POLITIK – Pemilihan kepala daerah [Pilkada] 2020 bakal diramaikan keluarga pejabat, sanak saudara, kerabat bupati di sejumlah daerah.
Masih ada bupati aktif menjabat ikut serta dalam perhelatan pilkada serentak, begitupun tentang ikut majunya keluarga atau kerabat di Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] 2020 ini. Seharusnya pejabat dan keluarga yang ada terkaitan dengan jabatan aktif semestinya keluarga harus menjaga jarak dari politik praktis.
“Juga berupaya menghindari konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan serta memanfaatkan pengaruh pejabat kepala daerah untuk kepentingan pribadi terkait kontestasi yang akan mereka ikuti,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Melayu Riau [LMR], H Darmawi Aris SE.
Di sisi lain, kata Darmawi, memang secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar dan membatasi siapa pun termasuk anak atau keluarga pejabat untuk terlibat dalam politik praktis. Namun tersandera soal etika dan kepatutan, semestinya harus dipertimbangkan matang, Ia mengatakan, jangan terkesan seperti fenomena “politik aji mumpung” kebetulan bapaknya lagi pejabat/kepala daerah.
Menurut Darmawi, politik dinasti pada dasarnya sudah mengakar kuat di Riau sendiri. Namun saat dekade ini dirasakan eksperimen awal membangun trah dinasti politik mulia terjadi. “Pertanyaannya adalah apakah pemerintahan di Riau dengan menyiapkan infrastruktur sekaligus untuk menopang politik dinasti?”.
Jika tidak dipersiapkan dengan matang, bisa saja eksperimen politik dinasti yang juga terjadi di Riau ini hanya menjadi ajang kelinci percobaan. Kalau seandainya gagal misalnya, maka sama saja mempermalukan dan menggerus legitimasinya sendiri. Ketua umum partai lain juga sedang menyiapkan trah dinasti politiknya. Selain itu langkah ini akan melahirkan konflik internal yang merusak tradisi meritokrasi, memprioritaskan figur kader internal yang sudah berdarah-darah membesarkan partai. Jika kearah untuk membangun dinasti politik, jelas disini terlihat akan distempel menyalahgunakan kekuasaan.
Beratnya lagi, sambung Darmawi, misalnya kalau di tengah jalan terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan keuangan negara alias tindak pidana korupsi yang dilakukan keluarga pejabat atau kebetulan sebagai kepala daerah, pertanyaannya siapa yang berani melawan kelarga pejabat itu?. “Alhasil penegakan hukum berjalan tidak normal karena adanya intervensi kekuasaan, alasannya demi menyelamatkan citra pejabat dan seterusnya. Ini yang barangkali kita maksud lebih besar aspek mudaratnya dari pada manfaatnya terkait embrio politik dinasti,” kata Darmawi.
Menurutnya, siapa pun yang memimpin suatu daerah tidak menjadi masalah, yang harus disadari pemimpin ialah harus mendengarkan masyarakat. Harus sama-sama guyub rukun. Politik dinasti sebenarnya tidak tumbuh subur hanya di Indonesia. Di luar negeri sekalipun politik dinasti bisa dengan mudah ditemukan.
Seperti disebutkan Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dini Suryani, mengatakan penyebab utama politik dinasti menjamur di Indonesia ialah mandeknya fungsi partai sebagai sarana rekrutmen politik yang objektif. Anggota keluarga dinasti yang telah memiliki modal/privilege atau finansial/popularitas dipandang lebih potensial menang dalam pemilihan dibandingkan orang biasa.
Hal tersebut didukung oleh sistem pemilu di Tanah Air yang sangat fokus pada personal dibandingkan program. Diperkuat lagi dengan tidak adanya aturan yang melarang anggota keluarga pejabat politik maju dalam kompetisi politik. Beberapa tahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pasal antipolitik dinasti yang sebenarnya bisa menjadi penghalang menjamurnya politik kekerabatan yang hari ini sangat subur. Larangan politik kekerabatan sebenarnya sudah tercantum dalam UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, tetapi digugat ke MK dan dikabulkan karena dinilai melanggar hak konstitusional warga negara untuk dipilih dalam politik.
“Sebab lain adalah pemilih kita yang masih permisif dengan politik uang, yang banyak dilakukan oleh para kandidat dari dinasti politik, karena mereka punya modal finansial yang kuat,” kata Dini.
Salah satu contoh terbaru korupsi dari politik dinasti datang dari Kabupaten Kutai Timur. Pada awal bulan ini Bupati Kutai Mumtaza ditangkap KPK akibat dugaan suap. Bupati Kutai Timur tidak ditangkap sendirian, istrinya yang menjabat Ketua DPRD Kutai Timur juga ikut dibekuk karena diduga bersekongkol.
Sementara Pengamat komunikasi politik dari Universitas Muhammadiyah Riau, Aidil Haris, membenarkan perhelatan Pilkada 2020 akan diramaikan oleh keluarga pejabat yang akan maju sebagai calon kepala daerah di sejumlah daerah. Dinasti politik pada pilkada dapat berpotensi penyalahgunaan wewenang dan sumber daya dalam kampanye.
Pilkada 2020 digelar serentak di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Proses pemungutan suara akan berlangsung 9 Desember, mundur 3 bulan dari jadwal semula akibat pandemi virus corona. Meski diundur, perhelatan politik tahunan ini tetap menarik perhatian karena diikuti oleh sejumlah anggota keluarga pejabat daerah. Aidil Haris mengatakan turut sertanya sejumlah keluarga bupati dalam kontestasi 9 pilkada di Riau, ditinjau dari segi momen sosialisasi sangat diuntungkan. Pasalnya nama mereka dengan sendirinya diasosiasikan dengan bupati yang kini menjabat. “Sedangkan para penantang, harus meladeni pilkada di tengah wabah dengan sedikitnya waktu bersosialisasi. Jadi, dari segi popularitas cakada dari keluarga elit sangat terbantu. Tapi kalau elektabilitas belum tentu,” digambarkan Aidil.
Menurutnya, elektabilitas itu akan ditentukan oleh bagaimana pemilih memandang capaian keluarga tersebut saat memimpin. Sehingga popularitas yang tinggi belum tentu elektabilitas juga tinggi. “Warga mungkin kenal dia sebagai anak atau istri bupati. Artinya dia sudah dikenal. Tapi untuk dipilih, warga akan melihat track record keluarga itu. Namun ini lebih kentara pada pemilih dengan corak rasional,” ulasnya.
Aidil mengatakan reputasi keluarga bakal menjadi perhatian dalam setiap kontestasi. Namun, sorotan itu juga terkait capaian selama menjabat. “Apakah dengan ikutnya mereka, kemudian peluang menangngya lebih besar? Tentu saja tidak, bahkan di segmen pemilih tertentu, mereka akan mengamati track record yang telah dicapai,” sebutnya.
Adapun dalam kontestasi pilkada 2020 di Riau, anak dan istri bupati turut menjadi bakal calon kepala daerah. Di Pelalawan misalnya, anak Bupati Pelalawan, HM Haris, Adi Sukemi, telah memperoleh dukungan dari Partai Golkar. Sedangkan di Indragiri Hulu, istri Bupati Yopi Arianto, Rezita, juga telah meraih dukungan Partai Golkar. Di Kabupaten Kuansing, anak mantan Bupati Kuansing Sukarmis, juga dipastikan bakal ikut berlaga pada pilkada Desember 2020. (surya dharma panjaitan)
Tags : pilkada serentak, politik dinasti, riau, index,