madiun dan sekitarnya pada 1948 ini biasanya muncul saat narasi seputar kejadian pembunuhan massal pasca Oktober 1965 beredar.
Sejarawan UGM Yogyakarta, Julianto Ibrahim, mengatakan, upaya mengaitkan dua peristiwa kekerasan itu tidak bisa dihindari.
"Dua peristiwa itu kan tidak bisa dilepaskan dengan [apa yang dilakukan] PKI.
"Jadi ada keinginan PKI untuk menguasai jalannya revolusi Indonesia pada 1948 dengan membentuk Front Nasional di Madiun.
"'Pemberontakan' itu tidak membuat mereka dibubarkan," kata Julianto. Lalu, kemudian PKI dapat tampil lagi ke gelanggang perpolitikan Indonesia dan bahkan menjadi besar.
Dilihat dari kaca mata sekarang, kehadiran kembali PKI di perpolitikan Indonesia pada awal 1950an, seolah-olah menimbulkan kesan janggal.
Apakah relevan pertanyaan 'kenapa PKI tidak dilarang setelah peristiwa Madiun 1948'?
Namun jika dilihat dari sudut pandang saat itu, tidak ada keputusan hukum atau politik yang melarang PKI untuk beraktivitas kembali, kata sejarawan dari Universitas Nasional Jakarta, Andi Achdian.
"Pertanyaan, kenapa PKI diizinkan hidup lagi, saya kira itu pertanyaan yang kontemporer, bukan pertanyaan pada saat itu," kata Andi Achdian kepada BBC News Indonesia.
Pada awal 1950-an, sambungnya, belum ada bayangan untuk mengatakan bahwa komunis tidak boleh di Indonesia. "Sama sekali tidak ada kebijakan itu," ujarnya.
Kenyataan politik seperti itu tidak terlepas dari perpolitikan pada zaman pergerakan, yaitu ketika kaum komunis, nasionalis, Islam ikut berperan melawan kolonial.
"Sukarno sendiri menulis tentang nasionalisme, Islam dan marxisme. Dia realistis, politik Indonesia akan seperti ini, ada yang sekuler kiri, ada nasionalis, ada agama, dan itu menjadi satu realitas dalam politik Indonesia pada masa itu," papar Andi.
Cara pandang yang seolah mengaitkan peristiwa 1948 dan 1965, sudah berulangkali dikritik, karena dianggap sebagai pembenaran atas pembunuhan massal 1965.
Bagaimanapun, bagi Dahlan Iskan, 'dendam kesumat' sebagian kelompok keluarga santri di Magetan terhadap orang-orang komunis pada 1965, adalah kenyataan sejarah yang harus disudahi.
"Sejarah jujur, sudah balas dendam. Artinya, kalau skor sepak bola sudah 1-1. Sudahlah! Nggak ada yang kalah atau yang menang," ujar Dahlan, seraya tertawa.
Menurutnya, tidak ada alasan lagi untuk menyimpan dendam di antara kedua pihak. "Kan sudah dibalas, dan balasnya lebih telak. Sudahlah."
Di titik inilah, dalam bahasa Dahlan, merupakan salah-satu modal yang baik untuk rekonsiliasi.
"Sama-sama melihat masa depan. Yang seperti itu [dendam kesumat] dilupakan," kata Dahlan.
Kisah Yunantyo Adi dan perusakan makam 'Tokoh PKI' Amir Syarifuddin
Dan, Dahlan tidak sendirian. Upaya membangun jembatan untuk mendamaikan dua pihak yang pernah berseteru terkait peristiwa Madiun 1948, juga dilakukan seorang advokat dan pegiat kemanusiaan asal Kota Semarang.
Saya menemui Yunantyo Adi, pegiat kemanusiaan asal Semarang, yang memiliki keprihatinan terhadap sikap menyimpan dendam terkait prahara Madiun 1948.
Yunantyo, yang pernah menjalani profesi sebagai jurnalis ini, adalah salah-seorang aktivis kemanusiaan yang paling mengkritisi narasi yang mengaitkan peristiwa Madiun dengan pembunuhan massal 1965.
Dalam Simposium Nasional Tragedi 1965, yang digelar di Jakarta pada April 2016 lalu, dia tampil di forum itu dengan mengkritik sikap sebagian peserta yang 'mengaitkan' dua tragedi itu.
"Karena kalau dilihat peristiwa Lubang Buaya [pembunuhan tujuh jenderal dan satu peristiwa] itu peristiwa rahasia yang hanya diketahui segelintir orang, tapi sekian banyak orang yang tidak mengerti peristiwa itu, menjadi korban kekerasan.
"Nah, kalau kemudian dikaitkan dengan peristiwa '48 yang dilihat hanya sisi pertikaiannya, ya ini tidak akan ada contoh penyelesaian.
"Dan itu akan menjadi kelemahan dalam upaya mencari penyelesaian-penyelesaian atas peristiwa kekerasan di masa lalu," jelas Yunantyo.
Tidak sampai di situ. Setahun sebelumnya, yaitu pada 2015, Yunantyo — saat itu dia menjadi aktivis kemanusiaan dari Perkumpulan masyarakat Semarang HAM (PMS-HAM) — memasang nisan di lokasi kuburan massal orang-orang dituduh simpatisan atau anggota PKI di Dusun Plumbon, Semarang, Jateng.
Acara ini didukung secara resmi oleh pemerintah Kota Semarang dan aparat di bawahnya.
Yunantyo dkk juga berhasil meyakinkan kelompok organisasi anti-Komunis agar "tidak mengganggu" prosesi kemanusiaan itu.
"Bukankah kita amat jahat membiarkan orang meninggal dan membiarkan meninggal tidak wajar selama berpuluh-puluh tahun," kata Yunantyo Adi kepada saya, saat itu.
Dan pada Juli 2022 lalu, saya bertemu kembali dengan Yunantyo di pekuburan umum di Ngaliyan, Karanganyar, Jawa Tengah.
Di sana jasad Amir Syarifuddin — mantan Perdana Menteri (PM) Indonesia dan salah-seorang pimpinan PKI dalam peristiwa Madiun 1948 — dikuburkan bersama 10 anggota PKI lainnya, setelah dihukum mati pada akhir 1948.
Walaupun kuburan Amir dan 10 orang lainnya digali kembali, diidentifikasi, dan jasadnya diserahterimakan kepada keluarganya, serta dimakamkan kembali, sesuai perintah Presiden Sukarno, pada November 1950, pusara itu dihancurkan sekelompok massa usai G30S 1965.
Hingga Reformasi 1998, pusara Amir dkk masih berupa gundukan tanah dan ditumbuhi rumput liar.
Barulah pada 2008, pemugaran pusara Amir dapat dilakukan. Sebuah lembaga bernama Ut Omnes Unum Sint Institute memelopori pemugarannya, dengan terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan warga setempat dan Komnas HAM.
Tujuh tahun kemudian, sejumlah aktivis di mana Yunantyo terlibat di dalamnya, pernah mencoba menggelar peringatan kemanusiaan untuk mengenang Amir Syarifuddin dan "orang-orang yang terstigma" sejarah.
Namun keinginan Yunantyo dkk untuk menggelar acara kemanusiaan di makam Amir, ternyata, gagal. "Ada sekelompok massa yang menolaknya."
Di matanya, sosok Amir Syarifuddin, bersama tokoh bangsa lainnya, memiliki peran dan jasa dalam perjalanan Indonesia, apapun ideologi maupun garis politiknya.
Dan, "Amir dkk yang dimakamkan di sini, sama seperti orang Indonesia pada umumnya. Ada positif, ada negatifnya. Tempatkan saja dia seperti orang Indonesia pada umumnya."
"Karena para pahlawan kita pun, ada positif dan negatifnya," ujar Yunantyo.
Hal itu ditekankan Yunantyo, karena sosok Amir selama puluhan tahun — utamanya di masa Ore Baru — dibangun dengan stigma dan beban sejarah yang sangat berat.
"Nah coba kita memperlakukan itu tidak dengan beban sejarah di masa lalu yang dibangun dengan stigma itu."
"Sehingga generasi sekarang itu memiliki beban sejarah. Nah, itulah sebabnya, kami mencoba ke sini, supaya orang-orang bisa bebas berziarah ke sini," jelasnya.
Lagi pula, Amir dkk sudah meninggal dan, menurut Yunantyo, tidak ada gunanya memelihara kebencian terus-menerus.
"Terhadap peristiwa 1965, terkait G30S, apa salahnya Amir dkk, sehingga makamnya dirusak. Dia tidak mengerti peristiwa Lubang Buaya, karena dia sudah mati," ujarnya.
Tentang peristiwa Madiun 1948 yang memakan banyak korban meninggal, Yunantyo bisa memahaminya, dengan segala versi yang melatarinya.
"Tetapi bahwa kita harus juga memperlakukan mereka [Amir dkk] secara manusiawi, dan mereka pernah dimanusiakan sebelumnya," tandasnya
Upaya Yunantyo Adi dan Dahlan Iskan membangun perdamaian dan rekonsiliasi, memang, masih mendapat penolakan.
Dua sosok ini menyadari apa yang mereka lakukan tidak akan serta merta akan mengubah keadaan.
Tapi mereka sudah melangkah, keduanya sudah memasang satu per satu batu bata guna membangun jembatan itu. (*)
Tags : Peristiwa Madiun 1948, Membangun Jembatan Perdamaian Dua Pihak, Hak asasi, Politik, 1965,