JAKARTA - Dalam kunjungannya ke Beijing awal pekan ini, Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping memperbarui perjanjian bilateral, antara lain tentang kerjasama dalam pembangunan infrastruktur dan maritim.
“China dan Indonesia akan melakukan kerja sama yang mendalam dan berkualitas tinggi melalui sinergi Belt and Road Initiative (BRI) dan Global Maritime Fulcrum (GMF). Kedua belah pihak juga berkomitmen untuk menyelesaikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung sesuai jadwal sebagai proyek unggulan,” tulis pernyataan pers yang dibuat kedua negara.
Kantor berita Reuters melaporkan China menyanjung Indonesia sebagai model mitra strategis, berbeda dengan kata-kata tajamnya kepada Amerika Serikat dalam beberapa bulan terakhir atas masalah dari Taiwan dan Ukraina hingga praktik perdagangan dan Laut China Selatan.
Presiden Xi juga memberikan dukungan penuh pada kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2023.
Sementara itu, dengan latar belakang kewaspadaan terhadap ‘jebakan hutang China’, pengamat berharap peninjauan ulang utang Indonesia juga menjadi prioritas dalam pertemuan itu.
“Mulai dari kereta cepat Jakarta-Bandung, proyek-proyek jalan tol, proyek-proyek strategis nasional, termasuk bandara, dan kawasan industri, banyak menggandeng konsorsium dari China,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
Namun menurut peryataan pers, kedua negara akan mempercepat perumusan baru dari Rencana Aksi Lima Tahun - Pelaksanaan Kemitraan Strategis Komprehensif antara China dan Indonesia untuk 2022 hingga 2026.
Ini adalah rencana keseluruhan untuk kerja sama konkret di berbagai bidang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan kedua bangsa, dan menjalankan tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga perdamaian, stabilitas dan kemakmuran regional, dan keadilan global.
Mengapa utang kepada China menimbulkan kekhawatiran?
Berdasarkan data terbaru statistik utang luar negeri (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia, jumlah utang Indonesia kepada China mencapai 21,7 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp326,7 triliun.
Jumlah ini menempati peringkat keempat; lebih kecil dari pinjaman Jepang, Amerika Serikat dan yang terbesar dari Singapura. Jepang bahkan pernah memberi pinjaman senilai lebih dari dua kali lipat dari jumlah yang diberikan China sekarang.
“Kenapa tiba-tiba ada isu jebakan utang? Kenapa waktu Jepang tidak sesanter ini beritanya? Karena, satu, kita di era teknologi, di mana informasi ini begitu heboh dan gencar. Padahal dulu utang antara pemerintah dengan Jepang atau utang B to B sudah biasa,” kata Kepala ekonom BRI Danareksa Sekuritas, Telisa Falianty, lewat sambungan telepon.
Menurutnya, jumlah utang kepada China mencakup utang ‘tersembunyi’ atau utang antarbisnis yang diambil oleh BUMN maupun bank milik negara. Bukan berarti utang tersebut diambil secara sembunyi-sembunyi, tapi utang itu tidak tercatat sebagai utang pemerintah.
“Permasalahannya, ternyata proyek-proyek yang dibuat China ini, berbeda dengan Jepang dulu, produktivitasnya dipertanyakan. Contoh, kereta api cepat Jakarta-Bandung, pengerjaannya molor. Ini kan tidak meningkatkan produktivitas sedangkan hutangnya sudah berjalan,” kata Telisa yang juga merupakan dosen di Universitas Indonesia.
Telisa juga menyoroti paket-paket perjanjian yang menurutnya tidak bernilai tinggi bagi Indonesia.
“Jadi kalau China itu semuanya, utangnya dari dia, bahan bakunya dari dia, tenaga kerja bukan hanya level yang tinggi, tapi yang bawah pun dari dia,” kata Telisa.
“Jadi istilahnya nilai untuk kitanya kecil banget. Semuanya dari dia jadi ini sebenarnya proyek untuk siapa?”
Keterangan pers pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Xi menyebut bahwa kerjasama kuat antara kedua negara telah dipertahankan sejak 2013, tahun yang sama dengan diluncurkannya inisiatif pembangunan Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) oleh Presiden Xi.
“Melalui Belt Road Initiative, China membuat proyek-proyek infrastruktur di berbagai negara untuk memudahkan konektivitas, memuluskan perdagangan dengan seluruh dunia, intinya itu. Dulu kan China memiliki jalur sutra,” kata Telisa.
Selain kereta api cepat Jakarta-Bandung, proyek-proyek besar yang menggandeng inisiatif ini adalah Kawasan Industri Morowali, di Sulawesi Tengah senilai Rp80 triliun, tol Probolinggo-Banyuwangi di Jawa Timur, senilai Rp21 triliun, dan Kawasan Industri Teluk Weda di Halmahera Tengah, senilai Rp70 triliun.
Utang China mudah didapat tapi sulit diakhiri?
Menurut pengamat ekonomi Center of Economic and Law Studies atau CELIOS, Bhima Yudhistira, ada banyak faktor yang membuat Indonesia tertarik dengan pinjaman dari China.
“Yang pertama, tenor utangnya jangka panjang. Kedua, secara bunga jauh lebih rendah dibandingkan kompetitor di negara lain,” kata Bhima kepada BBC Indonesia.
“Kajian awal terhadap proyeknya juga tidak dilakukan seketat kreditur lainnya. Misalnya dibandingkan dengan lembaga multilateral seperti bank dunia atau Asian Development Bank, penilaian awal mereka relatif sangat detail dan ini dianggap memakan waktu terlalu lama,” kata Bhima.
Ia juga menambahkan bahwa pinjaman dari China menjadikan standar lingkungan, sosial, dan pemerintahan relatif dikesampingkan dan tidak menjadi syarat utama pinjaman dan hanya bersifat pelengkap.
“Di sinilah pinjaman China itu dianggap ‘easy to get.' Mudah prosesnya dibanding pinjaman dari kreditur lainnya. Tapi cara-cara pinjaman dengan penilaian ataupun perencanaan yang sudah bermasalah dari awal, yang penting prosesnya cepat,” kata Bhima.
“Ya ini ternyata menimbulkan banyak problem dalam proses maupun dalam penyelesaiannya.”
Menurut Bhima, meski yang mengambil pinjaman adalah BUMN, jika ada kendala maka resiko tetap ditanggung pemerintah atau APBN.
Utang non-pemerintah menjadi salah satu faktor yang membuat Sri Lanka berada di titik kebangkrutan. “Sri Lanka, Laos juga yang terdekat,” kata Bhima.
“Mereka konsepnya adalah hutang dengan ‘B to B’ memang. Membentuk konsorsium dan kemudian utang itu sebagian besar digunakan untuk proyek infrastruktur yang memang perencanaannya dari awal sudah bermasalah dan dipaksakan seperti Pelabuhan Hambatonta di Sri Lanka,” kata Bhima.
“Ketika gagal bayar, ada konsesi yang diberikan kepada China maupun BUMN China, dalam jangka yang sangat panjang [pelabuhan] dikelola mereka.”
Bagaimana agar Indonesia tidak terjebak utang China?
Berdasarkan informasi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas atau KPPIP, saat ini pemerintah memiliki 208 proyek dan 10 program strategis nasional dengan total nilai investasi lebih dari Rp5.700 triliun baik dari dalam maupun luar negeri.
Proyek-proyek itu termasuk pembangunan bendungan, bandara, pelabuhan, jalan, dan lain lain.
BBC Indonesia telah menghubungi KPPIP untuk berupaya mendapatkan besaran pembiayaan dari utang luar negeri, namun tidak mendapat jawaban.
Namun, menurut keterangan pers yang diadakan secara langsung dan virtual oleh KPPIP, nilai investasi APBN besarannya sekitar 13% dari total nilai investasi, yakni Rp714,5 triliun.
Sementara dari BUMN 19%, yakni senilai Rp1.112 triliun, dan swasta dari dalam dan luar negri mencapai 68% atau senilai Rp3.913 triliun.
Pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa Indonesia tidak terjerat jebakan utang China.
“Urusan utang ini bukan soal utang ke siapa atau besarannya, tapi lebih pada bagaimana kita mengelola utang dan rasio utang terhadap GDP, dan sejauh ini rasio utang kita sangat aman,” kata Willy Aditya, anggota DPR komisi sebelas yang membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional dan perbankan kepada BBC Indonesia lewat pesan singkat.
“Toh, neraca utang kita terhadap China juga semakin menurun. Itu artinya pembayaran atas beban utang kita selalu baik. Itu juga menunjukkan bahwa kinerja ekonomi kita baik dibandingkan dengan berapa negara lain.”
Willy meminta publik tidak merisaukan isu utang dari China. Kunjungan Jokowi menemui Presiden Xi, kata dia, digunakan untuk kerangka yang lebih produktif seperti kerja sama ekonomi atau mengundang investor dari China.
Namun Bhima Yudhistira memiliki pandangan sebaliknya.
“Adanya kunjungan Presiden ke China dan momentum Indonesia menjadi presidensi G20, di mana China terlibat di dalamnya, maka usulan yang harus didorong Jokowi adalah melepaskan beban utang,” kata Bhima.
“Pengurangan beban pokok maupun bunga utang yang sedang berjalan. Yang kedua seleksi proyek yang masih berjalan. Ketika dipikirkan banyak mega proyek yang hanya pemborosan, perlu keberanian politik untuk menghentikan utang-utang tadi.”
Selain renegosiasi utang, menurut Telisa Falianty, ke depannya pemerintah Indonesia seharusnya lebih cermat dalam mengambil utang dari China. Tidak hanya melihat dari sisi harga yang ditawarkan, tapi secara keseluruhan paket dan manfaatnya.
Selain itu pengambilan keputusan juga harus melibatkan seluruh pihak terkait. Tidak hanya pemerintah dan pebisnis saja, tapi juga masyarakat, akademisi dan media, kata dia.
“Harus diperbaiki sistem perencanaannya. Jangan sampai kita berinvestasi di sektor atau di infrastruktur yang akhirnya jadi mangkrak," ucapnya. (*)
Tags : Presiden Jokowi dan Presiden Presiden China Xi Jinping, Pertemuan RI dan China, Tinjau Ulang Utang dari China ,