Bisnis   2023/08/23 22:10 WIB

Perusahaan Properti China Evergrande Bangkrut, 'Akibat Korban Terjangan Krisis yang Semakin Parah'

Perusahaan Properti China Evergrande Bangkrut, 'Akibat Korban Terjangan Krisis yang Semakin Parah'

BISNIS - Perusahaan properti raksasa Evergrande telah mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat akibat krisis pasar properti di China yang semakin parah.

Evergrande mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika.

Cara itu akan memungkinkan perusahaan asal China yang berutang besar itu untuk melindungi aset-asetnya di AS berkat kesepakatan bernilai miliaran dolar dengan para kreditor.

Evergrande gagal membayar utang senilai ratusan miliar dolar AS mereka pada 2021. Insiden itu sempat membuat panik seluruh pasar keuangan global.

Langkah ini muncul karena pasar properti China semakin bermasalah. Hal ini kemudian menambah kekhawatiran terhadap kestabilan ekonomi terbesar kedua di dunia.

China Evergrande Group mengajukan perlindungan kebangkrutan berdasarkan skema Bab 15 dalam Undang-undang Kepalilitan AS di Pengadilan New York pada Kamis (17/8).

Bab 15 berfungsi untuk melindungi aset-aset di AS yang dimiliki oleh perusahaan asing sembari mereka berusaha untuk merestrukturisasi utangnya.

Unit properti Evergrande memiliki lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di China, berdasarkan informasi yang ada di situs resminya.

Selain properti, Evergrande juga memiliki bisnis lain yang mencakup pengembangan mobil listrik dan klub sepak bola.

Evergrande telah berupaya untuk menegosiasi ulang perjanjiannya dengan kreditur setelah gagal membayar utang.

Dengan utang diperkirakan mencapai lebih dari US$300 miliar atau lebih dari Rp4.500 triliun, Evergrande menjadi perusahaan pengembang properti dengan utang terbesar di dunia.

Sahamnya sudah ditangguhkan dari pasar dagang saham sejak tahun lalu.

Evergrande mengungkapkan bulan lalu bahwa mereka rugi lebih dari Rp1.221 triliun (US$80) selama dua tahun terakhir.

Pekan lalu, perusahaan properti raksasa China lainnya, Country Garden, memperingatkan bahwa mereka juga menghadapi potensi kerugian hingga US$7,6 miliar selama enam bulan pertama tahun ini.

Sejumlah perusahaan besar di pasar properti China kini sedang berjuang untuk mengumpulkan uang untuk menyelesaikan proyek-proyek pembangunan yang tengah berjalan.

"Kunci dalam masalah ini adalah menyelesaikan proyek yang belum selesai karena setidaknya itu akan membuat sebagian dari pembiayaan mengalir," kata Steven Cochrane dari perusahaan riset ekonomi Moody's Analytics dirilis BBC.

Ia menambahkan bahwa banyak rumah telah dijual sebelum dibangun tetapi jika konstruksi berhenti, pembeli tidak lagi perlu membayar hipotek.

Maka pembiayaan lebih besar dibebankan pada keuangan perusahaan pengembang properti.

Awal bulan ini, pemerintah China mengatakan bahwa ekonomi China telah masuk ke dalam deflasi karena harga konsumen menurun pada Juli untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun.

Pertumbuhan ekonomi yang lemah berarti China tidak mengalami kenaikan harga barang seperti yang mengguncangkan banyak negara lain dan mendorong para bank sentral negara-negara tersebut untuk secara tajam meningkatkan biaya pinjaman.

Impor dan ekspor negara itu juga turun tajam bulan lalu karena permintaan global yang semakin lemah mengancam prospek pemulihan bagi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia.

Angka resmi menunjukkan ekspor China turun 14,5% pada Juli dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara impor turun 12,4%.

Awal pekan ini, bank sentral China secara tak terduga memangkas suku bunga utama untuk kedua kalinya dalam tiga bulan, sebagai upaya untuk meningkatkan ekonomi. (*)

Tags : Bisnis, Ekonomi, Cina, Amerika Serikat, Perbankan,