"Banyak perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar bermasalah, sehingga pemerintah kembali didorong melakukan audit hak guna usaha perusahaan"
asil audit Badan Pemeriksa Keuangan memperlihatkan, banyak perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar bermasalah.
Masalah-masalah itu antara lain; perusahaan perkebunan sawit masih banyak belum memiliki hak guna usaha (HGU), banyak kebun plasma belum dibangun, tumpang tindih dengan pertambangan, menggarap kawasan di luar izin yang sudah diberikan pemerintah, kebun di hutan lindung, hutan konservasi dan gambut dan lain-lain.
Menteri Koordinator Maritim, Luhut Binsar Panjaditan mengatakan, sekitar, 81% perkebunan sawit tak memenuhi aturan yang berlaku. BPK, merekomendasikan pemerintah melibatkan Kapolri dan Kejaksaan Agung, dalam menyelesaikan berbagai sengkarut tata kelola perkebunan sawit ini. Hal ini, penting karena permasalahan muncul terkait pidana UU Kehutanan maupun UU Perkebunan.
Organisasi kepemudaan, seperti Larshen Yunus, S.Sos. Sc, SE, M.Si, C.L.A, C.Me, Ketua DPD I Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau juga mendesak pemerintah Indonesia membuka data dan peta perkebunan kepada publik untuk kepentingan transparansi.
Kalau transparansi minim, memunculkan serangkaian masalah pada industri sawit, termasuk deforestasi, konsesi tumpang tindih, perampasan lahan, dan pelanggaran hak-hak pekerja.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui laporan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas perizinan, sertifikasi dan implementasi pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan serta kesesuaian kebijakan dan ketentuan internasional, memperlihatkan kebun-kebun sawit banyak bermasalah.
Laporan yang disampaikan kepada beberapa menteri kabinet kerja di Gedung BPK, Jakarta, mengungkap berbagai permasalahan dalam industri perkebunan sawit.
Rizal Djalil, anggota IV BPK mengatakan, BPK telah menyelesaikan dan menyerahkan hasil audit tentang perkebunan sawit di seluruh Indonesia.
“Kita tahu, penerimaan negara dari minyak sawit mentah sudah melampaui minyak dan gas. Penerimaan devisa sawit sangat signifikan. Namun, dalam proses pelaksanaan, perkebunan sawit mulai dari 1980 sampai sekarang itu bermacam-macam persoalan yang harus kita selesaikan,” katanya.
Berbagai masalah perkebunan sawit temuan BPK itu, katanya, antara lain, perusahaan perkebunan sawit masih banyak belum memiliki hak guna usaha (HGU), banyak kebun plasma belum dibangun, tumpang tindih dengan pertambangan, menggarap kawasan di luar izin yang sudah diberikan pemerintah.
“Kira-kira 81% tak memenuhi ketentuan berlaku baik jumlah luasan, ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil-red), plasma dan lain-lain. Sekarang kita mau penuhi dan perbaiki,” kata Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim, pada kesempatan sama di Jakarta.
Luhut mengklaim, berbagai masalah itu ‘warisan’ 20 atau 25 tahun lalu.
“Rusak-rusak ini kesalahan yang mungkin sudah 20 atau 25 tahun lalu. Sekarang kita perbaiki. Harus cari solusi, tidak boleh dibiarkan seperti ini. Masalah sawit berdasarkan hasil World Bank maupun BPK sama angkanya,” katanya.
Rizal Djalil tak mau mengungkap perusahaan-perusahaan mana saja yang bermasalah.
Dia hanya menyebut, masalah di perusahaan-perusahaan besar yang terdaftar di bursa saham.
Luas perkebunan sawit yang bermasalah tersebut disebut jutaan hektar di berbagai provinsi, seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat.
“Semua ada di situ. Semua pemain besar. Saya tidak usah sebut. Jumlah jutaan hektar.”
Belum lagi, katanya, perusahaan-perusahaan yang buka kebun di hutan konservasi, maupun hutan lindung.
“Itu persoalan yang muncul. Saya terus terang tidak mau menyebut satu demi satu perusahaannya. Semua perusahaan perusahaan ini terdaftar di bursa. Kami sudah membuat rekomendasi kepada pemerintah, sudah diserahkan dan mungkin akan dibahas di level pemerintah,” katanya.
BPK, katanya, merekomendasikan pemerintah melibatkan Kapolri dan Kejaksaan Agung, dalam menyelesaikan berbagai sengkarut dalam tata kelola perkebunan sawit ini. Hal ini, penting karena permasalahan muncul terkait pidana UU Kehutanan maupun UU Perkebunan.
“Saya berharap dalam penyelesaian masalah ini tetap menjamin kepastian penerimaan negara. Kalau pengusaha sudah mengikuti semua ketentuan, jangan sampai ada persoalan di belakang,” katanya.
Luhut bilang, temuan BPK ini dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo untuk tindak lanjut.
“Memang banyak sekali bermasalah.”
Dalam laporan BPK, katanya, terungkap berbagai permasalahan, seperti ekspor crude palm oil (CPO), perkebunan di lahan gambut, sampai pengelolaan limbah.
Luhut bilang, sedang menyusun langkah-langkah penyelesaian.
Para menteri terkait akan melaporkan kepada presiden dan meminta rapat kabinet terbatas membahas ini.
Dalam pertemuan itu, kata Luhut, juga akan membahas sanksi kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang melanggar ketentuan.
“Apakah akan kena denda atau sanksi lain, akan dibahas bersama presiden untuk menentukan kebijakan yang tepat guna.”
Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, akan menindaklanjuti hasil audit BPK.
Menurut dia, harus segera selesai berbagai masalah terkait tumpang tindih dengan kawasan hutan dan gambut, maupun banyak perusahaan sawit belum memiliki HGU.
“Strategi sudah ada, perlu dibicarakan lebih lanjut. Ini kan pada tingkat teknis pelaksanaan. Policy-nya ditentukan dulu, apakah didenda dan lain-lain, nanti harus ditentukan dulu kebijakannya. Itu sesuai rekomendasi BPK.”
Audit KPK
Temuan BPK ini, senada dengan hasil audit Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 yang menyimpulkan, Indonesia tak memiliki sistem kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan untuk mencegah pelanggaran dan korupsi di industri minyak sawit.
KPK menemukan, korupsi merajalela dalam proses penerbitan izin untuk perkebunan, dengan banyak perusahaan bisa menebang dan menanam di kawasan hutan yang terlarang untuk budidaya sawit.
Di Riau, saja, KPK menemukan 10.000 kilometer persegi perkebunan sawit ilegal dan tak berizin.
Audit KPK ini sebagai respons terhadap kebakaran hutan pada 2015 yang begitu parah. Sebagian besar kebakaran hutan dan lahan itu untuk membuka kebun sawit, termasuk hutan gambut.
Dampaknya, kabut asap membuat jutaan orang terdampak dan ribu orang menderita penyakit, penutupan bandara, dan penyebaran kabut asap ke negara-negara tetangga, hingga memicu pertikaian diplomatik.
Tetapi Larshen Yunus yang juga Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) DPP KNPI Bidang Minyak dan Gas Bumi ini kembali mengatakan, dengan dua audit resmi oleh berbagai lembaga yang merujuk kepada masalah kepatuhan besar-besaran di industri minyak sawit Indonesia, pemerintah tak punya alasan menutup mata.
“Temuan dan keberanian BPK dalam mengungkapkan penyakit tata kelola sawit yang menyebabkan kerugian negara sangat besar, patut dihargai, mengingat bagaimana pemerintah enggan menanggapi temuan serupa oleh LSM dan organisasi masyarakat sipil lain,” kata Larshen yang ditemui dikediamannya, malam Sabtu (20/8/2022).
Dia mengatakan, pemerintah Indonesia mulai mengatasi masalah ini dengan memberlakukan moratorium, yang ditandatangani Presiden Jokowi sejak pada 2018 lalu.
Dengan kebijakan ini, membekukan penerbitan izin baru untuk perkebunan sawit. Langkah ini, juga mensyaratkan kementerian terkait dan pemerintah daerah untuk peninjauan besar-besaran terhadap data izin perkebunan.
Menurut Larshen, seharusnya Kejaksaan Agung tidak hanya mengawasi atau menyeret Surya Darmadi bos Duta Palma Group (DPG), tetapi pemilik HGU bermasalah lainnya yang adadi Riau belum tersentuh.
Sementara temuan dilaporkan kepada presiden setiap enam bulan. Sayangnya, kata Larshen, tak ada pengumuman publik tentang kemajuan inisiatif ini.
“Sudah hampir satu tahun sejak moratorium berlaku, tetapi kami belum melihat kemajuan signifikan dan proses cenderung tertutup untuk publik dan eksklusif, sedikit ruang partisipasi publik,” katanya.
Larshen juga meminta, pemerintah Indonesia membuka data dan peta perkebunan kepada publik untuk kepentingan transparansi.
Kalau transparansi minim, katanya, memunculkan serangkaian masalah pada industri sawit, termasuk deforestasi, konsesi tumpang tindih, perampasan lahan, dan pelanggaran hak-hak pekerja.
Terlepas dari retorika berulang pemerintah menyatakan, betapa penting transparansi, pejabat tinggi, termasuk Luhut, telah menolak menyajikan data perkebunan kepada publik, dengan alasan informasi itu milik dan kepentingan strategis nasional.
Penolakan terus-menerus untuk mempublikasikan data itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung, bahwa peta terperinci dan dokumen terkait tentang perusahaan perkebunan yang beroperasi di negara ini harus tersedia untuk umum.
Dengan publikasi data, kata Larshen, akan memperjelas perusahaan mana yang bertanggung jawab atas deforestasi, kebakaran, dan konflik lahan, serta memungkinkan pertanggungjawaban lebih besar atas berbagai pelanggaran ini.
Kalau pemerintah serius menindak perusahaan yang melanggar, kata Larshen, harus secara menyeluruh, termasuk terhadap perusahaan yang berelasi dengan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan.
“Mereka tidak bisa menjatuhkan sanksi secara pilih-pilih,” kata Larshen.
Penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit di Riau harus lebih selektif lagi. Pasalnya, meski sudah mendapat izin resmi, fakta di lapangan masih terjadi persoalan.
"Masalahnya, meski sudah diterbitkan HGU, masih ada warga yang mengaku pemilik lahan belum diselesaikan oleh perusahaan", ungkap Larshen menyikapi yang terjadi di Riau.
Hanya saja Larshen tidak menyebutkan, perusahaan mana yang sudah memiliki HGU tersebut tapi masih terjadi persoalan di lapangan.
Tetapi dia mengaku siap menunjukkan HGU bermasalah pada perusahaan di Riau itu.
"Pihak Disbun Riau bisa menunjukkan perusahaan mana yang sudah memiliki HGU tapi masih menjadi persoalan," kata Larshen.
Seharusnya adanya berbagai persoalan dilapangan, ungkap dia, bisa saja HGU tersebut ditinjau ulang.
"Jika ada suatu lahan yang akan diusulkan HGU oleh perusahaan, namun masyarakatnya (pemilik lahan) menolak pihak BPN sudah pasti akan mempertimbangkannya", tegasnya.
Kenyataan dilapangan, masih ada pihak perusahaan membuat surat pernyataan menjamin akan mampu menyelesaikan masalah, maka usulan HGU juga bisa diterbitkan, sembari perusahaan menyelesaikan pembebasan lahannya.
"Karena kalau menunggu lahannya selesai semua dilakukan pembebasan dari masyarakat, dipastikan akan semakin lama terbit HGU-nya," kata diamencontohkan yang terjadi di Riau.
Larshen Yunus, S.Sos. Sc, SE, M.Si, C.I.A, C.Me, Ketua DPD I KNPI Riau
Publik berhak mengetahui
Persoalan penggunaan kelebihan tanah Hak Guna Usaha (HGU) oleh perusahaan perkebunan sawit masih jamak, salah satunya di Riau, dimana Komisi II DPR RI menyoroti permasalahan pertanahan tersebut.
Anggota Komisi II DPR RI Abdul Wahid menilai, perlu suatu mekanisme atau sistem yang dapat mengecek status HGU yang ada selama ini.
"Oleh karena itu harus ada sistem yang secara elektronik atau online dimana semua orang bisa mengecek tentang berapa luasannya, mana titiknya, kata Abdul Wahid.
"Jadi artinya libatkanlah masyarakat dalam pengawasan bukan hanya dari BPN saja bisa mengawasi," ujarnya saat pertemuan Komisi II DPR RI dengan Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau dalam rangka kunker reses Komisi II DPR RI ke Pekan Baru, Riau, Senin (11/7/2022) kemarin.
Ia mencontohkan kasus seperti PT Duta Palma yang melakukan aktivitas perkebunan melebihi dari luasan HGU yang perusahaan tersebut peroleh izinnya dari BPN.
Kejaksaan menilai kerugian negara akibat aktivitas perusahaan itu mencapai Rp600 miliar tiap bulannya.
"Sehingga mereka pada aktivitas perkebunan di luar HGU tentu harus dapat sanksi. Ini sudahlah dia beraktivitas di negara kita, tapi mereka tidak bayar pajak," sebut Abdul.
Legislator dapil Riau I itu menyesalkan kasus tersebut, apalagi pemilik perusahaan diketahui telah melarikan diri ke luar negeri yang membuat sulit penyelidikan.
"Abdul menekankan pentingnya masyarakat untuk dapat mengawasi persoalan ini."
BPN diharapkan dapat bersinergi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tanpa mengedepankan ego sektoral masing-masing.
"Pada akhirnya untuk menyelesaikan masalah di negara ini perlu keikhlasan dan ketulusan," pungkasnya.
Audit perusahaan sawit
Sementara Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukay Karyadi mendesak pemerintah segera melakukan audit menyeluruh terhadap perusahaan kelapa sawit.
Menurutnya, pembatasan hak guna usaha (HGU) bisa dibatasi berdasarkan kelompok usaha. Artinya bukan mengacu jumlah perusahaan, namun jenis kelompok usahanya.
"Kami mengusulkan ada pembatasan hak guna usaha perkebunan sawit berdasarkan kelompok usaha, bukan per perusahaan tapi kelompok usaha,” katanya dalam konferensi pers, Selasa (31/5/2022).
Ia menyebut pembatasan itu perlu dilakukan menimbang banyaknya jumlah perusahaan perkebunan sawit. Namun, banyak perusahaan di antaranya terintegrasi secara vertikal.
“Kami catat industri minyak goreng itu ada 70-an, tapi kalau dikerucutkan itu tidak banyak. KPPU dalam penyelidikannya fokus kepada 8 kelompok usaha yang menguasai industri minyak goreng sekaligus mereka memiliki perkebunan sawit,” terangnya.
Jadi, kata dia, berdasarkan data yang dimilikinya, meski banyak jumlah perusahaannya, namun hanya segelintir perusahaan yang disebut menguasai CPO.
“Kami menyambut baik pemerintah akan melakukan penataan di hulu, karena problem itu ada di hulunya,” ujarnya.
Ukay menyampaikan, dari sisi penyelidikan terkait industri minyak goreng curah ini belum mencapai ke sektor hulu. Namun, ia juga tak menutup kemungkinan kedepannya akan melakukan penyelidikan ke perkebunan kelapa sawit.
Namun, syaratnya, kata dia, untuk KPPU bisa melakukan penyelidikan ke sektor itu, perlu ada kaitannya dengan penyelidikan industri produsen minyak goreng yang saat ini sedang berjalan. Ia juga ikut menyoroti terkait keharusan perusahaan kelapa sawit untuk berkantor pusat di dalam negeri.
“Intinya kami menyambut baik apa yang dilakukan pemerintah untuk mengaudit perkebunan kelapa sawit bahkan termasuk agar pelaku industri migor ini itu berkantor di indonesia,” katanya.
“Namun penegakan hukum baru di Industri minyak gorengnya belum sampai ke CPO nya. Jadi nanti perkembangannya kalau ternyata di CPO ada problem kami masuk ke sana juga,” imbuh Ukay.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akan mewajibkan seluruh kantor pusat perusahaan sawit untuk berada di Indonesia. Langkah ini agar proses pengawasan bisa dilakukan dengan baik dan perusahaan tersebut juga membayar pajak ke Indonesia.
Menurut Luhut, masih banyak perusahaan sawit yang berkantor pusat di luar negeri sehingga menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari pajak. "Saya lapor Presiden, 'Pak, headquater-nya (kantor pusat) harus semua pindah ke sini'," katanya.
Luhut menjelaskan, dengan banyaknya perusahaan sawit yang berkantor pusat di luar negeri menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari pajak.
"Bayangkan dia punya 300-500 ribu (hektare), headquarter-nya di luar negeri, dia bayar pajaknya di luar negeri. Not gonna happen. You have to move your headquarter to Indonesia. (Tidak boleh. Kamu harus pindahkan kantor pusatmu ke Indonesia)," tegasnya.
Selain itu, Menko Luhut juga akan melakukan audit terhadap perusahaan minyak kelapa sawit. Luhut mengaku telah diminta Presiden Jokowi untuk menyelesaikan masalah minyak goreng di Jawa dan Bali.
"Begitu Presiden minta saya manage minyak goreng, orang pikir hanya minyak goreng. Tidak. Saya langsung ke hulunya. Anda sudah baca di media, semua kelapa sawit itu harus kita audit," katanya dalam seminar nasional Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL) secara daring yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Menurut Luhut, audit dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi bisnis sawit yang ada. Hal itu meliputi luasan kebun, produksi hingga kantor pusatnya.
Luhut menilai masalah minyak goreng bukan sekadar siapa yang menangani. Yang terpenting, menurut dia, adalah tujuan utama penyelesaian masalah tersebut, yaitu agar pasokan dan harganya bisa kembali dijangkau masyarakat.
"Itu yang penting dipikirkan. Bukan hanya sekadar siapa yang nanganin, si itu nanganin. Mau siapa kek yang nanganin, yang penting beres. Buat saya, ingat itu, berpegang teguh pada tujuan," pungkas Luhut. (*)
Tags : Perkebunan Sawit Besar, Perkebunan Sawit Masih Bermasalah, Riau, Publik Berhak Mengetahui Data HGU Perusahaan, Sorotan,