Headline Linkungan   2021/06/23 17:14 WIB

Pertambangan Emas Ancaman Bagi Burung Endemik dari 'Kepunahan'

Pertambangan Emas Ancaman Bagi Burung Endemik dari 'Kepunahan'
Gunung Sahendaruman Sulawesi Utara yang terletak di selatan Pulau Sangihe, masuk dalam wilayah izin tambang emas.

LINGKUNGAN - Di pulau kecil dan terluar utara Indonesia yang berbatasan dengan Filipina, rencana pertambangan emas berpotensi mengancam burung endemik yang sempat dianggap "punah" seabad lalu dan "menenggelamkan" pulau tersebut.

Seriwang sangihe, atau yang disebut masyarakat lokal sebagai manu' niu, adalah burung yang hanya ada di Pulau Sangihe - pulau kecil terluar di utara wilayah Indonesia. Burung endemik ini sempat dianggap "punah" selama seratus tahun, sampai sekitar 20 tahun lalu, ketika mereka terlihat kembali.

Meski begitu, burung berukuran sekitar 18 sentimeter, berwarna kebiruan dan pemakan serangga ini jumlahnya kini kritis dan semakin terancam akibat rencana eksploitasi emas yang berpotensi "menghancurkan" hutan tempat mereka tinggal.

Jika itu terjadi, tak hanya manu' niu yang terancam punah. Ada sembilan jenis burung endemik lainnya - empat berstatus kritis dan lima lainnya rentan - hidup di wilayah hutan lindung Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang juga turut terancam.

Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) telah mengantongi izin lingkungan dan izin usaha produksi pertambangan emas seluas 42.000 hektare izin wilayah yang meliputi setengah bagian selatan Pulau Sangihe, termasuk di dalamnya adalah gunung purba seluas lebih dari 3.500 hektare tempat habitat burung endemik itu.

Mereka kini tengah melakukan pendekatan ke masyarakat untuk pembebasan lahan. Bagaimana rencana pertambangan emas ini berdampak pada kondisi masyarakat dan lingkungan hidup di Pulau Sangihe?

Seperti dirilis BBC News Indonesia, gunung Sahendaruman, benteng terakhir burung Niu. Rabu 26 Mei 2021 kemarin, di sebuah pondok di Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara masih terdengar kicauan burung-burung yang saling bersahut, setelah melalui perjalanan dari Jakarta - empat jam penerbangan, sepuluh jam pelayaran, dan dua jam pendakian.

Salah satu kicauan itu terdengar berasal dari spesies burung seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi). Manu' niu, begitu masyarakat lokal menyebutnya, adalah burung endemik dari Pulau Sangihe. Survei Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia atau dikenal Burung Indonesia, tahun 2014 mengatakan hanya terdapat 34 hingga 119 individu spesies burung ini di dunia.

Menurut data dari Burung Indonesia, spesimen pertama seriwang sangihe tercatat pada tahun 1873 lalu yang dikoleksi oleh Adolf B. Meyer. Seratus tahun kemudian, tepatnya 1978, peneliti burung Murray D. Bruce mengumumkan telah menemukan burung itu di Gunung Awu, bagian utara Pulau Sangihe. Namun klaim tersebut tidak disertai bukti sehingga memunculkan anggapan terjadinya "kepunahan lokal" akibat erupsi gunung berkali-kali yang mengubah habitatnya.

Burung ini kemudian ditemukan kembali pada tahun 1998 di Gunung Sahendaruman, bagian selatan Pulau Sangihe. Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Bu Niu ('Bu' adalah panggilan untuk orang tua pria di Sangihe), adalah warga lokal yang menemukannya saat mendampingi peneliti asal Inggris. Itu sebab, burung endemik ini lantas dipanggil 'niu', mengikuti nama penemunya. "Saat itu saya sedang ambil air ke sungai lalu terdengar suara burung dari ranting, ada lima ekor. Sepertinya ini burung yang dicari, lalu saya kasih tahu para peneliti itu, dan kami melihat lagi burung itu jam tujuh malam," cerita Bu Niu malam itu, saat gerhana bulan total muncul di langit Gunung akhir Mei lalu.

Bu Niu bersama Ganjar Cahyo Aprianto, peneliti dari organisasi konservasi Burung Indonesia, dan beberapa perwakilan dari Perkumpulan Sampiri yang fokus pada pelestarian burung, sedang melakukan riset terhadap burung-burung endemik Sangihe. Menyusuri lembah dan pinggir bukit yang curam, melintasi jalan setapak yang sebagian telah tertutup dan memiliki kemiringan hingga 60 derajat terlihat Seriwang sangihe hidup di lembah-lembah curam hutan primer pada ketinggian sekitar 450-750 meter di atas permukaan laut. Ini yang menyebabkan burung itu cukup sensitif terhadap perubahan habitat. "Burung-burung ini hanya dapat dijumpai di lembah dan puncak Gunung Sahendaruman dan memiliki peran sangat penting dalam keseimbangan ekosistem hutan, seperti pengontrol hama, agen alam, penyerbuk alami dan petani hutan," kata Ganjar.

Gunung Sahendaruman adalah benteng perlindungan terakhir burung-burung endemik Sangihe ini, kata Ganjar, sehingga segala aktivitas seperti perambahan hutan dan pertambangan berpotensi "memunahkan" kembali burung-burung itu. Gunung ini juga berperan sebagai resapan air utama bagi masyarakat Pulau Sangihe. Setidaknya terdapat 70 sungai dan anak sungai yang mengalir ke 70 desa dari gunung ini. "Rencana tambang yang memasukkan Gunung Sahendaruman sebagai wilayah kerja selain akan merusak hutan, burung terganggu, masyarakat di Sangihe juga akan sengsara karena pasokan air terancam," kata Ganjar.

'Tenggelam' dalam kerusakan

Gunung Sahendaruman adalah salah satu area yang masuk dalam 42.000 hektare wilayah tambang Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) - menciut dari sebelumnya 123.000 hektare. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), TMS adalah gabungan dari perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation yang merupakan pemegang saham mayoritas sebesar 70%, dan tiga perusahaan Indonesia.

TMS yang memegang kontrak karya (KK) generasi VI sejak 17 Maret 1997 lalu telah mengantongi persetujuan kelayakan lingkungan dari Provinsi Sulawesi Utara pada 25 September 2020 dan izin operasi produksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) awal tahun ini.

Artinya, TMS berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun ke depan. Dari luas itu, terdapat 4.500 hektare yang memiliki mineralisasi utama yaitu di Kampung Bawone, Binebase, Sade, dan Kupa. Contoh, berdasarkan hasil eksplorasi perusahaan di Binebas dan Bowone, menurut sumber daya terunjuk, terdapat potensi 114.700 ons emas dan 1,9 juta ons perak. Ditambah, 105.000 ons emas dan 1,05 juta ons perak berdasarkan sumber daya tereka.

Koordinator Jatam Merah Johansyah mengatakan, izin wilayah tambang tersebut berpotensi "menenggelamkan" pulau tersebut. "Di pulau kecil seperti Sangihe, semuanya terbatas, air tawar terbatas, ekologi terbatas. Kalau setengah pulau jadi wilayah tambang, tenggelam itu pulau dalam kerusakan," kata Merah.

Merah mengatakan, terdapat 55 pulau dari sekitar 13 ribu pulau kecil di Indonesia yang dieksploitasi oleh pertambangan. Setelah semua syarat dikantongi, kini TMS tengah melakukan negosiasi pembebasan lahan dengan warga. Namun upaya itu tidak mudah. Save Sangihe Island, gerakan penolakan tambang yang terdiri dari 25 organisasi kemasyarakatan, terus menyuarakan protes. Seperti hari itu, Selasa (25/06), sekitar 30 warga berkumpul di Kantor Kapitalaung Kampung Bowone, yang terletak sekitar 20 kilometer dari Kampung Ulung Peliang - salah satu pintu masuk ke Gunung Sahendaruman.

Mereka menolak masuknya tambang dan berikrar tidak akan menjual tanah yang ditawar Rp5.000 per meter oleh perusahaan. "Pusat perlawanan dan masa depan masyarakat Sangihe ada di Bowone. Bagaimana, Bowone siap tolak TMS?" seru Alfred Pontolondo dari Save Sangihe Island kepada warga.

Di antara warga yang protes itu, ada seorang ibu rumah tangga, Elbi Pieter. Dia membayangkan jika perusahaan tambang beroperasi di tanah kelahirannya maka air laut akan tercemar, air minum menjadi beracun, perkebunan dan perbukitan lenyap, serta mata pencaharian penduduk yang mayoritas nelayan hilang. "Kami tidak percaya janji-janji kesejahteraan, kami hidup bukan dari hasil perusahaan, tapi karena keringat dan kerja keras masyarakat di tempat ini," katanya.

Elbi mengaku kaget ketika mendengar perusahaan telah memegang surat keputusan kelayakan lingkungan hidup kegiatan penambangan dan izin usaha pertambangan saat sosialisasi pembebasan lahan ke masyarakat, pada 24 Maret lalu. "Saya berharap kepada Bapak Presiden Joko Widodo agar turun tangan sehingga izin yang dipegang TMS dicabut dan masyarakat Sangihe terbebas dari ketakutan dan kecemasan yang sangat. Kami ingin hidup tenang seperti dulu," ujar Elbi yang memiliki lima hektare lahan.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga mengatakan tidak dilibatkan dalam proses pengurusan izin lingkungan dan eksploitasi yang diterbitkan untuk TMS. "Karena proses pertambangan kewenangannya sudah ditarik dari kabupaten ke pusat dan provinsi," kata Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe Melanchton Herry Wolff.

Herry mengaku baru mengetahui izin telah diberikan saat TMS datang dan melapor ke pimpinan daerah. "Namun demikian, integrasi antara pusat dan daerah harus jalan sehingga keputusan pusat itu, kami selaku pemda otomatis akan menerima dan melakukan sinergi," katanya.

Herry menambahkan, pemda akan mengawal proses pertambangan dengan memprioritaskan lingkungan dan masyarakat. "Wilayah selatan Sangihe memang direkomendasikan untuk pertambangan tapi harus dilakukan secara terbatas dan selektif karena perlu disadari pulau kita sangat kecil. Sehingga jika tidak dikawal, otomatis akan sangat mempengaruhi keberlanjutan kehidupan di Kabupaten Sangihe," kata Herry.

Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe Helmud Hontong juga sempat mengajukan surat permohonan pembatalan izin TMS ke Menteri ESDM. Namun belum sempat menindaklanjuti, dia meninggal dunia saat perjalanan pulang dari Bali menuju Manado via Makassar, Rabu (09/06). Salah satu poin dalam surat itu, Helmud menjelaskan bahwa usaha pertambangan bertentangan dengan UU tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kemudian, aktivitas pertambangan berpotensi merusak lingkungan daratan, pantai, komunitas mangrove, terumbu karang dan biota yang ada di dalamnya.

Pertambangan ilegal di tengah ketiadaan pilihan

Selain warga desa, rencana tambang juga mendapatkan penolakan dari warga yang menggantungkan hidupnya pada pertambangan emas tanpa izin (PETI). Saya mendatangi area tambang ilegal yang berjarak 200 meter menuju bukit dari jalan raya di Kampung Bowone. Deru suara genset menyambut saya, juga sekitar sepuluh pria yang sedang beristirahat. Sebagian tubuh mereka diselimuti tanah.

Di satu sisi, tiga orang lain berada di dalam lubang sedalam 12 meter dan selebar satu meter. Dari atas terlihat dua karung tanah diangkat menggunakan kawat baja dari dalam lubang. Di sampingnya, dengan menggunakan palu, seseorang tengah menghaluskan tanah dan bebatuan. 

Sementara itu, enam orang secara bergantian menabur kapur di atas kolam berlapis terpal yang berisi tanah untuk proses penjernihan tanah. Bau menyengat sontak menyerang. Sedangkan di tenda sebelah, tanah disiram dengan karbon dan sianida untuk mengikat logam yang berisi emas, tembaga, perak dan logam lainnya.

Itu adalah pertambangan rakyat yang disebut masyarakat menjadi mata pencaharian utama secara turun-temurun warga sejumlah kampung di Sangihe. Dalam sebulan, dari setiap lubang bisa diambil 800 karung tanah berukuran 25 kilogram dengan rata-rata penambang mendapatkan penghasilan Rp2-4 juta.

Christoper Luwunaung, warga Kampung Lapango I, Kecamatan Manganitu Selatan, telah bekerja hampir dua tahun di sana. Hasil yang didapatnya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Christoper menyadari apa yang dilakukannya ilegal dan berbahaya, namun ia mengaku tidak ada pilihan yang seimbang. "Kami meminta diberdayakan, diberikan pengetahuan cara menambang yang aman, diawasi pemerintah, bukan dengan dikasih ke swasta. Lalu kami kerja apa?" kata Christoper, yang mengikuti jejak ayahnya sebagai penambang.

Macion Samodara, pengurus salah satu tambang ilegal ini berkata, pertambangan rakyat tidak merusak bentang alam. Buktinya, menurut dia, perkebunan warga masih berdiri tegak dan menghasilkan buah. "Berikan izin ke rakyat, daripada dikasih ke luar, kita tidak dapat apa-apa, terusir dan menderita," kata Macion.

Menurut Maicon, sepanjang sepengetahuannya, tidak ada kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa akibat PETI. Sekda Pemkab Kepulauan Sangihe Melanchton Herry Wolff menjelaskan, pertambangan rakyat muncul tahun 1980-an akibat kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan. "Akhirnya warga tahu dan melakukan penambangan tanpa izin," kata Herry.

Pemkab Sangihe, kata Herry, mengklaim telah menghentikan kegiatan pertambangan liar sambil menunggu proses perizinan. Walaupun ketika saya ke sana, kegiatan pertambangan masih berlangsung.

Mengapa tambang ditolak?

Juru bicara gerakan Save Sangihe Island, Samsared Barahama, mengatakan terdapat beberapa alasan rencana eksploitasi emas oleh TMS di Sangihe harus ditolak. Pertama, wilayah izin produksi yang diberikan sebesar 42 ribu hektare atau setengah dari luas Pulau Sangihe yang dihuni lebih dari 131 ribu jiwa.

Menurut Samsared, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (WP3K) menegaskan pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2.000 kilometer persegi masuk dalam kategori pulau kecil yang dilarang ditambang. "Pulau Sangihe hanya berukuran sekitar 736 kilometer persegi sehingga dalam UU itu tidak layak ditambang," kata Samsared.

Kedua, Pulau Sangihe merupakan kawasan rawan gempa bumi karena berada di atas dua lempeng besar, yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik, dan dua lempeng kecil, yakni lempeng Sangihe dan lempeng Laut Maluku.

Ditambah lagi, adanya tiga gunung api aktif yang menyebabkan daerah ini rawan bencana. "Tempat pembuangan limbah berpotensi bocor dan mencemari lingkungan karena dibangun di atas tanah rawan gempa dan erupsi gunung api," kata Samsared.

Ketiga, aktivitas pertambangan akan merusak kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman yang menjadi habitat satwa endemik Pulau Sangihe dan juga sumber mata air bagi masyarakat. Keempat, proses penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL) untuk mendapatkan persetujuan kelayakan lingkungan tidak melibatkan masyarakat Sangihe, khususnya di wilayah lingkar tambang. "Masyarakat baru mendengar izin lingkungan telah keluar saat TMS melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk pembebasan lahan. Pertanyannya, kapan dan melibatkan siapa AMDAL itu saat dibuat? Bagaimana hasilnya dan mengapa tertutup?" katanya.

Samsared mengatakan, kini masyarakat lingkar tambang telah menyatukan suara untuk tidak menjual lahannya dan menolak kehadiran TMS. "Di Kampung Bowone, 90% lebih sudah menandatangani pernyataan penolakan. Kami mendorong Bapak Presiden untuk mencabut izin lingkungan dari provinsi dan IUP yang diterbitkan Kementerian ESDM," katanya.

Manager Tambang Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) Bob Priyo Husodo memiliki pandangan berbeda terkait penolakan warga dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkan jika perusahaan beroperasi. "Situasi di desa kami [lingkar tambang] aman sebenarnya, itu ada yang mempolitisir. Tapi sudah lah, prinsipnya kami akan fokus pada pembebasan lahan, kami mendekati satu per satu [warga] untuk pembebasan lahan. Semuanya positif, dukungan masyarakat mengalir," kata Bob.

Bob juga membantah jika masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengurusan izin lingkungan. "Yang protes itu masyarakat pendatang, jadi masyarakat desa kami undang, ada saksinya dari warga hingga aparatur desa. Kita clear, mereka mendukung," katanya.

Bob mengakui ada warga lingkar tambang di Bowone dan Patimbas yang masih ragu dan menolak, tapi mayoritas dari mereka mendukung aktivitas tambang. "Lalu, yang perlu ditekankan, luasnya bukan 42 ribu, tapi hanya 65,48 hektare [yang rencananya digunakan untuk pertambangan]. Jadi tidak akan mengganggu dan berdampak seperti yang disebut-sebut. Kami menilai ada politisasi di sini," ujar Bob.

Perihal luas lahan konsesi 42.000 hektare dalam kontrak karya itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin, menjelaskan hal senada. Menurut Ridwan, wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektare adalah luas wilayah izin usaha yang akan mengecil seiring dilakukannya studi kelayakan dan kandungan mineral lanjutan di dalamnya. "Misalnya dari luas wilayah 100 hektare kemudian diteliti dan tinggal misalnya 25 hektare, di situ kerjanya, jadi akan ada pertimbangan-pertimbangan teknis," kata Ridwan.

Sebaliknya, wilayah pertambangan juga bisa meluas dari 65,48 hektare jika ditemukan potensi kandungan mineral di dalam wilayah izin 42.000 hektare tersebut selama 33 tahun mendatang. Ridwan juga menyoroti adanya dugaan oknum dari pertambangan emas tanpa izin yang terganggu saat pemerintah berupaya memformalkan kegiatan pertambangan. "Sudah ada 200 lubang tambang di Sangihe, apakah tidak patut kita menduga ketika pemerintah mau memformalkan kegiatan pertambangan, ada pihak lain yang terganggu kepentingannya. Lebih baik diusahakan menggunakan regulasi dan praktik pertambangan yang benar daripada kita membiarkan orang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin," katanya.

Ridwan juga berkata, polemik proses AMDAL dan perizinan lainnya, seharusnya telah selesai seiring dengan keluarnya persetujuan kelayakan lingkungan dari Provinsi Sulawesi Utara yang melibatkan warga lingkar tambang. "Kan kita bisa membayangkan kalau sudah dikaji AMDAL-nya, sudah dinyatakan selesai kemudian kita bilang tidak bisa, terus logikanya di mana?. "Kalau memang masyarakat setempat tidak setuju, contoh ya ketika konsultasi publik AMDAL-nya, bilang-bilang dong, kami tidak setuju. Jangan sampai persetujuan sudah keluar, mereka katakan tidak mau menghormati kesepakatan itu," kata Ridwan.

Pemerintah pusat, kata Ridwan, berjanji akan melakukan pengawasan ketat agar pertambangan emas tak mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti pencemaran sumber air dan wilayah pesisir. "Percaya lah kami bukan orang perusak. Anda, mereka, dan saya itu hidup di Bumi yang sama, jadi cita-cita kita ingin agar Bumi ini sama-sama terjaga," janji dia.

Menatap masa depan

Dalam perjalanan pulang menuju Jakarta, saya melemparkan pandangan pada keindahan pemandangan alam Gunung Sahendaruman mulai barisan pohon-pohon besar, kicauan burung, hingga suara deru limpahan air sungai. Saya teringat ucapan Bu Niu yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk Gunung Sahendaruman, dan merasa khawatir karenanya.  "Kalau tambang masuk, burung mati dan punah, hutan rusak lalu terjadi longsor, masyarakat kehilangan kehidupan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan kami nanti," kata Bu Niu sambil mengisap linting tembakau.

Ia memandang Gunung Sahendaruman yang berdiri tegak, barangkali membayangkan keindahannya yang mungkin saja hilang. Bu Niu yang telah menyerahkan nyaris 23 tahun hidupnya untuk menjaga manu' niu dan burung-burung endemik lainnya dari serangan warga lokal yang membuka lahan dan perburuan liar, mengaku tidak bisa berbuat apa-apa... terlebih bila ancaman itu datang dari negara. (*)

Tags : Pertambangan Emas, Sulawesi Utara, Tambang Emas Ancaman Bagi Burung Endemik, Tambang Emas di Sulawesi Utara,