PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Wakil Sekretaris Jenderal [Wasekjend] Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] mengkritik Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang diduga masih berkantor di Jakarta.
"PHR berkantor mewah di Jakarta, sementara wilayah cakupannya berada di Sumatera".
"PHR ini kan berada di Riau, tapi kenapa berkantor di Jakarta. Kan sayang duitnya sampai Rp382 miliar per tahun hanya untuk berkantor di Jakarta itu," tanya Larshen Yunus, Wasekjend [membidangi minyak dan gas bumi] KNPI Jakarta ini menduga, Sabtu (22/7).
Larshen Yunus sangat mengkritik keras PHR justru dinilainya hanya 'bermewah-mewah' di Jakarta. Mengapa tidak utamakan dan dahulukan kepentingan Riau sebagai sumber penghasil migas?
Sejauh ini Humas PT PHR, Rian Nofitra dikonfirmasi melalui selularnya belum memberikan jawaban.
Tetapi mendengar kritikan itu, VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso sebelumnya telah membantah terkait sewa gedung yang nilainya ratusan miliar di Jakarta itu.
Pertamina [BUMN] menyewa kantor pusatnya di kawasan Gambir senilai Rp320 miliar per tahun, dan itu untuk seluruh Pertamina Group, tidak hanya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).
"Jadi, kantor pusat Pertamina di Gambir yang bernilai hingga ratusan miliar itu adalah milik Pertamina keseluruhannya."
"Kantor pusat pertamina di wilayah gambir merupakan aset pertamina group. Artinya milik pertamina, jadi pertamina group tidak sewa. Mungkin informasi yang beredar ketika disebut pertamina sewa, langsung diasosiasikan ke gedung pertamina di gambir," ucap Fadjar seperti dilansir kompas.com, Jumat 21 Juli 2023.
Ia menyatakan, Pertamina memang menyewa sejumlah gedung untuk ditempati pegawainya lantaran kantor di Gambir sudah tidak mencukupi. Tapi bukan gedung kantor pusat di Gambir.
Salah satu gedung yang disewa Pertamina adalah Sopo Del Tower di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, yang merupakan milik Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan.
"Memang benar pertamina group ada melakukan sewa gedung untuk menampung kebutuhan kantor yang tidak tertampung di pertamina group. Lokasi gedung yang disewa ada di beberapa tempat di jakarta," sebutnya.
Tetapi menurut Larshen Yunus yang mengkritik soal PHR bertengger [kantor] di Jakarta. Kenapa tidak di Rumbai itu aja, sehingga itu dapat mengurangi pengeluaran pihak PHR.
"Direksi PHR malah menyewa kantor di Jakarta sebesar Rp382 miliar per tahun. Sementara, kantor lama yang dulunya digunakan Chevron di Rumbai, Kota Pekanbaru, malah ditinggalkan kosong begitu saja."
"Kami mendukung apa yang telah diinstruksikan oleh Komisaris Utama (Komut) Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama, yang memerintahkan agar direksi PHR berkantor di Sumatera," kata Larshen Yunus yang juga sebagai DPD I KNPI Riau ini.
KNPI menyayangkan sikap PHR yang berkantor di Jakarta hingga menyewa ratusan miliar. Tetapi menurutnya soal PI 10 persen untuk disetorkan pada daerah penghasil kesulitan, "yang mana benarnya, mengapa Participating interest [PI] tak kunjung dibagikan, sebaiknya dengan uang sewa sebesar itu [Rp382 miliar] akan lebih baik digunakan jika diberikan kepada masyarakat Riau khususnya," tanya dia.
Jadi menurutnya, dengan berkantor di Jakarta itu tidak sesuai dengan adab di negeri Melayu. Pasalnya, PHR ini adanya di Provinsi Riau, namun tidak menggunakan kantor yang ada di Riau, khususnya di Rumbai, Kota Pekanbaru.
Menurutnya, dengan uang sewa kantor sebesar Rp300 miliar lebih di Jakarta, itu bisa digunakan untuk membantu pemuda, mahasiswa atau diberikan sebagai dana CSR kepada masyarakat.
"Ini kami sayangkan kepada pihak PHR yang terkesan menghamburkan uang rakyat itu. Jadi kami [KNPI] ndak setuju itu seperti mubajir ... bagaimana instruksi bapak Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama," tanya dia lagi.
Tetapi Larshen Yunus balik menegaskan, jika PHR tidak segera pindah kantor dari Jakarta ke Riau, maka KNPI Riau akan meminta kepada Komut Pertamina untuk mengganti direksi PHR tersebut.
"Jika tidak juga pindah ke Riau atau sumatera, maka KNPI akan meminta kepada komisaris utama untuk mengganti Direktur Utama PHR. Karena sangat disayangkan sekali, jika pemuda tempatan ataupun mahasiswa ingin berdiskusi tidak mungkin terus menerus ke Jakarta. Karena pasti memakan biaya, sementara wilayahnya ada di Riau," tanya dia.
Menurutnya, jika PHR berkantor di Rumbai tentu masyarakat atau pun pemuda akan mudah untuk berdiskusi di sana. Karena itu, pihaknya ingin PHR berkantor di Riau.
Jadi sebaiknya berkantorlah di Riau, agar terjadinya keharmonisan, kesejahteraan, untuk masyarakat Riau, anak muda Riau, anak muda tempatan dan semua stakeholder yang ada di Riau, pesanya.
Padahal kata Larshen, kantor yang digunakan Chevron sebelumnya sudah diserahkan ke PHR. Alangkah baiknya itu digunakan untuk kantor.
Ia juga mempertanyakan kenapa direksi PHR saat ini tidak mau berkantor di Rumbai.
"Kenapa mereka tidak mau berkantor di rumbai? Karena takut didemo karena dalam pengelolaan miigas itu karyawannya ada yang mati?," tanyanya.
Ia menyebut, Direksi PHR ini ada tapi tidak nampak [siluman]. Wilayah kerja di Sumatera namun kantornya di Jakarta.
Pihaknya juga mempertanyakan alasan PHR menyewa kantor mahal-mahal di Jakarta. Ia mencontohkan, jika uang sewa kantor itu diberikan kepada masyarakat Riau Rp1 juta per orang, maka dapat menurunkan angka kemiskinan di Riau.
"Dengan uang sebanyak itu bisa membantu pemerintah. Karena PHR ini perusahaan milik negara, bisa membantu dalam mengentaskan kemiskinan, pengangguran, masyarakat tempatan. Hanya karena oknum-oknum ini maka rusak badan usaha milik negara itu," ungkapnya.
"Jadi kalau mereka tidak mau mengindahkan, copot saja, ganti saja Dirutnya atau juga boleh hengkang dari Riau ya," usulnya.
Namun Nawasir Kadir, mantan Direktur PT Bumi Siak Pusako [BSP] menilai miring dengan model pembagian hasil yang dilakukan pemerintah [Pertamina] selama ini.
Prosentase perhitungan bagi hasil, pabila suatu lokasi pertambangan berada di darat (onshore), daerah penghasil untuk wilayah offshore ditentukan sbb:
Namun menurutnya lagi, Dana Bagi Hasil [DBH] untuk minyak dan gas berbeda dalam prosentase. Untuk minyak bumi, pemerintah pusat mendapatkan 85% sedangkan 15% nya dibagi ke daerah penghasil.
Untuk gas bumi, pemerintah pusat mendapatkan 70% sedangkan 30% nya dibagi ke daerah penghasil. Prosentase tersebut sama dengan prosentase bagi hasil yang diatur dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC).
Namun Pemerintah Pusat menambah 0,5% dari bagian bagi hasilnya kepada daerah untuk dana pendidikan. Sehingga share pemerintah berkurang 0.5% sedangkan daerah bertambah 0.5%
Prosentase tersebut merupakan prosentase yang akan dikalikan dengan bagian yang menjadi hak pemerintah sesuai dengan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
Bagian yang diterima oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota tergantung dari definisi daerah penghasil. Jika daerah penghasil merupakan pemerintah pusat (> 12 mil), maka hasil dari lapangan migas tersebut 100% menjadi milik pemerintah pusat
Jika daerah penghasil termasuk wilayah provinsi ( 4-12 mil), maka dari 15% share daerah, 5% merupakan bagian pemerintah provinsi sedangkan 10% sisanya menjadi hak seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut (dibagi rata).
Jika daerah penghasil termasuk wilayah kabupaten/kota (<4 mil), maka dari 15% share daerah, pemerintah provinsi mendapatkan 3%, kabupaten/kota penghasil mendapatkan 6% dan kabupaten/kota lainnya mendapatkan 6% (dibagi rata).
Secara umum, Dana Bagi Hasil Minyak Bumi memiliki prosentase dua kali lipat dari gas bumi. Sehingga jika daerah penghasil termasuk wilayah provinsi ( 4-12 mil), maka dari 30% share daerah, 10% merupakan bagian pemerintah provinsi sedangkan 20% sisanya menjadi hak seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut (dibagi rata).
Jika daerah penghasil termasuk wilayah kabupaten/kota (<4 mil), maka dari 30% share daerah, pemerintah provinsi mendapatkan 6%, kabupaten/kota penghasil mendapatkan 12% dan kabupaten/kota lainnya mendapatkan 12% (dibagi rata).
Untuk wilayah yang termasuk pemerintah pusat, maka 100% dari hasil tersebut masuk ke pemerintah pusat.
Jika lokasi masuk pemerintahan provinsi, maka dari 0.5% tersebut, 0.17% nya masuk ke provinsi sedangkan sisanya (0.33%) dibagi rata ke seluruh kabupaten/kota
Jika lokasi masuk pemerintah kabupaten/kota, maka dari 0.5% tersebut, 0.1% masuk ke provinsi yang bersangkutan, 0.2% ke kabupaten/kota penghasil sedangkan sisanya (0.2%) dibagi rata ke seluruh kabupaten kota.
"Kenyataannya, untuk anggaran belanja Pertamina dalam operasionalnya dihitung tiap tahun saja, sebagai contoh Rp20 trliun, tak sebanding dengan besaran anggaran DBH untuk daerah. Itu baru anggaran belanja, belum lagi, untuk tenaga skill dll," sebutnya.
"Yang menjadi pertayaan mengapa PI sebesar 10 persen itu saja harus diulur-ulur waktu bahkan dipersulit untuk daerah penghasil," tanya Nawasir Kadir.
Dia juga sangat menyayangkan, pada kantor PHR di Rumbai [bekas milik Cevron] yang menjadi aset Pemprov hanya ditempati sekelas managejer kebawah, "tetapi Direktur dan Direksi tentu lah di Jakarta," katanya.
Hanya saja, kata Nawasir mengaku, jika ada kepentingan Riau dengan PHR tak bisa di diskusikan ditempat, "semua urusan tetap diputuskan di Jakarta," sebutnya.
Sepertinya memang, kata Nawasir, sejak Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) memerintah pusat Kerajaan Siak, Melayu cukup berbaik hati dengan SDA nya yang kaya melimpah. (*)
Tags : pertamina hulu rokan, phr dikritik, phr dituding bermewah-mewah di Jakarta, phr tidak utamakan daerah, riau daerah penghasil migas, phr di riau,